Jumat, 31 Mei 2019

Menyingkap asal usul puasa


MENYINGKAP ASAL MULA RAMADHAN

Oleh:
Dr. H. Khoirul Abror, MH

(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan dan
Anggota MUI Provinsi Lampung)


Kini kita berada dalam suasana di gerbang pertapaan dan pelatihan disipin rohani di bulan Ramadhan; Hampir tidak ada perbedaan yang menyolok dari Ramadhon tahun sebelumnya, meskipun ramadhan tahun ini, kita memasuki dalam suasana yang penuh dengan keperihatinan; Perihatin karena begitu banyak tumpukan dosa yang kita lakukan, baik sebagai pribadi maupun  sebagai makhluk sosial.

Masih banyak rentetan dosa yang perlu dipertanyakan dalam diri pribadi yang muncul dalam pikiran kita, namun jawabannya akan kita temukan setelah kita merenung ulang sikap dan perbuatan kita sebelumnya  (Q.S. Ar-Rum (30): 41) dan  Ayat yang termaktub dalam Q.S Al-Baqarah (2): 183, jelas dan tegas ditujukan kepada orang-orang yang “beriman” bukan hanya sekedar orang Islam.

Antara Islam dan Iman merupakan satu kesatuan yang saling mengisi, Iman tidak ada artinya tanpa amal saleh, dan amal saleh akan sia-sia jika tidak dilandasi iman.
Berkaitan dengan Puasa, yang secara terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa termasuk  menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, menurut cara yang telah ditentukan syara’ dengan disertai niat, sebagaimana dimaksud dan digambarkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 187
Mengambil makna puasa dalam arti menahan diri dari sgala yang membatalkan dan merusak nilai puasa; Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkatan; yaitu: (a) Puasa umum, (b) Puasa Khusus dan (c) Puasa Khushus al-Khawash.   Puasa dengan ragam bentuk dan tujuannya dapat dihimpun oleh suatu esensi, yaitu “pengendalian diri”; Nabi menjelaskan, bahwa “rasa lapar dan dahaga bukan merupakan tujuan puasa”
Asal usul puasa ramadhan, berawl dari Rasulullah tiba di Madinah (Tahun ke 2 hijrah), ia bersama sahabatnya melaksanakan puasa tiga hari dalam setiap bulannya selama 17 bulan, yang dimulai bulan rabi’ul awal, hingga rabi’ulawal dan sampai ramadahan;
Menurut riwayat Abu Daud dari Abdurrahman dari Mu’az: “Puasa telah melalui tiga keadaan”
Pertama; pada mulanya setelah Nabi tiba di Madinah, sedang penduduk Madinah belum pernah berpuasa, Nabi dan para Sahabat berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, (13-14-15) dan berpuasa pada hari A’syura, hingga turunlah ayat tentang shiyảm: “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah (2): 183); …Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika ia tidak berpuasa) hendaklah ia memberi makan seorang miskin (fidyah), (Q.S. Al-Baqarah (2): 184)

Pada masa ini, masih diharamkan orang yang berpuasa untuk makan, minum dan bersetubuh setelah tidur pada malam hari, atau sesudah shalat isya’. Dia tidak dibolehkan lagi makan apa-apa, Kemudian ketetapan ini dimansukhkan, (yakni dibolehkan makan minum dan sebagainya hingga terbit fajar).

Kedua; Setelah turun permulaan ayat shiyam itu, para sahabat ada yang merasa keberatan; karenanya, ada yang puasa dan ada diantara mereka yang memberi makanan kepada orang miskin (fidyah) bagi yang tidak mengerjakan puasa, yaitu orang-orang yang berat mengerjakan puasa, lalu turunlah ayat: “berpuasa lebih baik bagi kamu”;
Ketiga; setelah turunnya ayat “berpuasa lebih baik bagi kamu”, maka semuanya disuruh berpuasa saja “yang memansukhkan hukum yang telah lalu” .
Sebelum masuk pada keadaan ketiga, turunlah ayat “dihalakan bagimu pada malam bulan ramadhan bercampur dengan isteri-isterimu”. Pertanyaan yang menggelitik hati, mengapa ayat itu diturunkan?; perlu ditegaskan bahwa sebelum turun ayat ini, para Muslimin hanya dibolehkan makan dan minum dan bersetubuh dimalam hari sesudah mereka berbuka hingga mereka tidur, kalau sudah tidur walaupun masih diawal malam, tidak boleh makan dan minum sesuatu apapun lagi;
Historis: Ketika Qais ibn Sirmah berpuasa, saat tiba waktu berbuka dia kembali kerumahnya dari bekerja, dan meminta makanan kepada isterinya. Ironisnya, oleh karena hari itu persediaan tidak ada, maka isterinya minta izin untuk mencarinya. Oleh karena pada hari itu Qais habis bekerja berat, tertidurlah Ia. Dan ketika isterinya pulang, suaminya didapatkan berbaring/tertidur (karena lelahnya), berujarlah isterinya: “Kasihan engkau wahai suamiku”? lalu, pada pertengahan hari berikutnya (esok harinya), Qais jatuh pingsan. Oleh isterinya diterangkanlah kepada Nabi, lalu turunlah ayat: ”dibolehkan bagi kamu mencampuri isterimu dimalam hari bulan ramadhan, mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu

Dengan turunnya ayat itu sangat bergembiralah para sahabat, seiring dengan itu pula turunlah ayat: “Makanlah dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Q.S. Al-Baqarah (2): 187). Dan Rasulullah hanya berpuasa 9 x ramadhan, karena perintah berpuasa turun pada bulan Sya’ban tahun ke 2 H, sedangkan Rasulullah wafat pad bulan Rabi’ul awal tahun ke-11. H; Sejak itulah sampai saat ini kita dibolehkan makan dan minum dimalam hari pada bulan ramadhan.

Akhirnya dalam rangka perujudan mengisi amaliah ramadhan ditengah hiruk pikuknya Indonesia yang ingin perubahan ini, tidak salahnya momen ramadhan kali ini kita jadikan pintu menuju perubahan dalam arti sesungguhnya, dan dikala ramadhan tengah memayungi jiwa dan hati kita, ketika itu pula kita berupaya mengubur keserakahan, mengubur nafsu jahat yang selam ini bersemayam sampai lubuk hati yang paling dalam, jika diwaktu Ramahdan kita mampu membunuh nafsu lawwamah, mengapa diluar bulan Ramadhan kita tidak berdaya, dan selalu diperdaya oleh budak nafsu. 

Karenanya mari kita isi amaliah ramadhan ini dengan melatih disiplin diri, melatih pengendalian diri, disamping menjaga ucapan dan pembicaraan; Karena berbicara yang benar dan baik merupakan salah satu dari bukti kebenaran iman seseorang. Dan keharusan berbicara  yang benar menurut Al-Qur’an diistilakan oleh Allah dalam sebutan:

Qaulan Syadîdả, berbicara yang benar, jujur tidak berbohong dan tidak berbelit-belit (QS. An-Nisa’ (4): 9); Qaulan Balîghả, berbicara yang dapat membekas dihati orang lain (Q.S.An-Nisa’ (4): 63); Qaulan Maisứrả, merupakan ucapan yang pantas sesuai dengan persoalan yang dibicarakan (Q.S. Al-Isra’ (17): 28); Qaulan Karîmả, merupakan perkataan yang mulia, terutama terhadap yang lebih tua (Q.S. Al-Isra’ (17): 23); Qaulan laiyinả, perkataan yang lemah lembut, tidak terbawa egois dan tidak terbawa nafsu (Q.S. Aṭ-Ṭảhả (20): 44); Qaulan Ma’rứfả, merupakan kata yang baik, tepat, tajam dan mudah dipahami orang yang diajak bicara (Q.S. An-Nisa’ (4): 5).
Wallảhua’lam