Buat temen-temen yang di bawah bimbingan gw, sebentar lagi pembukaan pendaftaran KKN 2019 loh...,karenanya jangan di sia-siakan, kesempatan bagi anda adalah solusi menuju Sukses.
Selasa, 22 Januari 2019
CERAI GUGAT DAN DAMPAKNYA BAGI KELUARGA (Studi pada Lembaga Pengadilan Agama di Lampung)
CERAI
GUGAT DAN DAMPAKNYA
BAGI
KELUARGA
(Studi
pada Lembaga Pengadilan Agama di Lampung)
Oleh:
Khoirul Abror
Lektor Kepala pada Fakultas Syari’ah UIN Raden Intan
ABSTRAK
Fenomena baru yang seolah menjadi trend di tengah masyarakat
muslim di Indonesia saat ini adalah, maraknya praktik
cerai gugat, atas permintaan isteri ke Pengadilan Agama kabupaten/Kota
dalam wilayah Provinsi di Indonesia.. Peningkatan kasus/perkara angka cerai
gugat secara kuantitatif, berimplikasi pada
terjadinya anggota masyarakat yang tidak diinginkan dalam sebuah keluarga; pokok
permasalahannya adalah; faktor-faktor apa yang menyebabkan cerai gugat pada Pengadilan
Agama di kabupaten/kota dalam wilayah
Provinsi Lampung? dan bagaimana dampak yang timbul akibat cerai gugat di Provinsi Lampung?
Tulisan ini bertujuan
untuk mengungkap dan menganalisis serta menemukan faktor-faktor yang
menjadi penyebab cerai gugat dan dampak yang berimbas terhadap keluarga; Metode yang digunakan dalam menganalisis adalah analisis kualitatif yang
disajikan secara deskriptif.
Hasil studi ini ditemukan; Pertama, adanya kelasifikasi pada faktor penyebab cerai gugat,
yang didominasi oleh faktor ekonomi, tidak adanya tanggung jawab suami dalam
rumah tangga, percekcokan, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan dan
poligami, judi dan mabuk-mabukan. Kedua, secara spesifik dampak
utama dari perceraian, khususnya cerai gugat adalah terganggunya
jiwa baik antara suami atau istri dan anggota keluarga, terlebih lagi khususnya berdampak pada anak-anak, yang
selanjutnya berdampak buruk bagi keberlangsungan keluarga dan sosial kemasyarakatan.
Kata Kunci: Problema Penyebab Cerai Gugat, -Dampak terhadap Keluarga
I.
Pendahuluan
Keutuhan dan
kerukunan dalam rumah tangga yang bahagia, aman dan damai (sakinah, mawaddah
warahmah) merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga, bahkan
perkawinan sebagai satu perjanjian (transaksi) yang kokoh, tegug dan.[1].
Olehkarenanya setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak
dan kewajibannya harus didasari oleh agama.
Perkawinan
dalam Islam dikenal dengan istilah nikah atau tazwij,[2] secara harfiyah adalah“bersenggama atau bercampur”.
Lebih lanjut Jalaluddin Al-Mahalli[3]
dalam kitabnya mengungkapkan: Secara syar’i
nikah adalah: suatu akad yang mengandung kebolehan untuk
melakukan hubungan suami isteri (hubungan seksual) dengan menggunakan lafaz “inkah” (menikahkan), atau lafaz “tazwij” (mengawinkan).
Undang-undang
tentang perkawian (UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan) dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga[4]
serta Kompilasi Hukum Islam [5]
termasuk produk hukum negara Indonesia yang mayoritas Islam ini, wajib
diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami
UU tersebut, seluruh masyarakat seyogyanya untuk semakin menyadari hak dan
kewajibannya dalam perkawinan dan Putusnya perkawinan serta akibatnya.
Salah satu tujuan
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang maha Esa[6],
bahkan perkawinan merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh antara
suami isteri.[7] Selain
itu juga tujuan perkawinan, untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina, serta
penerus keturunan (anak) dan juga bertujuan ibadah.[8]
Ada sejumlah
ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan, yang bila disimpulkan akan tampak
minimal lima tujuan umum.[9] Penetapan
tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw yang mengisyaratkan tujuan perkawinan. Sejumlah nas yang
berbicara sekitar tujuan perkawinan itu; Pertama, untuk membangun
keluarga sakinah; Kedua, tujuan regenerasi dan/atau pengembangbiakan
manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan
eksistensi agama islam; Ketiga, bertujuan untuk pemenuhan biologis
(seksual); Keempat, bertujuan nuntuk menjaga kehormatan; dan Kelima,
tujuan ibadah, yang dapat dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran
dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis.
Islam menegaskan
bahwa perkawinan merupakan media untuk membentuk suatu keluarga yang tenteram
dan penuh kasih sayang (sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ) berdasarkan
nilai-nilai agama yang menuntut adanya interaksi saling asah, asih dan asuh
diantara suami isteri. Hal ini dipertegas dalam QS. Ar-Rum (30): 21 “Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[10]
Memahmi arti ayat
tersebut, dapat dimengerti, bahwa salah satu tujuan perkawinan menurut Hukum
Islam adalah untuk mewujudkan dan terciptanya kehidupan rumah tangga yang sakinaḥ
mawaddaḥ wa rahmaḥ. [11] Dengan adanya ikatan perkawinan itu,
diharapkan dapat melestarikan proses historis keberadaan manusia dan
peradabannya dalam kehiidupan di dunia ini, yang pada akhirnya akan melahirkan
keluarga sebagai unit terkecil dari kehidupan dalam sosial kemasyarakatan. [12]
Dibalik perkawinan
yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila rumah
tangga tersebut terjadi disharmonisasi, karenanya amat dimungkinkan
terjdinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan
diantara kedua pihak. Apabila perselisihan, pertengkaran dan kekerasan tidak
dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai puncak perslisihan yang
mengarah kepada peceraian dan atau bubarnya perkawinan semakin menjadi
kenyataan. .
Contoh kasus kekerasan fisik: terjadi pada Mar (38) yang dipukuli
suami sendiri dengan menggunakan linggis hingga babak belur.[13]
kasus lain: terjadi pada Siti Aisyah
(40) guru honorer di lampung Selatan, menjadi korban brutal suaminya sendiri
Rafik (41 tahun), sehingga mengalami 11 luka tusukan (7 di punggung, 2 di perut
dan 2 di paha kanan) lantaran berpisah rumah karena alasan ekonomi,.[14]
Fenomena yang
terjadi ditengah masyarakat muslim di Indonesia, angka perceraian semakin meningkat [XXXX1] dikarenakan
banyak faktor yang menyebabkannya. yang lebih mengherankan, bila angka perceraian didominasi atas
permintaan isteri, yang lebih dikenal dengan istilah khuluk [15]
(cerai gugat). Salah satu dampak yang timbul akibat perceraian ini, kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[16]
Di Pengadilan Agama Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur
mencatat angka perceraian selama 2016 sebanyak 1.415 perkara. Dari jumlah itu
sebanyak 300 perkara adalah perceraian dalam rumah tangga pegawai negeri sipil
(PNS).Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Metro Ros Amanah Rabu (15/1),
mengatakan jumlah perkara yang ditangani selama 2016 sebanyak 1.415 sudah
diputuskan sebanyak 1.400 perkara. “Pada bulan Desember 2016, ada 30 gugatan
perceraian oleh PNS,” [17]
Di
Pengadilan Agama Tanggamus, lebih mencengangkan, khusus di bulan Oktober 2014
saja terdapat 58 Rekap perkara yang
diterima: 43 diantaranya perkara Cerai Gugat, 10 perkara cerai talak, dan 5
perkara lainnya.[18]
Tulisan ini difokuskan [XXXX2] pada fenomena faktor-faktor penyebab Cerai Gugat yang dilakukan oleh isteri
kepada suami didalam keluarga yang berujung pada putusnya perkawinan di tiga Kabupaten-Kota
di Provinsi Lampung (Kota bandar Lampung, Kota Metro dan Kabupaten Lampung
Selatan) serta dampaknya bagi keluarga (suami, isteri dan anak)
II. Pembahasan
1. Faktor Penyebab Cerai
Gugat
Perceraian, selain cerai talak, dikenal
juga adanya cerai gugat. Menurut bahasa, kata cerai gugat adalah istilah bahasa
Indonesia yang sering dikenal dengan istilah khulu’ berasal dari khala’
aṡ-ṡauba iżä azalaba yang artinya
melepaskan pakaian; karena istri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian
istri. Khulu’ berarti melepaskan atau menanggalkan pakaian,[19] atau menanggalkan ia akan sesuatu.[20]
Bahkan bisa juga menebus istri akan dirinya kepada suaminya dengan
hartanya, sehingga tertalaklah baginya.[21]
Menanggapi perihal khulu’, mempunyai dua arti yaitu ‘am dan khas. Khulu’ dalam arti umum adalah talak atas
harta istri untuk menebus dirinya yang diserahkan kepada suaminya, sedangkan khulu’ dalam arti khas adalah talak tebus dengan
lafaz khulu’, pendapat ini banyak digunakan oleh ulama
salaf.[22]
Secara
terminologi, menurut syariat, sebagaimana diungkapkan oleh Mustafa al-Khin dan
Musthafa al-Bugha: “Khuluk ialah talak
yang dijatuhkan sebab keinginan dan desakan dari pihak istri, hal semacam itu
disyariatkan dengan jalan khuluk, yakni pihak istri menyanggupi membayar
seharga kesepakatan antara dirinya dengan suami, dengan (standar) mengikuti
mahar yang telah diberikan.”[23]
Berangkat
dari pemaparan tersebut bisa dipahami bahwa khuluk secara syariat hukumnya boleh
diajukan jika memenuhi persyaratan. Selain itu, dalam khuluk harus terjadi
kesepakatan antara kedua belah pihak, suami maupun istri tentang nominal
tebusan. Kesepakatan ini sekaligus menunjukkan bahwa dalam akad khuluk, harus
ada kerelaaan dari pihak suami untuk menerima tebusan, dan kesanggupan dari
pihak istri untuk membayar tebusan tersebut. Namun dengan catatan, nominal
harga tebusan tidak boleh melebihi nominal mas kawin pada saat pernikahan.
Bahwa
hukum asal khuluk ini ialah mubah jika memenuhi persyaratan. Persyaratan
tersebut diantaranya telah disebutkan oleh Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali bin
Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi: “Apabila seorang perempuan benci terhadap suaminya
karena penampilannya yang jelek, atau perlakuannya yang kurang baik, sementara
ia takut tidak akan bisa memenuhi hak-hak suaminya, maka boleh baginya untuk
mengajukan khuluk dengan membayar ganti rugi atau tebusan.”
Ada juga
motif lain dari khulu’ yang bisa mengubah hukumnya, seperti jika suami
melalaikan hukum Allah, semisal meninggalkan shalat, atau lainnya, maka hukum
khuluk menjadi wajib; Sebaliknya, jika tidak ada motif atau alasan apa pun yang
mendasarinya, maka khuluk hukumnya haram. Khulu’ dapat juga berarti fida atau
tebusan, karena isteri meminta cerai kepada suaminya dengan membayar sejumlah
tebusan atau imbalan;[24]
Menurut al-Malibariy, khulu’ adalah perceraian dengan tebusan dari pihak isteri diberikan pada pihak
suami, dengan memakai kata talak atau khulu’ atau tebusan.[25]
Khulu’ adalah jalan keluar bagi isteri yang tidak menyukai suaminya dengan
alasan selain yang biasa melahirkan fasakh, isteri memberikan semacam ganti
rugi (‘iwad) atas pemberian suami seperti mahar, nafkah, dll, agar suami
bersedia dengan rela hati menjatuhkan talak kepadanya.[26]
Khulu’ sendiri sebenarnya dibenci oleh syari’at
yang mulia seperti halnya talak[27]; semua akal dan perasaan sehat menolak khulu’, hanya Allah swt., saja Yang
Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika tidak mampu
menegakan hukum-hukum Allah swt.; Maksudnya Hikmah khulu untuk menghindari bahaya, yakni saat terjadinya
pertengkaran hebat yang menimbulkan gejolak dalam hubungan suami isteri hingga
keduanya tidak bisa disatukan lagi dalam ikatan rumah tangga maka khulu’ diperbolehkan; Hal ini agar keduanya tetap berjalan dalam
kehidupan masing-masing dan menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah.[28]
Hikmah yang terkandung didalamnya sebagaimana telah
disebutkan adalah untuk menolak bahaya yaitu apabila perpecahan suami isteri
telah memuncak dan dikhawatirkan
keduanya tidak dapat menjaga syarat-syarat dalam kehidupan suami isteri, maka
khulu’ dengan cara-cara yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana
merupakan penolak terjadinya pernusuhan dan untuk menegakan hukum-hukum Allah (QS. al-Baqarah (2): 229)
Ulama salaf dan
khalaf mengatakan bahwa tidak boleh khulu kecuali terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak isteri; sedangkan
Syafi’i berpandangan bahwa khulu’ itu boleh dalam kondisi perselisihan dan
keharmonisan, namun khulu’ dalam kondisi pertama adalah lebih utama dan sesuai
dengan yang ia pilih.[29]
Adapun
kedudukan khulu’ di dalam hukum
keluarga menurut mazhab Umar, Usman dan Ali ra serta jumhur fuqaha’, bahwa
khulu’ termasuk talak, seperti halnya pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzanniy
mempersamakan khulu’ dengan talak; sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
khulu termasuk fasakh di dalam qaul qadim-nya.[30] Demikian juga pendapat Imam Ahmad dan Daud, serta Ibnu Abbas dari
kalangan sahabat. Imam Syafi’i juga meriwayatkan bahwa khulu’ merupakan kata sindiran; Jadi jika dengan kata kinayah tersebut
menghendaki talak, maka talak pun terjadi, dan jika tidak maka menjadi fasakh; akan tetapi dalam qaul jadidnya dikatakan bahwa khulu’ itu adalah talak.[31]
George Levinger[32]
menjelaskan bahwa pada umumnya perceraian itu terjadi karena faktor-faktor
tertentu yang mendorong suami-istri untuk bercerai; faktor-faktor dimaksud
antara pasangan suami-istri yang satu dengan yang lain saling berbeda.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1966 dengan mengambil
sampel 600 pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian menunjukkan bahwa
keluhan-keluhan yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian adalah: Sering terabaikan
kewajiban terhadap rumah-tangga dan anak, keuangan yang tidak mencukupi untuk
kebutuhan keluarga, penyiksaan fisik terhadap pasangan, tidak setia
lagi, seperti mempunyai kekasih lain, ketidakcocokan dalam
masalah hubungan seksual dengan pasangannya, Sering mabuk, adanya campur
tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya, juga muncul
kecurigaan, kecemburuan serta ketidak-percayaan, kurang perhatian dan kebersamaan di antara
pasangan, bahkan tuntutan
yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak
sabar, dan tidak ada
toleransinya[33]
Perceraian merupakan titik puncak
dari pengumpulan berbagai permasalahan yang menumpuk beberapa waktu sebelumnya
dan jalan terakhir yang harus ditempuh ketika hubungan perkawinan itu sudah
tidak dapat dipertahankan lagi[34], faktor penyebabnya adalah [35]: Ketidaksetiaan salah satu
pasangan hidup. Keberadaan orang ketiga memang akan menggangu kehidupan
perkawinan; tekanan kebutuhan ekonomi keluarga; harga barang dan jasa yang
semakin melonjak tinggi karena faktor krisis ekonomi negara yang belum
berakhir, sementara itu gaji atau penghasilan pas-pasan; tidak mempunyai
keturunan juga dapat memicu permasalahan diantara kedua pasangan suami dan
istri, terlebih lagi bila ada perbedaan prinsip hidup dan agama.
Faktor-faktor
tersebut berpengaruh [36] pada: kurangnya
kesiapan mental; permasalahan ekonomi, Kurangnya
komunikasi antar pasangan; campur tangan pihak ketiga; dan dimungkinkan perselingkuhan.
Adapun dalam hal cerai gugat,
seperti dalam doktrin fiqh, setiap permohonan cerai yang diajukan oleh isteri
itu tidak harus selalu berbentuk khulu’ yang diikuti dengan pembayaran ‘iwaḑ,
tetapi dengan alasan-alasan tertentu yang telah diatur dalam perundang-undangan
yakni Pasal 39 ayat (2) UU No. 1/1974, pasal 19 PP No. 9/1975 dan Pasal 116 dan
51 KHI, yaitu: Suami berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, suami meninggalkan
isteri selama 2 tahun tanpa izin isteri dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya; suami mendapatkan hukuman penjara 5 tahun atau
lebih berat; suami melakukan penganiayaan; suami mendapat cacat badan atau
penyakit yangtidak dapat menjalankan kewajibannya; antara suami-isteri
terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran; dan suami melanggar taklik
talak dan atau perjanjian perkawinan; bahkan bila suami beralih agama atau murtad
yang mengakibatkan ketidak harmonisan dalam keluarga.[37] Untuk
mendukung gugatan cerai, harus disiapkan surat-surat dan saksi-saksi yang akan
dijadikan alat bukti untuk menguatkan gugatan cerai. [38]
2. Dampak yang timbul Akibat Cerai Gugat
Secara
spesifik dampak perceraian bagi suami atau istri berada pada sisi psikologis.
