Sabtu, 23 November 2013

MENGENAL SOSOK IMAM AN-NAWAWI (1)

MENGENAL SOSOK IMAM AN-NAWAWI

Oleh: Khoirul Abror [1]


A.    Sejarah Hidup Imam An-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.

An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” .[2]

Pengalaman Intelektualnya Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara didalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
 
Kedua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ketiga, terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, keempat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, kelima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ketiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencerrnatinya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.

Diantara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya. Wara’ Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya disana.
Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus. Disana beliau sempat berziarah ke-kuburan para Syeikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq Wafatnya Pada taggal 24 Rajab tahun 676 H (berusia 45 tahun). [3]

Diantara ulama yang ikut mensalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.[4]

B.     Belajar, Guru dan Muridnya

Dalam hari-harinya, Imam Nawawi membuat jadwal untuk memperdalam berbagai cabang ilmu di hadapan guru-gurunya. Ia membaginya menjadi dua belas jam pelajaran untuk dua belas cabang ilmu sebagai berikut:
1.      Dua jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Wasith.
2.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Muhadzdzab.
3.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Jam’u bain ash-Shahihain.
4.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Shahih Muslim.
5.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Luma’ karya Ibnu Dhubai.
6.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Ishlah al-Manthiq.
7.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Tashrif.
8.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushul al-Fiqh.
9.      Satu jam pelajaran untuk mempelajari para perawi hadis (Asma` ar-Rijal).
10.  Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushuliddin.
11.  Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Kedokteran.

Namun untuk yang terakhir ini ia tidak jadi mempelarinya. Ia berkata, “Suatu saat terpikir olehku untuk mempelajari ilmu kedokteran, karenanya aku membeli buku al-Qanun fi ath-Thib (karya Ibnu Sina). Namun, ketika aku mempelajarinya, hatiku menjadi gelap. Berhari-hari aku tidak mampu memahami ilmu. Setelah itu, aku tersadarkan diri dan memutuskan untuk menjual buku tersebut sehingga menjadi teranglah hatiku.” [5]
Rasulullah Saw bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara, yaitu: waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Guru-guru Imam Nawawi

a.       Dalam bidang Hadits, An-Nawawi berguru kepada:

1.      Al-Khatib Imaduddin Abdul Karim yang terkenal dengan Ibnu al-Haristani;
2.      Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin al-Anshari;
3.      Al-Hafizh Zain Khalid bin Yusuf bin Sa’ad bin Hasan bin Mufarraj;
4.      Ibnu Burhan al-Adl;
5.      Ibrahim bin Isa al-Muradi, dan guru-guru yang lain.

b.      Dalam bidang Fiqih, An-Nawawi berguru kepada:

1.      Kamaluddin Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Magrabi;
2.      Mufti Syam, Sallar bin al-Hasan bin Umar;
3.      Abu Muhammad bin Ibrahim al-Fazari.

c.       Dalam bidang ushul, An-Nawawi berguru kepada:

1. Kamaluddin Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi.

d.      Dalam bidang bahasa, An-Nawawi berguru kepada:

1.      Ahmad bin Salim al-Mishri;
2.      Muhammad bin Abdullan bin Malik ath-Tha`i al-Jiba`i.
Termasuk diantara syaikh (guru)  beliau:
1.      Abul Baqa’ An-Nablusiy;
2.      Abu Ishaq Al-Muradiy;
3.      Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy;
4.      Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah.[6]
 
Murid-murid Imam Nawawi

Imam Nawawi mempunyai banyak murid yang menjadi ulama. Diantara mereka adalah:
1.      Ali bin Ibrahim bin Dawud Ibnul al-Aththar Asy-Syafi’iy;
2.      Abul Hajjaj Yusuf bin Zakki Abdurrahman bin Yusuf al-Muzzi al-qudha’i;
3.      Muhammad bin Abi Bakar bin Ibrahahim  al-Qadhi;
4.      Qhadi Sulaiman bin Hilal bin Syabal;
5.      Salim bin Abdurrahman bin Abdullah, dan murid-murid yang lain;
6.      Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy;
7.       Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.

C.    Produk Pemikiran dan Karya Imam Nawawi

Meskipun Imam Nawawi meninggal dalam usia yang relatif muda (ketika berumur 45 tahun). Namun, beliau telah menghasilkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal, Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantara karya tulis Imam Nawawi tersebut diantaranya adalah:

1)         Raudhah ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga tahun (666-669 H);
2)         Syarh Shahih Muslim (شرح صحيح مسلم), penjelasan kitab Shahih Muslim bin al-Hajjaj (Hadis Muslim) yang ia beri nama al-Minhaj;
3)         Syarah al-Muhadzdzab (المجموع شرح المهذب) yang ia beri nama al-Majmu’ (Fikih, ijtihad Imam Nawawi), panduan hukum Islam yang lengkap;
4)         Minhaj ath-Thalibin (منهاج الطالبين وعمدة المفتين في فقه الإمام الشافعي). (Fikih),ringkasan kitab al-Muharrar karya Imam Syafi’i;
5)         Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat (تهذيب الأسماء). (Biografi ulama, dan arti dari kata-kata bahasa Arab);
6)         Riyadhus Shalihin (رياض الصالحين), kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan tingkah laku yang saat ini banyak digunakan di dunia Islam.
7)         Al-Adzkar (الأذكار المنتخبة من كلام سيد الأبرار), kumpulan doa Rasulullah
8)         Nukat at-Tanbih.
9)         At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran (التبيان في آداب حملة القرآن). (Akhlak);
10)     Tuhfah ath-Thalib an-Nabih.
11)     At-Tanqih, syarah al-Wasith, namun penulisan kitab ini hanya sampai bab syarat-syarat shalat.
12)     Nukat ‘ala al-Wasith.
13)     At-Tahqiq. Kitab ini membahas hanya sampai masalah shalat musafir.
14)     Muhimmat al-Ahkam. Kitab ini membahas hanya sampai bersuci badan dan pakaian.
15)     Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari (ما تمس إليه حاجة القاري لصـحيح البـخاري (Syarh al-Bukhari./Hadis Bukhari);
16)     Al-‘Umdah fi Tashhih at-Tanbih.
17)     At-Tahrir fi Lughat at-Tanbih. (تحرير التنبيه).
18)     Nukat al-Muhadzdzab.
19)     Al-Muntakhab, syarah at-Tadznib karya Imam Rafi’i.
20)     Daqa’iq ar-Raudhah, yang pembahasannya hanya sampai pada masalah adzan.
21)     Thabaqat asy-Syafi’iyah.
22)     Mukhtashar at-Turmudzi.
23)     Qismah al-Qana’ah.
24)     Mukhatashar Ta`lif ad-Darimi fi al-Mutahayyirah.
25)     Mukhtashar Tashnif Abi Syamah fi al-Basmalah.
26)     Manaqib asy-Syafi’i.
27)     Taqrib al-Taisir fi ‘Ilm al-Hadits (التقريب والتيسير لمعرفة سنن البشير النذير), Pengantar Studi Hadits.
28)     Al-Khulashah fi al-Hadits.
29)     Mukhtashar Mubhamat al-Khatib.
30)     Al-`Imla` ‘ala Hadits Innama al-A’mal bi an-Niyyat.
31)     Syarh Sunan Abi Daud. Kitab ini disusun oleh Imam Nawawi, namun baru sedikit yang ditulisnya.
32)     Bustan al-Arifin. kitab ini belum sampai ia sempurnakan.
33)     Ru`us al-Masa`il.
34)     Al-Ushul wa adh-Dhawabith.
35)     Mukhatashar at-Tanbih, namun baru satu lembar yang ia tulis.
36)     Al-Masa`il al-Mantsurah.
37)     Al-Arba'in an-Nawawiyah (الأربعين النووية), beserta syarah lafalnya, kumpulan 40 -tepatnya 42- hadits penting.[7]
38)     Adab al-Fatwa wa al-Mufti wa al-Mustafti (آداب الفتوى والمفتي والمستفتي).
39)      At-Tarkhis bi al-Qiyam (الترخيص بالقيام لذوي الفضل والمزية من أهل الإسلام).
40)     Matn al-Idhah fi al-Manasik al-Hajj.(متن الإيضاح في المناسك), membahas tentang haji[8]

Diantara karya-karya di atas yang sangat populer dan sampai sekarang masih dibaca oleh para ulama maupun orang-orang yang ingin memperdalam ilmu agama adalah kitab al-Majmu’, syarah kitab al-Muhadzdzab karya asy-Syairazi. Belum sempat menyelesaikan syarah tersebut, ia telah meninggal dunia sehingga diteruskan oleh Imam Subki dan al-Muthi’i. Sampai sekarang kitab tersebut berjumlah 23 Juz.

Kitab ini membicarakan masalah fiqih. Meskipun ia bermadzhab Syafi’i, dalam kitab ini ia membahas fiqih tidak hanya dari madzhab Syafi’i, tetapi dari berbagai madzhab. Ia membandingkan antara satu madzhab dengan madzhab lain melaui dalil-dalil yang dipakai. Maka pantas kalau kitab ini dikategorikan sebagai kitab Perbandingan Fiqih Islam.

Sebenarnya, tidak hanya kitab al-Majmu’ yang pupuler, masih banyak kitab-kitabnya yang sampai saat ini dibaca banyak orang, termasuk di pondok pesantren di Indonesia seperti kitab Minhaj at-Thalibin (tentang fiqih), Riyadh ash-Shalihin (tentang nasehat-nasehat), al-‘Arba’in (kumpulan empat puluh hadis), Syarah Shahih Muslim, Raudhah at-Thalibin, dan lain-lain.

Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Budi Pekerti dan Sifatnya Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’. Zuhud Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.


[1] Mahasiswa Program Doktor, Program Pascasarjana (PPs) IAIN Raden Intan Lampung Program Studi Hukum Keluarga T.A 2012/2013
[2] Syadzaratudz Dzahab 5/355
[3] Lihat biografi (Imam Nawawi) di Tadzkiratul Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz Dzahab 5/354.
[4] Diambil dari Pengantar Kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawi.
[5] http://slimsalabim.net,  Desember 15, 2010, 1:45 am
[7] http:// id.wikipedia.org/wiki/an-nawawi/#cite-note-1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar