Selasa, 03 Desember 2013

PROBLEMATIKA NIKAH TIDAK TERCATAT ANTARA HUKUM NASIONAL DAN HUKUM ISLAM

Oleh : Khoirul Abror
 
A. Historis Pencatatan Akad Nikah

Kaum muslimin pada zaman dahulu, untuk melangsungkan nikah cukup dengan lafaz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[1]

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, meskipun ada diantara mereka yang mengakhirkan, tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktu lama dan terkadang lupa, maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar, dan wanita itu adalah istrinya”.[2]
Kelahiran UUP telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[3] kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya UUP. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[4] Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[5]

Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[6] Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.[7] Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[8]

Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah. Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan UUP yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.

Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar PP ISWI memperjuangkan tentang UUP. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[9]

Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.[10] RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah perkawinan,. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[11] Keterangan Pemerintah tentang RUU tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973.

Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat),.[12] Kemudian diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan pada tanggal 17 dan 18 September 1973, [13]

Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya. [14] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal. [15] sehingga dapat difahami bahwa UU No 74 sangat kental nuansa politisnya yang pada akhirnya UU yang lahir terkesan membela salah satu kepentingan, dalam hal ini kepentingan wanita. 

B. Perkawinan yang Tidak Tercatat

Salah satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana tertuang dalam UU no. 22 tahun 1946 j.o. UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (penjelasan Pasal 1) juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (2), yang diperkuat dengan Inpres RI  no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 dan 6.

Dalam hukum Islam, hukum perkawinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh dunia dibanding dengan hukum-hukum muamalah yang lain.[16]  Perkawinan adalah miśȃqan galȋẓan, atau ikatan yang kokoh, yang dianggap sah bila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Berdasarkan Alquran dan hadis, para ulama menyimpulkan bahwa hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali.[17]  Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah Zuhaili adalah antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan calon suami isteri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai tidak sedang menderita penyakit kronis, adanya wali.[18]

Melihat kriteria rukun maupun persyaratan nikah di atas, tidak ada penyebutan tentang pencatatan. Keberadaan saksi dianggap telah memperkuat keabsahan suatu perkawinan. Pihak-pihak terkait tidak bisa mengadakan pengingkaran akan akad yang sudah terjadi. Bisa jadi ini didasarkan pada pernikahan masa Rasulullah sendiri tidak ada yang dicatatkan. Dalam kitab fikh klasikpun tidak ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan.

Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqȃşidus syari`ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan muḍarat kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, atau maqȃşidus syari`ah berdasarkan kaidah fiqhiyah: [19]

تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة

Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[20].

Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. [21]

Ada pula yang menjadikan maslahat mursalah sebagai landasan berpendapat. Teori ini mengajarkan bahwa: “Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al Hadis dapat dibuat aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus menghindari muḍarat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan anak-anaknya,”[22] karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak mendatangkan muḍarat daripada manfaatnya. Para perancang ordonansi perkawinan di Pakistan mendasarkan fikiran mereka pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti utang piutang saja hendaknya selalu dicatatkan, apalagi perkawinan yang bahkan lebih penting dari utang piutang. [23]

Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[24] Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal  tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti, guna mendapatkan kepastian hukum.

Ketika suatu perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) saja, maka akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara, dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi Negara. Olehkarenanya maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada, bila tidak tercatat.

Solusi bagi suami istri yang telah melakukan nikah dengan tidak diketahuinya secara resmi oleh negara adalah dengan memintakan işbat (ketetapan) resmi dari lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya yaitu Pengadilan Agama.

Dalam menganalisis masalah pencatatan perkawinan dengan metode ini dapat dilakukan sebagai berikut:

Dalam analisis tematik bahwa naș tidak pernah menyebutkan secara tegas memerintahkan pencatatan perkawinan. Naș al-Qur`an yang memerintahkan agar dicatat transaksi hutang piutang adalah QS, al-Baqarah (2): 282.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….. “

Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu riḍai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.

"dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu…

Terkait masalah status hukum perkawinan tidak tercatat (dibawah tangan/ nikah Sirri), sebagian menilai bahwa nikah dibawah tangan adalah sah secara agama sementara secara kenegaraan tidak sah. Dalam hal ini penulis tidak ingin larut dalam kontradiksi tersebut, tidak ingin mengklaim sah dan tidaknya nikah. Penulis hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan dibawah tangan yang banyak dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi pemerintah pencatat nikah, tidak menimbulkan implikasi bagi pelaku dan keturunannya.

Jadi, Nikah sirri, yang dimaksud dalam tulisan ini adalah nikah yang tidak terdaftar secara resmi di lembaga perkawinan. Bukan pernikahan yang dirahasiakan sebagaimana terambil dari kata “sirrun” dalam bahasa Arab yang berarti: rahasia.

Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akte Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Perkawinan dibawah tangan jelas tidak memiliki Akte Nikah, maka bagi masyarakat yang tidak mempunyai Akte Nikah dapat mengajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama (ayat 2),[25] Iśbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a).  Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b).  Hilangnya Akte Nikah;
(c).  Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d). Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan
(e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1Tahun 1974.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara isbat nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik bagi pencari keadilan agar permasalahan nikah di bawah tangan yang dilaksanakannya atau karena tidak punya akte nikah dapat segera teratasi, sehingga problematika yang terkait hal-hal keperdataan bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan ini terselesaikan dengan baik.

Ada minimal tiga hal yang dapat diambil dari sunnah untuk mengadakan pengumuman. Pertama, bahwa perkawinan merupakan urusan public yang siapapun pantas mengetahui. Kedua, pengakuan public ini diharapkan sebagai sarana pengakuan dan penjaminan hak, dan Ketiga, bentuk pengakuan dan penjaminan hak dalam masyarakat ini muncul dalam bentuk pengumuman (walimahan, iklan dan sejenisnya) dan saksi.

Pengakuan dan penjaminan hak di masa nabi cukup dengan pengumuman kepada masyarakat. Namun seiring dengan perkembangan masyarakat, kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, bentuk pengakuan masyarakat dan penjaminan hak juga mengalami perkembangan. Bentuk pengakuan dan penjaminan di masa sekarang dalam bentuk hitam diatas putih, yaitu akta nikah.

C. Manfaat Pencatatan Akad Nikah

Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat, diantaranya:
  1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya..
  2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada.
  3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku.
  4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu syarat dan rukun serta penghalangnya.
  5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu. [26]
D. Muḑarat Nikah Tidak Tercatat

Banyak problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri dan anaknya akibat dari perkawinan tidak tercatat, dan mereka mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan. Perkara isbat nikah ini, dapat  diklasifikasikan masalahnya sebagai berikut:
  1. Suami istri yang telah menikah di bawah tangan, tidak mempunyai akte nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara. Akibatnya anak-anak tidak dapat memperoleh Akte Kelahiran dari instansi yang berwenang, karena untuk mendapatkan akte kelahiran itu diperlukan akte nikah dari orang tuanya.[27]
  2. Suami istri yang melangsungkan pernikahan sesudah tahun 1974 tidak mengetahui kalau pernikahannya tidak tercatat, karena mereka merasa dinikahkan oleh penghulu resmi dan membayar sejumlah biaya pernikahan, namun pada saat memerlukan buku nikah sebagai syarat untuk berangkat haji atau mengurus pensiun atau pembuatan akte kelahiran anak, baru diketahui ternyata perkawinan mereka tidak tercatat di KUA setempat, kemudian kedua suami istri mengajukan isbat nikah.[28]
  3. Suami istri menikah secara sirri, kemudian terjadi sengketa perkawinan,, suami mengajukan permohonan isbat nikah untuk bercerai dan adapula istri (Penggugat) yang mengajukan isbat nikah untuk bercerai karena telah ditinggal pergi oleh suaminya, guna memperoleh kepastian hukum  status dirinya sebagai janda.
  4. Seorang wanita yang tanpa sadar senang kepada seorang laki-laki beristri dan menikah dengan laki-laki tersebut tanpa adanya pendaftaran ke KUA. Beberapa bulan berselang, istri (pertama) laki-laki tersebut mendatangi istri baru suaminya, selanjutnya suami beristri dua tersebut menghilang dan tidak kembali lagi ke rumah istri barunya. Setelah sekian lama tidak melaksanakan kewajiban lahir  batinnya, wanita tersebut mengajukan permohonan isbat untuk bercerai, tetapi:
  • Ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah;
  • Perkawinannya sesudah UU Nomor 1 Tahun 1974 diberlakukan, dan
  • Perkawinannya merupakan perkawinan kedua bagi laki-laki beristri.
Memang berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf a dan e Kompilasi Hukum Islam, permohonannya beralasan hukum, tetapi ketentuan pasal tersebut pada huruf d tidak terpenuhi, sedangkan ketentuan pada ayat b pasal tersebut “dapat” dianggap sama dengan perkawinan yang tidak tercatat. Akan tetapi permohonannya itu berbenturan dengan ketentuan huruf c di atas, yang terkait dengan asas perkawinan di Indonesia (Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan syarat-syarat suami berpoligami (Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 atau PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Poligami).

Perablemnya adalah:
  1. Ia tidak dapat bercerai dari suaminya itu, kecuali apabila pernikahannya diiśbatkan;
  2. Pernikahannya tidak dapat diiśbatkan tanpa suami, Tergugat tidak mendapat persetujuan istri pertamanya;
  3. Apabila pengadilan mengisbatkannya, berarti perkawinan tersebut terjadi sebagaimana didalilkan oleh Penggugat (yang bertindak pula sebagai (Pemohon) dan isbat nikah tersebut menimbulkan hukum lainnya, yaitu adanya hubungan hukum kewarisan antara Pemohon dengan suaminya. Bila ternyata suaminya itu meninggal dunia setelah atau antara tanggal perkawinan yang diisbatkan dan tanggal perceraian yang diajukan dan diputus bersama-sama dan terkait harta gono gini yang harus dibagi;
  4. Apabila pengadilan menolaknya atau sekurang-kurangnya menyatakan permohonan Pemohon tidak diterima, bagaimana wanita tersebut melepaskan ikatan perkawinannya?;Bagaimana pengadilan menyelesaikan kasus di atas?[29]
E. Faktor Penyebab Pernikahan Tidak Tercatat

Jeje Zainudin, Ketua Pengadilan Agama Gunungkidul mengatakan: “masih banyak yang berpendapat bahwa nikah merupakan urusan pribadi dalam melaksanakan ajaran agama, jadi tidak perlu melibatkan aparat yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA). Disamping itu pernikahan sirri juga dianggap sebagai jalan pintas bagi pasangan yang menginginkan pernikahan, namun belum siap atau ada hal lain yang tidak memungkinkannya terikat secara hukum. Seperti contoh kasus:[30]
  1. Ati, merasa tidak ada yang salah dengan pernikahan sirrinya, karena dengan sepengetahuan isteri pertama (Tini) dan dengan alasan ingin mendapatkan keturunan. Sebelum menikah Ati sendiri tahu, kalau pernikahannya tidak dicatatkan. Yang melatarbelakangi pernikahan sirrinya adalah status sebagai isteri kedua dari seorang PNS, tidak memungkinkan pernikahannya dicatatkan. Sementara pernikahan Tini lebih didasari konflik batin.
  2. Meskipun tidak disetujui oleh kedua orang tuanya, sepasang remaja yang saling mencintai tetap melangsungkan pernikahan siri. Mereka berdua masih kuliah dan belum siap menghadapi kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya bila pernikahannya dicatatkan.
  3. Sementara Tatik akan merasakan beban yang lebih berat bila pernikahan tidak dilangsungkan, mengingat bayi yang ada dalam kandungannya membutuhkan seorang ayah. Sebaliknya, pernikahan Ida justru  memicu konflik batin yang membuat kuliah Ida terbengkalai. Pernikahan tersebut terjadi karena perjodohan. Orang tuanya  menikahkan secara sirri karena khawatir melihat hubungan Ida semakin lengket dengan teman kuliahnya.
  4. Kasus Syekh Puji lebih didasari karena pernikahan dibawah umur sehingga sangat tidak memungkinkan bagi mereka untuk mencatatkan pernikahannya.
Membaca dan mempelajari kasus tersebut, dapat dianalisis, beberapa permasalahan yang mendorong seseorang memilih nikah siri sebagai alternatif perkawinannya.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan sirri adalah:
  • Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon pilihan mereka.
  • Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan terlarang (perselingkuhan/ hamil diluar nikah), misalnya salah satu atau kedua pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunya istri atau suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi, tanpa sepengetahuan isteri pertama karna telah hamil.
  • Nikah sirri dilakukan dengan alasan terasa belum lengkap karena sudah bertahun-tahun belum punya anak. Dengan dalih ingin memiliki keturunan, ia menikah dengan  isteri keduanya.
  • Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari dosa karena zina. Kekhawatiran tersebut dialami oleh pasangan mahasiswa dll yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Sebagai jalan keluar yang mampu menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya zina. Nikah sirri dilakukan karena merasa belum siap secara materi dan secara sosial.
  • Nikah Sirrri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya sendiri. Seperti contoh kasus berikut :
  1. Pujiono (baca: syekh Puji) menikahi Ulfa yang masih dibawah umur, sebagai isteri kedua. Yang menjadi kontroversial adalah usia Ulfa masih 12 tahun. Dengan dalih sah secara Agama, dan berpedoman kepada pernikahan Rasul dan Aisyah yang masih berumur 9 tahun, pernikahan tersebut berlangsung dengan persetujuan orang tua Ulfa dan isteri pertama Puji. Namun karena sorotan berbagai kalangan, Puji akhirnya mengembalikan Ulfa kepada orang tuanya.
  2. Pernikahan yang pernah terjadi antara Rhoma Irama dengan Angel Lelga yang menurut beberapa sumber media, Rhoma menikahi Angel karena dia bersedia menjadi muallaf. Pernikahan tersebut ditutupi salah satunya karena khawatir popularitas keartisannya akan pudar. Nyatanya, setelah terekspos media masa, Rhoma Irama justru menceraikan Angel Lelga.
  3. Pernikahan Bambang Triatmojo dan Mayangsari. Sebagai orang terkenal di Indonesia, pernikahan sirri dalam poligami yang dilakukan Bambang tersebut salah satunya bertujuan menghindari publikasi media. Ketika pers mengulas berita tersebut, yang terjadi adalah konflik berkepanjangan dengan isteri pertamanya, Halimah, bahkan dengan anak-anaknya. Disinilah sebenarnya keabsahan nikah sirri harus dipertanyakan kembali.
  4. Pernikahan sirri yang dilakukan oleh Bupati Garut, Jawa Barat Aceng HM. Fikri (baca: Aceng) dengan Fani Oktora (baca: FO) pada hari Senin, 16 Oktober 2012 merupakan peristiwa controversial yang cukup menghebohkan banyak kalangan, karena Aceng disatu sisi sebagai pejabat negara, disisi lain, sebagai tokoh masyarakat yang dipandang mengerti agama,[31] tetapi dalam melakukan pernikahan tersebut terkesan tidak etis disebabkan ia menceraikan FO melalui SMS dengan talak tiga sekaligus (țalak ba’in).[32]  Dan Fani Oktara merasa dilecehkan oleh sang Bupati setelah dirinya hanya dinikahi selama 4 hari karena dianggap tidak perawan.[33]
  • Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara Islam dan tidak perlu dicatatkan.
  • Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang berbelit-belit.
  • Nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur administrasi yang berbelit. Biasanya pernikahan semacam ini dilakukan oleh kalangan pendatang yang tidak mempunyai KTP. Di Jakarta banyak terjadi di lingkungan pendatang yang hidup di lingkungan kumuh dan tidak menetap.
  • Nikah sirri dilakukan karena alasan pernikahan beda agama. Biasanya salah satu pasangan bersedia menjadi muallaf (baru beragama Islam) untuk memperoleh keabsahan pernikahannya. Dan bisa jadi masih ada faktor lain yang belum terungkap, semua alasan tersebut  mengarah kepada posisi perkawinan sirri (tidak tercatat) dipandang sebagai jalan pintas untuk menghalalkan hubungan suami isteri.
-------------------------------------------------------
[1] Majalah, Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah, edisi 36, h. 194