Pada sisi ini, akibat dari perceraian dapat melahirkan beberapa implikasi;[39]
Pertama; hilangnya rasa
aman dan nyaman. Seperti apapun kuatnya seorang pria atau wanita, siapapun yang
mengajukan gugatan perceraian namun hal itu justru akan menjadi boomerang bagi
dirinya. Pada perspektif ini, yang melakukan gugatan justru akan merasakan
sebuah hilangnya rasa aman dan nyaman ketika sendiri ataupun ketika dengan
pasangan keduanya.
Kedua; hilangnya rasa nikmat. Pada
sebuah kasus perceraian karena poligami atau adanya pihak ketiga, bisa
dimungkinkan akan munculnya ketiadaan kenikmatan dalam berhubungan intim dengan
pasangan barunya, penyebabnya muncul karena teringat dengan keluarganya yang
dahulu yang telah ditinggalkan; sedangkan yang biasanya dirasakan oleh seorang
isteri adalah sebuah rasa sakit yang mendalam karena ditinggalkan oleh seorang
suami yang dicintainya; oleh karenanya bisa memunculkan rasa antipati terhadap
setiap laki-laki yang akan mendekatinya, dan akhirnya lebih memilih hidup
sendiri dan mengurus anak-anaknya sebagai obat kesepian.
Ada beberapa masalah yang timbul
pada diri masing-masing pasangan yang bercerai, yakni:[40] masalah ekonomi; suami maupun istri akan
mengalami pengurangan pemasukan, karena penghasilan suami kini harus menafkahi
dua rumah tangga; walaupun suami hanya
membantu beberapa tugas rumah tangga sebelum perceraian, masalah ini pun dapat
terjadi, karena kini istri harus bertanggung jawab sendiri terhadap semua
pekerjaan rumah tangga; terganggunya kejiwaan, baik pihak wanita maupun pria,
setelah perceraian mereka cenderung merasakan perasaan-perasaan seperti
perasaan tak menentu dan kehilangan identitas. Masalah-masalah
ini lebih banyak terjadi pada wanita, yang tadinya mengasosiasikan identitasnya
dengan identitas suaminya. Batasssssssssssss koreksi
a.
Masalah
emosional. Pada banyak wanita, perasaan-perasaan seperti rasa bersalah, rasa
malu, kebencian dan dendam, kemarahan, serta kecemasan terhadap masa depan
biasanya menjadi sangat dominan dalam diri mereka, bahkan dapat mengubah
kepribadiannya.
b.
Masalah
sosial. Wanita yang bercerai biasanya merasa ditinggalkan, dan menjadi ”terkunci”
dalam dunia bersama anak-anak mereka. Kehidupan sosial mereka hanya terbatas
pada aktivitas bersama kerabat dan teman-teman dari jenis kelamin yang sama.
c.
Masalah
karena kesepian. Ketika telah terbiasa berada dalam companionship dengan
pasangan, wanita (dan pria) yang bercerai akan merasa kesepian ketika mereka
kehilangan companionship dari seseorang yang memiliki nilai-nilai dan
ketertarikan yang sama.
d.
Masalah
karena pembagian hak pengasuhan anak. Ketika hak pengasuhan anak dibagi kepada
kedua orang tua setelah bercerai, masing-masing orang tua yang bercerai akan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian, baik terhadap diri mereka sendiri maupun
anak-anak mereka. Masalah terjadi ketika misalnya, anak tidak patuh pada satu
orang tua, setelah ia berada bersama orang tua yang lain.
e.
Masalah
seksual. Setelah bercerai, kedua belah pihak masing-masing akan merasa
kekurangan aktivitas seksual yang biasa dilakukan, kecuali mereka menikah lagi
segera setelah bercerai. Wanita yang memiliki anak biasanya akan kesulitan
untuk memikirkan alternatif ini, sehingga interval waktu setelah bercerai dan
menikah kembali (remarried) cenderung lebih panjang pada wanita daripada
pria.
f.
Masalah-masalah
perubahan konsep diri. Tanpa memperhatikan pihak mana yang menimbulkan masalah yang
mengakibatkan perceraian, kedua belah pihak biasanya akan merasakan rasa
kegagalan karena pernikahan mereka tidak berhasil, dan merasakan perasaan benci
atau dendam terhadap satu sama lain. Perasaan-perasaan ini, tanpa bisa
dihindari, akan mewarnai konsep diri mereka yang mengarah kepada perubahan
kepribadian.
Dampak yang paling dominan dirasakan pasca perceraian
adalah pada diri anak. Dalam keluarga manapun perceraian menjadi suatu
penyesuian diri bagi seorang anak yang harus tinggal dengan salah satu dari
orang tua mereka. Reaksi anak terhadap perceraian orang tuanya sangat
dipengaruhi oleh cara orang tua berperilaku sebelum, selama dan sesudah
perceraian. Anak akan membutuhkan dukungan, kepekaan, dan kasih sayang yang
lebih besar untuk membantunya mengatasi kehilangan yang dialami selama masa
sulitnya. Mereka mungkin akan menunjukkan kesulitan penyesuaian diri dalam
bentuk perilaku, kesulitan belajar, atau berkurangnya interaksi dengan
orang-orang di lingungan sekitar tempat tinggalnya.
Dampak perceraian dapat dilihat dari tingkah laku anak
yang sangat jauh berbeda dengan sikapnya sebelum kedua orang tuanya bercerai.
Tingkah laku mereka yang sering ditunjukkan setelah orang tua bercerai tersebut
antaralain suka mengamuk, menjadi kasar, agresif, menjadi pendiam, tidak lagi
ceria, tidak suka bergaul, sulit
berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi
disekolah cenderung menurun, serta suka melamun terutama mengkhayalkan orang
tuanya akan bersatu lagi.
Dampak dari adanya percerain tersebut bagi anak [41]; akan
rusak akhlak dan berkurang adabnya, hal ini merupakan asal-muasal munculnya
penyakit (sosial) dan sebab dari segala cobaan dan kesengsaraan.”
Tidak
dapat disangkal bahwa anak akan sedih, bila menyaksikan
perkelahian orang tuanya terlebih bila pertengkaran tersebut menyebabkan
perceraian. Kurangnya perhatian orang tua setelah perceraian
juga mempengaruhi perkembangan jiwa anak; anak merasa kasih sayang orang tua
yang didapatkan tidak utuh, anak mencari perhatian dari orang lain atau bahkan
ada yang merasa malu, minder, dan tertekan; bahkan mencari
pelarian dan tidak jarang yang akhirnya terjerat dengan pergaulan bebas dan
narkoba.
Hal yang paling berat dalam kasus perceraian adalah
bagaimana memulihkan kembali hubungan yang baik dan menciptakan keakraban lagi
antar kedua orang tua. Pengaruh orang tua dapat menciptakan kekuatan pada diri
anak, meskipun kasus perceraian itu tetap membawa dampak dalam perkembangan
sosial dan emosi anak. Fakta di lapangan membuktikan bahwa mayoritas anak-anak
nakal merupakan anak-anak yang berasal dari keluarga broken home.[42]
Kenakalan mereka tersebut sangatlah masuk akal. Akibat
tekanan batin yang dialami karena perceraian orang tua menyebabkan mereka
mencari jalan pintas untuk mencari kesenangan hanya sekedar untuk melupakan
permasalahan dalam keluarga mereka, meskipun hal tersebut hanya berupa
kesenangan sesaat; selain itu banyak pula anak yang duluya berprestasi
disekolah kemudian menjadi malas bahkan tidak berprestasi sama sekali, hal
tersebut dapat disebabkan karena hilangnya motivator yakni orang tua mereka
yang selalu memberikan semangat untuk anak-anaknya sewaktu keluarga masih
harmonis. Dengan tidak adanya penyemangat tersebut merekapun berpikir bahwa
semua yang dia lakukan akan sia-sia karena sebesar apapun prestasi yang akan
mereka capai tidak akan membuat orang tua mereka bersatu kembali dan membangun
keluarga yang harmonis seperti dulu.
Seorang
anak yang orang tuanya telah bercerai seringkali melamun dan mengkhayalkan
orang tua mereka bersatu lagi, dalam lamunan tersebut terkadang banyak perasaan
yang menghampiri seperti perasaan sedih karena kehidupan indah dalam keluarga
sudah tidak dirasakan lagi seperti dulu sebelum orang tua bercerai, perasaan
marah karena menganggap tuhan tidak adil terhadap hidupnya yang tidak seindah
keluarga-keluarga lain, dan perasaan bersalah karena dia berpikir bahwa orang
tuanya bercerai disebabkan oleh dirinya. Tidak jarang juga perasaan tidak
nyaman akan menghampiri seorang anak terutama pada remaja yang orang tuanya
bercerai.
III.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan data lapangan, serta analisis
yang telah dilakukan, maka dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut:
1.
Faktor
utama penyebab cerai gugat yang dominan terjadi di Pengadilan Agama Tanjungkarang, Metro, dan Kalianda, adalah faktor ekonomi, berupa kurang atau tidak terpenuhinya
kebutuhan ekonomi keluarga, sebagai akibat kurang atau tidak adanya tanggung
jawab suami dalam rumah tangga. Kemudian faktor percekcokan, kekerasan dalam
rumah tangga, merupakan faktor berikutnya yang cukup dominan. Selain kedua hal
tersebut, faktor perselingkuhan dan poligami di beberapa perkara cerai gugat
yang terjadi, menjadi faktor penyebabnya; demikian juga judi dan mabuk-mabukkan menjadi faktor
penyebab yang mewarnai perkara cerai gugat di 3 Pengadilan Agama.
2.
Dampak
utama dari perceraian (khususnya cerai gugat) adalah terganggunya kenyamanan
baik suami atau istri dan anggota keluarga khususnya anak-anak mereka. Dampak
negatif dari perceraian (khususnya cerai gugat) tersebut jika terus naik
grafiknya secara kualitatif disetiap tahun, berdampak buruk bagi keberlangsungan
keluarga yang harmonis bahkan pada sektor stabilitas sosial, karena dapat
membentuk anggota keluarga menjadi broken home, yang kemudian membentuk
mental-mental yang tidak baik dan rapuh sehingga berkemungkinan mempraktikkan
perbuatan-perbuatan negatif.
Artikel ini merupakan
bahagian dari penelitian tahun 2018 dengan nomor kontrak:....................
tanggal................................
DAFTAR PUSTA
\‘Ali Ahmad
al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th), Juz. 2,
A. W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), Cet. 14,
Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam
Perkawinan Dan Perceraian”, Jurnal
Ahkam, No. 4 (Maret 1998),
Abu Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadis, 2003),
Jil. 3,
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, (Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana, 2003),
Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta;
Gema Insani, 2006),
-------, Hikmah at-Tasyri’
wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah Hukum Islam),
Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa, 1992),
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian
Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2003),
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001),
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang,
Cet. I, 1993,
Djamal latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia,
Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982,
H. A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1994),
Harian Lampung Post,
Kamis, 02 Mei 2015,
Harian Lampung Post, Kamis , 5 januari 2016,
ht://www.pa-tanggamus.go.id/index.php/rekap-perkara-diterima, Akses 25
Oktober 2014
http://alfinlatife.blogspot.com/2012/08/dampak-perceraian-secara-psikologi.html, diakses pada hari Senin, 03 Agustus 2015, Pukul. 17.25 WIB
http://lampost.co/berita/angka-perceraian-di-lampung-barat-tinggi, Akses 07
Januari 2014
http://lampost.co/berita/pns-di-metro-dan-lamtim-banyak-yang-bercerai, Akses 25 Okt 2014
Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya:
Hidayah, 2000), Jil. 1,
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan
Obor, 1999),
Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikri, 2002), Jil.
3,
Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Dirjen
Binbaga Islam, Kemenag RI tahun 2001
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial;
Kualitatif dan Kuantitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2003),
Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, juz
III (Indonesia: Nur Asia, tt),
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 001/SK/1991 tanggal 24 Januari 1991
dan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 43/TUADA-AG/III-UM/XI/1992 tentang
Prosudur pengajuan perkara
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia,
dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta,
2009,
-------, Hukum Perkawinan 1, ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005,
Lexi. J. Moloeng, Metode Penelitian Kuantatif, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2002),
-------, Metodologi
Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009),
Louis Gootshalk, Understanding Historya Primer of Historical
Method, alih bahasa oleh Nogroho Noto Susanto, (Jakarta, UI Press, 1985),
Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar
el-Fikri, 2005),
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, al-Wajiz
fi Fiqh Mazhab Imam Syafi’i, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004),
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) Jil. 1,
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam al-Fiqh
al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000),
juz IV,
Nasution, Metode Research : Penelitian Ilmiah, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1996), Cet. Ke-2,
Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
Reni Hawadi Akbar, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat,
Bakat, dan Kemampuan Anak, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001),
Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2003),
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta, 2015),
-------, Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung: LFABETA, 2008), Cet. IV,
Sulistyawati, “Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian
dalam keluarga”, Tesis, (Bandung: PPs Psikologi ITB, 2003),
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Fakultas
Teknologi UGM, 1996,
Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in
Syarh Qurrat al-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997),
Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli
Ghayah al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Islamy,
tt,
Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga,.
Wulan Saripah, “Profil Interaksi Sosial Peserta Didik Broken Home
dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan Dan Konseling”, Tesis,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandaung, 2013,
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an kementerian Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Tehazed,
2010,
[1] QS. Al-Ahzȃb
(33) : 7; QS. An-Nisȃ’ (4): 21; QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 2
[5] Instruksi
Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Binbaga
Islam, Kemenag RI tahun 2001
[8] Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli Ghayah al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Islamy, tt,
h. 48; Lihat, Khoiruddin nasution, Hukum Perkawinan 1, ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005, h.
46-47.
[9] Khoiruddin
Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum
Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009, h. 223
[10]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT.
Tehazed, 2010, h. 572.
[11] Bab
II Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam.
[12]
Djamal latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982, h. 12.
[13]
Harian Lampung Post, Kamis, 02
Mei 2013, h. 07.
[15] Khuluk;
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri, dengan
memberikan tebusan (Iwaḑ) kepada dan
atas persetujuan suami.
[16] Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, Pasal 1 ayat (1)
[19] A.
W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), Cet. 14, h. 361
[20]
Idris Al-Marbawi, Kamus Bahasa Arab Melayu, (Surabaya: Hidayah, 2000),
Jil. 1, h. 184
[21] Abu
Mansur, Lisan el-Arab, (Kairo: Daar el-Hadis, 2003), Jil. 3, h. 182
[22]
Muhammad Abu Zahrah, Ahwal Syahkshiyyah, (Kairo: Daar el-Fikri, 2005),
h. 329
[23] Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam
al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya:
Al-Fithrah, 2000), juz IV, h. 127
[24] H.
A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1994), h. 95
[25]
Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fath al-Mu’in Syarh Qurrat
al-Aini, (Semarang: Pustaka Alawiyyah, 1997), h. 111
[26]
Abdul Wahhab Muhaimin, “Kajian Ayat-Ayat Hukum Wanita Dalam Perkawinan Dan
Perceraian”, Jurnal Ahkam, No. 4
(Maret 1998), h. 44
[27] Ali
Ahmad Al-Jurzawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuh, (Falsafah Dan Hikmah
Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo Dan Sabahus Surur, (Semarang: CV As-Syifa,
1992), h. 320
[28] Ali
Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam, (Jakarta; Gema Insani, 2006),
h. 379
[29]
Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1997) Jil. 1, h. 376
[30]
Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali, al-Wajiz fi Fiqh Mazhab Imam
Syafi’i, (Beirut: Daar el-Fikri, 2004), h. 276
[31]
Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Fikri, 2002), Jil. 3, h. 220
[32] Lihat Ihromi, Bunga
Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor, 1999), h. 153-155
[33]
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Ibid. h. 153-155
[34]
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana, 2003), h. 160
[35]Agoes
Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, Ibid. h. 160
[36]
Lihat Sulistyawati, “Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian dalam
keluarga”, Tesis, (Bandung: PPs Psikologi ITB, 2003), h. 28
[37]
Inpres no.1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,Pasal 16
[38]
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 001/SK/1991 tanggal 24 Januari 1991 dan Surat
Keputusan Mahkamah Agung Nomor 43/TUADA-AG/III-UM/XI/1992 tentang Prosudur
pengajuan perkara
[39] Lihat hasil
wawancara el-mlipaki dengan Nani Kartikaningsih seorang psikolog pada RSJ Kota
Semarang, dalam http://alfinlatife.blogspot.com/2012/08/dampak-perceraian-secara-psikologi.html,
diakses pada hari Senin, 03 Agustus 2015, Pukul. 17.25 WIB
[40] Lihat Reni
Hawadi Akbar, Psikologi Perkembangan Anak: Mengenal Sifat, Bakat, dan
Kemampuan Anak, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), h.
[41] ‘Ali Ahmad al-Jarjawi, Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. 2, h. 58
[42] Wulan Saripah mengutip bahwa, bahwa 63% dari anak nakal dalam suatu
lembaga pendidikan anak-anak delikuen berasal dari keluarga-keluarga yang tidak
teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. Meril
mendapatkan 50% dari anak delikuen (anak-anak yang menyeleweng) berasal dari
keluarga broken home. Menurut hasil penelitian Lembaga Penyelidikan
Pendidikan IKIP Bandung tahun 1959 dan 1960 menyatakan sekurang-kurangnya 50%
dari anak nakal di Prayuwana dan Penjara Anak-anak di Tangerang berasal dari
keluarga-keluarga yang tidak utuh. Lihat Wulan Saripah, “Profil Interaksi
Sosial Peserta Didik Broken Home dan Implikasinya Terhadap Layanan Bimbingan
Dan Konseling”, Tesis, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandaung, 2013,
h. 4
Langganan:
Postingan (Atom)