Jumat, 31 Mei 2019

Menyingkap asal usul puasa


MENYINGKAP ASAL MULA RAMADHAN

Oleh:
Dr. H. Khoirul Abror, MH

(Dosen Tetap Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan dan
Anggota MUI Provinsi Lampung)


Kini kita berada dalam suasana di gerbang pertapaan dan pelatihan disipin rohani di bulan Ramadhan; Hampir tidak ada perbedaan yang menyolok dari Ramadhon tahun sebelumnya, meskipun ramadhan tahun ini, kita memasuki dalam suasana yang penuh dengan keperihatinan; Perihatin karena begitu banyak tumpukan dosa yang kita lakukan, baik sebagai pribadi maupun  sebagai makhluk sosial.

Masih banyak rentetan dosa yang perlu dipertanyakan dalam diri pribadi yang muncul dalam pikiran kita, namun jawabannya akan kita temukan setelah kita merenung ulang sikap dan perbuatan kita sebelumnya  (Q.S. Ar-Rum (30): 41) dan  Ayat yang termaktub dalam Q.S Al-Baqarah (2): 183, jelas dan tegas ditujukan kepada orang-orang yang “beriman” bukan hanya sekedar orang Islam.

Antara Islam dan Iman merupakan satu kesatuan yang saling mengisi, Iman tidak ada artinya tanpa amal saleh, dan amal saleh akan sia-sia jika tidak dilandasi iman.
Berkaitan dengan Puasa, yang secara terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa termasuk  menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, menurut cara yang telah ditentukan syara’ dengan disertai niat, sebagaimana dimaksud dan digambarkan dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 187
Mengambil makna puasa dalam arti menahan diri dari sgala yang membatalkan dan merusak nilai puasa; Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkatan; yaitu: (a) Puasa umum, (b) Puasa Khusus dan (c) Puasa Khushus al-Khawash.   Puasa dengan ragam bentuk dan tujuannya dapat dihimpun oleh suatu esensi, yaitu “pengendalian diri”; Nabi menjelaskan, bahwa “rasa lapar dan dahaga bukan merupakan tujuan puasa”
Asal usul puasa ramadhan, berawl dari Rasulullah tiba di Madinah (Tahun ke 2 hijrah), ia bersama sahabatnya melaksanakan puasa tiga hari dalam setiap bulannya selama 17 bulan, yang dimulai bulan rabi’ul awal, hingga rabi’ulawal dan sampai ramadahan;
Menurut riwayat Abu Daud dari Abdurrahman dari Mu’az: “Puasa telah melalui tiga keadaan”
Pertama; pada mulanya setelah Nabi tiba di Madinah, sedang penduduk Madinah belum pernah berpuasa, Nabi dan para Sahabat berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, (13-14-15) dan berpuasa pada hari A’syura, hingga turunlah ayat tentang shiyảm: “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. Al-Baqarah (2): 183); …Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika ia tidak berpuasa) hendaklah ia memberi makan seorang miskin (fidyah), (Q.S. Al-Baqarah (2): 184)

Pada masa ini, masih diharamkan orang yang berpuasa untuk makan, minum dan bersetubuh setelah tidur pada malam hari, atau sesudah shalat isya’. Dia tidak dibolehkan lagi makan apa-apa, Kemudian ketetapan ini dimansukhkan, (yakni dibolehkan makan minum dan sebagainya hingga terbit fajar).

Kedua; Setelah turun permulaan ayat shiyam itu, para sahabat ada yang merasa keberatan; karenanya, ada yang puasa dan ada diantara mereka yang memberi makanan kepada orang miskin (fidyah) bagi yang tidak mengerjakan puasa, yaitu orang-orang yang berat mengerjakan puasa, lalu turunlah ayat: “berpuasa lebih baik bagi kamu”;
Ketiga; setelah turunnya ayat “berpuasa lebih baik bagi kamu”, maka semuanya disuruh berpuasa saja “yang memansukhkan hukum yang telah lalu” .
Sebelum masuk pada keadaan ketiga, turunlah ayat “dihalakan bagimu pada malam bulan ramadhan bercampur dengan isteri-isterimu”. Pertanyaan yang menggelitik hati, mengapa ayat itu diturunkan?; perlu ditegaskan bahwa sebelum turun ayat ini, para Muslimin hanya dibolehkan makan dan minum dan bersetubuh dimalam hari sesudah mereka berbuka hingga mereka tidur, kalau sudah tidur walaupun masih diawal malam, tidak boleh makan dan minum sesuatu apapun lagi;
Historis: Ketika Qais ibn Sirmah berpuasa, saat tiba waktu berbuka dia kembali kerumahnya dari bekerja, dan meminta makanan kepada isterinya. Ironisnya, oleh karena hari itu persediaan tidak ada, maka isterinya minta izin untuk mencarinya. Oleh karena pada hari itu Qais habis bekerja berat, tertidurlah Ia. Dan ketika isterinya pulang, suaminya didapatkan berbaring/tertidur (karena lelahnya), berujarlah isterinya: “Kasihan engkau wahai suamiku”? lalu, pada pertengahan hari berikutnya (esok harinya), Qais jatuh pingsan. Oleh isterinya diterangkanlah kepada Nabi, lalu turunlah ayat: ”dibolehkan bagi kamu mencampuri isterimu dimalam hari bulan ramadhan, mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu

Dengan turunnya ayat itu sangat bergembiralah para sahabat, seiring dengan itu pula turunlah ayat: “Makanlah dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (Q.S. Al-Baqarah (2): 187). Dan Rasulullah hanya berpuasa 9 x ramadhan, karena perintah berpuasa turun pada bulan Sya’ban tahun ke 2 H, sedangkan Rasulullah wafat pad bulan Rabi’ul awal tahun ke-11. H; Sejak itulah sampai saat ini kita dibolehkan makan dan minum dimalam hari pada bulan ramadhan.

Akhirnya dalam rangka perujudan mengisi amaliah ramadhan ditengah hiruk pikuknya Indonesia yang ingin perubahan ini, tidak salahnya momen ramadhan kali ini kita jadikan pintu menuju perubahan dalam arti sesungguhnya, dan dikala ramadhan tengah memayungi jiwa dan hati kita, ketika itu pula kita berupaya mengubur keserakahan, mengubur nafsu jahat yang selam ini bersemayam sampai lubuk hati yang paling dalam, jika diwaktu Ramahdan kita mampu membunuh nafsu lawwamah, mengapa diluar bulan Ramadhan kita tidak berdaya, dan selalu diperdaya oleh budak nafsu. 

Karenanya mari kita isi amaliah ramadhan ini dengan melatih disiplin diri, melatih pengendalian diri, disamping menjaga ucapan dan pembicaraan; Karena berbicara yang benar dan baik merupakan salah satu dari bukti kebenaran iman seseorang. Dan keharusan berbicara  yang benar menurut Al-Qur’an diistilakan oleh Allah dalam sebutan:

Qaulan Syadîdả, berbicara yang benar, jujur tidak berbohong dan tidak berbelit-belit (QS. An-Nisa’ (4): 9); Qaulan Balîghả, berbicara yang dapat membekas dihati orang lain (Q.S.An-Nisa’ (4): 63); Qaulan Maisứrả, merupakan ucapan yang pantas sesuai dengan persoalan yang dibicarakan (Q.S. Al-Isra’ (17): 28); Qaulan Karîmả, merupakan perkataan yang mulia, terutama terhadap yang lebih tua (Q.S. Al-Isra’ (17): 23); Qaulan laiyinả, perkataan yang lemah lembut, tidak terbawa egois dan tidak terbawa nafsu (Q.S. Aṭ-Ṭảhả (20): 44); Qaulan Ma’rứfả, merupakan kata yang baik, tepat, tajam dan mudah dipahami orang yang diajak bicara (Q.S. An-Nisa’ (4): 5).
Wallảhua’lam

Selasa, 22 Januari 2019

Seruan Buat yang Sudah Layak KKN

Buat temen-temen yang di bawah bimbingan gw, sebentar lagi pembukaan pendaftaran KKN 2019 loh...,karenanya jangan di sia-siakan, kesempatan bagi anda adalah solusi menuju Sukses.

CERAI GUGAT DAN DAMPAKNYA BAGI KELUARGA (Studi pada Lembaga Pengadilan Agama di Lampung)



CERAI GUGAT DAN DAMPAKNYA
BAGI KELUARGA
(Studi pada Lembaga Pengadilan Agama di Lampung)

Oleh: Khoirul Abror
E-mail: khoirulabror@radenintan.ac.id, khoirulabror472@yahoo.com
Lektor Kepala pada Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan

ABSTRAK

Fenomena baru yang seolah menjadi trend di tengah masyarakat muslim di Indonesia saat ini adalah, maraknya praktik cerai gugat, atas permintaan isteri ke Pengadilan Agama kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi di Indonesia.. Peningkatan kasus/perkara angka cerai gugat secara kuantitatif, berimplikasi pada terjadinya anggota masyarakat yang tidak diinginkan dalam sebuah keluarga; pokok permasalahannya adalah; faktor-faktor apa yang menyebabkan cerai gugat pada Pengadilan Agama di kabupaten/kota  dalam wilayah Provinsi Lampung? dan bagaimana dampak yang timbul akibat cerai gugat di Provinsi Lampung?
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap dan menganalisis serta menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab cerai gugat dan dampak yang berimbas terhadap keluarga; Metode yang digunakan dalam menganalisis adalah analisis kualitatif yang disajikan secara deskriptif.
Hasil studi ini ditemukan; Pertama, adanya kelasifikasi pada faktor penyebab cerai gugat, yang didominasi oleh faktor ekonomi, tidak adanya tanggung jawab suami dalam rumah tangga, percekcokan, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan dan poligami, judi dan mabuk-mabukan. Kedua, secara spesifik dampak utama dari perceraian, khususnya cerai gugat adalah terganggunya jiwa baik antara suami atau istri dan anggota keluarga, terlebih lagi khususnya berdampak pada anak-anak, yang selanjutnya berdampak buruk bagi keberlangsungan keluarga dan sosial kemasyarakatan.
Kata Kunci: Problema Penyebab Cerai Gugat,  -Dampak  terhadap Keluarga











I.     Pendahuluan
            Keutuhan dan kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman dan damai (sakinah, mawaddah warahmah) merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga, bahkan perkawinan sebagai satu perjanjian (transaksi) yang kokoh, tegug dan.[1]. Olehkarenanya setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama.
Perkawinan dalam Islam dikenal dengan istilah nikah atau tazwij,[2] secara harfiyah adalahbersenggama atau bercampur”. Lebih lanjut Jalaluddin Al-Mahalli[3] dalam kitabnya mengungkapkan: Secara syar’i nikah adalah: suatu akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan suami isteri (hubungan seksual) dengan menggunakan lafaz “inkah” (menikahkan), atau lafaz “tazwij” (mengawinkan).
            Undang-undang tentang perkawian (UU  No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan) dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga[4] serta Kompilasi Hukum Islam [5] termasuk produk hukum negara Indonesia yang mayoritas Islam ini, wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami UU tersebut, seluruh masyarakat seyogyanya untuk semakin menyadari hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan Putusnya perkawinan serta akibatnya.
            Salah satu tujuan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang maha Esa[6], bahkan perkawinan merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh antara suami isteri.[7] Selain itu juga tujuan perkawinan, untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina, serta penerus keturunan (anak) dan juga bertujuan ibadah.[8]
Ada sejumlah ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan, yang bila disimpulkan akan tampak minimal lima tujuan umum.[9] Penetapan tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan sunnah Nabi saw yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan itu; Pertama, untuk membangun keluarga sakinah; Kedua, tujuan regenerasi dan/atau pengembangbiakan manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi agama islam; Ketiga, bertujuan untuk pemenuhan biologis (seksual); Keempat, bertujuan nuntuk menjaga kehormatan; dan Kelima, tujuan ibadah, yang dapat dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis.
            Islam menegaskan bahwa perkawinan merupakan media untuk membentuk suatu keluarga yang tenteram dan penuh kasih sayang (sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ) berdasarkan nilai-nilai agama yang menuntut adanya interaksi saling asah, asih dan asuh diantara suami isteri. Hal ini dipertegas dalam QS. Ar-Rum (30): 21 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[10]
            Memahmi arti ayat tersebut, dapat dimengerti, bahwa salah satu tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk mewujudkan dan terciptanya kehidupan rumah tangga yang sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ. [11]  Dengan adanya ikatan perkawinan itu, diharapkan dapat melestarikan proses historis keberadaan manusia dan peradabannya dalam kehiidupan di dunia ini, yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit terkecil dari kehidupan dalam sosial kemasyarakatan. [12]
            Dibalik perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila rumah tangga tersebut terjadi disharmonisasi, karenanya amat dimungkinkan terjdinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak. Apabila perselisihan, pertengkaran dan kekerasan tidak dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai puncak perslisihan yang mengarah kepada peceraian dan atau bubarnya perkawinan semakin menjadi kenyataan. .
Contoh kasus kekerasan fisik: terjadi pada Mar (38) yang dipukuli suami sendiri dengan menggunakan linggis hingga babak belur.[13]  kasus lain: terjadi pada Siti Aisyah (40) guru honorer di lampung Selatan, menjadi korban brutal suaminya sendiri Rafik (41 tahun), sehingga mengalami 11 luka tusukan (7 di punggung, 2 di perut dan 2 di paha kanan) lantaran berpisah rumah karena alasan ekonomi,.[14]
            Fenomena yang terjadi ditengah masyarakat muslim di Indonesia, angka perceraian semakin meningkat [XXXX1] dikarenakan banyak faktor yang menyebabkannya. yang lebih mengherankan, bila angka perceraian didominasi atas permintaan isteri, yang lebih dikenal dengan istilah khuluk [15] (cerai gugat). Salah satu dampak yang timbul akibat perceraian ini, kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[16]
            Di Pengadilan Agama Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur mencatat angka perceraian selama 2016 sebanyak 1.415 perkara. Dari jumlah itu sebanyak 300 perkara adalah perceraian dalam rumah tangga pegawai negeri sipil (PNS).Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Metro Ros Amanah Rabu (15/1), mengatakan jumlah perkara yang ditangani selama 2016 sebanyak 1.415 sudah diputuskan sebanyak 1.400 perkara. “Pada bulan Desember 2016, ada 30 gugatan perceraian oleh PNS,” [17]
            Di Pengadilan Agama Tanggamus, lebih mencengangkan, khusus di bulan Oktober 2014 saja terdapat  58 Rekap perkara yang diterima: 43 diantaranya perkara Cerai Gugat, 10 perkara cerai talak, dan 5 perkara lainnya.[18]
Tulisan ini difokuskan [XXXX2] pada fenomena faktor-faktor penyebab Cerai Gugat yang dilakukan oleh isteri kepada suami didalam keluarga yang berujung pada putusnya perkawinan di tiga Kabupaten-Kota di Provinsi Lampung (Kota bandar Lampung, Kota Metro dan Kabupaten Lampung Selatan) serta dampaknya bagi keluarga (suami, isteri dan anak)
II.  Pembahasan
1.      Faktor Penyebab Cerai Gugat
Perceraian, selain cerai talak, dikenal juga adanya cerai gugat. Menurut bahasa, kata cerai gugat adalah istilah bahasa Indonesia yang sering dikenal dengan istilah khulu’ berasal dari khala’ aṡ-ṡauba iżä azalaba yang artinya melepaskan pakaian; karena istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian istri. Khulu’ berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian,[19] atau menanggalkan ia akan sesuatu.[20] Bahkan bisa juga menebus istri akan dirinya kepada suaminya dengan hartanya, sehingga tertalaklah baginya.[21]
Menanggapi perihal khulu’, mempunyai dua arti yaitu am dan khas. Khulu’ dalam arti umum adalah talak atas harta istri untuk menebus dirinya yang diserahkan kepada suaminya, sedangkan khulu dalam arti khas adalah talak tebus dengan lafaz khulu, pendapat ini banyak digunakan oleh ulama salaf.[22]
Secara terminologi, menurut syariat, sebagaimana diungkapkan oleh Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha: “Khuluk ialah talak yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri, hal semacam itu disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri menyanggupi membayar seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar) mengikuti mahar yang telah diberikan.”[23]
Berangkat dari pemaparan tersebut bisa dipahami bahwa khuluk secara syariat hukumnya boleh diajukan jika memenuhi persyaratan. Selain itu, dalam khuluk harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, suami maupun istri tentang nominal tebusan. Kesepakatan ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam akad khuluk, harus ada kerelaaan dari pihak suami untuk menerima tebusan, dan kesanggupan dari pihak istri untuk membayar tebusan tersebut. Namun dengan catatan, nominal harga tebusan tidak boleh melebihi nominal mas kawin pada saat pernikahan.
Bahwa hukum asal khuluk ini ialah mubah jika memenuhi persyaratan. Persyaratan tersebut diantaranya telah disebutkan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi: “Apabila seorang perempuan benci terhadap suaminya karena penampilannya yang jelek, atau perlakuannya yang kurang baik, sementara ia takut tidak akan bisa memenuhi hak-hak suaminya, maka boleh baginya untuk mengajukan khuluk dengan membayar ganti rugi atau tebusan.”
Ada juga motif lain dari khulu’ yang bisa mengubah hukumnya, seperti jika suami melalaikan hukum Allah, semisal meninggalkan shalat, atau lainnya, maka hukum khuluk menjadi wajib; Sebaliknya, jika tidak ada motif atau alasan apa pun yang mendasarinya, maka khuluk hukumnya haram. Khulu dapat juga berarti fida atau tebusan, karena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah tebusan atau imbalan;[24]
Menurut al-Malibariy, khulu adalah perceraian dengan tebusan dari pihak isteri diberikan pada pihak suami, dengan memakai kata talak atau khulu atau tebusan.[25] Khulu adalah jalan keluar bagi isteri yang tidak menyukai suaminya dengan alasan selain yang biasa melahirkan fasakh, isteri memberikan semacam ganti rugi (‘iwad) atas pemberian suami seperti mahar, nafkah, dll, agar suami bersedia dengan rela hati menjatuhkan talak kepadanya.[26]
Khulu sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at yang mulia seperti halnya talak[27]; semua akal dan perasaan sehat menolak khulu, hanya Allah swt., saja Yang Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu menegakan hukum-hukum Allah swt.; Maksudnya Hikmah khulu untuk menghindari bahaya, yakni saat terjadinya pertengkaran hebat yang menimbulkan gejolak dalam hubungan suami isteri hingga keduanya tidak bisa disatukan lagi dalam ikatan rumah tangga maka khulu diperbolehkan; Hal ini agar keduanya tetap berjalan dalam kehidupan masing-masing dan menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.[28]
Hikmah yang terkandung didalamnya sebagaimana telah disebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan suami isteri telah memuncak dan dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami isteri, maka khulu’ dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana merupakan penolak terjadinya pernusuhan dan untuk menegakan hukum-hukum Allah (QS. al-Baqarah (2): 229)
Ulama salaf dan khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak isteri; sedangkan Syafi’i berpandangan bahwa khulu’ itu boleh dalam kondisi perselisihan dan keharmonisan, namun khulu’ dalam kondisi pertama adalah lebih utama dan sesuai dengan yang ia pilih.[29]
Adapun kedudukan khulu’ di dalam hukum keluarga menurut mazhab Umar, Usman dan Ali ra serta jumhur fuqaha’, bahwa khulu’ termasuk talak, seperti halnya pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzanniy mempersamakan khulu’ dengan talak; sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa khulu termasuk fasakh di dalam qaul qadim-nya.[30] Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan Daud, serta Ibnu Abbas dari kalangan sahabat. Imam Syafi’i juga meriwayatkan bahwa khulu merupakan kata sindiran; Jadi jika dengan kata kinayah tersebut menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh; akan tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khulu itu adalah talak.[31]
George Levinger[32] menjelaskan bahwa pada umumnya perceraian itu terjadi karena faktor-faktor tertentu yang mendorong suami-istri untuk bercerai; faktor-faktor dimaksud antara pasangan suami-istri yang satu dengan yang lain saling berbeda. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1966 dengan mengambil sampel 600 pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian menunjukkan bahwa keluhan-keluhan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian adalah: Sering terabaikan kewajiban terhadap rumah-tangga dan anak, keuangan yang tidak mencukupi untuk kebutuhan keluarga,  penyiksaan fisik terhadap pasangan, tidak setia lagi, seperti mempunyai kekasih lain, ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangannya, Sering mabuk, adanya campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya, juga muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidak-percayaan,  kurang perhatian dan kebersamaan di antara pasangan, bahkan tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, dan tidak ada toleransinya[33]
Perceraian merupakan titik puncak dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi[34],  faktor penyebabnya adalah [35]: Ketidaksetiaan salah satu pasangan hidup. Keberadaan orang ketiga memang akan menggangu kehidupan perkawinan; tekanan kebutuhan ekonomi keluarga; harga barang dan jasa yang semakin melonjak tinggi karena faktor krisis ekonomi negara yang belum berakhir, sementara itu gaji atau penghasilan pas-pasan; tidak mempunyai keturunan juga dapat memicu permasalahan diantara kedua pasangan suami dan istri, terlebih lagi bila ada perbedaan prinsip hidup dan agama.
Faktor-faktor tersebut berpengaruh [36] pada: kurangnya kesiapan mental; permasalahan ekonomi, Kurangnya komunikasi antar pasangan; campur tangan pihak ketiga; dan dimungkinkan perselingkuhan.
Adapun dalam hal cerai gugat, seperti dalam doktrin fiqh, setiap permohonan cerai yang diajukan oleh isteri itu tidak harus selalu berbentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran ‘iwaḑ, tetapi dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan yakni Pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9/1975 dan Pasal 116 dan 51 KHI, yaitu: Suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, suami meninggalkan isteri selama 2 tahun tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; suami mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau lebih berat; suami melakukan penganiayaan; suami mendapat cacat badan atau penyakit yangtidak dapat menjalankan kewajibannya; antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran; dan suami melanggar taklik talak dan atau perjanjian perkawinan; bahkan bila suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidak harmonisan dalam keluarga.[37] Untuk mendukung gugatan cerai, harus disiapkan surat-surat dan saksi-saksi yang akan dijadikan alat bukti untuk menguatkan gugatan cerai. [38]
2.      Dampak yang timbul Akibat Cerai Gugat
Secara spesifik dampak perceraian bagi suami atau istri berada pada sisi psikologis. Pada sisi ini, akibat dari perceraian dapat melahirkan beberapa implikasi;[39]
Pertama; hilangnya rasa aman dan nyaman. Seperti apapun kuatnya seorang pria atau wanita, siapapun yang mengajukan gugatan perceraian namun hal itu justru akan menjadi boomerang bagi dirinya. Pada perspektif ini, yang melakukan gugatan justru akan merasakan sebuah hilangnya rasa aman dan nyaman ketika sendiri ataupun ketika dengan pasangan keduanya.
Kedua; hilangnya rasa nikmat. Pada sebuah kasus perceraian karena poligami atau adanya pihak ketiga, bisa dimungkinkan akan munculnya ketiadaan kenikmatan dalam berhubungan intim dengan pasangan barunya, penyebabnya muncul karena teringat dengan keluarganya yang dahulu yang telah ditinggalkan; sedangkan yang biasanya dirasakan oleh seorang isteri adalah sebuah rasa sakit yang mendalam karena ditinggalkan oleh seorang suami yang dicintainya; oleh karenanya bisa memunculkan rasa antipati terhadap setiap laki-laki yang akan mendekatinya, dan akhirnya lebih memilih hidup sendiri dan mengurus anak-anaknya sebagai obat kesepian.
Ada beberapa masalah yang timbul pada diri masing-masing pasangan yang bercerai, yakni:[40] masalah ekonomi; suami maupun istri akan mengalami pengurangan pemasukan, karena penghasilan suami kini harus menafkahi dua rumah tangga;  walaupun suami hanya membantu beberapa tugas rumah tangga sebelum perceraian, masalah ini pun dapat terjadi, karena kini istri harus bertanggung jawab sendiri terhadap semua pekerjaan rumah tangga; terganggunya kejiwaan, baik pihak wanita maupun pria, setelah perceraian mereka cenderung merasakan perasaan-perasaan seperti perasaan tak menentu dan kehilangan identitas. Masalah-masalah ini lebih banyak terjadi pada wanita, yang tadinya mengasosiasikan identitasnya dengan identitas suaminya. Batasssssssssssss koreksi
a.       Masalah emosional. Pada banyak wanita, perasaan-perasaan seperti rasa bersalah, rasa malu, kebencian dan dendam, kemarahan, serta kecemasan terhadap masa depan biasanya menjadi sangat dominan dalam diri mereka, bahkan dapat mengubah kepribadiannya.
b.      Masalah sosial. Wanita yang bercerai biasanya merasa ditinggalkan, dan menjadi ”terkunci” dalam dunia bersama anak-anak mereka. Kehidupan sosial mereka hanya terbatas pada aktivitas bersama kerabat dan teman-teman dari jenis kelamin yang sama.
c.       Masalah karena kesepian. Ketika telah terbiasa berada dalam companionship dengan pasangan, wanita (dan pria) yang bercerai akan merasa kesepian ketika mereka kehilangan companionship dari seseorang yang memiliki nilai-nilai dan ketertarikan yang sama.
d.      Masalah karena pembagian hak pengasuhan anak. Ketika hak pengasuhan anak dibagi kepada kedua orang tua setelah bercerai, masing-masing orang tua yang bercerai akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian, baik terhadap diri mereka sendiri maupun anak-anak mereka. Masalah terjadi ketika misalnya, anak tidak patuh pada satu orang tua, setelah ia berada bersama orang tua yang lain.
e.       Masalah seksual. Setelah bercerai, kedua belah pihak masing-masing akan merasa kekurangan aktivitas seksual yang biasa dilakukan, kecuali mereka menikah lagi segera setelah bercerai. Wanita yang memiliki anak biasanya akan kesulitan untuk memikirkan alternatif ini, sehingga interval waktu setelah bercerai dan menikah kembali (remarried) cenderung lebih panjang pada wanita daripada pria.
f.       Masalah-masalah perubahan konsep diri. Tanpa memperhatikan pihak mana yang menimbulkan masalah yang mengakibatkan perceraian, kedua belah pihak biasanya akan merasakan rasa kegagalan karena pernikahan mereka tidak berhasil, dan merasakan perasaan benci atau dendam terhadap satu sama lain. Perasaan-perasaan ini, tanpa bisa dihindari, akan mewarnai konsep diri mereka yang mengarah kepada perubahan kepribadian.
Dampak yang paling dominan dirasakan pasca perceraian adalah pada diri anak. Dalam keluarga manapun perceraian menjadi suatu penyesuian diri bagi seorang anak yang harus tinggal dengan salah satu dari orang tua mereka. Reaksi anak terhadap perceraian orang tuanya sangat dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan sesudah perceraian. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih sayang yang lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialami selama masa sulitnya. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam bentuk perilaku, kesulitan belajar, atau berkurangnya interaksi dengan orang-orang di lingungan sekitar tempat tinggalnya.
Dampak perceraian dapat dilihat dari tingkah laku anak yang sangat jauh berbeda dengan sikapnya sebelum kedua orang tuanya bercerai. Tingkah laku mereka yang sering ditunjukkan setelah orang tua bercerai tersebut antaralain suka mengamuk, menjadi kasar, agresif, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka  bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi disekolah cenderung menurun, serta suka melamun terutama mengkhayalkan orang tuanya akan bersatu lagi.
Dampak dari adanya percerain tersebut bagi anak [41]; akan rusak akhlak dan berkurang adabnya, hal ini merupakan asal-muasal munculnya penyakit (sosial) dan sebab dari segala cobaan dan kesengsaraan.”
Tidak dapat disangkal bahwa anak akan sedih, bila menyaksikan perkelahian orang tuanya terlebih bila pertengkaran tersebut menyebabkan perceraian. Kurangnya perhatian orang tua setelah perceraian juga mempengaruhi perkembangan jiwa anak; anak merasa kasih sayang orang tua yang didapatkan tidak utuh, anak mencari perhatian dari orang lain atau bahkan ada yang merasa malu, minder, dan tertekan; bahkan mencari pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas dan narkoba.
Hal yang paling berat dalam kasus perceraian adalah bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik dan menciptakan keakraban lagi antar kedua orang tua. Pengaruh orang tua dapat menciptakan kekuatan pada diri anak, meskipun kasus perceraian itu tetap membawa dampak dalam perkembangan sosial dan emosi anak. Fakta di lapangan membuktikan bahwa mayoritas anak-anak nakal merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.[42]
Kenakalan mereka tersebut sangatlah masuk akal. Akibat tekanan batin yang dialami karena perceraian orang tua menyebabkan mereka mencari jalan pintas untuk mencari kesenangan hanya sekedar untuk melupakan permasalahan dalam keluarga mereka, meskipun hal tersebut hanya berupa kesenangan sesaat; selain itu banyak pula anak yang duluya berprestasi disekolah kemudian menjadi malas bahkan tidak berprestasi sama sekali, hal tersebut dapat disebabkan karena hilangnya motivator yakni orang tua mereka yang selalu memberikan semangat untuk anak-anaknya sewaktu keluarga masih harmonis. Dengan tidak adanya penyemangat tersebut merekapun berpikir bahwa semua yang dia lakukan akan sia-sia karena sebesar apapun prestasi yang akan mereka capai tidak akan membuat orang tua mereka bersatu kembali dan membangun keluarga yang harmonis seperti dulu.
Seorang anak yang orang tuanya telah bercerai seringkali melamun dan mengkhayalkan orang tua mereka bersatu lagi, dalam lamunan tersebut terkadang banyak perasaan yang menghampiri seperti perasaan sedih karena kehidupan indah dalam keluarga sudah tidak dirasakan lagi seperti dulu sebelum orang tua bercerai, perasaan marah karena menganggap tuhan tidak adil terhadap hidupnya yang tidak seindah keluarga-keluarga lain, dan perasaan bersalah karena dia berpikir bahwa orang tuanya bercerai disebabkan oleh dirinya. Tidak jarang juga perasaan tidak nyaman akan menghampiri seorang anak terutama pada remaja yang orang tuanya bercerai.
III.   Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data lapangan, serta analisis yang telah dilakukan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut:
1.      Faktor utama penyebab cerai gugat yang dominan terjadi di Pengadilan Agama Tanjungkarang, Metro, dan Kalianda, adalah faktor ekonomi, berupa kurang atau tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga, sebagai akibat kurang atau tidak adanya tanggung jawab suami dalam rumah tangga. Kemudian faktor percekcokan, kekerasan dalam rumah tangga, merupakan faktor berikutnya yang cukup dominan. Selain kedua hal tersebut, faktor perselingkuhan dan poligami di beberapa perkara cerai gugat yang terjadi, menjadi faktor penyebabnya; demikian juga  judi dan mabuk-mabukkan menjadi faktor penyebab yang mewarnai perkara cerai gugat di 3 Pengadilan Agama.
2.    Dampak utama dari perceraian (khususnya cerai gugat) adalah terganggunya kenyamanan baik suami atau istri dan anggota keluarga khususnya anak-anak mereka. Dampak negatif dari perceraian (khususnya cerai gugat) tersebut jika terus naik grafiknya secara kualitatif disetiap tahun, berdampak buruk bagi keberlangsungan keluarga yang harmonis bahkan pada sektor stabilitas sosial, karena dapat membentuk anggota keluarga menjadi broken home, yang kemudian membentuk mental-mental yang tidak baik dan rapuh sehingga berkemungkinan mempraktikkan perbuatan-perbuatan negatif.
Artikel ini merupakan bahagian dari penelitian tahun 2018 dengan nomor kontrak:.................... tanggal................................















DAFTAR PUSTA


\‘Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. 2,

A. W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14,
Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam Perkawinan Dan Perceraian”,  Jurnal Ahkam, No. 4 (Maret 1998),
Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadis, 2003), Jil. 3,
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003),
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2006),
-------, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa, 1992),
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2003),
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang, Cet. I, 1993,
Djamal latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994),
Harian  Lampung Post, Kamis, 02 Mei 2015,
Harian Lampung Post, Kamis , 5 januari 2016,
http://alfinlatife.blogspot.com/2012/08/dampak-perceraian-secara-psikologi.html, diakses pada hari Senin, 03 Agustus 2015, Pukul. 17.25 WIB
Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya: Hidayah, 2000), Jil. 1, 
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999),
Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikri, 2002), Jil. 3,
Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen Binbaga Islam, Kemenag RI tahun 2001
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial; Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003),
Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, juz III (Indonesia: Nur Asia, tt),
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 001/SK/1991 tanggal 24 Januari 1991 dan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 43/TUADA-AG/III-UM/XI/1992 tentang Prosudur pengajuan perkara
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009,
-------, Hukum Perkawinan 1,  ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005,
Lexi. J. Moloeng, Metode Penelitian Kuantatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),
-------, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
Louis Gootshalk, Understanding Historya Primer of Historical Method, alih bahasa oleh Nogroho Noto Susanto, (Jakarta, UI Press, 1985),
Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar el-Fikri, 2005),
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Mazhab Imam Syafi’i, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004),
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) Jil. 1,
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV,
Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet. Ke-2,
Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
Reni Hawadi Akbar, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001),
Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003),
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2015),
-------, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: LFABETA, 2008), Cet. IV,
Sulistyawati, “Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian dalam keluarga”, Tesis, (Bandung: PPs Psikologi ITB, 2003),
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas Teknologi UGM, 1996,
Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in Syarh Qurrat al-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997),
Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli Ghayah  al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Islamy, tt,
Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,.
Wulan Saripah, “Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling”, Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandaung, 2013,
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Tehazed, 2010,


[1] QS. Al-Ahzȃb (33) : 7;  QS. An-Nisȃ’ (4): 21;  QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi Hukum Islam,  Pasal 2
[2] Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, juz III (Indonesia: Nur Asia, tt), h. 206.
[3] Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, juz III, Ibid
[4] Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,.
[5] Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Binbaga Islam, Kemenag RI tahun 2001
[6] Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
[7] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang, Cet. I, 1993, h. 130
[8] Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli Ghayah  al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Islamy, tt, h. 48; Lihat, Khoiruddin nasution, Hukum Perkawinan 1,  ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005, h. 46-47.
[9] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009, h. 223
[10]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Tehazed, 2010, h. 572.
[11] Bab II Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam.
[12] Djamal latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, h. 12.
[13] Harian  Lampung Post, Kamis, 02 Mei 2013, h. 07.
[14] Harian Lampung Post, Kamis , 5 januari 2012, h. 22
[15] Khuluk; adalah  perceraian  yang terjadi atas permintaan isteri, dengan memberikan tebusan (Iwaḑ) kepada dan  atas persetujuan suami.
[16] Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 1 ayat (1)
[19] A. W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14, h. 361
[20] Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya: Hidayah, 2000), Jil. 1,  h. 184
[21] Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadis, 2003), Jil. 3, h. 182
[22] Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar el-Fikri, 2005), h. 329
[23] Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, h. 127
[24] H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994), h. 95
[25] Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in Syarh Qurrat al-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997), h. 111
[26] Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam Perkawinan Dan Perceraian”,  Jurnal Ahkam, No. 4 (Maret 1998), h. 44
[27] Ali Ahmad Al-Jurzawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa, 1992), h. 320
[28] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2006), h. 379
[29] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) Jil. 1, h. 376
[30] Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Mazhab Imam Syafi’i, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004), h. 276
[31] Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikri, 2002), Jil. 3, h. 220
[32] Lihat Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 153-155
[33] Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Ibid. h. 153-155
[34] Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2003), h. 160
[35]Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda,  Ibid. h. 160
[36] Lihat Sulistyawati, “Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian dalam keluarga”, Tesis, (Bandung: PPs Psikologi ITB, 2003), h. 28
[37] Inpres no.1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Pasal 16
[38] Keputusan Mahkamah Agung Nomor 001/SK/1991 tanggal 24 Januari 1991 dan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 43/TUADA-AG/III-UM/XI/1992 tentang Prosudur pengajuan perkara
[39] Lihat hasil wawancara el-mlipaki dengan Nani Kartikaningsih seorang psikolog pada RSJ Kota Semarang, dalam http://alfinlatife.blogspot.com/2012/08/dampak-perceraian-secara-psikologi.html, diakses pada hari Senin, 03 Agustus 2015, Pukul. 17.25 WIB
[40] Lihat Reni Hawadi Akbar, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h.
[41] ‘Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. 2, h. 58
[42] Wulan Saripah mengutip bahwa, bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu lembaga pendidikan anak-anak delikuen berasal dari keluarga-keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Meril mendapatkan 50% dari anak delikuen (anak-anak yang menyeleweng) berasal dari keluarga broken home. Menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan Pendidikan IKIP Bandung tahun 1959 dan 1960 menyatakan sekurang-kurangnya 50% dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di Tangerang berasal dari keluarga-keluarga yang tidak utuh. Lihat Wulan Saripah, “Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling”, Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandaung, 2013, h. 4

 [XXXX1]Argumen mengapa penel dilakukan
 [XXXX2]Rumusan/tujuan penel dalam paragraf