BAB VII
POLIGAMI
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
1.
Pengertian Poligami
Poligami berasal
dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang
berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau
perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu
perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.[1] Sedangkan dalam bahasa arab poligami sering diistilahkan dengan ta’addud az-zaujat.[2]Poligami menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan,
yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam
waktu bersamaan.[3]
Menurut tinjauan
antropoligi sosial, poligami mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin
dengan banyak wanita dalam waktu bersamaan, sedangkan poliandri adalah
perkawinan antara seorang wanita dengan beberapa orang laki-laki.
Istilah poligami
jarang dipakai dikalangan masyarakat, dan hanya digunakan dikalangan
antropologi saja, sehingga secara langsung menggantikan istilah poligini dengan
pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa
orang perempuan yang disebut poligami, dan kata ini digunakan sebagai lawan
dari poliandri.[4] Sehingga
secara istilah, poligami berarti ikatan perkawinan dimana salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat “salah satu
pihak”, akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal
dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami disini
adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa isteri dalam
waktu bersamaan.[5]
2.
Dasar Hukum Poligami
Ayat al-qur’an
yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami adalah QS.an-Nisả (4): 3 sebagai
berikut:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil [6], maka (kawinilah) seorang saja[7], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS.an-Nisả (4): 3). [8]
Menurut Hamka untuk memahami persoalan kebolehan melakukan perkawinan lebih
dari seorang isteri (poligami), harus dilihat Munasabahnya dengan ayat
sebelumnya, yakni QS. An-Nisa (4): 2, penegasan tentang diperbolehkannya beristeri lebih dari seorang sampai
empat, sebagaimana bunyi ayat 3, ...”maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat…”. Dengan demikian
pangkal ayat dua tentang pemeliharaan anak yatim bertemu dengan kebolehan untuk
beristeri lebih dari satu sampai empat.
Selanjutnya,
dalam persoalan keharusan berbuat adil terhadap perempuan yang dinikahi sebagai
syarat kebolehan melakukan perkawinan lebih dari seorang sampai empat,
sebagaimana ditegaskan pada kalimat selanjutnya masih dalam QS. an-Nisa (4):
3 yang berbunyi “ tetapi bila kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka satu
saja..”. sebagai ganti adanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan
yatim (yang dinikahi). Kekhawatiran ini didasarkan atas firman Allah dalam QS.
An-Nisa (4): 129:
“Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nisa (4):129)[9]
Menurut Sayid
Sabiq, seorang suami yang mau berpoligami harus
meyakini bahwa dia dapat berlaku adil. Adil yang dimaksud adalah kemampuan
untuk berbuat adil secara lahir yaitu mampu membagi waktu dan hartanya antara
isteri muda dan isteri tuanya, dan selain adil secara lahir juga mampu berlaku
adil secara batin yaitu cinta dan kasih sayang.
Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, hanya apabila
dikehendaki yang bersangkutan atau hukum dan agama yang bersangkutan
mengizinkannya, suami dapat beristeri lebih dari seorang (poligami). Sedangkan
yang menjadi dasar pelaksanaan poligami di Indoneesia yang berdasarkan kepada
UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 3 yang berbunyi:
a.
Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang
pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami;
b.
Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[10]
Lebih lanjut
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 40, yaitu: “apabila
seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[11]
Sebagai bahan
pemikiran, bahwa dikemukakan oleh Al-Maragi yang disebutkan dalam kitab Tafsir
Al-Maragi, bahwa kebolehan poligami yang disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 3
merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya poligami
diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat yang hanya diperbolehkan bagi
orang-orang yang benar-benar membutuhkan dengan syarat dapat dipercaya
menegakan keadilan dan aman dari perbuatan yang melewati batas. Untuk itu merupakan suatu kewajiban bagi para hakim dan pemberi fatwa yang
telah mengetahui, bahwa menolak kerusakan harus lebih diprioritaskan dari pada
menarik kemaslahatan. Seperti disebutkan dalam kaidah fiqh:
دَرَءَ الْمُفَاسِدُ مُقَدِّمُ عَلَى
جَانِبِ الْمَصالِهِ[12]
“Menghindari kerusakan, mendatangkan
kemaslahatan”
Dan juga tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain:
لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَارَ[13]
Maksud dari kaidah tersebut bahwa kemadaratan itu telah terjadi dan
akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan.sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. Al- Baqarah (2): 11:
“Dan bila dikatakan kepada
mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. mereka menjawab:
"Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan."
Hendaknya mereka mempertimbangkan atau memikirkan baik-baik dalam
menanggulangi kasus-kasus seperti itu, hal ini menunjukan betapa pentingnya
hati-hati dalam melakukan poligami. Hubungannya dengan QS An-Nisa (4): 129,
menurut Al-Maragi yang terpenting adalah usaha maksimal untuk berbuat adil,
ataupun diluar kemampuan manusia seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang isteri
tidak terhadap ister-isterinya yang lain, maka dalam hal ini seorang tidak
diwajibkan berbuat adil.[14]
Sedangkan kondisi-kondisi diperbolehkannya poligami menurut
Al-Maragi adalah:
1.
Bila soerang
suami beristerikan seorang wanita mandul sedangkan ia sangat mengharapkan anak;
2.
Bila isteri
telah tua dan mencapai umur ya’isah
(tidak haid) lagi, dan ia mampu memberi
nafkah kepada lebih dari seorang isteri;
3.
Demi
terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas
seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami.
4.
Bila diketahui
dari hasil sensus, kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dengan perbandingan
yang mencolok.[15]
Mengenai perkawinan poligami ini semua Imam Mazhab (Imam Syafi’i,
Hanafi, Hambali, dan Maliki) sepakat bahwa seorang laki-laki boleh beristeri
empat dalam waktu bersamaandan tidak boleh lima.[16] Sebagaimana
hadis Nabi Muhammad SAW. Dalm kitab Abu Daud dari Hariṡ bin Qais, ia berkata:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِخْتَرْ مِنْهُنَّى
أَرْبَعًا
“Saya masuk Islam bersama-sama isteri dengan delapan isteri saya,
lalu saya ceritakan hal itu kepada nabi SAW. Maka beliau bersabda: pilihlah
empat orang diantara mereka”[17]
Adapun hadis yang mengisyaratkan diperbolehkannya poligami
diantaranya, dari Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatṭa’, Nasa’iy dan Daruquṭni
dalam masing-masing kitab Sunnahnya, mengungkapkan:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِغَيْلَنَلاَنَ بْنِ اُمَّيَةٍ
التَقَفِّيَ وَ قَدْ أَسْلَمَ وَتَحْتُهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ : إِخْتَرْ مِنْهُنَّ
أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرِ هُنَّ
“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan
bin Umayyah Aṡṡaqafi yang masuk Islam, padahal ia mempunyai sepuluh orang
isteri, Rasullullah bersabda kepadanya: pilihlah empat orang diantara mereka,
dan ceraikan yang lainnya.[18]
3.
Pendapat Para Ulama Tentang Poligami
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam
memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat dari pada
manfaatnya; karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati
dan suka mengeluh. Watak-watak
tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga
yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga,
baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari
isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya
masing-masing.
Hukum asal
perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah
menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam
keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan
mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka
mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan
dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian poligami hanya
diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalkan isterinya mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena
penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang
isteri.[19]
Pendapat yang
lebih ekstrim
datang dari Muhammad Abduh, yang mengatakan bahwa hukum
berpoligami bagi orang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil adalah
haram. Selain itu poligami yang dilakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan
memenuhi kebutuhan biologis semata hukumnya juga haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan
benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga
mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang
sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja
ia tidak akan membagi kasih sayangnya secara adil kepada masing-masing
isterinya.
Mengenai
syarat keadilan dalam poligami juga diungkapkan para Imam Madzhab yaitu Imam
Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut mereka seorang suami boleh
memiliki seorang isteri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat
orang isteri; Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku
adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.[20]dalam hal ini imam Syafi’i menambahkan, syarat
lain yang harus ditekankan adalah suami harus dapat menjamin hak anak dan
isteri. Ayat ẑảlika adnả anlả taủlủ dipahami
oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari
kata ‘alả ya’ủlủ yang berarti
menanggung dan membelanjai. “kalau satu istri saja sudah
berat tanggungannya bagi suami, apalgi lebih dari satu istri”.[21]
Para ulama juga
memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristeri satu
saja itu jauh lebih baik. Para ulama
Ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai isteri
lebih dari empat, maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya
dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang
isteri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah
membatasi isteri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut
telah ditunjukan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan dari firman Allah SWT,
bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari
empat perempuan.
Menurut Asghar Ali Engineer, hukum poligami adalah boleh selama
memenuhi syarat keadilan, terutama keadilan bagi perempuan dan anak yatim. Ia
menjelaskan, untuk menetukan hukum poligami perlu untuk memahami konteks QS.
An-Nisa’ (4): 3. Dalam
memahaminya juga perlu terlebih dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului
konteksnya. Surat An-Nisa’ (4): 1-3 pada ayat yang ketiga ini
berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “ Dan jika
kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang
yatim..”. penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang
perempuan, tetapi berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang-orang
yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat yang tidak
semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin; maka Al-Qur’an
memperbaiki perilaku yang salah tersebut. Bahwa menikahi janda dan anak-anak yatim dalam konteks ini sebagai
wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks. Sejalan dengan itu pemberlakuannya harus dilihat dari
konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat yang
kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang prinsip yang
universal yang harus berlaku selamanya.[22]
Pendapat
serupa diungkapkan Muhammad Syahrur. Ia memahami ayat tersebut bahwa Allah SWT
bukan hanya memperbolehkan poligami, tetapi Allah sangat menganjurkannya, namun
dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama: bahwa isteri kedua, ketiga dan
keempat itu adalah janda yang memiliki anak yatim, kedua: harus terdapat rasa
khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka
perintah poligami menjadi gugur.[23]
Menurut Sayyid
Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan Rukhṡah.
Karena merupakan rukshah, maka bisa
dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan
ini disyaratkan bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya. Keadilan
yang dituntut disini termasuk dalam nafkah, muamalah, pergaulan serta pembagian
malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan
cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap isterinya,
boleh poligami dengan maksimal hanya empat isteri.
Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat 3
pada surat An-Nisa poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para
Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ayat ini membatasi poligami sampai empat orang
saja. Keadilan yang dipersyaratkan pada ayat diatas adalah keadilan dalam
berbagai hal yaitu:
a. Adil dalam hal memberikan nafkah
hidup mereka selain makan, minum, serta pakaian dan sebagainya.
b. Pakaian,
rumah atau tempat tinggal sebab orang hidup tidak cukup hanya makan dan minum saja
tanpa tempat tinggal dan pakaian untuk menutup aurat.
c. Waktu
dalam menggilir isteri-isteri, masing-masing beberapa lama, jika yang satu
mendapatkan giliran satu malam maka suami juga harus menggilir isteri lainnya
juga satu malam.
d. Waktu
bepergian bersama isteri juga harus mendapat keadilan, untuk itu diperlukan
undian bagi suami yang mempunyai lebih dari satu isteri saat ia menghendaki
bepergian.[24]
Poligami terikat oleh syarat berlaku adil
kepada seluruh isteri, dan barang siapa yang tidak bisa memastikan
kesanggupannya untuk merealisasikan prinsip keadilan kepada seluruh
isteri-isterinya, maka dia tidak boleh beristeri lebih dari satu; Seandainya dia tetap
menikah lebih dari satu sementara dia tahu bahwa dia tidak dapat berlaku adil,
maka nikahnya sah tapi dia berdosa.[25]
Bagi orang yang memiliki isteri lebih dari satu,hendaklah
memisahkan tempat kediaman masing-masing isteri itu. Masing-masing isteri
menempati sebuah rumah, rumah itu pun harus sama, kecuali mereka sama-sam rela dan ikhlas ditempatkan
dalam sebuah rumah saja. Apabila seorang suami tinggal didalam sebuah rumah
yang terpisah dari isterinya, hendaklah pertemuan suami dengan isteri-isteri
itu pun dilakukan dengan seadil-adilnya.[26]
Mayoritas ulama fiqh
menyadri bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa
diwujudkan. Abdurrahman Al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas
kebutuhan seksual dan kasih sayang diantara isteri-isteri yang dikawini
bukanlah kewajiban bagi orang yangberpoligami karena sebagai suami, orang tidak
akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu
sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya
tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam
ini merupakan sesuatu yang diluar batas kontrol manusia.[27]Sedangkan kondisi-kondisi diperbolehkannya poligami menurut
al-Maragi adalah:
a.
Bila soerang
suami beristerikan seorang wanita mandul sedangkan ia sangat mengharapkan anak;
b.
Bila isteri
telah tua dan mencapai umur ya’isah
(tidak haid) lagi, dan mampu ia memberi nafkah kepada lebih dari seorang
isteri;
c.
Demi
terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas
seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami;
d.
Bila diketahui
dari hasil sensus, kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dengan perbandingan
yang mencolok.[28]
Mengenai perkawinan poligami ini semua Imam
Mazhab (imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki) sepakat bahwa seorang
laki-laki boleh beristeri empat dalam waktu bersamaan dan tidak boleh lima.[29]
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
disimpulkan, meskipun menggunakan dasar yang berbeda, para ulama konvensional
mengakui poligami boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah), apalagi perintah
(wajib) seperti diasumsikan kebanyakan orang. Demikian juga dari penjelasan
tersebut di atas tidak ada indikasi menyebutkan poligami sebagai asas
perkawinan dalam Islam, apalagi menyebutkan poligami sebagai fitrah sebagaimana
dikelaim sebagian orang. Kesimpulan lain yang dapat dicatat adalah bahwa ada seejumlah
naṣ yang dicatat para ulama mazhab, yakni: QS.an-Nisa (4): 3, an-Nisa (4): 129,
al-Ahzab (33): 50, al-Mu’minun (23): 5-6, ancaman bagi suami yang tidak adil
kepada isteri-isterinya, dan kasus laki-laki yang masuk Islam dan disuruh nabi
mempertahankan isterinya maksimal empat. Dengan kata lain, sejumlah naṣ inilah yang membahas poligami.
Sebagai tambahan, semua ulama tersebut di atas
mencatat QS. An-Nisa (4): 3 untuk mendukung kebolehan poligami maksimal empat.[30]
4.
Kriteria-Kriteria Poligami
Kriteria ataupun alasan yang mendukung seorang
suami melakukan poligami seperti halnya seorang isteri tidak dapat memberikan
keturunan, atau isteri tersebut berpenyakitan sehingga tidak dapat menjalankan
tugas dan kewajibanya sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974
sebagai berikut:
a.
Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[31]
Suatu perkawinan harus ditopang dengan pemenuhan hak dan kewajiban
dari masing-masing pihak, dikarenakan isteri mendapatkan cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga ia tidak dapat menjalakan
kewajibannya sebagai seorang isteri. Faktor-faktor di atas
yang menjadi sebab dibolehkannya poligami tetapi ia harus memenuhi
ketentuan-ketentuan yang ada dalam syari’at Islam dan undang-undang
perkawinan.
Didalam surat An-Nisa
tentang poligami, diturunkan setelah perangUhud,
pada saat itu banyak sekali pejuang muslim yang gugur, sehingga mengakibatkan
banyak anak yatim yang mesti mendapatkan pengawasan dari orang tua yang
bertanggung jawab. Perkawinan adalah satu-satunya jalan untuk memecahakan
persoalan tersebut. Dalam hal ini al-qur’an telah
memberikan ketentuan yang amat jelas, sehingga anak-anak yatim memperoleh
hak-haknya kembali dan ketidak adilan tidak berlaku lagi. Islam
telah memberikan yang sempurna dalam memecahkan problem yang pelik itu.[32]
Berdasarkan latar belakang historis tentang turunnya ayat itu, Islam tidaklah
berarti menyuruh pemeluknya untuk berpoligami, bahkan Islam datang memperketat
kebolehan poligami, bukan saja dengan jumlah maksimal emapat orang isteri,
namun juga menjadikannyasebagai sarana untuk mengatasi pesrsoalan anak yatim. untuk
memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan;
Allah SWT membolehkan untuk menikahi mereka. Tetapi jika merasa
takut akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara anak yatim
tersebut, maka Allah membolehkan mencari perempuan lain untuk dinikahi. Kebolehan
poligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan, yaitu berlaku adil antara
isteri-isteri dan anak-anaknya sesuai dengan QS An-Nisa (4): 3,
dan kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya.
Tujuan poligami
dalam Islam dapat dilihat dari poligaminya Rasulullah SAW, perbuatan Nabi untuk
menikahi isteri-isterinya bukan bertujuan biologis melainkan untuk membantu
berbagai kesulitan yang dialami perampuan yang kemudian menjadi
isteri-isterinya. Sekiranya
Rasulullah seorang yang tamak terhadap perempuan, maka beliau tentu tidak
menikahi perempuan-perempuan yang kebanyakan sudah janda dan secara ekonomi
tidak menguntungkan.[33]selama hidupnya Nabi tidak pernah menikah
dengan seorang gadis kecuali Aisyah. Semua isteri Nabi selain Aisyah adalah
janda yang sebagian membawa beberapa anak yatim, dan beliau baru berpoligami
setelah isteri pertamanya Khadijah wafat dalam usia 60 tahun.[34] Hal ini menimbulkan akibat hukum dalam
perkawinan sudah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai jalan yang benar dan sah
untuk mendapatkan keturunan, tidak dapat diragukan lagi perkawinan yang
didasarkan atas prinsip-prinsip cinta, kehormatan, dan kepedulian timbul baik
jauh lebih luhur daripada hubungan-hubungan temporer dengan berbagai
pasangannya.
Perkawinan
dapat dianggap sebagai keberadaan bersama dalam pasangan dimana pihak-pihak
utama diberi peran yang berbeda namun saling melengkapi, yang terdiri dari
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana juga seorang yang melakukan
perkawinan poligami akan berakibat hukum terhadap ister-isteri, harta benda dan
anak-anaknya.
Setiap
perkawinan memiliki bobot yang sama dalam hukum Islam dan karena itu suami
tidak diperbolehkan secara terbuka sesuatu yang lebih besar pada seorang
isterinya dan mengorbankan isteri-isternya yang lain. Suami harus dapat berlaku
adil dalam memberikan tanggung jawab memberikan perlindungan dan dukungan
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya, karena Allah SWT telah memberikan
kemampuan fisik dan mental yang berguna untuk melindungi peranannya sebagai
pelindung dan penjaga keluarganya, kewajiban-kewajibannya adalah memberikan
nafkah baik nafkah lahir seperti memberikan makanan, pakaian, tempat tinggal,
biaya hidup sehari-hari dan lain-lainnya maupun nafkah batin. firman Allah SWT
dalam QS Al-Baqarah (2): 233 yang artinya:
“para ibu
hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian
kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..[35]
Ayat di atas
menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri-isteri yang berupa jaminan
keadilan dalam memberikan nafkah sehari-hari, tempat kediaman dan kebutuhan
lainnya. Mengenai alasan-alasan seorang suami diperbolehkan poligami
sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
57 sebagai berikut:
a.
Isteri tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b.
Isteri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.
Isteri tidak
dapat melahirkan keturunan.[36]
5.
Alasan Isteri Melarang Suami Berpoligami
Pada dasarnya
seorang suami yang melakukan poligami didalam Islam diperbolehkan, namun banyak
juga yang memberi syarat yang sangat ketat kepada seorang suami yang ingin
berpoligami, karna didalam keseharian banyak yang menyalah artikan sebuah
poligami, ada yang berpoligami dengan dasar ingin dikatakan hebat oleh
masyarakat ada juga yang mengatas namakan mengikuti ajaran Rasul, padahal pada
kenyataannya Rasul melakukan poligami karna ingin membantu wanita-wanita yang
ditinggal meninggal oleh suaminya di dalam medan perang.
Hikmah diizinkannya berpoligami (dalam keadaan darurat dengan
syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isteri mandul.
b.
Untuk menjaga
keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai seorang isteri, atau ia mendapat cacat badan atau
penyakit yang tak dapat disembuhkan.
c.
Untuk
menyelamatkan suami dari hypersex
dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.[37]
d.
Untuk
menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara atau
masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum
prianya, misalnya akibat peperangan yang
cukup lama.
Tentang hikmah
diizinkannya Nabi Muhammad beristeri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah
maksimal yang diizinkan bagi umatnya (yang merupakan khuṣuṣiyat bagi Nabi) adalah sebagai berikut:
a.
Untuk
kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Isteri Nabi sebanyak 9 orang itu
bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui
ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai
masalah-masalah keawanitaan atau kerumah tanggaan.
b.
Untuk
kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik
mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri
Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pula perkawinan Nabi dengan
Shafiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani Naẓir).
c.
Untuk
kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa
janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah
(suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar
(suaminya gugur di perang badar).[38]
Poligami dalam Islam sangat
berbeda dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan
itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan
isteri dari yang tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat.
Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah
terbiasa dengan banyak isteri, lalu mereka disuruh memilih empat orang saja dan
menceraikan selebihnya. Kedua, ada
syarat poligami, yaitu harus berlaku adil. Sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk
syarat keadilan. Akibatnya,
poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan,
karena para suami yang berpoligami tidak terikat dengan keharusan berlaku adil,
sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsu.[39]
Apabila seorang isteri atau isteri-isteri yang menolak atau tidak
mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat
(1) huruf a Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya, dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isteri-isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
pengadilan dan hakim pengadilan.[40]
Apabila isteri
tidak mau memberikan persetujuan pada suaminya untuk beristeri lebih dari
seorang, berdasarkan salah satu alasan tersebut di atas,
maka Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap
penetapan ini, isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[41] Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin
pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun
1975, pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan
seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 PP
Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum
yang mengatur tentang poligami seperti telah diuraikan di atas
mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai
pencatat perkawinan,.Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal-Pasal di atas dikenakan sanksi pidana.persoalan ini diatur dalam Bab IX
Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975:
a.
Kecauli apabila
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
1)
Barang siapa
yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40
Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman dendan setingi-tingginya Rp. 7.500,00
(tujuh ribu lima ratus rupiah);
2)
Pegawai penctat
yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,7,8,9,10, ayat (1),11,12,
dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah).
b.
Tindak pidana
yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh
dilkukan atas kehendak yang bersangkutan melalui
izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan yang dimaksud,
terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga
yang kekal dan abadi atas dasar cinta kasih dan kasih sayang yang di riḑa’i
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan
menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti
dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
Status hukum poligami adalah Mubah. Mubah
dimaksud, sebagai alternatif beristeri hanya sebatas 4 (empat) orang isteri. Hal
itu ditegaskan oleh pasal 55 KHI sebagai berikut:
a.
Beristeri lebih
dari seorang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
b.
Syarat utama
beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
c.
Apabila syarat
utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seorang.
