Rabu, 30 Oktober 2013

Tujuan, Hakikat, dan Hikmah Ibadah



1.      Tujuan Ibadah
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna dan dimuliakan (Q.S. 95. At-Tin: 4); dan manusia diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini bukan sekedar untuk hidup di dunia tanpa pertanggungan jawab[1], tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah, hal ini dapat dipahami dari firman Allah (QS.23 Al-Mukminun: 115)
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَاَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ (المؤمنون ـ ةا ا )
Artinya: Apakah kamu kira, bahwa sesungguhnya Kami ciptakan kamu secara main-main (saja) dan bahwa kamu tidak kembali kepada kami? [2]
Fiman Allah dalam Q.S.51 Aż-Źȃriyat: 56
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاءِنْسَ اِلاَّ لِيَعْبُدُونَ (الذاريات: ٥٦)
Artinya: Dan tidak aku ciptakan Jin dan Manusia, melainkan untuk beribadah kepadaku (menyembahku) .[3]

Dapat dipahami, bahwa Jin dan manusia diciptakan untuk beribadah, maka yang menarik untuk dipahami adalah apakah tujuan beribadah itu?

Tujuan pokok beribadah adalah: Pertama, untuk menghadapkan diri kepada Allah dan mengkonsentrasikan niat dalam setiap keadaan, agar mencapai derajat yang lebih tinggi (mencapai taqwa). Kedua, agar terciptanya suatu kemaslahatan dan menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar; Artinya, manusia itu tidak terlepas dari disuruh dan dilarang, mengerjakan perintah dan menjauhi larangan, maka berlakulah pahala dan siksa, itulah inti dari ibadah
2.      Hakikat Ibadah
Hasbi As-Ṣiddiqi[4], seorang cendikiawan Muslim dalam kitabnya Kuliah Ibadah mengemukakan bahwa hakikat ibadah ialah:

خُضُوْعُ الرُّوْحِ يَنْشَأُ عَنْ اِسْتِشْعَارِ الْقَلْبَ بِمُحَبَّةِ الْمَعْبُوْدِ وَعَظَمَتِهِ اِعْتِقَادًا بِأَنَّ لِلْعَالَمِ سُلْطَانًا لاَ يُدْرِكُهُ الْعَقْلُ حَقِيْقَتَةُ
Artinya: Ketundukan jiwa yang timbul dari hati yang merasakan cinta terhadap Tuhan yang disembah dan merasakan kebesarannya, meyakini bahwa bagi alam ini ada penguasanya, yang tidak dapat diketahui oleh akal hakikatnya.

Seiring dengan itu hakikat ibadah dapat berarti:
اسْتِعْبَادُ الرُّوْحِ وَاِخْضَاعُهَا لِسُلْطَانٍ غَيْبِيِّ لاَيُحِيْطُ بِهِ عِلْمًا وَلاَ يُعْرفُ لَهُ كُنْهًا
Artinya: Memperhambakan dan menundukan jiwa kepada kekuasaan yang gaib, yang tidak dapat diselami dengan ilmu dan tidak dapat diketahui hakikatnya.

Ibnu Kaśir, salah seorang ilmu tafsir mengemukakan bahwa hakikat ibadah itu adalah:
عِبَارَةٌ عَمَّا يَجْمَعُ كَمَالِ الْمَحَبَّةِ وَالْخُضُوْعِ وَالْخَوْفِ
Artinya: Himpunan dari semua rasa cinta, tunduk dan takut yang sempurna (kepada Allah).

Mencermati beberapa definisi yang dikemukakan tentang hakikat ibadah di atas, dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Hasbi As-Ṣiddiqi memberikan tekanan bahwa, seorang mukallaf tidaklah dipandang beribadah (belum sempurna ibadahnya) bila seseorang itu hanya mengerjakan ibadah dengan pengertian fuqaha atau ahli uşul saja; Artinya disamping ia beribadah sesuai dengan pengertian yang dipaparkan oleh para fuqaha, diperlukan juga ibadah sebagaimana yang dimaksud oleh ahli yang lain seperti ahli tauhid, ahli akhlak dan lainnya. Dan apabila telah terkumpul padanya pengertian-pengertian tersebut, barulah padanya terdapat “Hakikat Ibadah[5]
3.      Hikmah Ibadah
Ada beberapa hal dibalik keutamaan dan diwajibkannya beribadah; Allah memerintahkan dan mewajibkan bagi kita untuk beribadah itu, sudah barang tentu Allah telah mengetahui hikmah dibalik perintahnya tersebut; Dasar pijak Allah memparḑukan dan menetapkan pokok-pokok yang diwajibkan itu karena terdapat hikmah bahwa:
Allah mewajibkan beriman, dengan maksud untuk membersihkan hati dari syirik, kewajiban Shalat untuk mensucikan diri dari takabbur, diwajibkannya zakat untuk menjadi sebab diperolehnya rizki, mewajibkan berpuasa untuk menguji kesabaran keikhlasan manusia, mewajibkan haji untuk mendekatkan umat Islam antara satu dengan yang lainnya, mewajibkan jihad untuk kebenaran Islam, mewajibkan amar ma’ruf untuk kemaslahatan orang ‘awam, mewajibkan nahi munkar untuk menjadikan cambuk bagi orang-orang yang kurang akalnya.
Allah mewajibkan qişaş untuk memelihara dan menghargai darah manusia, menegakkan hukum pidana untuk membuktikan bahwa betapa besarnya keburukan dari barang yang diharamkan, mewajibkan untuk menjauhkan diri dari minuman yang memabukkan dimaksudkan untuk memelihara akal, mewajibkan untuk menjauhkan diri dari pencurian dimaksudkan untuk mewujudkan pemeliharaan harta dan diri, mewajibkan kita menjauhi zina (juga lesbian dan homosex) dimaksudkan untuk memelihara keturunan, memperbanyak keturunan, mewajibkan suatu kesaksian untuk memperlihatkan sesuatu yang benar itu adalah benar, mewajibkan menjauhi dusta untuk memuliakan dan menghargai kebenaran, mewajibkan perdamaian dimaksudkan untuk memelihara amanah untuk menjaga keseragaman hidup menuju jalan-jalan lurus, dan mewajibkan taat untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kepemimpinan dalam suatu Negara[6].
Dapat dipahami bahwa, dengan mempelajari hikmah ibadah, mudah-mudahan dapat terlaksana kekhusukan, keikhlasan dan kenyamanan, sehingga pelaksanaan ibadah dapat tercapai sesuai kehendak Allah.


            [1] Ditbin Perta, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Jakarta, 1983, h. 5-6
            [2] Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-qur’an, Al-Qur’an dan terjemahannya, Depag RI, 1983, h. 540
            [3] Ibid, h. 862
            [4] Hasbi As-Siddiqie, Op Cit, h. 7-8
            [5] Ibid, h. 8
            [6] Ibid, h. 13-14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar