Minggu, 06 Juli 2014

Arti, Macam dan Dasar Hukum Puasa



A.    Pengertian Puasa
            Puasa adalah suatu bentuk “ibadah dalam Islam yang berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan ibadah tersebut pada siang hari (mulai terbit fajar sampai terbenam matahari)”; Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “iam” atau  aum” yang secara etimologis berarti menahan diri dari sesuatu (الأمساك عن الشيئٍ ). Termasuk dalam pengertian ini, menahan diri berbicara dengan orang lain; sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Maryam [19]: 26
فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya: “Maka katakanlah (Hai Maryam), sesungguhnya aku telah bernażar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini”.
Kuda yang diam dan tidak bergerak disebut aim”, demikian juga angin yang tenang disebut aum”; Dengan demikian dapat dipahami bahwa, dalam Puasa terkandung pengertian “ketenangan”[1]
Puasa dalam pengertian terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah, dilaksanakan dengan cara menahan makan, minum dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa) dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat.[2]
Al-Kahlani mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain yang diperintahkan untuk menahan diri menurut cara yang telah ditentukan syara’.[3] Sedangkan Az-Zuhaili mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari segala yang membatalkan puasa diwaktu siang hari, sejak terbit fajar sadiq (sinar putih yang terbentang di ufuk timur), hingga terbenam matahari, atau menahan diri dari syahwat perut dan faraj (kemaluan), dan dari sesuatu yang masuk kedalam rongga kerongkongan, baik berupa obat-obatan, makanan, minuman dan semacamnya, pada waktu yang telah ditentukan,[4] yang dilakukan oleh orang muslim yang berakal, tidak haid, tidak nifas, dengan melakukanny secara yakin.
Serangkaian dalam pengertian terminologis (syar’i) ini, Puasa digambarkan dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 187, pada intinya “menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual dari terbit fajar hingga terbenam matahari.[5] Lafaz ayatnya sbb:
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uŠÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ªöNà6¯Rr& óOçGYä. šcqçR$tFøƒrB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã ( z`»t«ø9$$sù £`èdrçŽÅ³»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tFŸ2öNä3s9 4 (#qè=ä.ur (#qç/uŽõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKtƒ ãNä3s9 äÝøsƒø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsƒø:$# ÏŠuqóF{$# z`ÏB ̍ôfxÿø9$# ( ¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@øŠ©9$# 4 Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3 y7ù=Ï? ߊrßãn«Ÿxsù $ydqç/tø)s? 3 y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6リ ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcqà)­Gtƒ  
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) jangan kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [6] dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa”.
Mencermati beberapa definisi di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa, puasa yaitu: ibadah yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman, dengan cara menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang membatalkan puasa), menurut cara yang ditentukan syara’ dari terbit fajar sampai terbenam matahari, dengan disertai niat. Juga, disertai menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang)
Mengambil makna puasa dalam arti menahan diri dari segala yang membatalkan dan merusak niat puasa; Al-Gazali dalam Ihya’ Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkat; yaitu 1) Puasa umum, 2) Puasa Khusus dan 3) Puasa Khușus al-Khawaș.
1)      Puasa umum, yang dimaksud disini adalah puasa hanya dengan menahan diri dari makan, minum, serta hubungan seksual ansich. Artinya, mereka melaksanakan puasa, sementara perbuatan yang lain sepanjang tidak membatalkan puasa, sebagaimana ditetapkan oleh syara’ tetap dilakukan olehnya; seperti: mencuri, berjudi, dan lain perbuatan yang bersifat menjurus kepada maksiat dan dosa.

2)      Puasa Khusus; ialah selain ia menahan diri dalam pengertian puasa umum di atas, ditambah dengan menahan diri dari perkataan, pandangan, pengelihatan dan perbuatan yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak baik (negatif/ tidak pantas).

3)      Puasa Khușus al-Khawaș, adalah puasa disamping menahan diri dari pengertian kedua tingkatan di atas, juga ditambah dengan puasa hati; artinya menahan hati dari segala kecenderungan yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat keduniaan.

B.     Macam dan Dasar Hukum Puasa
1.      Macam-macam Puasa
Puasa dibagi atas beberapa macam, diantaranya:
a)      Puasa Ramaan
b)      Puasa Qaa
c)      Nażar
d)     Puasa Kaffȃrat (Tebusan, denda)
e)      Puasa Tațauwu’ (Sunah)

Kelima macam puasa tersebut, bila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, puasa dibagi dua; yaitu puasa yang dilaksanakan di bulan Ramaan, dan puasa yang dilaksanakan di luar bulan Ramaan.
Bila dilihat dari segi hukumnya, puasa dibagi kepada empat, yaitu;
a)      Puasa Wajib
b)      Puasa Sunah
c)      Puasa Makruh
d)     Puasa Haram

2.      Dasar Hukum Puasa
a.      Puasa Wajib, yang meliputi: 1) Puasa bulan Ramaan,2) Puasa qaa, 3) Puasa nażar, dan 4) Puasa kaffȃrat.

1)      Puasa Ramaan, adalah puasa yang diwajibkan atas setiap Muslim selama sebulan penuh pada bulan Ramaan; Puasa Ramaan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Para ahli fiqh telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan Ramaan hukumnya wajib; Kewajiban (Perintah) untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramaan ditetapkan berdasarkan al-qur’ȃn, sunah dan kesepakatan para ulama (Ijma’);

Dalil yang menyatakan kewajiban berpuasa disebut dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَاكُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa [7]
Sejarah agama-agama didunia, telah membuktikan bahwa semua agama yang dianut umat manusia mengenal puasa dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk ritual [8]; Hanya saja pada umumnya, puasa yang dilakukan agama-agama terdahulu itu, sebagai tanda berkabung, kemalangan dan duka cita; Mereka berpuasa saat menerima musibah. Bukti sejarah ini menampakkan bahwa, usia puasa telah begitu lanjut, hampir seusia dengan umat manusia.
Encyclopedia Britannica menyebutkan, bahwa hanya agama konghucu sajalah yang tidak mengenal aturan puasa; Sedangkan pada agama Zaratustra yang sering disebut tidak mengenal aturan puasa, tercantum suruhan kepada para pendetanya untuk sekurang-kurangnya puasa Lima tahun sekali.
Agama Nasarani, walaupun kini dianggap tidak begitu penting menjalankan ibadah puasa, tapi tercatat bawa Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari, melainkan juga menjalankan puasa pada hari penebusan; bahkan Yesus Kristus memerintahkan kepada muridnya untuk berpuasa seperti tercantum dalam Injil Matius [6]: 16-16 yang menyebutkan: “Dan apabila puasa, janganlah kamu menyerupai orang munafik…”
Kewajiban puasa bagi Agama Yahudi, tercantum secara jelas dalam Kitab Taurat yang dikenal dengan istilah hari Asyura (pada hari kesepuluh dari bulan ke-tujuh) [9].
Dasar hukum berupa Sunah (hadiś), yang menerangkan kewajiban berpuasa antara lain, adalah hadiś yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما اَنَّ النبي صلِى الله عليه وسلم قال: بُنِيَ الأِسْلامُ عَلىَ خَمْس ٍشَهَادَةُ اَنْ لاَالَهَ اِلاَّ الله وَاَنَّ مُحَمَّدا رَسُولُ اللهِ وَاِقاَمُ الصَلاةِ وَإيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحِجُّ الْبَيْتِ.[10]
Dari Ibnu Umar r.a, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:: Islam dibangun diatas lima pondasi; Pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan șalat, menunaikan (membayar) zakat, puasa pada bulan Ramaan, dan melaksanakan haji ke Baitullah bagi orang yang mampu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Puasa Ramaan mulai diwajibkan oleh Allah Swt atas umat Muhammad Saw pada Tanggal 10 Ramaan, satu setengah tahun sesudah hijrah; Ketika itu Nabi Muhammad s.a.w baru saja diperintah untuk mengalihkan arah Kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka’bah di Masjidilharam (Mekah)[11].

Puasa Ramadhan wajib dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan Ramaan; Apabila langit dalam keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tidak dapat dilihat atau disaksikan, maka bulan Ramaan disempurnakan tigapuluh hari; Hal ini didasarkann pada Q.S.Al-Baqarah [2]: 185

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
“Barangsiapa yang menyaksikan bulan diantara kamu, hendaklah berpuasa” (Q.S.Al-Baqarah [2]: 185)

Ada lagi hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, yang lafaz hadisnya sbb:

عن ابي هريرة رضي الله عنه يقول: قالَ النبيُ صلىَّ الله عليه وسلم اَوْ قالَ اَبوُالْقَاسِمِ صلىَّ الله عليه وسلم: صُومُوا لِرُؤيَتِهِ وَافْطُرُوا لِرُؤيَتِهِ فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَ ثِينَ. رواه البخاري[12]

Dari Abi Hurairah r.a bersabda Rasulullah Saw (yang dikenal dengan sebutan Abu Qasim): “Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihatnya; Akan tetapi, apabila engkau tidak melihatnya, maka sempurnakan jumlah bulan Sya’ban (atau Ramaan atau bulan lainnya) menjadi tigapuluh hari.” (HR Bukhari).

2)      Puasa qaa, adalah puasa yang wajib dikerjakan karena meninggalkan puasa di bulan Ramaan, baik karena uzur, sakit atau musafir (bepergian), sebanyak hari yang ditinggalkannya; Firman Allah Q.S.Al-Baqarah [2]: 185

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْعَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ  مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Maka jika diantara kamu ada yang sakit, atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (di luar bulan Ramaan).

Hadiś lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan:
عن عائشة رضي الله عنها : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ ,صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ . رواه البخاري ومسلم[13]

Artinya: “Barangsiapa meninggal dunia (mati), dan masih ada kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaa) oleh walinya.

Terdapat silang pendapat bagi fuqaha, ada juga fuqaha yang mengatakan bahwa, jika seseorang meninggal dunia, sedang ia mempunyai tanggungan puasa, maka segolongan fuqaha berpendapat bahwa seseorang tidak berpuasa atas nama orang lain, akan tetapi walinya harus mengeluarkan makanan (fidyah) atas namanya; Bahkan ada juga pendapat yang memisahkan antara puasa nażar dengan puasa wajib, dalam hal ini, untuk puasa nażar, walinya harus berpuasa atas nama yang meninggal itu. Sedangkan untuk puasa wajib, maka tidak ada puasa atas nama orang tersebut.[14]

Alasan lain bagi fuqaha yang berpendapat apabila meninggal dunia (mati), dan masih ada kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaa) oleh walinya, karena berpedoman pada hadis ahih dari Ibnu Abbas sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ الله إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ - قَالَ - فَدَيْنُ الله أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »[15]

Artinya: Berkata ibnu Abbas: Seseorang laki-laki datang kepada Nabi Saw, kemudian berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal, sedangkan dia ada kewajiban puasa sebulan, apakah aku harus mengqaa’nya atas namanya?” Rasulullah berkata, “Andaikan ibumu mempunyai hutang, apakah engkau harus melunasinya?” jawab lelaki itu, “Ya” Berkatalah Rasulullah Saw, “Begitu pula hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.”

3)      Puasa Nażar, ialah puasa yang wajib dilaksanakan oleh orang yang bernażar, sebanyak hari yang dinażarkan. Nażar, telah disyari’atkan kepada umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw; Puasa Nażar, dapat disimak (disinyalir) dari pernyataan Siti Maryam yang menguraikan nażarnya, sebagaimana ditegaskan dalam: Q.S. Maryam [19]: 26
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا نَزَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

Maka katakanlah (Hai Maryam), Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; Maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini (Q.S.Maryam [19]: 26).

Ditegaskan juga dalam: Q.S.Ali Imran [3]: 35
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَافِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah), ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazarkan kepada Engkau anak yang ada dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Makdis); Karena itu, terimalah (nażar) itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui”

Nażar, artinya mewajibkan atau mengharuskan pada dirinya; Maksudnya, mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Nażar, disyari’atkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis; Dalam al-Qur’an, nazar disebutkan dalam: Q.S.Al-Hajj [22]: 29; juga dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 270

وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ  وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“…Dan hendaklah mereka menyempurnakan nażar-nażar mereka, dan hendaklah mereka melakukan țawaf keliling rumah tua itu (Baitullah)” (Q.S.Al-Hajj [22]: 29.

Firman Allah dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 270

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ الله يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار

“Apa saja infak yang kamu nafkahkan atau apasaja yang kamu nażarkan[16], maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, tidak ada seorang penolong-pun bagi orang yang berbuat alim” (Q.S.Al-Baqarah [2]: 270).

Dipertegas lagi dalam Q.S.At-Taubah [9]: 75-77 sebagai berikut:

Nåk÷]ÏBur ô`¨B yyg»tã الله ïúÈõs9 $oY9s?#uä `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù £`s%£¢ÁoYs9 £`tRqä3uZs9ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÐÎÈ !$£Jn=sù Oßg9s?#uä `ÏiB ¾Ï&Î#ôÒsù (#qè=σr2 ¾ÏmÎ/ (#q©9uqs?ur Nèd¨r šcqàÊ̍÷èB ÇÐÏÈ  öNåkz:s)ôãr'sù $]%$xÿÏR Îû öNÍkÍ5qè=è% 4n<Î) ÏQöqtƒ ¼çmtRöqs)ù=tƒ !$yJÎ/ (#qàÿn=÷zr&  الله $tB çnrßtãur $yJÎ/ur (#qçR$Ÿ2 šcqç/Éõ3tƒ ÇÐÐÈ  

Artinya: Dan diantara mereka ada orang yang telah berjanji (berikrar) kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh”. Ketika Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling dengan karunia itu, dan mereka selalu menentang/membelakangi (kebenaran). “Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”.

Dasar hadiś yang berkenaan dengan nażar ini, sebagaiman hadiś yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar r.a, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bernażar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernażar untuk maksiat, maka janganlah nażar itu dilaksanakannya”.

Bagi setiap muslim dibolehkan untuk bernażar, yang berarti menunjukkan bahwa hukum bernazar itu mubah; ada pendapat yang mengatakan makruh; bahkan “sebagian ulama berpendapat hukumnya haram”[17], karena terdapat larangan nabi tentang nazar. Akan tetapi para Ulama telah sepakat bahwa hukum melaksanakan nażar itu wajib (sesuai yang dinażarkannya), asalkan nażar tersebut bertujuan untuk melakukan kebaikan (taqarrub) kepada Allah, dan bukan untuk tujuan maksiat.

Terhadap orang yang bernażar tetapi tidak melaksanakannya, baik sengaja atau karena tidak mampu melaksanakanya, diharuskan membayar kaffarat (denda) yang jumlahnya, sama dengan kaffarat melanggar sumpah; Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah s.a.w:

عَنْ أَبِى الْخَيْرِ عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ :كَفَّارَةُ النَّذْر ِكَفَّارَةُ اليَمِين .رواه مسلم ,ا بو داود ,الترميذي ,النسائي وأ حمد فى السنة[18]

“Dari Abi Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Ȃmir, dari Rasulullah bersabda: Denda nażar adalah denda sumpah” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasȃi, dan Ahmad)

Maksud hadiś ini, memilih alternatif sebagaimana kaffarat sumpah, secara berurutan sbb: memberi makan 10 orang fakir miskin (untuk setiap orang, seukuran dengan yang dimakan untuk kebutuhan sehari), memberi pakaian 10 orang fakir miskin, memerdekakan hamba sahaya atau puasa 3 hari. Prihal mengganti nażar dengan perbuatan yang lain diperbolehkan, akantetapi ia tetap diharuskan membayar kaffarat sebagai sanksi atas nażar yang tidak dilaksanakannya.

Prinsip yang harus dipatuhi dalam bernażar, yaitu:
a.       Keinginan nażar harus diucapkan (dilafalkan), bukan hanya tersirat dalam hati;
b.      Tujuan nażar semata karena Allah;
c.       Tidak dibenarkan untuk suatu perbuatan yang dilarang atau makruh;
d.      Jika yang bernażar meninggal dunia sebelum melaksanakan nażarnya, maka nażar tersebut harus dipenui oleh keluarganya.[19]

Ditinjau dari segi lafal atau sigat-nya, nażar dibagi kepada dua, yaitu:
a)      Nażar muțlak (gairu masyruț); yaitu nażar yang dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah, tanpa ada sebab atau syarat tertentu; misalnya: bernażar untuk sujud syukur, bernażar untuk puasa pada hari tertentu.
b)      Nażar muqaiyad (masyruț); yaitu nażar yang dilakukan karena mempeoleh suatu nikmat atau meraih kesuksesan tertentu. Misalnya, bernażar ketika lulus dalam ujian, memperoleh suatu keuntungan, karena terhindar dari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa dan keluarga.

Ditinjau dari segi isi, nażar terbagi kepada dua, yaitu:
a.       Nażar untuk mengerjakan suatu perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan ibadah yang disyari’atkan dan atau perbuatan mubah;

b.      Nażar untuk meningglkan perbuatan yang dilarang atau yang makruh hukumnya, seperti bernażar untuk meningglkan kebiasaan merokok dll [20].

4)      Puasa Kaffarat, adalah puasa yang dilakukan seseorang karena melanggar suatu aturan yang telah ditentukan, seperti:

a.       Jika seseorang yang dengan sengaja bersetubuh pada siang hari di bulan Ramaan tanpa ‘uzur, maka baginya wajib mengqaa dan Kaffȃrat.
b.      Jika seorang bersumpah dengan sengaja, dan kemudian dilanggarnya, maka kaffarat sumpah tersebut adalah “memberi makan 10 orang miskin, bila tidak, maka kaffaratnya berupa puasa selama 3 hari”
c.       Jika orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang Islam lain, dan ia tidak cukup mampu untuk menebus dengan memerdekakan budak yang beriman (istilah budak untuk saat ini tidak relevan lagi), maka Ia diwajibkan menjalankan puasa 2 bulan berurut-turut (Q.S.4-An-Nisa’: 92) [21]
d.      Membunuh dengan sengaja binatang buruan (yang boleh dimakan atau tidak, kecuali: Burung Gagak, Elang, Kalajengking, Tikus, Anjing buas termasuk Ular) padahal ia sedang melakukan Ihram, maka kaffaratnya: mengganti dengan binatang ternak sebagai hadyu (qurban) yang disembelih di tanah haram; atau memberi makan orang miskin senilai harga binatang ternak tersebut, atau berpuasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin.

Catatan:
v  Boleh menyembelih binatang ternak (ukuran Qurban);
v  Boleh Memberi makan fakir miskin senilai harga ternak (sehingga dapat dihitung berapa orang fakir miskinkah dari nilai harga tersebut)
v  Boleh berpuasa, Seorang fakir miskin mendapat satu mud/ ± 6, 5 ons [22] (± Rp 15.000 sudah layak makan 1 orang miskin); Bila harga ternak Rp 900.000: Rp 15.000 × 1 hari = 60 hari = 2 bulan berturut-turut.

b.      Puasa Tațauwu’ (Sunah); adalah puasa yang tidak diparukan (tidak diwajibkan) yang seringkali disebut dengan puasa sunah, sehingga tidak dihukum durhaka atau tidak berdosa (tidak celaka) bagi seseorang yang sengaja meninggalkannya. Puasa sunah ini meliputi puasa-puasa sebagai berikut:

1)      Puasa yang dilakukan selama enam hari pada bulan Syawal. Puasa enam hari ini dapat dilakukan secara berturut-turut atau tidak, tetapi yang pertama (berturut-turut) lebih baik daripada yang kedua; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Ayub R.a:
عن ابي أيوب قالَ رسول الله صلىَّ الله عليه وسلم مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمّ َاَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدِّهْرِ . رواه مسلم

“Barangsiapa yang melakukan puasa selama enam hari sesudah puasa Ramaan, ia seakan-akan telah berpuasa wajib sepanjang tahun.”[23]

2)      Puasa pada hari Senin dan Kamis. Hal ini didasarkan pada hadis Usamah bin Zaid: “Nabi s.a.w berpuasa pada hari Senin dan Kamis”. Sewaktu beliau ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa amalan-amalan manusia dilaporkan pada hari Senin dan Kamis”[24].

3)      Puasa hari Arafah, yaitu puasa yang dilakukan pada (Tanggal 9 Zulhijah) bagi orang yang tidak sedang melakukan ibadah haji. Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah yang artinya: “puasa hari Arafah dapat menghapus dosa 2 tahun, setahun yang lampau dan setahun mendatang.” Dan hadis dari Abi Qatadah yang diriwayatkan oleh Muslim, Nabi s.a.w bersabda: “Tiadalah dari hari yang paling banyak Allah membebaskan hambanya dari api neraka selain hari ‘Arafah”. Bagi orang yang sedang melakukan haji, puasa pada hari itu tidak disunahkan, bahkan sebaiknya disunahkan untuk tidak berpuasa.

4)      Puasa pada hari kedelapan bulan Zulhijah (sebelum hari Arafah). Puasa ini disunahkan tidak hanya bagi orang yang melakukan haji, tetapi juga bagi orang yang tidak melakukan haji;

5)      Puasa Tasu’a dan ‘Asyura; yaitu puasa yang dilakukan pada Tanggal 9 dan 10 Muharam. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas r.a berkata: “jika aku masih hidup sampai masa (bulan) depan, aku akan melaksanakan puasa pada hari yang ke 9 dan 10 Muharam”: dan hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah Rasulullah bersabda: “Puasa hari ‘Asyura (10 Muharam) itu menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”.

6)      Puasa pada bulan-bulan yang terhormat (al-Asyhur al-haram), yaitu puasa yang dilakukan pada bulan-bulan zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab; Keempat bulan ini merupakan bulan yang paling baik untuk melaksanakan puasa sesudah bulan Ramadhan; hal ini berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah, sesungguhnya nabi bersabda: “alat yang paling baik setelah alat yang diwajibkan adalah șalat tengah malam, dan puasa yang lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan terhormat”.

Menurut ahli fiqh Hanafiyah, puasa yang dianjurkan ini adalah tiga hari setiap bulan tersebut, yaitu hari Kamis, Jum’at dan Sabtu[25]. Puasa bulan Sya’ban, hal ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar R.a

7)      Puasa yang dilakukan selang satu hari (hari ini berpuasa, besok tidak) atau puasa Nabi Daud; puasa seperti ini lebih utama daripada puasa-puasa sunah lainnya; Hal ini dijelaskan Rasulullah s.a.w dalam hadis sahih yang diriwayatkan Rasulullah s.a.w dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab: “Puasa sunnah yang terbaik ialah puasa yang dilakukan Nabi Daud, seharinya ia berpuasa dan seharinya tidak.”

8)      Puasa selama tiga hari dalam setiap bulan (Hijrah), waktu yang paling baik untuk melakukan puasa ini ialah pada Tanggal 13, 14, 15; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Nasa’i dan Ibnu Hibban, bahwa pahala puasa yang dilaksanakan selama tiga hari ini nilainya sama dengan puasa yang dilakukan sepanjang tahun;

c.        Puasa Makruh. Puasa makruh ini terbagi atas tiga macam:
1)      Puasa yang dilakukan pada hari Jum’at, kecuali beberapa hari sebelumnya telah berpuasa; Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang isinya melarang orang berpuasa pada hari jum’at, kecuali telah berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya;

2)      Puasa Wișal, yaitu puasa yang dilakukan secara bersambung tanpa makan atau minum pada malam harinya;

3)      Puasa dahri, puasa yang dilakukan terus menerus.[26]

d.      Puasa Haram, yakni puasa yang mencakup puasa-puasa sebagai berikut:

1)      Puasa sunah yang dilakukan oleh seorang istri tanpa izin suaminya; Seorang istri hendak melakukan puasa sunah, harus terlebih dahulu diketahui dan mendapat izin dari suaminya; Hal ini didasarkan pada hadis yang menjelaskan bahwa tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa (sunah) sewaktu suami berada dirumah (ditempat), kecuali atas izinnya (HR. Bukhari dan Muslim);

2)      Puasa yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Aha; Larangan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menyebutkan: “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang berpuasa pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul aha;

3)      Puasa pada tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijah);

عن انس أنَّ النَّبيَ صلىَّ الله عليه وسلم نَهَى عَنْ صَوْمِ خَمْسَةَ ايَّامٍ فى السَّنَةِ : يَوْمَ الفِطْر ِ, وَيَوْمَ النَّحَر ِوثَلاثةَ أَيَّامِ التَّشْر ِيْق ِ. رواه الدار قطني[27]
Dari Anas, bahwasanya Nabi s.a.w telah melarang berpuasa Lima hari dalam satu tahun, yaitu: Hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Aha, dan hari Tasyriq (HR. Dar Quțni)

4)      Puasa yang dilakukan dalam keadaan haid dan nifas;
5)      Menurut Mazhab Syafi’i, puasa yang dilaksanakan pada pertengahan akhir bulan Syakban
6)      Puasa yang dilakukan oleh seseorang yang takut terjadi mudarat bagi dirinya, apabila ia melakukan puasa.



[1] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 274
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Dȃr al-Fikri, 1983, h.  364; Lihat juga Fikih Sunnah, III, alih bahasa Mayuddin Syaf, Cet. I, 1978, h. 161.

[3] Muhammad Bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid II, Maktabah Dahlan , Bandung, t.t, h. 150.

[4] Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al-Islamy waadillatuhu, I, Dȃr Al-Fikr, h. 566.

[5] Direktorat Jenderal Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, 2010, h. 36.
[6] I’tikaf ialah: berada dalam masjid dengan niat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
[7] Direktorat Jenderal Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, 2010, h. 34.

[8] Yusuf Qardhawi, Al-Ibadah fie al-Islam, Muassasah al-Risalah, cet.6, Beirut, 1979, h. 272; Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 277
[9] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 278

[10] Al-Bukhari, Ṣaheh Bukhari, juz I,  Dȃr ibn Kaşir, Beirut, 1987/1407, h.12; Lihat juga, Imam Muslim, Ṣaheh Muslim, juz I, Dȃr Ihya’, Beirut, h.45
[11] Departemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h.113
[12] Al-Bukhari, Ṣahih Bukhari, juz 2, Wizȃratul Auqȃt, Mesir, h.674
[13] Al-Bukhari, Ṣahih Bukhari, juz 2, Dȃr Ibn Kaşir, Beirut, h.690; lihat juga Juz 7, h. 270.

[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (terjemah), jilid 1, Asy-Syifa’, Semarang, 1990, h. 624
[15] Al-Bukhari, Ṣahih Bukhari, juz 2, Dȃr Ibn Kaşir, Beirut, h.690; lihat juga  Al-Bukhari, Ṣahih Bukhari Juz 7, Wizȃratul Auqȃt, Mesir, h. 271.

[16]Dimaksud nazar disini, adalah janji untuk melakukan suatu kebaikan terhadap Allah Swt untuk mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan syarat ataupun tidak
[17] Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Fikih Ibadah, terjemah Taufik Aulia Rahmat (Editor), Tim Editor Media Zikir, Solo, 2010, h. 379
[18] Muslim, Ṣahih Muslim, juz 5, Dȃr al-Jȋl, Beirut, h. 80
[19]  Depdiknas, Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h. 25
[20] Depdiknas, Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h. 25
            [21] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 291
            [22] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 291

            [23] As-Syaukani, Nailul Authar, IV, Maktabah wa Mathba’ah al-Babil Halabi, tt, h. 237

            [24] Muhammad bin Ismail, Al-kahlani, Subul al-Salam, jilid II, Maktabah Isyiq, Istanbul, Turki, 1957 M/ 1411. H, h. 166
            [25] Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al-Islamy Wa adillatuhu,II, Daar Al-Fikr, 1989, h. 588-591
[26] Depdiknas, Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h. 114
[27] Abu Hasan Ali ibn Umar ibn Mas’ud, Sunan Dȃr Quțni, 6, Wizaratul Auqaf, Mesir, h. 192