Dasar
pertimbangan KHI adalah hadis Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Tirmizi, dan Ibn Hibban yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn
Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang isteri. Mereka
bersama-sama masuk Islam. Maka nabi Muhammad SAW memerintahkan
kepadanya agar memilih empat orang saja diantaranya dan menceraikan yang
lainnya.[42]
Pada dasarnya tidak ada di dunia ini
suatu perbuatan yang semata-mata mendatangkan maslahat sebagaimana juga tidak
ada perbuatan yang semata-mata mendatangkan mudharat.
Terkait dengan praktik poligami di
tengah-tengah masyarakat, secara jujur jika kita amati, tidak sedikit yang
berhasil dalam arti tujuan perkawinan yang sakinah mawaddah wa rahmah dapat
berhasil dicapai. Namun demikian, dengan mudah juga kita jumpai pernikahan
poligami yang justru memporak-porandakan ketenangan rumah tangga sebelumnya
akibat satu hal dan lain hal., misalnya karena faktor ekonomi, psikologis,
sifat yang tidak adil dan sebagainya.
B.
Dampak Perkawinan Poligami
Dampak negatif yang ditimbulkan dari berpoligami terutama bagi
isteri (pertama) dan anak-anaknya dapat disebutkan sebagai berikut diantaranya:
1.
Dampak
Psikologis
Perasaan inferior isteri dan menyalahkan diri karena merasa
tindakan suaminya berpoligami akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi
kebutuhan biologis suaminya dan juga ketidakmampuan membahagiakan
suaminya.
2.
Dampak Ekonomi
Rumah Tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami yang dapat
berlaku adil terhadap isteri-isterinya, tetapi dalam praktinya lebih sering
ditemukan bahwa suami lebih mementigkan isteri muda dan menelantarkan isteri
dan anak-anaknya yang terdahulu. Akibatnya
isteri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan
sehari-hari.
3.
Kekerasan
Terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual
maupun psikologis. Hal ini umumnya terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun
begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
4.
Dampak Hukum
Seringnya terjadi nikah dibawah tangan (perkawinan
yang tidak dicatatkan pda kantor catatan sipil atau kantor urusan agama),
sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh Negara. Walaupun perkawinan
tersebut sah menurut agama. pihak perempuan akan dirugikan karena
konsekuwensinya suatu perkawinan yang tidak ada, seperti hak waris dan
sebagainya.
5.
Dampak
Kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau isteri
menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan
terjangkit virus HIV/AIDS.[43]
Menurut Al-Athar dalam bukunya Ta’addud
Az-Zaujat sebagaimana dikutip oleh Khairuddin Nasution dalam bukunya Riba
dan Poligami: sebuah studi atas pemikiran Muhammad Abduh, menjelaskan empat
dampak negatif dari poligami yakni:
a.
Menimbulkan
kecemburuan antar isteri.
b.
Menimbulkan
kekhawatiran dan kegelisahan dikalangan isteri jika suami tak dapat berlaku
adil.
c.
Anak-anak yang
lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan
yang tidak sehat.
d.
Kekacauan dalam
bidang ekonomi.[44]
C.
Keharmonisan Rumah Tangga
Keharmonisan berasal dari kata harmonis yang mendapat awalan “ke” dan
akhiran “an”,
yang berarti perihal (keadaan) harmonis; keselarasan dan keserasian. rumah
tangga yaitu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah (seperti hal
belanja rumah); berkenaan dengan keluarga. Sedangkan keluarga adalah ibu dan
bapak serta anak-anaknya.[45] Ada yang mengatakan rumah tangga adalah unit terkecil dari suatu
masyarakat.[46] Jadi, keharmonisan rumah tangga yang didalamnya terdapat sebuah
keluarga yang terdiri dari ibu, bapak beserta anak-anaknya.
1.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Keharmonisan Rumah Tangga
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang harmonis,
dalam pelaksanaannya tidak semudah mengatakannya. Banyak ayat Al-Qur’an maupun
As-Sunnah mengenai rumah tangga yang sebenarnya ditujukan untuk mewujudkan
keharmonisan hidup suami istri berikut anggota keluarganya. Berkaitan dengan
terwujudnya keharmonisan rumah tangga, Islam memberikan ketentuan peraturan
hidup bermasyarakat dengan mensyariatkan pernikahan yang mengatur hubungan
individu dengan individu lain yang berlainan jenis kelamin. Ketentuan-ketentuan
tersebut mengatur pergaulan manusia, baik sebelum memasuki masa pernikahannya,
saat berlangsungnya pernikahan, maupun setelah terwujudnya pernikahan.
a.
Hal-hal yang
Perlu Diperhatikan Sebelum Memasuki Jenjang Perkawinan
1)
Penentuan calon
atas dasar agama
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sering dijumpai bahwa
pengambilan keputusan untuk menikah dimotivasi oleh faktor lain diluar agama,
misalnya menikahi seseorang karena faktor kekayaan, keturunan dan
kecantikan/ketampanan. Ketiga faktor tersebut tidak dapat diingkari sebagai
sesuatu yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Tetapi mengabaikan sama sekali faktor terpenting merupakan sebuah
kekeliruan. Karena agamalah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam
menentukan calon pasangan hidup.
2)
Pemilihan calon
atas dasar keturunan
Diantara kaidah yang diletakkan Islam untuk mendukung keharmonisan
rumah tangga yang akan dibangun adalah memilih pasangan hidup dari keluarga
yang telah dikenal kesalehannya, akhlaknya, dan kemuliaan keturunannya.
3)
Bukan keluarga
atau kerabat dekat
Diantara pengarahan Islam dalam memilih istri atau suami adalah
mengutamakan orang “asing” dari pada calon yang memiliki hubungan nasab atau
famili yang masih terlalu dekat. Hal ini penting demi menjaga kecerdasan anak,
menjamin keselamatan jasmaninya dari penyakit menurun, cacat karena faktor
keturunan, memperluas tali silaturahim dan mempererat jalinan sosial.
4)
Mengutamakan
wanita yang subur
Islam menganjurkan seseorang yang akan menikah untuk memilih calon
istri yang subur. Sehingga memungkinkan untuk cepat memperoleh keturunan.
Karena diantara tujuan pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah. Wanita
yang subur antara lain dapat dikenali dari dua hal, yaitu: pertama, kebersihan
jasmani dari berbagai penyakit yang dapat menghalanginya untuk memperoleh
keturunan. Hal ini dapat diketahui melalui konsultasi dengan dokter ahli.
Kedua, dengan memperhatikan secara cermat ibu dan saudara-saudara perempuannya
yang telah menikah. Jika mereka tergolong wanita yang subur biasanya dia juga
demikian.
5)
Melihat calon
pasangan
b.
Kewajiban dan
Hak Suami Istri
c.
Bersikap
Realistis dalam Menyikapi Keadaan
1)
Realistis dalam
soal mahar dan pernikahan
Tidak baik jika pihak calon istri mengajukan tuntutan mahar yang
berlebihan dan penyelenggaraan resepsi perkawinan serta pemberian hadiah diluar
kesanggupan calon suami. Semua itu harus melihat kemampuan pihak calon suami
dapat memenuhi atau tidak.
2)
Realistis dalam
pemberian nafkah
Sikap paling baik yang harus dimiliki seorang wanita adalah
memperhatikan kadar kemampuan dan kekuatannya dalam memberikan nafkah. Tidak
selayaknya seorang istri menuntut nafkah berlebihan manakala suaminya dalam keadaan
sulit. Dan juga tidak patut bersikap rakus ketika nafkah dari suami dalam
keadaan lapang. Setiap keadaan harus disesuaikan dengan kelayakan.
3)
Realistis dalam
menghadapi sifat masing-masing pasangan
Setiap pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekurangan yang
ada pada diri pasangan.
4)
Bersikap
realistis dalam menuntut hak dan melaksanakan kewajiban
Masing-masing pasangan harus berbuat menurut kadar kemampuan
dirinya dan memahami kemampuan pasangan. Apabila salah satu pihak banyak
menuntut untuk melaksanakan kewajiban maka pertengkaran sulit untuk dihindari.
Yang satu bersikeras dengan tuntutannya, sedangkan yang lain terpojok karena
ketidakmampuannya.
2.
Indikator Keharmonisan Rumah Tangga
Menurut Dadang Hawari mengemukakan bahwa ada enam aspek
sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan itu bahagia, yaitu:
a.
Menciptakan
kehidupan beragama dalam rumah tangga;
Keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan
beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat
nilai-nilai moral dan etika.
b.
Mempunyai waktu
untuk bersama keluarga;
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama
keluarganya.
c.
Mempunyai
komunikasi yang baik antar anggota keluarga;
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam
rumah tangga. Komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat
dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa
adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman
yang memicu terjadinya konflik.
d.
Saling
menghargai antar sesama anggota keluarga;
e.
Kualitas dan
kuantitas konflik yang minim;
f.
Adanya hubungan
atau ikatan yang erat antar anggota keluarga; hubungan yang erat antara anggota
keluarga dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar
anggota keluarga dan saling mengahargai.[47]
Aisjah Dachlan mengemukakan bahwa
untuk mencapai kebahagiaan keluarga terdapat 10 aspek, yaitu:
a.
Hubungan
antar-inter keluarga; maksudnya adalah hubungan baik dan harmonis antara satu
keluarga dengan para anggota keluarga lainnya atau dengan anggota masyarakat;
b.
Membimbing anak
atau mendidik anak;
c.
Pakaian;
d.
Makanan;
e.
Kesehatan;
f.
Perumahan;
g.
Keuangan;
h.
Tata laksana
rumah tangga;
i.
Keamanan lahir
batin;
j.
Perencanaan
sehat (matang), artinya mengatur dan membuat rencana hidup keluarga dengan
mempertimbangkan kemauan, kesanggupan dan kemampuan masing-masing anggota
keluarga.[48]
Keluarga
dikatakan harmonis atau keluarga bahagia menurut Sarlito Wirawan yang apabila
dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor berikut:
a. Faktor
kesejahteraan jiwa. Yaitu redahnya frekwensi pertengkaran dan percekcokan di
rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, saling tolong-menolong antar
sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing dan
sebagainya yang merupakan indikator-indikator dari adanya jiwa yang bahagia,
sejahtera dan sehat.
- Faktor kesejahteraan fisik. Seringnya
anggota keluarga yang sakit, banyak pengeluaran untuk kedokter, untuk
obat-obatan, dan rumah sakit tentu akan mengurangi dan menghambat
tercapainya kesejahteraan keluarga.
c. Faktor
perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga. Kemampuan keluarga
dalam merencanakan hidupnya dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran
dalam keluarga. Misalnya; Banyak keluarga yang kaya namun mengeluh kekurangan. [49]
Ciri-ciri
keluarga harmonis menurut Islam adalah:
- Pembentukan keluarga yang di
dasari harapan keridhaan Allah tanpa yang lain. Kedua belah pihak saling
melengkapi dan menyempurnakan, memenuhi panggilan fitrah dan sunnah,
menjalin persahabatan dan kasih sayang, serta meraih ketentraman dan
ketenangan jasmani. Dalam menentukan standar jodoh keduanya hanya bertolak
pada keimanan dan ketaqwan.
- Tujuan pembentukan keluarga.
Keharmonisan rumah tangga akan terwujud apabila kedua pasangan saling
konsisten terhadap perjanjian yang mereka tetapkan bersama. Tujuan utama
mereka adalah menuju jalan yang telah digariskan Allah dan mengharap
ridha-Nya. Dalam segala tindakan mereka yang tertuju hanyalah Allah
semata.
- Lingkungan. Dalam keluarga yang
harmonis upaya yang selalu dipelihara adalah suasana yang penuh kasih
sayang dan masing-masing anggotanya menjalankan peran secara sempurna.
Lingkungan keluarga merupakan tempat untuk berteduh dan berlindung, tempat
dimana perkembangan dan susah-senang dilalui bersama.
- Hubungan antara kedua pasangan.
Dalam hubungan rumah tangga yang harmonis dan seimbang suami istri
berupaya saling melengkapi dan menyempurmakan. Mereka menyatu dan ikut
merasakan apa yang dirasakan anggota keluarga yang lain. Mereka saling
mengobati, saling membahagiakan dan menyatukan langkah dan tujuan,
keduanya menyiapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Hubungan dengan anak. Keluarga
harmonis menganggap anak sebagai bagian darinya mereka membangun hubungan
atas dasar penghormatan, penjagaan hak, pendidikan, bimbingan yang layak,
pemurnian kasih sayang serta pengawasan akhlak dan perilaku anak.
- Duduk bersama. Keluarga
harmonis selalu siap duduk bersama dan berbincang dengan para anggota
keluarganya, mereka berupaya saling memahami dan menciptakan hubungan
mesra. Islam mengajarkan agar yang tua menyayangi dan membimbing yang
muda, dan yang muda menghormati dan mematuhi nasehat yang tua.
- Kerjasama saling membantu.
Dalam kehidupan rumah tangga yang harmonis setiap anggota rumah tangga
memiliki tugas tertentu.mereka bersatu untuk memikul beban bersama. Dalam
bangunan ini tampak jelas persahabatan, saling tolong-menolong, kejujuran,
saling mendukung dalam kebaikan, saling menjaga sisi jasmani dan rohani
masing-masing.
- Upaya untuk kepentinagan
bersama. Dalam kehidupan keluarga yang harmonis mereka berusaha saling
membahagiakan. Mereka saling berupaya untuk memenuhi keinginan dan
memperhatikan selera pasangannya. Saling menjaga dan memperhatikan cara
berhias dan berpakaian. Untuk kepentingan bersama mereka selalu
bermusyawarah dan berkomunikasi untuk meminta pendapat, pada waktu anak
telah mampu memahami masalah tersebut ia di ikutkan dalam musyawarah tadi.[50]
3.
Faktor yang Mempengaruhi Ketidak Harmonisan Rumah Tangga
a.
Faktor ekonomi
b.
Faktor
kekerasan dan penganiayaan
c.
Faktor tidak
ada kejujuran dan cemburu
d.
Faktor
perselingkuhan
e.
Faktor judi dan
minuman keras
f.
Faktor istri
tidak patuh pada suami dan tidak akur dengan mertua
g.
Faktor suami
atau istri pergi tanpa pamit
h.
Poligami tidak
sehat.[51]
Keadaan krisis rumah tangga tersebut
adakalanya disebabkan oleh satu faktor, dua faktor bahkan tiga faktor sekaligus
yang mengakibatkan tidak ada keharmonisan dalam pergaulan hidup suami istri dan
tidak menutup kemungkinan faktor-faktor tersebut muncul didorong oleh pengaruh
lain seperti pengaruh lingkungan, social dan budaya serta rendahnya pemahaman
agama dan pendidikan yang mengakibatkan semakin memburuknya keadaan rumah
tangga.
Mengawali
kehidupan rumah tangga tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan ketulusan
hati serta kesabaran agar permasalahan yang sedang dihadapi dapat segera
diselesaikan. Namun, ketika benih-benih ketidakharmonisan mulai muncul
diharapkan setiap pasangan segera peka dan melakukan tindakan pencegahan demi
menjaga keutuhan rumah tangga. Berikut ini adalah ciri-ciri rumah tangga tidak
bahagia yang harus segera ditangani:
a.
Sering terjadi perdebatan
Di awal
kehidupan berumah tangga perdebatan yang dilakukan oleh sepasang suami-istri
bisa dikatakan wajar karena satu sama lain masih berusaha memahami karakter
masing-masing. Namun, bila setelah sekian lama hidup bersama tapi masih belum
bisa menemukan titik temu, bagaimana mengatasi percekcokan yang sering terjadi,
maka Anda perlu berhati-hati bisa jadi selama ini hubungan Anda dengan pasangan
memang tidak bahagia.
b.
Komunikasi berkurang
Komunikasi yang
baik bertujuan untuk menyamakan persepsi serta cara paling ampuh untuk
menghindari kesalahpahaman. Oleh karena itu, Anda perlu mengavaluasi kembali
bagaimana komunikasi Anda dengan pasangan selama ini berlangsung, jika
komunikasi tiba-tiba berkurang jangan biarkan itu berlarut-larut, sehingga
membahayan pernikahan Anda.
c.
Saling berbohong
Kejujuran
adalah hal terpenting dalam kehidupan berumah tangga, tapi jika masing-masing
pasangan sudah tidak lagi bisa saling memercayai dan cenderung lebih suka
berbohong, maka Anda harus segera mengatasinya jika masih ingin mempertahankan
pernikahan dengannya.
d.
Tidak memiliki waktu baik untuk keluarga maupun
pasangan
Anda dan
pasangan sudah tidak lagi merasa nyaman berada di rumah. Karena itu, Anda lebih
suka menghabiskan waktu di tempat kerja atau keluar bersama teman-teman, akibatnya
Anda sering tidak memiliki waktu baik untuk anak-anak maupun untuk pasangan
Anda.
e.
Hilangnya keakraban
Di dalam
keluarga tidak hanya terdiri dari suami dan istri, tapi juga melibatkan
anak-anak, orangtua dan mungkin sanak saudara yang lain. Ketika tidak ada lagi
keakraban di antara anggota keluarga, maka hal ini bisa menjadi indikasi bahwa
rumah tangga tersebut sedang bermasalah.
f.
Mengonsumsi zat-zat berbahaya
Rumah tangga
tidak bahagia penuh dengan tekanan. Tidak jarang mereka yang terlibat di dalamnya
berusaha melarikan diri dari permasalah yang sedang dihadapi dengan cara
mengonsumsi zat-zat berbahaya, seperti alkohol atau narkoba, agar dapat
melupakan sejenak permasalahan hidup yang sedang dihadapi.
g.
Terjadi perselingkuhan
Masing-masing
pasangan sudah tidak lagi memiliki respek terhadap satu sama lain. Tidak jarang
untuk mendapatkan kembali kasih sayang ataupun dukungan, suami atau istri
melakukan perselingkuhan dengan orang lain.
h.
Gesture atau bahasa tubuh
Bahasa tubuh
seseorang tidak dapat menyembunyikan suasana hatinya. Karena itu, ketika dalam
rumah tangga tidak ada lagi kebahagiaan, maka tanpa disadari apa yang sedang
dialami akan terbawa ke dalam pergaulan sehari-hari.
i.
Tidak lagi mempedulikan keluarga
Tidak ada lagi
kepedulian di antara suami istri, bahkan kepedulian terhadap anak-anak, dan
setiap orang berusaha mencari sendiri kesenangan hidup sesuai dengan apa yang
disukainya.
j.
Muncul depresi
Rumah tangga
yang tidak bahagia jika dibiarkan terus berlarut-larut mampu membuat seluruh
anggota keluarga hidup di dalam tekanan. Oleh karena itu, tidak jarang salah
satu ataupun beberapa anggota keluarga akhirnya mengalami depresi, dalam skala
yang lebih berat dapat membuat seseorang mengalami hilang ingatan.
k.
Tidak lagi memiliki tujuan hidup
Di dalam rumah
tangga yang tidak bahagia fungsi-fungsi penting keluarga tidak lagi bisa
bekerja dengan semestinya. Karena itu, setiap orang akhirnya tidak lagi
memiliki tujuan hidup dan melakukan segala sesuatu sekehendak hatinya.
l.
Terjadi kemerosotan akhlak dan prestasi
Imbas rumah
tangga tidak bahagia sangat luas, salah satunya adalah berkaitan dengan
kemerosotan akhlak dan prestasi baik di dalam masyarakat, di tempat kerja
ataupun di sekolah.[52]
Berdasarkan uraian mengenai
aspek-aspek terciptanya keharmonisan rumah tangga, dapat terwujud dengan
memperhatikan hal yang berkaitan dengan proses sebelum dilaksanakan perkawinan,
saat perkawinan berlangsung dan setelah terwujudnya perkawinan. Tidak semua
aspek dapat dipenuhi dalam sebuah rumah tangga, tetapi minimal setengah dari
aspek-aspek tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga.
D.
Tanggungjawab dalam Rumah Tangga
Perkawinan pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar manusia untuk
memperoleh kebahagiaan hidup berumah tangga. Tujuan perkawinan sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Rahman Ghozali bahwa tujuan perkawinan menurut agama
Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga
yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan
kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan
batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.[53]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keharmonisan artinya
perihal (keadaan) harmonis, keselarasan dan keserasian dalam rumah tangga yang
perlu dijaga.[54]
Definisi keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak atau suami, istri dan anak-anaknya. Disebutkan bahwasanya
keluarga ialah orang seisi rumah atau masyarakat terkecil yang terdiri dari
ayah, ibu dan anak dan anggota keluarga lainnya yang memiliki hubungan nasab.[55]
Salah
satu perhatian (atensi) Islam terhadap kehidupan keluarga adalah
diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Andai kata
aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya
pertikaian. Kehidupan akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja
dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh
anggota masyarakat sekitarnya.[56] Keharmonisan keluarga berarti situasi dan kondisi dalam keluarga
dimana didalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat,
saling menghargai, saling menjaga, saling pengertian dan memberikan rasa aman
dan tentram bagi setiap anggota keluarganya; dengan
menjalankan kewajiban masing-masing, baik kewajiban terhadap isteri, kewajiban
terhadap suami, dan kewjiban terhadap anak.
[6] Dimaksud dengan berlaku adil disini adalah: perlakuan yang adil
dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang
bersifat lahiriyah.
[7] Islam
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu; sebelum turun ayat ini
poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[12] Ima
Jalaludin Abdurrahman Abi Bakar As Suyuti, Al Misbah Wa An-Nazair,
(Beirut: Dar Al Fakir, 1995 M./1415H.), h. 63
[13] Ibid, h. 63
[43]http:/ /yotnoali.blogspot.com/ 2011/07/
Menimbang -Manfaat-Mudharat-Poligami.html.? m=1,9/6/2014, 10:38 WIB
[45] Depdikbud; Loc.Cit
[46] NJ. Aisjah Dachlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jamunu, Jakarta, 1969), h. 17
[47] http://teori-psikologi-blogspot/2008/05/keharmonisan
-rumah-tangga.html, diakses pada sabtu, 30 Juli 2011 ; Lihat, Dadang Hawari, Majalah Warta Bumi Putra,
Edisi 24, Juli 1994, hlm. 26
[48] NJ. Aisjah Dachlan, Loc.Cit.
[49] Sarlito
Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia 2, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1982), h. 79)
[50] http:://2. Blogspot.com, Novita
BossFamily On:
Senin, Keluarga Harmonis, Akses 05 Mei 2016
[51] Laporan tahunan PA
Tanjungkarang, tahun 2010; Lihat, Firdaweri dkk., Perceraian
Akibat Tidak Ada Keharmonisan Rumah Tangga (Analisis Tentang Faktor-Faktor
Penyebab Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1 A Tanjungkarang), Pusat
Penelitian IAIN Raden Intan Lampung, Lampung, 2010, h. 119
[52] http:// keluarga.com/ authors /Intan
Lolitasari, dikutip dari majalah Wanita
berbahasa Inggris, Akses 10 juni 2016
[53] Abdul Rahman
Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan Ketiga, Kencana, Jakarta, 2008, h. 22
[54]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h. 484
[55] Lubis
Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah, Terbit Terang,
Surabaya, 1998, h. 7
[56] Haikal
Abduttawab , Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta, h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar