Rabu, 18 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB VII)


BAB VII
POLIGAMI



A.       Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
1.         Pengertian Poligami
          Poligami berasal dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.[1] Sedangkan dalam bahasa arab poligami sering diistilahkan dengan ta’addud az-zaujat.[2]Poligami menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan, yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.[3]
          Menurut tinjauan antropoligi sosial, poligami mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita dalam waktu bersamaan, sedangkan poliandri adalah perkawinan antara seorang wanita dengan beberapa orang laki-laki.
          Istilah poligami jarang dipakai dikalangan masyarakat, dan hanya digunakan dikalangan antropologi saja, sehingga secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan yang disebut poligami, dan kata ini digunakan sebagai lawan dari poliandri.[4] Sehingga secara istilah, poligami berarti ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat “salah satu pihak”, akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami disini adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa isteri dalam waktu bersamaan.[5]


2.      Dasar Hukum Poligami
Ayat al-qur’an yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami adalah QS.an-Nisả (4): 3 sebagai berikut:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil [6], maka (kawinilah) seorang saja[7], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS.an-Nisả (4): 3). [8]

                  Menurut Hamka untuk memahami persoalan kebolehan melakukan perkawinan lebih dari seorang isteri (poligami), harus dilihat Munasabahnya dengan ayat sebelumnya, yakni QS. An-Nisa (4): 2, penegasan tentang diperbolehkannya beristeri lebih dari seorang sampai empat, sebagaimana bunyi ayat 3, ...”maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat…”. Dengan demikian pangkal ayat dua tentang pemeliharaan anak yatim bertemu dengan kebolehan untuk beristeri lebih dari satu sampai empat.
Selanjutnya, dalam persoalan keharusan berbuat adil terhadap perempuan yang dinikahi sebagai syarat kebolehan melakukan perkawinan lebih dari seorang sampai empat, sebagaimana ditegaskan pada kalimat selanjutnya masih dalam QS. an-Nisa (4): 3 yang berbunyi “ tetapi bila kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka satu saja..”. sebagai ganti adanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (yang dinikahi). Kekhawatiran ini didasarkan atas firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 129:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa (4):129)[9]

Menurut Sayid Sabiq, seorang suami yang mau berpoligami harus meyakini bahwa dia dapat berlaku adil. Adil yang dimaksud adalah kemampuan untuk berbuat adil secara lahir yaitu mampu membagi waktu dan hartanya antara isteri muda dan isteri tuanya, dan selain adil secara lahir juga mampu berlaku adil secara batin yaitu cinta dan kasih sayang.
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki yang bersangkutan atau hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya, suami dapat beristeri lebih dari seorang (poligami). Sedangkan yang menjadi dasar pelaksanaan poligami di Indoneesia yang berdasarkan kepada UU No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 3 yang berbunyi:
a.       Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami;
b.      Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[10]
Lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 40, yaitu: “apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”.[11]
Sebagai bahan pemikiran, bahwa dikemukakan oleh Al-Maragi yang disebutkan dalam kitab Tafsir Al-Maragi, bahwa kebolehan poligami yang disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 3 merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat yang hanya diperbolehkan bagi orang-orang yang benar-benar membutuhkan dengan syarat dapat dipercaya menegakan keadilan dan aman dari perbuatan yang melewati batas. Untuk itu merupakan suatu kewajiban bagi para hakim dan pemberi fatwa yang telah mengetahui, bahwa menolak kerusakan harus lebih diprioritaskan dari pada menarik kemaslahatan. Seperti disebutkan dalam kaidah fiqh:
دَرَءَ الْمُفَاسِدُ مُقَدِّمُ عَلَى جَانِبِ الْمَصالِهِ[12]
       “Menghindari kerusakan, mendatangkan kemaslahatan”
Dan juga tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain:
لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَارَ[13]
Maksud dari kaidah tersebut bahwa kemadaratan itu telah terjadi dan akan terjadi. Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan.sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al- Baqarah (2): 11:

“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami orang-orang yang Mengadakan perbaikan."

Hendaknya mereka mempertimbangkan atau memikirkan baik-baik dalam menanggulangi kasus-kasus seperti itu, hal ini menunjukan betapa pentingnya hati-hati dalam melakukan poligami. Hubungannya dengan QS An-Nisa (4): 129, menurut Al-Maragi yang terpenting adalah usaha maksimal untuk berbuat adil, ataupun diluar kemampuan manusia seperti kecenderungan hati manusia terhadap seorang isteri tidak terhadap ister-isterinya yang lain, maka dalam hal ini seorang tidak diwajibkan berbuat adil.[14]
Sedangkan kondisi-kondisi diperbolehkannya poligami menurut Al-Maragi adalah:
1.      Bila soerang suami beristerikan seorang wanita mandul sedangkan ia sangat mengharapkan anak;
2.      Bila isteri telah tua dan mencapai umur ya’isah (tidak haid) lagi, dan ia mampu  memberi nafkah kepada lebih dari seorang isteri;
3.      Demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami.
4.      Bila diketahui dari hasil sensus, kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dengan perbandingan yang mencolok.[15]
Mengenai perkawinan poligami ini semua Imam Mazhab (Imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki) sepakat bahwa seorang laki-laki boleh beristeri empat dalam waktu bersamaandan tidak boleh lima.[16] Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW. Dalm kitab Abu Daud dari Hariṡ bin Qais, ia berkata:
أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِخْتَرْ مِنْهُنَّى أَرْبَعًا

“Saya masuk Islam bersama-sama isteri dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada nabi SAW. Maka beliau bersabda: pilihlah empat orang diantara mereka”[17]

Adapun hadis yang mengisyaratkan diperbolehkannya poligami diantaranya, dari Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatṭa’, Nasa’iy dan Daruquṭni dalam masing-masing kitab Sunnahnya, mengungkapkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِغَيْلَنَلاَنَ بْنِ اُمَّيَةٍ التَقَفِّيَ وَ قَدْ أَسْلَمَ وَتَحْتُهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ : إِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرِ هُنَّ

“Bahwa Nabi berkata kepada Ghailan bin Umayyah Aṡṡaqafi yang masuk Islam, padahal ia mempunyai sepuluh orang isteri, Rasullullah bersabda kepadanya: pilihlah empat orang diantara mereka, dan ceraikan yang lainnya.[18]
3.      Pendapat Para Ulama Tentang Poligami
            Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat dari pada manfaatnya; karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing.
               Hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalkan isterinya mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.[19]
               Pendapat yang lebih ekstrim datang dari Muhammad Abduh, yang mengatakan bahwa hukum berpoligami bagi orang yang merasa khawatir tidak akan berlaku adil adalah haram. Selain itu poligami yang dilakukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan memenuhi kebutuhan biologis semata hukumnya juga haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untuk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan membagi kasih sayangnya secara adil kepada masing-masing isterinya.
               Mengenai syarat keadilan dalam poligami juga diungkapkan para Imam Madzhab yaitu Imam Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali. Menurut mereka seorang suami boleh memiliki seorang isteri lebih dari satu tetapi dibatasi hanya sampai empat orang isteri; Akan tetapi kebolehannya tersebut memiliki syarat yaitu berlaku adil antara perempuan-perempuan itu, baik dari nafkah atau gilirannya.[20]dalam hal ini imam Syafi’i menambahkan, syarat lain yang harus ditekankan adalah suami harus dapat menjamin hak anak dan isteri. Ayat  ẑảlika adnả anlả taủlủ dipahami oleh Imam Syafi’i dalam arti tidak banyak tanggungan kamu. Ia terambil dari kata ‘alả ya’ủlủ yang berarti menanggung dan membelanjai. kalau satu istri saja sudah berat tanggungannya bagi suami, apalgi lebih dari satu istri”.[21]
               Para ulama juga memberikan saran, apabila tidak bisa berlaku adil, hendaknya beristeri satu saja itu jauh lebih baik. Para ulama Ahli Sunnah juga telah sepakat, bahwa apabila seorang suami mempunyai isteri lebih dari empat, maka hukumnya haram. Perkawinan yang kelima dan seterusnya dianggap batal dan tidak sah, kecuali suami telah menceraikan salah seorang isteri yang empat itu dan telah habis pula masa iddahnya. Dalam masalah membatasi isteri empat orang saja, Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut telah ditunjukan oleh Rasulullah SAW sebagai penjelasan dari firman Allah SWT, bahwa selain Rasulullah tidak ada seorangpun yang dibenarkan nikah lebih dari empat perempuan.
            Menurut Asghar Ali Engineer, hukum poligami adalah boleh selama memenuhi syarat keadilan, terutama keadilan bagi perempuan dan anak yatim. Ia menjelaskan, untuk menetukan hukum poligami perlu untuk memahami konteks QS. An-Nisa’ (4): 3. Dalam memahaminya juga perlu terlebih dahulu dihubungkan dengan ayat yang mendahului konteksnya. Surat An-Nisa’ (4): 1-3 pada ayat yang ketiga ini berkaitan dengan poligami, yang dimulai dengan “ Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak (perempuan) yang yatim..”. penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada anak yatim. Maka konteks ayat ini adalah menggambarkan orang-orang yang bertugas memelihara kekayaan anak yatim sering berbuat yang tidak semestinya, yang kadang mengawininya tanpa mas kawin; maka Al-Qur’an memperbaiki perilaku yang salah tersebut. Bahwa menikahi janda dan anak-anak yatim dalam konteks ini sebagai wujud pertolongan, bukan untuk kepuasan seks. Sejalan dengan itu pemberlakuannya harus dilihat dari konteks itu bukan untuk selamanya. Ini artinya, bahwa ayat ini adalah ayat yang kontekstual yang temporal pemberlakuannya, bukan ayat yang prinsip yang universal yang harus berlaku selamanya.[22]
               Pendapat serupa diungkapkan Muhammad Syahrur. Ia memahami ayat tersebut bahwa Allah SWT bukan hanya memperbolehkan poligami, tetapi Allah sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama: bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat itu adalah janda yang memiliki anak yatim, kedua: harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perintah poligami menjadi gugur.[23]
               Menurut Sayyid Qutub, poligami merupakan suatu perbuatan Rukhṡah. Karena merupakan rukshah, maka bisa dilakukan hanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini disyaratkan bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya. Keadilan yang dituntut disini termasuk dalam nafkah, muamalah, pergaulan serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap isterinya, boleh poligami dengan maksimal hanya empat isteri.
               Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat 3 pada surat An-Nisa poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Keadilan yang dipersyaratkan pada ayat diatas adalah keadilan dalam berbagai hal yaitu:
a.       Adil dalam hal memberikan nafkah hidup mereka selain makan, minum, serta pakaian dan sebagainya.
b.      Pakaian, rumah atau tempat tinggal sebab orang hidup tidak cukup hanya makan dan minum saja tanpa tempat tinggal dan pakaian untuk menutup aurat.
c.       Waktu dalam menggilir isteri-isteri, masing-masing beberapa lama, jika yang satu mendapatkan giliran satu malam maka suami juga harus menggilir isteri lainnya juga satu malam.
d.      Waktu bepergian bersama isteri juga harus mendapat keadilan, untuk itu diperlukan undian bagi suami yang mempunyai lebih dari satu isteri saat ia menghendaki bepergian.[24]

     Poligami terikat oleh syarat berlaku adil kepada seluruh isteri, dan barang siapa yang tidak bisa memastikan kesanggupannya untuk merealisasikan prinsip keadilan kepada seluruh isteri-isterinya, maka dia tidak boleh beristeri lebih dari satu; Seandainya dia tetap menikah lebih dari satu sementara dia tahu bahwa dia tidak dapat berlaku adil, maka nikahnya sah tapi dia berdosa.[25]
               Bagi orang yang memiliki isteri lebih dari satu,hendaklah memisahkan tempat kediaman masing-masing isteri itu. Masing-masing isteri menempati sebuah rumah, rumah itu pun harus sama, kecuali mereka sama-sam rela dan ikhlas ditempatkan dalam sebuah rumah saja. Apabila seorang suami tinggal didalam sebuah rumah yang terpisah dari isterinya, hendaklah pertemuan suami dengan isteri-isteri itu pun dilakukan dengan seadil-adilnya.[26]
               Mayoritas ulama fiqh menyadri bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman Al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang diantara isteri-isteri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yangberpoligami karena sebagai suami, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang diluar batas kontrol manusia.[27]Sedangkan kondisi-kondisi diperbolehkannya poligami menurut al-Maragi adalah:
a.       Bila soerang suami beristerikan seorang wanita mandul sedangkan ia sangat mengharapkan anak;
b.      Bila isteri telah tua dan mencapai umur ya’isah (tidak haid) lagi, dan mampu ia memberi nafkah kepada lebih dari seorang isteri;
c.       Demi terpeliharanya kehormatan diri (agar tidak berzina) karena kapabilitas seksualnya memang mendorongnya untuk berpoligami;
d.      Bila diketahui dari hasil sensus, kaum wanita lebih banyak dari kaum pria dengan perbandingan yang mencolok.[28]

Mengenai perkawinan poligami ini semua Imam Mazhab (imam Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki) sepakat bahwa seorang laki-laki boleh beristeri empat dalam waktu bersamaan dan tidak boleh lima.[29]
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan, meskipun menggunakan dasar yang berbeda, para ulama konvensional mengakui poligami boleh hukumnya, bukan dianjurkan (sunnah), apalagi perintah (wajib) seperti diasumsikan kebanyakan orang. Demikian juga dari penjelasan tersebut di atas tidak ada indikasi menyebutkan poligami sebagai asas perkawinan dalam Islam, apalagi menyebutkan poligami sebagai fitrah sebagaimana dikelaim sebagian orang. Kesimpulan lain yang dapat dicatat adalah bahwa ada seejumlah naṣ yang dicatat para ulama mazhab, yakni: QS.an-Nisa (4): 3, an-Nisa (4): 129, al-Ahzab (33): 50, al-Mu’minun (23): 5-6, ancaman bagi suami yang tidak adil kepada isteri-isterinya, dan kasus laki-laki yang masuk Islam dan disuruh nabi mempertahankan isterinya maksimal empat. Dengan kata lain, sejumlah naṣ inilah yang membahas poligami. Sebagai tambahan, semua ulama tersebut di atas mencatat QS. An-Nisa (4): 3 untuk mendukung kebolehan poligami maksimal empat.[30]

4.      Kriteria-Kriteria Poligami
Kriteria ataupun alasan yang mendukung seorang suami melakukan poligami seperti halnya seorang isteri tidak dapat memberikan keturunan, atau isteri tersebut berpenyakitan sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibanya sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut:
a.    Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b.     Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.     Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[31]
Suatu perkawinan harus ditopang dengan pemenuhan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak, dikarenakan isteri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga ia tidak dapat menjalakan kewajibannya sebagai seorang isteri. Faktor-faktor di atas yang menjadi sebab dibolehkannya poligami tetapi ia harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam syari’at Islam dan undang-undang perkawinan.
   Didalam surat An-Nisa tentang poligami, diturunkan setelah perangUhud, pada saat itu banyak sekali pejuang muslim yang gugur, sehingga mengakibatkan banyak anak yatim yang mesti mendapatkan pengawasan dari orang tua yang bertanggung jawab. Perkawinan adalah satu-satunya jalan untuk memecahakan persoalan tersebut. Dalam hal ini al-qur’an telah memberikan ketentuan yang amat jelas, sehingga anak-anak yatim memperoleh hak-haknya kembali dan ketidak adilan tidak berlaku lagi. Islam telah memberikan yang sempurna dalam memecahkan problem yang pelik itu.[32]
   Berdasarkan latar belakang historis tentang turunnya ayat itu, Islam tidaklah berarti menyuruh pemeluknya untuk berpoligami, bahkan Islam datang memperketat kebolehan poligami, bukan saja dengan jumlah maksimal emapat orang isteri, namun juga menjadikannyasebagai sarana untuk mengatasi pesrsoalan anak yatim. untuk memelihara mereka dari perbuatan yang tidak diinginkan; Allah SWT membolehkan untuk menikahi mereka. Tetapi jika merasa takut akan menelantarkan mereka dan tidak sanggup memelihara anak yatim tersebut, maka Allah membolehkan mencari perempuan lain untuk dinikahi. Kebolehan poligami setidaknya harus memenuhi dua persyaratan, yaitu berlaku adil antara isteri-isteri dan anak-anaknya sesuai dengan QS An-Nisa (4): 3, dan kesanggupan membayar nafkah atau belanja nikah rumah tangganya.          
            Tujuan poligami dalam Islam dapat dilihat dari poligaminya Rasulullah SAW, perbuatan Nabi untuk menikahi isteri-isterinya bukan bertujuan biologis melainkan untuk membantu berbagai kesulitan yang dialami perampuan yang kemudian menjadi isteri-isterinya. Sekiranya Rasulullah seorang yang tamak terhadap perempuan, maka beliau tentu tidak menikahi perempuan-perempuan yang kebanyakan sudah janda dan secara ekonomi tidak menguntungkan.[33]selama hidupnya Nabi tidak pernah menikah dengan seorang gadis kecuali Aisyah. Semua isteri Nabi selain Aisyah adalah janda yang sebagian membawa beberapa anak yatim, dan beliau baru berpoligami setelah isteri pertamanya Khadijah wafat dalam usia 60 tahun.[34] Hal ini menimbulkan akibat hukum dalam perkawinan sudah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai jalan yang benar dan sah untuk mendapatkan keturunan, tidak dapat diragukan lagi perkawinan yang didasarkan atas prinsip-prinsip cinta, kehormatan, dan kepedulian timbul baik jauh lebih luhur daripada hubungan-hubungan temporer dengan berbagai pasangannya.
            Perkawinan dapat dianggap sebagai keberadaan bersama dalam pasangan dimana pihak-pihak utama diberi peran yang berbeda namun saling melengkapi, yang terdiri dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagaimana juga seorang yang melakukan perkawinan poligami akan berakibat hukum terhadap ister-isteri, harta benda dan anak-anaknya.
            Setiap perkawinan memiliki bobot yang sama dalam hukum Islam dan karena itu suami tidak diperbolehkan secara terbuka sesuatu yang lebih besar pada seorang isterinya dan mengorbankan isteri-isternya yang lain. Suami harus dapat berlaku adil dalam memberikan tanggung jawab memberikan perlindungan dan dukungan terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya, karena Allah SWT telah memberikan kemampuan fisik dan mental yang berguna untuk melindungi peranannya sebagai pelindung dan penjaga keluarganya, kewajiban-kewajibannya adalah memberikan nafkah baik nafkah lahir seperti memberikan makanan, pakaian, tempat tinggal, biaya hidup sehari-hari dan lain-lainnya maupun nafkah batin. firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah (2): 233 yang artinya:
“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun   penuh, yaitu bagi  yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar            kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan             jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut..[35]

        Ayat di atas menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri-isteri yang berupa jaminan keadilan dalam memberikan nafkah sehari-hari, tempat kediaman dan kebutuhan lainnya. Mengenai alasan-alasan seorang suami diperbolehkan poligami sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 57 sebagai berikut:
a.      Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri;
b.      Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.[36]

5.      Alasan Isteri Melarang Suami Berpoligami
           Pada dasarnya seorang suami yang melakukan poligami didalam Islam diperbolehkan, namun banyak juga yang memberi syarat yang sangat ketat kepada seorang suami yang ingin berpoligami, karna didalam keseharian banyak yang menyalah artikan sebuah poligami, ada yang berpoligami dengan dasar ingin dikatakan hebat oleh masyarakat ada juga yang mengatas namakan mengikuti ajaran Rasul, padahal pada kenyataannya Rasul melakukan poligami karna ingin membantu wanita-wanita yang ditinggal meninggal oleh suaminya di dalam medan perang.
              Hikmah diizinkannya berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan isteri mandul.
b.      Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan isteri, sekalipun isteri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang isteri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tak dapat disembuhkan.
c.       Untuk menyelamatkan suami dari hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.[37]
d.      Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara atau masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang  cukup lama.
            Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristeri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya (yang merupakan khuṣuṣiyat bagi Nabi) adalah sebagai berikut:
a.         Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Isteri Nabi sebanyak 9 orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah keawanitaan atau kerumah tanggaan.
b.         Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh dari Bani Quraizhah dan Bani Naẓir).
c.         Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suaminya gugur di perang badar).[38]
        Poligami dalam Islam sangat berbeda dengan praktik poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pada dua hal. Pertama, pada bilangan isteri dari yang tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah terbiasa dengan banyak isteri, lalu mereka disuruh memilih empat orang saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, ada syarat poligami, yaitu harus berlaku adil. Sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat keadilan. Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan, karena para suami yang berpoligami tidak terikat dengan keharusan berlaku adil, sehingga mereka berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsu.[39]
        Apabila seorang isteri atau isteri-isteri yang menolak atau tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a Pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isteri-isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau sebab-sebab  lainnya yang perlu mendapat penilaian pengadilan dan hakim pengadilan.[40]

            Apabila isteri tidak mau memberikan persetujuan pada suaminya untuk beristeri lebih dari seorang, berdasarkan salah satu alasan tersebut di atas, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini, isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[41] Apabila keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal  43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
            Ketentuan hukum yang mengatur tentang poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak yang akan melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan,.Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal-Pasal di atas dikenakan sanksi pidana.persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975:
a.       Kecauli apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
1)      Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman dendan setingi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
2)      Pegawai penctat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6,7,8,9,10, ayat (1),11,12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3(tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

b.      Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.
               Ketentuan hukum poligami yang boleh dilkukan atas kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan yang dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar cinta kasih dan kasih sayang yang di riḑa’i oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi.
           Status hukum poligami adalah Mubah. Mubah dimaksud, sebagai alternatif beristeri hanya sebatas 4 (empat) orang isteri. Hal itu ditegaskan oleh pasal 55 KHI sebagai berikut:
a.       Beristeri lebih dari seorang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
b.      Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
c.       Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
   Dasar pertimbangan KHI adalah hadis Nabi Muhammad SAW. Yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Tirmizi, dan Ibn Hibban yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang isteri. Mereka bersama-sama masuk Islam. Maka nabi Muhammad SAW memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja diantaranya dan menceraikan yang lainnya.[42]
Pada dasarnya tidak ada di dunia ini suatu perbuatan yang semata-mata mendatangkan maslahat sebagaimana juga tidak ada perbuatan yang semata-mata mendatangkan mudharat.
Terkait dengan praktik poligami di tengah-tengah masyarakat, secara jujur jika kita amati, tidak sedikit yang berhasil dalam arti tujuan perkawinan yang sakinah mawaddah wa rahmah dapat berhasil dicapai. Namun demikian, dengan mudah juga kita jumpai pernikahan poligami yang justru memporak-porandakan ketenangan rumah tangga sebelumnya akibat satu hal dan lain hal., misalnya karena faktor ekonomi, psikologis, sifat yang tidak adil dan sebagainya.



B.       Dampak Perkawinan Poligami
Dampak negatif yang ditimbulkan dari berpoligami terutama bagi isteri (pertama)  dan anak-anaknya dapat disebutkan sebagai berikut diantaranya:

1.         Dampak Psikologis

Perasaan inferior isteri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan juga ketidakmampuan membahagiakan suaminya.

2.         Dampak Ekonomi Rumah Tangga

Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami yang dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, tetapi dalam praktinya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementigkan isteri muda dan menelantarkan isteri dan anak-anaknya yang terdahulu. Akibatnya isteri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

3.         Kekerasan Terhadap Perempuan

Kekerasan terhadap perempuan baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umumnya terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.


4.    Dampak Hukum

Seringnya terjadi nikah dibawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pda kantor catatan sipil atau kantor urusan agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh Negara. Walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuwensinya suatu perkawinan yang tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
5.    Dampak Kesehatan

Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau isteri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.[43]

Menurut Al-Athar dalam bukunya Ta’addud Az-Zaujat sebagaimana dikutip oleh Khairuddin Nasution dalam bukunya Riba dan Poligami: sebuah studi atas pemikiran Muhammad Abduh, menjelaskan empat dampak negatif dari poligami yakni:
a.         Menimbulkan kecemburuan antar isteri.
b.         Menimbulkan kekhawatiran dan kegelisahan dikalangan isteri jika suami tak dapat berlaku adil.
c.         Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan yang tidak sehat.
d.         Kekacauan dalam bidang ekonomi.[44]

C.      Keharmonisan Rumah Tangga
Keharmonisan berasal dari kata harmonis yang mendapat awalan ke dan akhiran an, yang berarti perihal (keadaan) harmonis; keselarasan dan keserasian. rumah tangga yaitu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah (seperti hal belanja rumah); berkenaan dengan keluarga. Sedangkan keluarga adalah ibu dan bapak serta anak-anaknya.[45] Ada yang mengatakan rumah tangga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat.[46] Jadi, keharmonisan rumah tangga yang didalamnya terdapat sebuah keluarga yang terdiri dari ibu, bapak beserta anak-anaknya.
1.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Rumah Tangga
Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang harmonis, dalam pelaksanaannya tidak semudah mengatakannya. Banyak ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah mengenai rumah tangga yang sebenarnya ditujukan untuk mewujudkan keharmonisan hidup suami istri berikut anggota keluarganya. Berkaitan dengan terwujudnya keharmonisan rumah tangga, Islam memberikan ketentuan peraturan hidup bermasyarakat dengan mensyariatkan pernikahan yang mengatur hubungan individu dengan individu lain yang berlainan jenis kelamin. Ketentuan-ketentuan tersebut mengatur pergaulan manusia, baik sebelum memasuki masa pernikahannya, saat berlangsungnya pernikahan, maupun setelah terwujudnya pernikahan.
a.       Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Memasuki Jenjang Perkawinan
1)      Penentuan calon atas dasar agama
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, sering dijumpai bahwa pengambilan keputusan untuk menikah dimotivasi oleh faktor lain diluar agama, misalnya menikahi seseorang karena faktor kekayaan, keturunan dan kecantikan/ketampanan. Ketiga faktor tersebut tidak dapat diingkari sebagai sesuatu yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tetapi mengabaikan sama sekali faktor terpenting merupakan sebuah kekeliruan. Karena agamalah yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan calon pasangan hidup.
2)      Pemilihan calon atas dasar keturunan
Diantara kaidah yang diletakkan Islam untuk mendukung keharmonisan rumah tangga yang akan dibangun adalah memilih pasangan hidup dari keluarga yang telah dikenal kesalehannya, akhlaknya, dan kemuliaan keturunannya.
3)      Bukan keluarga atau kerabat dekat
Diantara pengarahan Islam dalam memilih istri atau suami adalah mengutamakan orang “asing” dari pada calon yang memiliki hubungan nasab atau famili yang masih terlalu dekat. Hal ini penting demi menjaga kecerdasan anak, menjamin keselamatan jasmaninya dari penyakit menurun, cacat karena faktor keturunan, memperluas tali silaturahim dan mempererat jalinan sosial.
4)      Mengutamakan wanita yang subur
Islam menganjurkan seseorang yang akan menikah untuk memilih calon istri yang subur. Sehingga memungkinkan untuk cepat memperoleh keturunan. Karena diantara tujuan pernikahan yaitu memperoleh keturunan yang sah. Wanita yang subur antara lain dapat dikenali dari dua hal, yaitu: pertama, kebersihan jasmani dari berbagai penyakit yang dapat menghalanginya untuk memperoleh keturunan. Hal ini dapat diketahui melalui konsultasi dengan dokter ahli. Kedua, dengan memperhatikan secara cermat ibu dan saudara-saudara perempuannya yang telah menikah. Jika mereka tergolong wanita yang subur biasanya dia juga demikian.
5)      Melihat calon pasangan

b.      Kewajiban dan Hak Suami Istri

c.       Bersikap Realistis dalam Menyikapi Keadaan
1)      Realistis dalam soal mahar dan pernikahan
Tidak baik jika pihak calon istri mengajukan tuntutan mahar yang berlebihan dan penyelenggaraan resepsi perkawinan serta pemberian hadiah diluar kesanggupan calon suami. Semua itu harus melihat kemampuan pihak calon suami dapat memenuhi atau tidak.

2)      Realistis dalam pemberian nafkah
Sikap paling baik yang harus dimiliki seorang wanita adalah memperhatikan kadar kemampuan dan kekuatannya dalam memberikan nafkah. Tidak selayaknya seorang istri menuntut nafkah berlebihan manakala suaminya dalam keadaan sulit. Dan juga tidak patut bersikap rakus ketika nafkah dari suami dalam keadaan lapang. Setiap keadaan harus disesuaikan dengan kelayakan.
3)      Realistis dalam menghadapi sifat masing-masing pasangan
Setiap pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri pasangan.
4)      Bersikap realistis dalam menuntut hak dan melaksanakan kewajiban
Masing-masing pasangan harus berbuat menurut kadar kemampuan dirinya dan memahami kemampuan pasangan. Apabila salah satu pihak banyak menuntut untuk melaksanakan kewajiban maka pertengkaran sulit untuk dihindari. Yang satu bersikeras dengan tuntutannya, sedangkan yang lain terpojok karena ketidakmampuannya.

2.      Indikator Keharmonisan Rumah Tangga
Menurut Dadang Hawari mengemukakan bahwa ada enam aspek sebagai suatu pegangan hubungan perkawinan itu bahagia, yaitu:
a.       Menciptakan kehidupan beragama dalam rumah tangga;
Keluarga yang harmonis ditandai dengan terciptanya kehidupan beragama dalam rumah tersebut. Hal ini penting karena dalam agama terdapat nilai-nilai moral dan etika.
b.      Mempunyai waktu untuk bersama keluarga;
Keluarga yang harmonis selalu menyediakan waktu untuk bersama keluarganya.
c.       Mempunyai komunikasi yang baik antar anggota keluarga;
Komunikasi merupakan dasar bagi terciptanya keharmonisan dalam rumah tangga. Komunikasi akan menjadikan seseorang mampu mengemukakan pendapat dan pandangannya, sehingga mudah untuk memahami orang lain dan sebaliknya tanpa adanya komunikasi kemungkinan besar dapat menyebabkan terjadinya kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.
d.      Saling menghargai antar sesama anggota keluarga;
e.       Kualitas dan kuantitas konflik yang minim;
f.        Adanya hubungan atau ikatan yang erat antar anggota keluarga; hubungan yang erat antara anggota keluarga dapat diwujudkan dengan adanya kebersamaan, komunikasi yang baik antar anggota keluarga dan saling mengahargai.[47]
Aisjah Dachlan mengemukakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan keluarga terdapat 10 aspek, yaitu:
a.       Hubungan antar-inter keluarga; maksudnya adalah hubungan baik dan harmonis antara satu keluarga dengan para anggota keluarga lainnya atau dengan anggota masyarakat;
b.      Membimbing anak atau mendidik anak;
c.       Pakaian;
d.      Makanan;
e.       Kesehatan;
f.        Perumahan;
g.      Keuangan;
h.      Tata laksana rumah tangga;
i.        Keamanan lahir batin;
j.        Perencanaan sehat (matang), artinya mengatur dan membuat rencana hidup keluarga dengan mempertimbangkan kemauan, kesanggupan dan kemampuan masing-masing anggota keluarga.[48]

Keluarga dikatakan harmonis atau keluarga bahagia menurut Sarlito Wirawan yang apabila dalam kehidupannya telah memperlihatkan faktor-faktor berikut: 
a.       Faktor kesejahteraan jiwa. Yaitu redahnya frekwensi pertengkaran dan percekcokan di rumah, saling mengasihi, saling membutuhkan, saling tolong-menolong antar sesama keluarga, kepuasan dalam pekerjaan dan pelajaran masing-masing dan sebagainya yang merupakan indikator-indikator dari adanya jiwa yang bahagia, sejahtera dan sehat.
  1. Faktor kesejahteraan fisik. Seringnya anggota keluarga yang sakit, banyak pengeluaran untuk kedokter, untuk obat-obatan, dan rumah sakit tentu akan mengurangi dan menghambat tercapainya kesejahteraan keluarga.
c.    Faktor perimbangan antara pengeluaran dan pendapatan keluarga. Kemampuan keluarga dalam merencanakan hidupnya dapat menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran dalam keluarga. Misalnya; Banyak keluarga yang kaya namun mengeluh kekurangan. [49]

Ciri-ciri keluarga harmonis menurut Islam adalah:
  1. Pembentukan keluarga yang di dasari harapan keridhaan Allah tanpa yang lain. Kedua belah pihak saling melengkapi dan menyempurnakan, memenuhi panggilan fitrah dan sunnah, menjalin persahabatan dan kasih sayang, serta meraih ketentraman dan ketenangan jasmani. Dalam menentukan standar jodoh keduanya hanya bertolak pada keimanan dan ketaqwan.
  2. Tujuan pembentukan keluarga. Keharmonisan rumah tangga akan terwujud apabila kedua pasangan saling konsisten terhadap perjanjian yang mereka tetapkan bersama. Tujuan utama mereka adalah menuju jalan yang telah digariskan Allah dan mengharap ridha-Nya. Dalam segala tindakan mereka yang tertuju hanyalah Allah semata.
  3. Lingkungan. Dalam keluarga yang harmonis upaya yang selalu dipelihara adalah suasana yang penuh kasih sayang dan masing-masing anggotanya menjalankan peran secara sempurna. Lingkungan keluarga merupakan tempat untuk berteduh dan berlindung, tempat dimana perkembangan dan susah-senang dilalui bersama.
  4. Hubungan antara kedua pasangan. Dalam hubungan rumah tangga yang harmonis dan seimbang suami istri berupaya saling melengkapi dan menyempurmakan. Mereka menyatu dan ikut merasakan apa yang dirasakan anggota keluarga yang lain. Mereka saling mengobati, saling membahagiakan dan menyatukan langkah dan tujuan, keduanya menyiapkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  5. Hubungan dengan anak. Keluarga harmonis menganggap anak sebagai bagian darinya mereka membangun hubungan atas dasar penghormatan, penjagaan hak, pendidikan, bimbingan yang layak, pemurnian kasih sayang serta pengawasan akhlak dan perilaku anak.
  6. Duduk bersama. Keluarga harmonis selalu siap duduk bersama dan berbincang dengan para anggota keluarganya, mereka berupaya saling memahami dan menciptakan hubungan mesra. Islam mengajarkan agar yang tua menyayangi dan membimbing yang muda, dan yang muda menghormati dan mematuhi nasehat yang tua.
  7. Kerjasama saling membantu. Dalam kehidupan rumah tangga yang harmonis setiap anggota rumah tangga memiliki tugas tertentu.mereka bersatu untuk memikul beban bersama. Dalam bangunan ini tampak jelas persahabatan, saling tolong-menolong, kejujuran, saling mendukung dalam kebaikan, saling menjaga sisi jasmani dan rohani masing-masing.
  8. Upaya untuk kepentinagan bersama. Dalam kehidupan keluarga yang harmonis mereka berusaha saling membahagiakan. Mereka saling berupaya untuk memenuhi keinginan dan memperhatikan selera pasangannya. Saling menjaga dan memperhatikan cara berhias dan berpakaian. Untuk kepentingan bersama mereka selalu bermusyawarah dan berkomunikasi untuk meminta pendapat, pada waktu anak telah mampu memahami masalah tersebut ia di ikutkan dalam musyawarah tadi.[50]
3.      Faktor yang Mempengaruhi Ketidak Harmonisan Rumah Tangga
a.       Faktor ekonomi
b.      Faktor kekerasan dan penganiayaan
c.       Faktor tidak ada kejujuran dan cemburu
d.      Faktor perselingkuhan
e.       Faktor judi dan minuman keras
f.        Faktor istri tidak patuh pada suami dan tidak akur dengan mertua
g.      Faktor suami atau istri pergi tanpa pamit
h.      Poligami tidak sehat.[51]

Keadaan krisis rumah tangga tersebut adakalanya disebabkan oleh satu faktor, dua faktor bahkan tiga faktor sekaligus yang mengakibatkan tidak ada keharmonisan dalam pergaulan hidup suami istri dan tidak menutup kemungkinan faktor-faktor tersebut muncul didorong oleh pengaruh lain seperti pengaruh lingkungan, social dan budaya serta rendahnya pemahaman agama dan pendidikan yang mengakibatkan semakin memburuknya keadaan rumah tangga.
Mengawali kehidupan rumah tangga tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan ketulusan hati serta kesabaran agar permasalahan yang sedang dihadapi dapat segera diselesaikan. Namun, ketika benih-benih ketidakharmonisan mulai muncul diharapkan setiap pasangan segera peka dan melakukan tindakan pencegahan demi menjaga keutuhan rumah tangga. Berikut ini adalah ciri-ciri rumah tangga tidak bahagia yang harus segera ditangani:
a.       Sering terjadi perdebatan
Di awal kehidupan berumah tangga perdebatan yang dilakukan oleh sepasang suami-istri bisa dikatakan wajar karena satu sama lain masih berusaha memahami karakter masing-masing. Namun, bila setelah sekian lama hidup bersama tapi masih belum bisa menemukan titik temu, bagaimana mengatasi percekcokan yang sering terjadi, maka Anda perlu berhati-hati bisa jadi selama ini hubungan Anda dengan pasangan memang tidak bahagia.
b.      Komunikasi berkurang
Komunikasi yang baik bertujuan untuk menyamakan persepsi serta cara paling ampuh untuk menghindari kesalahpahaman. Oleh karena itu, Anda perlu mengavaluasi kembali bagaimana komunikasi Anda dengan pasangan selama ini berlangsung, jika komunikasi tiba-tiba berkurang jangan biarkan itu berlarut-larut, sehingga membahayan pernikahan Anda.
c.       Saling berbohong
Kejujuran adalah hal terpenting dalam kehidupan berumah tangga, tapi jika masing-masing pasangan sudah tidak lagi bisa saling memercayai dan cenderung lebih suka berbohong, maka Anda harus segera mengatasinya jika masih ingin mempertahankan pernikahan dengannya.
d.      Tidak memiliki waktu baik untuk keluarga maupun pasangan
Anda dan pasangan sudah tidak lagi merasa nyaman berada di rumah. Karena itu, Anda lebih suka menghabiskan waktu di tempat kerja atau keluar bersama teman-teman, akibatnya Anda sering tidak memiliki waktu baik untuk anak-anak maupun untuk pasangan Anda.
e.       Hilangnya keakraban
Di dalam keluarga tidak hanya terdiri dari suami dan istri, tapi juga melibatkan anak-anak, orangtua dan mungkin sanak saudara yang lain. Ketika tidak ada lagi keakraban di antara anggota keluarga, maka hal ini bisa menjadi indikasi bahwa rumah tangga tersebut sedang bermasalah.
f.        Mengonsumsi zat-zat berbahaya
Rumah tangga tidak bahagia penuh dengan tekanan. Tidak jarang mereka yang terlibat di dalamnya berusaha melarikan diri dari permasalah yang sedang dihadapi dengan cara mengonsumsi zat-zat berbahaya, seperti alkohol atau narkoba, agar dapat melupakan sejenak permasalahan hidup yang sedang dihadapi.
g.      Terjadi perselingkuhan
Masing-masing pasangan sudah tidak lagi memiliki respek terhadap satu sama lain. Tidak jarang untuk mendapatkan kembali kasih sayang ataupun dukungan, suami atau istri melakukan perselingkuhan dengan orang lain.
h.      Gesture atau bahasa tubuh
Bahasa tubuh seseorang tidak dapat menyembunyikan suasana hatinya. Karena itu, ketika dalam rumah tangga tidak ada lagi kebahagiaan, maka tanpa disadari apa yang sedang dialami akan terbawa ke dalam pergaulan sehari-hari.
i.        Tidak lagi mempedulikan keluarga
Tidak ada lagi kepedulian di antara suami istri, bahkan kepedulian terhadap anak-anak, dan setiap orang berusaha mencari sendiri kesenangan hidup sesuai dengan apa yang disukainya.
j.        Muncul depresi
Rumah tangga yang tidak bahagia jika dibiarkan terus berlarut-larut mampu membuat seluruh anggota keluarga hidup di dalam tekanan. Oleh karena itu, tidak jarang salah satu ataupun beberapa anggota keluarga akhirnya mengalami depresi, dalam skala yang lebih berat dapat membuat seseorang mengalami hilang ingatan.
k.      Tidak lagi memiliki tujuan hidup
Di dalam rumah tangga yang tidak bahagia fungsi-fungsi penting keluarga tidak lagi bisa bekerja dengan semestinya. Karena itu, setiap orang akhirnya tidak lagi memiliki tujuan hidup dan melakukan segala sesuatu sekehendak hatinya.
l.        Terjadi kemerosotan akhlak dan prestasi
Imbas rumah tangga tidak bahagia sangat luas, salah satunya adalah berkaitan dengan kemerosotan akhlak dan prestasi baik di dalam masyarakat, di tempat kerja ataupun di sekolah.[52]
Berdasarkan uraian mengenai aspek-aspek terciptanya keharmonisan rumah tangga, dapat terwujud dengan memperhatikan hal yang berkaitan dengan proses sebelum dilaksanakan perkawinan, saat perkawinan berlangsung dan setelah terwujudnya perkawinan. Tidak semua aspek dapat dipenuhi dalam sebuah rumah tangga, tetapi minimal setengah dari aspek-aspek tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga. 

D.      Tanggungjawab dalam Rumah Tangga 
Perkawinan pada hakikatnya adalah sebuah ikhtiar manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup berumah tangga. Tujuan perkawinan sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Rahman Ghozali bahwa tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar anggota keluarga.[53]Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keharmonisan artinya perihal (keadaan) harmonis, keselarasan dan keserasian dalam rumah tangga yang perlu dijaga.[54]
Definisi keluarga adalah sekelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak atau suami, istri dan anak-anaknya. Disebutkan bahwasanya keluarga ialah orang seisi rumah atau masyarakat terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak dan anggota keluarga lainnya yang memiliki hubungan nasab.[55]
Salah satu perhatian (atensi) Islam terhadap kehidupan keluarga adalah diciptakannya aturan dan syariat yang luwes, adil, dan bijaksana. Andai kata aturan ini dijalankan dengan jujur dan setia, maka tidak akan ditemukan adanya pertikaian. Kehidupan akan berjalan damai dan sentosa. Kedamaian ini tidak saja dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan, tetapi juga dapat dinikmati oleh anggota masyarakat sekitarnya.[56] Keharmonisan keluarga berarti situasi dan kondisi dalam keluarga dimana didalamnya tercipta kehidupan beragama yang kuat, suasana yang hangat, saling menghargai, saling menjaga, saling pengertian dan memberikan rasa aman dan tentram bagi setiap anggota keluarganya; dengan menjalankan kewajiban masing-masing, baik kewajiban terhadap isteri, kewajiban terhadap suami, dan kewjiban terhadap anak.










                [1]  Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi di Islam, ( Jakarta:PT. Baru Van Hoeve,t.t, 2006),  h. 789
                [2]Ahmad Warson Al-Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, ( Jakarta: Pustaka Progresif, 1985), h. 970
                [3]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:  PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1089
                [4]  Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami,  h. 71-72
            [5] Abdul Aziz Dahlan, OP Cit, h. 1185
[6] Dimaksud dengan berlaku adil disini adalah: perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[7] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu; sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
                [8]  Departemen Agama RI , Dirjen Bimas Islam dan Pembinaan Syari’ah,  Al-Qur’an dan Terjemah, (PT. Tehazed, Jakarta,, 2010), h. 99
                [9]Ibid, h. 130
                [10] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), h. 298
                [11] K. Kwantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indah, 1980), h. 82
[12] Ima Jalaludin Abdurrahman Abi Bakar As Suyuti, Al Misbah Wa An-Nazair, (Beirut: Dar Al Fakir, 1995 M./1415H.),  h. 63
[13] Ibid, h. 63
                [14]  Al-maragi, Tafsir Al-Maragi, Jilid Pertama (Mesir: Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1382/1963), h. 181
                [15]Ibid, h. 182
                [16] Muhammad Jawad Mughiniyah, Fiqih Lima Madzhab,(Jakarta: Penerjemah Masykur AB, Lentera 1996,) h. 333
                [17] Sayid Sabiq,Fiqih  As- Sunnah, Penerjemah Syaiful Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1999), h. 139
                [18]Ibid, h. 139
                [19] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, , (Jakarta: CV. Haji  Masagung, 1989), h. 12. 
                [20] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hambali, (Jakarta:  PT. Hidakarya Agung, 1996), h. 89.
                [21]Ibid, h. 90
                [22] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terjemaha Farid Wajidi dan Assegaf, Cici Farkha, (Yogyakarta:  LSPPA dan CUSO, 1994), h. 89.
                [23] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Terjemah Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, (Yogyakarta: Elsaq, 2004), h. 428
                [24]  Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwainy, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1995), h. 618
                [25]  Muhammad Asy Syaarif, Poligami  itu Wajib?,(Yogyakarta: Mumtaz, 2012), h. 35.
                [26] Sulaiman Rasyid, Fiqh  Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,2012), h. 392
                [27]Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al- ‘Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyyah, 1969), h. 239.
                [28]Ibid, h. 182
                [29] Muhammad Jawad Mughiniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Penerjemah Masykur AB, Lentera 1996,) h. 333
                [30]  Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, Cetakan Pertama (Yogyakarta: ACADEMIA+TAZZAFA, 2009), h. 265
                [31] Sudarsono, Hukum  Perkawinan  Nasional (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2005), h. 298
                [32] Labib Ustadz, MZ ,Rahasia Poligami Rasulullah SAW,  (Jakarta: Darul Falah, 2005) h.51
                [33] M. Alfatih Suryadilaga, Sejarah Poligami dalam Islam cet.1,(Bandung: Citra Umbara2002), h.11
                [34] Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h.110
                [35]Departemen Agama RI, loc cit. h. 47
                [36] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 57Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum ,Cetakan Pertama (Bandung: Citra Umbara, 2012), h. 11
                [37] . Abdul Rahman Ghozali, Fikih Munakahat, Op. Cit, h.  136
                [38] . Ibid,  h. 136-137
                [39] . Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami,  (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 44-48
                [40] . Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indnesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 48-49
                [41]Tihami, Sobari Sahrani , Fikih Munakahat:Kajian Fikih Nikah Lengkap,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 370
                [42] . Zainuddin Ali, Hukum Prdata Islam di Indonesia, Op. Cit, h. 49-50
                [43]http:/ /yotnoali.blogspot.com/ 2011/07/ Menimbang -Manfaat-Mudharat-Poligami.html.? m=1,9/6/2014, 10:38 WIB
                [44] . Ibid
[45] Depdikbud; Loc.Cit
[46] NJ. Aisjah Dachlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, (Jamunu, Jakarta, 1969), h. 17
[47] http://teori-psikologi-blogspot/2008/05/keharmonisan -rumah-tangga.html, diakses pada sabtu, 30 Juli 2011 ; Lihat, Dadang Hawari, Majalah Warta Bumi Putra, Edisi 24, Juli 1994, hlm. 26
[48] NJ. Aisjah Dachlan, Loc.Cit.
[49] Sarlito Wirawan Sarwono, Menuju Keluarga Bahagia 2, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1982), h. 79)
[50] http:://2. Blogspot.com, Novita BossFamily On: Senin, Keluarga Harmonis, Akses  05 Mei 2016
[51] Laporan tahunan PA Tanjungkarang, tahun 2010; Lihat, Firdaweri dkk., Perceraian Akibat Tidak Ada Keharmonisan Rumah Tangga (Analisis Tentang Faktor-Faktor Penyebab Perceraian di Pengadilan Agama Kelas 1 A Tanjungkarang), Pusat Penelitian IAIN Raden Intan Lampung, Lampung, 2010, h. 119
[52] http:// keluarga.com/ authors /Intan Lolitasari, dikutip dari majalah Wanita berbahasa Inggris,  Akses 10 juni 2016
[53]  Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan Ketiga, Kencana, Jakarta, 2008, h. 22
[54] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, h. 484
[55] Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawadah Warahmah, Terbit Terang, Surabaya, 1998, h. 7
[56] Haikal Abduttawab , Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, h. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar