MENGENAL SOSOK IMAM AN-NAWAWI
Oleh: Khoirul Abror [1]
A. Sejarah
Hidup Imam An-Nawawi
Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin
Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin
Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. dilahirkan pada
bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq
(Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Kata ‘an-Nawawi’
dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu
perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau. dari dua orang tua
yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan
membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana. Proses pembelajaran ini di
kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian
pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan
menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul
ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua
belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun
mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala
yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian
harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.”
.[2]
Pengalaman Intelektualnya Pada tahun 665 H saat baru berusia
34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar
di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat. Dari sisi pengalaman
intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik
yang sangat menonjol:
Pertama,
Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga
Menginjak Remaja Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia
merasakan kenikmatan yang tiada tara didalamnya. Beliau amat serius ketika
membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’
dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat
beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab
‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula,
beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya,
Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai
wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.
Kedua,
Keluasan Ilmu dan Wawasannya Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu,
seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama, beliau dapat
membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan
tash-hihnya; kedua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ketiga, terhadap
kitab ‘al-Muhadzdzab’, keempat, terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’,
kelima, terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘
karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah
al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan
di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh
terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap
kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’
ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang
sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta
meluruskan ejaannya”.
Ketiga,
Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis Beliau telah interes (berminat)
terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia
30-an. Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam
mencerrnatinya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka
berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat
Fuqaha‘. Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian
dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir
seluruh belantara Dunia Islam.
Diantara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari
lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus
yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat
kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu,
bahkan sebaliknya semakin menghindarinya. Wara’ Bila membaca riwayat hidupnya,
maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai
contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus
karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya disana.
Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa,
setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di
Damaskus. Disana beliau sempat berziarah ke-kuburan para Syeikhnya. Beliau tidak
lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah
menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota
al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’. Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh
sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq Wafatnya
Pada taggal 24 Rajab tahun 676 H (berusia 45 tahun). [3]
Diantara ulama yang
ikut mensalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan
beberapa orang shahabatnya. Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya
yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.[4]
B. Belajar,
Guru dan Muridnya
Dalam hari-harinya, Imam Nawawi membuat jadwal untuk
memperdalam berbagai cabang ilmu di hadapan guru-gurunya. Ia membaginya menjadi
dua belas jam pelajaran untuk dua belas cabang ilmu sebagai berikut:
1.
Dua jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Wasith.
2.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Muhadzdzab.
3.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Jam’u
bain ash-Shahihain.
4.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Shahih
Muslim.
5.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab al-Luma’
karya Ibnu Dhubai.
6.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari kitab Ishlah
al-Manthiq.
7.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Tashrif.
8.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari ilmu Ushul al-Fiqh.
9.
Satu jam pelajaran untuk mempelajari para perawi hadis (Asma`
ar-Rijal).
10. Satu jam pelajaran untuk mempelajari
ilmu Ushuliddin.
11. Satu jam pelajaran untuk mempelajari
ilmu Kedokteran.
Namun untuk yang terakhir ini ia tidak jadi mempelarinya. Ia
berkata, “Suatu saat terpikir olehku untuk mempelajari ilmu kedokteran,
karenanya aku membeli buku al-Qanun fi ath-Thib (karya Ibnu Sina).
Namun, ketika aku mempelajarinya, hatiku menjadi gelap. Berhari-hari aku tidak
mampu memahami ilmu. Setelah itu, aku tersadarkan diri dan memutuskan untuk
menjual buku tersebut sehingga menjadi teranglah hatiku.” [5]
Rasulullah Saw
bersabda, “Manfaatkan lima perkara sebelum datang lima perkara, yaitu: waktu
mudamu sebelum datang waktu tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, masa luangmu sebelum datang masa
sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Guru-guru Imam Nawawi
a. Dalam bidang Hadits, An-Nawawi
berguru kepada:
1. Al-Khatib Imaduddin Abdul Karim yang
terkenal dengan Ibnu al-Haristani;
2. Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul
Muhsin al-Anshari;
3. Al-Hafizh Zain Khalid bin Yusuf bin
Sa’ad bin Hasan bin Mufarraj;
4. Ibnu Burhan al-Adl;
5. Ibrahim bin Isa al-Muradi, dan
guru-guru yang lain.
b. Dalam bidang Fiqih, An-Nawawi
berguru kepada:
1. Kamaluddin Abu Ibrahim Ishaq bin
Ahmad bin Utsman al-Magrabi;
2. Mufti Syam, Sallar bin al-Hasan bin
Umar;
3. Abu Muhammad bin Ibrahim al-Fazari.
c. Dalam
bidang ushul,
An-Nawawi berguru kepada:
1. Kamaluddin Umar bin Bandar bin Umar at-Taflisi.
d. Dalam
bidang bahasa,
An-Nawawi berguru kepada:
1. Ahmad bin Salim al-Mishri;
2. Muhammad bin Abdullan bin Malik
ath-Tha`i al-Jiba`i.
Termasuk diantara syaikh (guru) beliau:
1. Abul Baqa’ An-Nablusiy;
2. Abu Ishaq Al-Muradiy;
3. Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy;
4. Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan
Ibnul Firkah.[6]
Murid-murid Imam Nawawi
Imam Nawawi mempunyai banyak murid yang menjadi ulama. Diantara
mereka adalah:
1. Ali bin Ibrahim bin Dawud Ibnul al-Aththar
Asy-Syafi’iy;
2. Abul Hajjaj Yusuf bin Zakki
Abdurrahman bin Yusuf al-Muzzi al-qudha’i;
3. Muhammad bin Abi Bakar bin
Ibrahahim al-Qadhi;
4. Qhadi Sulaiman bin Hilal bin Syabal;
5. Salim bin Abdurrahman bin Abdullah,
dan murid-murid yang lain;
6. Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy;
7. Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
C. Produk
Pemikiran dan Karya Imam Nawawi
Meskipun Imam Nawawi meninggal dalam usia yang relatif muda (ketika berumur 45 tahun). Namun, beliau
telah menghasilkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal, Jumlahnya sekitar
empat puluh kitab, diantara karya tulis Imam Nawawi tersebut diantaranya
adalah:
1)
Raudhah
ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam
Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga
tahun (666-669 H);
2)
Syarh Shahih Muslim (شرح صحيح مسلم), penjelasan kitab Shahih Muslim bin al-Hajjaj (Hadis
Muslim) yang ia beri nama al-Minhaj;
3)
Syarah al-Muhadzdzab
(المجموع شرح
المهذب) yang ia beri nama al-Majmu’ (Fikih,
ijtihad Imam Nawawi), panduan hukum Islam yang lengkap;
4)
Minhaj
ath-Thalibin (منهاج الطالبين وعمدة المفتين في فقه
الإمام الشافعي). (Fikih),ringkasan
kitab al-Muharrar karya Imam Syafi’i;
5)
Tahdzib al-Asma` wa al-Lughat (تهذيب الأسماء). (Biografi
ulama, dan arti dari kata-kata bahasa Arab);
6)
Riyadhus Shalihin (رياض الصالحين), kumpulan hadits mengenai
etika, sikap dan tingkah laku yang saat ini banyak digunakan di dunia Islam.
7)
Al-Adzkar (الأذكار
المنتخبة من كلام سيد الأبرار),
kumpulan doa Rasulullah
8)
Nukat at-Tanbih.
9)
At-Tibyan fi
Adab Hamalah al-Quran (التبيان في آداب
حملة القرآن). (Akhlak);
10) Tuhfah
ath-Thalib an-Nabih.
11) At-Tanqih, syarah al-Wasith,
namun penulisan kitab ini hanya sampai bab syarat-syarat shalat.
12) Nukat ‘ala
al-Wasith.
13) At-Tahqiq. Kitab ini membahas hanya sampai
masalah shalat musafir.
14) Muhimmat
al-Ahkam. Kitab ini
membahas hanya sampai bersuci badan dan pakaian.
15) Ma Tamas Ilaihi Hajah al-Qari li Shahih al-Bukhari (ما تمس إليه
حاجة القاري لصـحيح البـخاري (Syarh al-Bukhari./Hadis Bukhari);
16) Al-‘Umdah
fi Tashhih at-Tanbih.
17) At-Tahrir
fi Lughat at-Tanbih. (تحرير التنبيه).
18) Nukat al-Muhadzdzab.
19) Al-Muntakhab, syarah at-Tadznib
karya Imam Rafi’i.
20) Daqa’iq
ar-Raudhah, yang
pembahasannya hanya sampai pada masalah adzan.
21) Thabaqat
asy-Syafi’iyah.
22) Mukhtashar
at-Turmudzi.
23) Qismah
al-Qana’ah.
24) Mukhatashar
Ta`lif ad-Darimi fi al-Mutahayyirah.
25) Mukhtashar
Tashnif Abi Syamah fi al-Basmalah.
26) Manaqib
asy-Syafi’i.
27) Taqrib al-Taisir fi ‘Ilm al-Hadits (التقريب
والتيسير لمعرفة سنن البشير النذير), Pengantar
Studi Hadits.
28) Al-Khulashah
fi al-Hadits.
29) Mukhtashar
Mubhamat al-Khatib.
30) Al-`Imla`
‘ala Hadits Innama al-A’mal bi an-Niyyat.
31) Syarh
Sunan Abi Daud.
Kitab ini disusun oleh Imam Nawawi, namun baru sedikit yang ditulisnya.
32) Bustan
al-Arifin. kitab ini
belum sampai ia sempurnakan.
33) Ru`us
al-Masa`il.
34) Al-Ushul
wa adh-Dhawabith.
35) Mukhatashar
at-Tanbih, namun
baru satu lembar yang ia tulis.
36) Al-Masa`il
al-Mantsurah.
37) Al-Arba'in an-Nawawiyah (الأربعين
النووية), beserta syarah lafalnya, kumpulan 40
-tepatnya 42- hadits penting.[7]
38)
Adab al-Fatwa
wa al-Mufti wa al-Mustafti (آداب الفتوى
والمفتي والمستفتي).
39)
At-Tarkhis bi al-Qiyam (الترخيص بالقيام
لذوي الفضل والمزية من أهل الإسلام).
Diantara
karya-karya di atas yang sangat populer dan sampai sekarang masih dibaca oleh
para ulama maupun orang-orang yang ingin memperdalam ilmu agama adalah kitab al-Majmu’,
syarah kitab al-Muhadzdzab karya asy-Syairazi. Belum sempat menyelesaikan syarah
tersebut, ia telah meninggal dunia sehingga diteruskan oleh Imam Subki dan
al-Muthi’i. Sampai sekarang kitab tersebut berjumlah 23 Juz.
Kitab ini membicarakan masalah fiqih. Meskipun ia bermadzhab
Syafi’i, dalam kitab ini ia membahas fiqih tidak hanya dari madzhab Syafi’i,
tetapi dari berbagai madzhab. Ia membandingkan antara satu madzhab dengan
madzhab lain melaui dalil-dalil yang dipakai. Maka pantas kalau kitab ini
dikategorikan sebagai kitab Perbandingan Fiqih Islam.
Sebenarnya, tidak hanya kitab al-Majmu’ yang
pupuler, masih banyak kitab-kitabnya yang sampai saat ini dibaca banyak orang,
termasuk di pondok pesantren di Indonesia seperti kitab Minhaj
at-Thalibin (tentang fiqih), Riyadh ash-Shalihin (tentang
nasehat-nasehat), al-‘Arba’in (kumpulan empat puluh hadis), Syarah
Shahih Muslim, Raudhah at-Thalibin, dan lain-lain.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam
dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain
karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau
dalam berjuang.
Budi Pekerti dan Sifatnya Para pengarang buku-buku
‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung
tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh
tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi
munkar’. Zuhud Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari
kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian
dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu
seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah
mendapatkan gantinya.
[1] Mahasiswa Program Doktor, Program Pascasarjana (PPs) IAIN Raden
Intan Lampung Program Studi Hukum Keluarga T.A 2012/2013
[3] Lihat biografi (Imam Nawawi) di Tadzkiratul
Huffazh 4/1470, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubra 8/395, dan Syadzaratudz
Dzahab 5/354.
[4] Diambil dari Pengantar Kitab Nuzhah
al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin,
et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawi.
[6] Anas Burhanuddin, www.muslim.or.id', 19 Juni 2009; dan juga, http:/ /muslim.
or. id/ biografi/biografi -ringkas-imam-nawawi.html.
[7]
http:// id.wikipedia.org/wiki/an-nawawi/#cite-note-1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar