A.
Pengertian Puasa
Puasa adalah suatu bentuk “ibadah
dalam Islam yang berarti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan
ibadah tersebut pada siang hari (mulai terbit fajar sampai terbenam matahari)”;
Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “Ṣiam”
atau “Ṣaum”
yang secara etimologis berarti menahan diri dari sesuatu (الأمساك
عن الشيئٍ ).
Termasuk dalam pengertian ini, menahan diri berbicara dengan orang lain;
sebagaimana disebutkan dalam Q.S.Maryam [19]: 26
فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ
الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya: “Maka katakanlah
(Hai Maryam), sesungguhnya aku telah bernażar
berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan
seseorang manusiapun pada hari ini”.
Kuda
yang diam dan tidak bergerak disebut “Ṣaim”,
demikian juga angin yang tenang disebut “Ṣaum”;
Dengan demikian dapat dipahami bahwa, dalam Puasa
terkandung pengertian “ketenangan”[1]
Puasa
dalam pengertian terminologis ialah: Suatu ibadah yang diperintahkan Allah,
dilaksanakan dengan cara menahan makan, minum dan hubungan seksual (menahan
diri dari segala apa yang membatalkan puasa) dari terbit fajar sampai terbenam
matahari, dengan disertai niat.[2]
Al-Kahlani
mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual
dan lain-lain yang diperintahkan untuk menahan diri menurut cara yang telah
ditentukan syara’.[3]
Sedangkan Az-Zuhaili mendefinisikan puasa dengan: menahan diri dari
segala yang membatalkan puasa diwaktu siang hari, sejak terbit fajar sadiq
(sinar putih yang terbentang di ufuk timur), hingga terbenam matahari, atau
menahan diri dari syahwat perut dan faraj (kemaluan), dan dari sesuatu yang
masuk kedalam rongga kerongkongan, baik berupa obat-obatan, makanan, minuman
dan semacamnya, pada waktu yang telah ditentukan,[4]
yang dilakukan oleh orang muslim yang berakal, tidak haid, tidak nifas, dengan
melakukanny secara yakin.
Serangkaian
dalam pengertian terminologis (syar’i) ini, Puasa digambarkan dalam Q.S.Al-Baqarah
[2]: 187, pada intinya “menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual
dari terbit fajar hingga terbenam matahari.[5]
Lafaz ayatnya sbb:
¨@Ïmé& öNà6s9 s's#øs9 ÏQ$uÅ_Á9$# ß]sù§9$# 4n<Î) öNä3ͬ!$|¡ÎS 4 £`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3 zNÎ=tæ ªﷲ öNà6¯Rr& óOçGYä. cqçR$tFørB öNà6|¡àÿRr& z>$tGsù öNä3øn=tæ $xÿtãur öNä3Ytã (
z`»t«ø9$$sù £`èdrçų»t/ (#qäótFö/$#ur $tB |=tF2 ﷲ öNä3s9 4
(#qè=ä.ur (#qç/uõ°$#ur 4Ó®Lym tû¨üt7oKt ãNä3s9 äÝøsø:$# âÙuö/F{$# z`ÏB ÅÝøsø:$# ÏuqóF{$# z`ÏB Ìôfxÿø9$# (
¢OèO (#qJÏ?r& tP$uÅ_Á9$# n<Î) È@ø©9$# 4
wur Æèdrçų»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$# 3
y7ù=Ï? ßrßãn ﷲ «xsù $ydqç/tø)s? 3
y7Ï9ºxx. ÚúÎiüt6ã ﷲª
¾ÏmÏG»t#uä Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 cqà)Gt
Artinya:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena
itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) jangan kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [6]
dalam masjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka
bertakwa”.
Mencermati
beberapa definisi di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa, puasa yaitu: ibadah
yang diperintahkan Allah kepada hamba-Nya yang beriman, dengan cara menahan
diri dari makan, minum dan hubungan seksual (menahan diri dari segala apa yang
membatalkan puasa), menurut cara yang ditentukan syara’ dari terbit fajar
sampai terbenam matahari, dengan disertai niat. Juga, disertai menahan diri
dari perkataan sia-sia, perkataan porno (yang merangsang)
Mengambil
makna puasa dalam arti menahan diri dari segala yang membatalkan dan merusak
niat puasa; Al-Gazali dalam Ihya’ Ulumuddin, membaginya kepada tiga tingkat;
yaitu 1) Puasa umum, 2) Puasa Khusus dan 3) Puasa Khușus
al-Khawaș.
1)
Puasa
umum, yang dimaksud disini adalah puasa hanya dengan menahan
diri dari makan, minum, serta hubungan seksual ansich. Artinya, mereka
melaksanakan puasa, sementara perbuatan yang lain sepanjang tidak membatalkan
puasa, sebagaimana ditetapkan oleh syara’ tetap dilakukan olehnya; seperti:
mencuri, berjudi, dan lain perbuatan yang bersifat menjurus kepada maksiat dan
dosa.
2)
Puasa
Khusus; ialah selain ia menahan diri dalam pengertian puasa
umum di atas, ditambah dengan menahan diri dari perkataan, pandangan,
pengelihatan dan perbuatan yang cenderung mengarah kepada hal-hal yang tidak
baik (negatif/ tidak pantas).
3)
Puasa
Khușus al-Khawaș,
adalah puasa disamping menahan diri dari pengertian kedua tingkatan di atas,
juga ditambah dengan puasa hati; artinya menahan hati dari segala kecenderungan
yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat keduniaan.
B.
Macam dan Dasar Hukum Puasa
1.
Macam-macam
Puasa
Puasa dibagi atas beberapa macam, diantaranya:
a)
Puasa
Ramaḑan
b)
Puasa
Qaḑa
c)
Nażar
d)
Puasa
Kaffȃrat (Tebusan, denda)
e)
Puasa
Tațauwu’ (Sunah)
Kelima
macam puasa tersebut, bila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya, puasa
dibagi dua; yaitu puasa yang dilaksanakan di bulan Ramaḑan,
dan puasa yang dilaksanakan di luar bulan Ramaḑan.
Bila
dilihat dari segi hukumnya, puasa dibagi kepada empat, yaitu;
a)
Puasa
Wajib
b)
Puasa
Sunah
c)
Puasa
Makruh
d)
Puasa
Haram
2.
Dasar Hukum Puasa
a.
Puasa
Wajib, yang meliputi: 1) Puasa bulan Ramaḑan,2)
Puasa qaḑa, 3) Puasa nażar,
dan 4) Puasa kaffȃrat.
1)
Puasa
Ramaḑan, adalah puasa yang
diwajibkan atas setiap Muslim selama sebulan penuh pada bulan Ramaḑan;
Puasa Ramaḑan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Para ahli
fiqh telah sepakat menetapkan bahwa puasa dalam bulan Ramaḑan
hukumnya wajib; Kewajiban (Perintah) untuk melaksanakan puasa pada bulan Ramaḑan
ditetapkan berdasarkan al-qur’ȃn,
sunah dan kesepakatan para ulama (Ijma’);
Dalil yang menyatakan
kewajiban berpuasa disebut dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَاكُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa [7]
Sejarah
agama-agama didunia, telah membuktikan bahwa semua agama yang dianut umat
manusia mengenal puasa dan menjadikannya sebagai salah satu bentuk ritual [8];
Hanya saja pada umumnya, puasa yang dilakukan agama-agama terdahulu itu,
sebagai tanda berkabung, kemalangan dan duka cita; Mereka berpuasa saat
menerima musibah. Bukti sejarah ini menampakkan bahwa, usia puasa telah begitu
lanjut, hampir seusia dengan umat manusia.
Encyclopedia
Britannica menyebutkan, bahwa hanya agama konghucu sajalah yang tidak mengenal
aturan puasa; Sedangkan pada agama Zaratustra yang sering disebut tidak
mengenal aturan puasa, tercantum suruhan kepada para pendetanya untuk sekurang-kurangnya
puasa Lima tahun sekali.
Agama
Nasarani, walaupun kini dianggap tidak begitu penting menjalankan ibadah puasa,
tapi tercatat bawa Yesus Kristus bukan saja menjalankan puasa empatpuluh hari,
melainkan juga menjalankan puasa pada hari penebusan; bahkan Yesus Kristus
memerintahkan kepada muridnya untuk berpuasa seperti tercantum dalam Injil
Matius [6]: 16-16 yang menyebutkan: “Dan apabila puasa, janganlah kamu
menyerupai orang munafik…”
Kewajiban
puasa bagi Agama Yahudi, tercantum secara jelas dalam Kitab Taurat yang dikenal
dengan istilah hari Asyura (pada hari kesepuluh dari bulan ke-tujuh) [9].
Dasar
hukum berupa Sunah (hadiś), yang menerangkan kewajiban berpuasa antara lain,
adalah hadiś yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar
sebagai berikut:
عن
ابن عمر رضي الله عنهما اَنَّ النبي صلِى الله عليه وسلم قال: بُنِيَ الأِسْلامُ
عَلىَ خَمْس ٍشَهَادَةُ اَنْ لاَالَهَ اِلاَّ الله
وَاَنَّ مُحَمَّدا رَسُولُ اللهِ وَاِقاَمُ
الصَلاةِ وَإيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ وَحِجُّ
الْبَيْتِ.[10]
Dari
Ibnu Umar r.a, Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:: Islam dibangun diatas
lima pondasi; Pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul
Allah, mendirikan șalat, menunaikan (membayar) zakat, puasa pada bulan Ramaḑan, dan melaksanakan haji
ke Baitullah bagi orang yang mampu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Puasa
Ramaḑan mulai diwajibkan oleh Allah Swt
atas umat Muhammad Saw pada Tanggal 10 Ramaḑan,
satu setengah tahun sesudah hijrah; Ketika itu Nabi Muhammad s.a.w baru saja
diperintah untuk mengalihkan arah Kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke
Ka’bah di Masjidilharam (Mekah)[11].
Puasa
Ramadhan wajib dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada awal bulan
Ramaḑan; Apabila langit dalam keadaan
berawan yang mengakibatkan bulan tidak dapat dilihat atau disaksikan, maka
bulan Ramaḑan
disempurnakan tigapuluh hari; Hal ini didasarkann pada Q.S.Al-Baqarah [2]: 185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه
“Barangsiapa yang menyaksikan bulan
diantara kamu, hendaklah berpuasa” (Q.S.Al-Baqarah [2]: 185)
Ada lagi hadis yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, yang lafaz hadisnya sbb:
عن ابي هريرة رضي الله عنه يقول: قالَ
النبيُ صلىَّ الله عليه وسلم اَوْ قالَ اَبوُالْقَاسِمِ
صلىَّ الله عليه وسلم: صُومُوا لِرُؤيَتِهِ وَافْطُرُوا لِرُؤيَتِهِ فَإِنْ
غُبِّىَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَ ثِينَ. رواه
البخاري[12]
Dari
Abi Hurairah r.a bersabda Rasulullah Saw (yang dikenal dengan sebutan Abu Qasim):
“Berpuasalah kamu karena melihat bulan, dan berbukalah karena melihatnya; Akan
tetapi, apabila engkau tidak melihatnya, maka sempurnakan jumlah bulan Sya’ban
(atau Ramaḑan atau
bulan lainnya) menjadi tigapuluh hari.” (HR Bukhari).
2) Puasa
qaḑa, adalah puasa yang wajib dikerjakan
karena meninggalkan puasa di bulan Ramaḑan,
baik karena uzur, sakit atau musafir (bepergian), sebanyak hari yang
ditinggalkannya; Firman Allah Q.S.Al-Baqarah [2]: 185
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ
مَرِيضًا أَوْعَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: “Maka jika diantara kamu
ada yang sakit, atau dalam perjalanan (lalu berbuka), maka wajiblah baginya
berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (di luar
bulan Ramaḑan).
Hadiś lain yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim menyebutkan:
عن
عائشة رضي الله عنها : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ ,صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ . رواه
البخاري ومسلم[13]
Artinya: “Barangsiapa meninggal
dunia (mati), dan masih ada kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaḑa) oleh walinya.
Terdapat
silang pendapat bagi fuqaha, ada juga fuqaha yang mengatakan bahwa, jika
seseorang meninggal dunia, sedang ia mempunyai tanggungan puasa, maka
segolongan fuqaha berpendapat bahwa seseorang tidak berpuasa atas nama orang
lain, akan tetapi walinya harus mengeluarkan makanan (fidyah) atas namanya;
Bahkan ada juga pendapat yang memisahkan antara puasa nażar dengan puasa wajib, dalam hal
ini, untuk puasa nażar,
walinya harus berpuasa atas nama yang meninggal itu. Sedangkan untuk puasa
wajib, maka tidak ada puasa atas nama orang tersebut.[14]
Alasan
lain bagi fuqaha yang berpendapat apabila meninggal dunia (mati), dan masih ada
kewajiban puasa atasnya, maka dipuasakanlah (diqaḑa)
oleh walinya, karena berpedoman pada hadis Ṣahih
dari Ibnu Abbas sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى
الله عنهما قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا
رَسُولَ الله إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ ، وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ «
نَعَمْ - قَالَ - فَدَيْنُ الله أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى »[15]
Artinya: Berkata ibnu Abbas:
Seseorang laki-laki datang kepada Nabi Saw, kemudian berkata, “ya Rasulullah,
sesungguhnya ibuku meninggal, sedangkan dia ada kewajiban puasa sebulan, apakah
aku harus mengqaḑa’nya
atas namanya?” Rasulullah berkata, “Andaikan ibumu mempunyai hutang, apakah
engkau harus melunasinya?” jawab lelaki itu, “Ya” Berkatalah Rasulullah Saw,
“Begitu pula hutang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.”
3) Puasa
Nażar, ialah puasa yang wajib dilaksanakan
oleh orang yang bernażar,
sebanyak hari yang dinażarkan.
Nażar, telah disyari’atkan kepada umat
terdahulu sebelum Nabi Muhammad Saw; Puasa Nażar,
dapat disimak (disinyalir) dari pernyataan Siti Maryam yang menguraikan nażarnya, sebagaimana ditegaskan dalam:
Q.S. Maryam [19]: 26
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي
عَيْنًا فَإِمَّا نَزَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ
لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Maka katakanlah (Hai Maryam),
Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; Maka
aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari ini (Q.S.Maryam
[19]: 26).
Ditegaskan
juga dalam: Q.S.Ali Imran [3]: 35
إِذْ قَالَتِ امْرَأَةُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَافِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ
مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
(Ingatlah),
ketika istri Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazarkan kepada
Engkau anak yang ada dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat
(di Baitul Makdis); Karena itu, terimalah (nażar)
itu dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha mengetahui”
Nażar,
artinya mewajibkan atau mengharuskan pada dirinya; Maksudnya, mewajibkan kepada
diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud
untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Nażar,
disyari’atkan berdasarkan al-Qur’an dan hadis; Dalam al-Qur’an, nazar
disebutkan dalam: Q.S.Al-Hajj [22]: 29; juga dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 270
وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“…Dan hendaklah mereka
menyempurnakan nażar-nażar mereka, dan hendaklah
mereka melakukan țawaf
keliling rumah tua itu (Baitullah)” (Q.S.Al-Hajj [22]: 29.
Firman
Allah dalam Q.S.Al-Baqarah [2]: 270
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ
نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ الله يَعْلَمُهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَار
“Apa saja infak
yang kamu nafkahkan atau apasaja yang kamu nażarkan[16],
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya, tidak ada seorang penolong-pun bagi
orang yang berbuat ẓalim”
(Q.S.Al-Baqarah [2]: 270).
Dipertegas lagi dalam Q.S.At-Taubah
[9]: 75-77 sebagai berikut:
Nåk÷]ÏBur ô`¨B yyg»tã الله ïúÈõs9 $oY9s?#uä `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù £`s%£¢ÁoYs9 £`tRqä3uZs9ur z`ÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÐÎÈ !$£Jn=sù Oßg9s?#uä `ÏiB ¾Ï&Î#ôÒsù (#qè=Ïr2 ¾ÏmÎ/ (#q©9uqs?ur Nèd¨r cqàÊÌ÷èB ÇÐÏÈ öNåkz:s)ôãr'sù $]%$xÿÏR Îû öNÍkÍ5qè=è% 4n<Î) ÏQöqt ¼çmtRöqs)ù=t !$yJÎ/ (#qàÿn=÷zr& الله $tB çnrßtãur $yJÎ/ur (#qçR$2 cqç/Éõ3t ÇÐÐÈ
Artinya:
Dan diantara mereka ada orang yang telah berjanji (berikrar) kepada Allah:
"Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami,
pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh”.
Ketika Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka
menjadi kikir dan berpaling dengan karunia itu, dan mereka selalu menentang/membelakangi
(kebenaran). “Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai kepada
waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri janji yang telah
mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta”.
Dasar
hadiś yang berkenaan dengan nażar ini, sebagaiman hadiś yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Aisyah binti Abu Bakar r.a, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
bernażar untuk taat kepada Allah,
hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernażar untuk maksiat, maka janganlah nażar itu dilaksanakannya”.
Bagi
setiap muslim dibolehkan untuk bernażar,
yang berarti menunjukkan bahwa hukum bernazar itu mubah; ada pendapat
yang mengatakan makruh; bahkan “sebagian ulama berpendapat hukumnya haram”[17],
karena terdapat larangan nabi tentang nazar. Akan tetapi para Ulama telah
sepakat bahwa hukum melaksanakan nażar
itu wajib (sesuai
yang dinażarkannya),
asalkan nażar
tersebut bertujuan untuk melakukan kebaikan (taqarrub) kepada Allah, dan bukan
untuk tujuan maksiat.
Terhadap
orang yang bernażar
tetapi tidak melaksanakannya, baik sengaja atau karena tidak mampu
melaksanakanya, diharuskan membayar kaffarat (denda) yang jumlahnya, sama
dengan kaffarat melanggar sumpah; Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah
s.a.w:
عَنْ أَبِى الْخَيْرِ عَنْ
عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ :كَفَّارَةُ
النَّذْر ِكَفَّارَةُ اليَمِين .رواه مسلم ,ا بو داود ,الترميذي ,النسائي وأ حمد
فى السنة[18]
“Dari Abi Khair, dari ‘Uqbah bin ‘Ȃmir, dari Rasulullah bersabda: Denda
nażar adalah denda sumpah” (HR. Muslim,
Abu Daud, Tirmizi, Nasȃi,
dan Ahmad)
Maksud
hadiś ini, memilih alternatif sebagaimana
kaffarat sumpah, secara berurutan sbb: memberi makan 10 orang fakir
miskin (untuk setiap orang, seukuran dengan yang dimakan untuk kebutuhan
sehari), memberi pakaian 10 orang fakir miskin, memerdekakan hamba
sahaya atau puasa 3 hari. Prihal mengganti nażar dengan perbuatan yang lain
diperbolehkan, akantetapi ia tetap diharuskan membayar kaffarat sebagai sanksi
atas nażar yang tidak dilaksanakannya.
Prinsip yang harus dipatuhi dalam
bernażar, yaitu:
a.
Keinginan
nażar harus diucapkan (dilafalkan),
bukan hanya tersirat dalam hati;
b.
Tujuan
nażar semata karena Allah;
c.
Tidak
dibenarkan untuk suatu perbuatan yang dilarang atau makruh;
d.
Jika
yang bernażar
meninggal dunia sebelum melaksanakan nażarnya,
maka nażar tersebut harus dipenui oleh
keluarganya.[19]
Ditinjau dari segi lafal atau sigat-nya, nażar
dibagi kepada dua, yaitu:
a)
Nażar muțlak (gairu masyruț);
yaitu nażar yang dilakukan semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah, tanpa ada sebab atau syarat tertentu; misalnya:
bernażar untuk sujud syukur, bernażar untuk puasa pada hari tertentu.
b)
Nażar muqaiyad (masyruț);
yaitu nażar yang dilakukan karena mempeoleh
suatu nikmat atau meraih kesuksesan tertentu. Misalnya, bernażar ketika lulus dalam ujian,
memperoleh suatu keuntungan, karena terhindar dari bahaya yang mengancam
keselamatan jiwa dan keluarga.
Ditinjau
dari segi isi, nażar terbagi kepada dua, yaitu:
a.
Nażar untuk mengerjakan suatu
perbuatan, seperti mengerjakan perbuatan ibadah yang disyari’atkan dan atau
perbuatan mubah;
b.
Nażar untuk meningglkan perbuatan yang
dilarang atau yang makruh hukumnya, seperti bernażar
untuk meningglkan kebiasaan merokok dll [20].
4) Puasa
Kaffarat,
adalah puasa yang dilakukan seseorang karena melanggar suatu aturan yang telah
ditentukan, seperti:
a.
Jika
seseorang yang dengan sengaja bersetubuh pada siang hari di bulan Ramaḑan tanpa ‘uzur, maka baginya wajib
mengqaḑa dan Kaffȃrat.
b.
Jika
seorang bersumpah dengan sengaja, dan kemudian dilanggarnya, maka kaffarat
sumpah tersebut adalah “memberi makan 10 orang miskin, bila tidak, maka
kaffaratnya berupa puasa selama 3 hari”
c.
Jika
orang Islam dengan tidak sengaja membunuh orang Islam lain, dan ia tidak cukup
mampu untuk menebus dengan memerdekakan budak yang beriman (istilah budak untuk
saat ini tidak relevan lagi), maka Ia diwajibkan menjalankan puasa 2 bulan
berurut-turut (Q.S.4-An-Nisa’: 92) [21]
d.
Membunuh
dengan sengaja binatang buruan (yang boleh dimakan atau tidak, kecuali: Burung
Gagak, Elang, Kalajengking, Tikus, Anjing buas termasuk Ular) padahal ia sedang
melakukan Ihram, maka kaffaratnya: mengganti dengan binatang ternak sebagai
hadyu (qurban) yang disembelih di tanah haram; atau memberi makan orang miskin
senilai harga binatang ternak tersebut, atau berpuasa yang jumlah harinya
sebanyak mud yang diberikan kepada fakir miskin.
Catatan:
v
Boleh
menyembelih binatang ternak (ukuran
Qurban);
v
Boleh
Memberi makan fakir miskin senilai harga ternak (sehingga dapat dihitung berapa
orang fakir miskinkah dari nilai harga tersebut)
v
Boleh
berpuasa, Seorang fakir miskin mendapat satu mud/ ± 6, 5 ons [22]
(± Rp 15.000 sudah layak makan 1 orang miskin); Bila harga ternak Rp
900.000: Rp 15.000 × 1 hari = 60 hari = 2 bulan berturut-turut.
b.
Puasa
Tațauwu’ (Sunah); adalah puasa yang tidak diparḑukan
(tidak diwajibkan) yang seringkali disebut dengan puasa sunah, sehingga tidak
dihukum durhaka atau tidak berdosa (tidak celaka) bagi seseorang yang sengaja
meninggalkannya. Puasa sunah ini meliputi puasa-puasa sebagai berikut:
1) Puasa
yang dilakukan selama enam hari pada bulan Syawal. Puasa enam hari ini dapat dilakukan secara
berturut-turut atau tidak, tetapi yang pertama (berturut-turut) lebih baik
daripada yang kedua; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Ayub
R.a:
عن ابي أيوب قالَ رسول الله صلىَّ الله عليه
وسلم مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمّ َاَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ
الدِّهْرِ . رواه مسلم
“Barangsiapa yang melakukan puasa selama enam
hari sesudah puasa Ramaḑan,
ia seakan-akan telah berpuasa wajib sepanjang tahun.”[23]
2) Puasa pada hari Senin dan Kamis. Hal
ini didasarkan pada hadis Usamah bin Zaid: “Nabi s.a.w berpuasa pada hari Senin
dan Kamis”. Sewaktu beliau ditanya tentang hal ini, beliau menjawab bahwa
amalan-amalan manusia dilaporkan pada hari Senin dan Kamis”[24].
3) Puasa hari Arafah, yaitu puasa yang
dilakukan pada (Tanggal 9 Zulhijah) bagi orang yang tidak sedang melakukan
ibadah haji. Hal ini berdasarkan pada hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah
yang artinya: “puasa hari Arafah dapat menghapus dosa 2 tahun, setahun yang
lampau dan setahun mendatang.” Dan hadis dari Abi Qatadah yang diriwayatkan
oleh Muslim, Nabi s.a.w bersabda: “Tiadalah dari hari yang paling banyak Allah
membebaskan hambanya dari api neraka selain hari ‘Arafah”. Bagi orang yang
sedang melakukan haji, puasa pada hari itu tidak disunahkan, bahkan sebaiknya
disunahkan untuk tidak berpuasa.
4) Puasa pada hari kedelapan bulan
Zulhijah (sebelum hari Arafah). Puasa ini disunahkan tidak hanya bagi orang
yang melakukan haji, tetapi juga bagi orang yang tidak melakukan haji;
5) Puasa Tasu’a dan ‘Asyura;
yaitu puasa yang dilakukan pada Tanggal 9 dan 10 Muharam. Hal ini didasarkan
pada hadis riwayat Muslim dari Ibnu Abbas r.a berkata: “jika aku masih hidup
sampai masa (bulan) depan, aku akan melaksanakan puasa pada hari yang ke 9 dan
10 Muharam”: dan hadis riwayat Muslim dari Abu Qatadah Rasulullah bersabda:
“Puasa hari ‘Asyura (10 Muharam) itu menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”.
6) Puasa pada bulan-bulan yang
terhormat (al-Asyhur al-haram), yaitu puasa yang dilakukan pada
bulan-bulan zulqaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab; Keempat bulan ini merupakan
bulan yang paling baik untuk melaksanakan puasa sesudah bulan Ramadhan; hal ini
berdasarkan hadis riwayat Muslim dari Abi Hurairah, sesungguhnya nabi bersabda:
“Ṣalat yang paling baik setelah Ṣalat yang diwajibkan adalah șalat tengah malam, dan puasa yang
lebih baik setelah bulan Ramadhan ialah puasa pada bulan-bulan terhormat”.
Menurut ahli fiqh Hanafiyah, puasa
yang dianjurkan ini adalah tiga hari setiap bulan tersebut, yaitu hari Kamis,
Jum’at dan Sabtu[25].
Puasa bulan Sya’ban, hal ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari dan Muslim
dari Aisyah binti Abu Bakar R.a
7) Puasa yang dilakukan selang satu
hari (hari ini berpuasa, besok tidak) atau puasa Nabi Daud; puasa seperti ini
lebih utama daripada puasa-puasa sunah lainnya; Hal ini dijelaskan Rasulullah
s.a.w dalam hadis sahih yang diriwayatkan Rasulullah s.a.w dalam hadis sahih
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab: “Puasa
sunnah yang terbaik ialah puasa yang dilakukan Nabi Daud, seharinya ia berpuasa
dan seharinya tidak.”
8) Puasa selama tiga hari dalam setiap
bulan (Hijrah), waktu yang paling baik untuk melakukan puasa ini ialah pada
Tanggal 13, 14, 15; Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Nasa’i dan Ibnu
Hibban, bahwa pahala puasa yang dilaksanakan selama tiga hari ini nilainya sama
dengan puasa yang dilakukan sepanjang tahun;
c. Puasa Makruh.
Puasa makruh ini terbagi atas tiga macam:
1)
Puasa
yang dilakukan pada hari Jum’at, kecuali beberapa hari sebelumnya telah
berpuasa; Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah yang isinya melarang orang berpuasa pada hari jum’at,
kecuali telah berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya;
2)
Puasa
Wișal, yaitu puasa yang dilakukan secara
bersambung tanpa makan atau minum pada malam harinya;
3)
Puasa
dahri, puasa yang dilakukan terus menerus.[26]
d. Puasa
Haram,
yakni puasa yang mencakup puasa-puasa sebagai berikut:
1)
Puasa
sunah yang dilakukan oleh seorang istri tanpa izin suaminya; Seorang istri
hendak melakukan puasa sunah, harus terlebih dahulu diketahui dan mendapat izin
dari suaminya; Hal ini didasarkan pada hadis yang menjelaskan bahwa tidak halal
bagi seorang istri untuk berpuasa (sunah) sewaktu suami berada dirumah
(ditempat), kecuali atas izinnya (HR. Bukhari dan Muslim);
2)
Puasa
yang dilakukan pada hari raya Idul Fitri dan Idul Aḑha; Larangan ini didasarkan pada
hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menyebutkan:
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w melarang berpuasa pada dua hari raya Idul Fitri
dan Idul aḑha;
3)
Puasa
pada tiga hari tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijah);
عن
انس أنَّ النَّبيَ صلىَّ الله عليه وسلم نَهَى عَنْ صَوْمِ خَمْسَةَ ايَّامٍ فى
السَّنَةِ : يَوْمَ الفِطْر ِ, وَيَوْمَ النَّحَر ِوثَلاثةَ أَيَّامِ التَّشْر
ِيْق ِ. رواه الدار قطني[27]
Dari Anas,
bahwasanya Nabi s.a.w telah melarang berpuasa Lima hari dalam satu tahun,
yaitu: Hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Aḑha, dan hari Tasyriq (HR. Dar Quțni)
4)
Puasa
yang dilakukan dalam keadaan haid dan nifas;
5)
Menurut
Mazhab Syafi’i, puasa yang dilaksanakan pada pertengahan akhir bulan Syakban
6)
Puasa
yang dilakukan oleh seseorang yang takut terjadi mudarat bagi dirinya, apabila
ia melakukan puasa.
[1] Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin
Perta, Jakarta, 1983, h. 274
[2] Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Jilid I, Beirut, Dȃr al-Fikri, 1983, h. 364; Lihat juga Fikih Sunnah, III,
alih bahasa Mayuddin Syaf, Cet. I, 1978, h. 161.
[3] Muhammad Bin
Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid II, Maktabah Dahlan , Bandung,
t.t, h. 150.
[4] Wahbah
Zuhayli, Al-Fiqhu al-Islamy waadillatuhu, I, Dȃr Al-Fikr, h. 566.
[5] Direktorat
Jenderal Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, 2010, h. 36.
[6] I’tikaf ialah:
berada dalam masjid dengan niat beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
[7]
Direktorat Jenderal
Bimas Islam, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, 2010, h. 34.
[8] Yusuf
Qardhawi, Al-Ibadah fie al-Islam, Muassasah al-Risalah, cet.6, Beirut,
1979, h. 272; Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu
Fiqh, I, Ditbin Perta, Jakarta, 1983, h. 277
[9] Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin
Perta, Jakarta, 1983, h. 278
[10] Al-Bukhari, Ṣaheh
Bukhari, juz I, Dȃr ibn Kaşir,
Beirut, 1987/1407, h.12; Lihat juga, Imam Muslim, Ṣaheh Muslim, juz I,
Dȃr Ihya’, Beirut, h.45
[11] Departemen
Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van
Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h.113
[12] Al-Bukhari, Ṣahih
Bukhari, juz 2, Wizȃratul Auqȃt, Mesir, h.674
[13] Al-Bukhari, Ṣahih
Bukhari, juz 2, Dȃr Ibn Kaşir, Beirut, h.690; lihat juga Juz 7, h. 270.
[14] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid (terjemah), jilid 1, Asy-Syifa’, Semarang, 1990, h. 624
[15] Al-Bukhari, Ṣahih
Bukhari, juz 2, Dȃr Ibn Kaşir, Beirut, h.690; lihat juga
Al-Bukhari, Ṣahih Bukhari Juz 7, Wizȃratul
Auqȃt, Mesir, h. 271.
[16]Dimaksud nazar
disini, adalah janji untuk melakukan suatu kebaikan terhadap Allah Swt untuk
mendekatkan diri kepada-Nya baik dengan syarat ataupun tidak
[17] Abdullah bin
Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Fikih Ibadah, terjemah Taufik Aulia
Rahmat (Editor), Tim Editor Media Zikir, Solo, 2010, h. 379
[18] Muslim, Ṣahih
Muslim, juz 5, Dȃr al-Jȋl, Beirut, h. 80
[19] Depdiknas, Ensiklopedi Islam, jilid 4,
PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10, Jakarta, 2002, h. 25
[20] Depdiknas,
Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10,
Jakarta, 2002, h. 25
[22] Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi, Ilmu Fiqh, I, Ditbin
Perta, Jakarta, 1983, h. 291
[26] Depdiknas,
Ensiklopedi Islam, jilid 4, PT. Ichtiar Baru Van Hove, Jakarta, Cet. 10,
Jakarta, 2002, h. 114
[27] Abu Hasan Ali
ibn Umar ibn Mas’ud, Sunan Dȃr Quțni, 6, Wizaratul Auqaf, Mesir, h. 192