[2] Majmu’ Fatawa 32/131

[3] Sebelum UUP No 1/ 74 lahir, Muslim Indonesia menggunakan hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. (a. Golongan Eropa (termasuk Jepang); b. Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur Asing,  Pasal 163). Lihat Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet. I  (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.4-5, bandingkan dengan C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 224-225

[4] Keburukan dimaksud antara lain: perkawinan  (anak di bawah umur), kawin paksa, poligami, talak sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai ketentuan hak dan kewajiban suami isteri.. Bandingkan antara Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 9 dan Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), h. 285

[5] Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 9 .

[6] Kepanitiaan itu mengalami beberapa perubahan personalia, maka pada tanggal 1 April 1961 dibentuklah panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh. Noer Poerwosoetjipto. Lihat Ibid.

[7] Pada waktu itu ada dua RUU yang masuk ke DPR yaitu; a. RUU tentang Pokok-pokok Perkawinan Umat Islam dan; b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Lihat Ibid., h. 10

[8] Ibid.

[9] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), h. 4

[10] Ibid., h. 2 dan h. 27.

[11] Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat tergambar dari Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973, disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi lainnya agar negara memiliki uu yang mengatur tentang perkawinan.

[12] Dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang Nomor 1 tahun 1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), h. 24

[13] Adapun fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Fraksi Persatuan Pembangunan. Lihat Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 27

[14] Yaitu UUP yang berlaku sampai saat sekarang ini yang diundangkan pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, h. 222

[15] Ibid. Meskipun Atho mencatat bahwa hasil akhir UU No. 1 Tahun 1974 adalah 66 pasal, dalam  kenyataan UU No.1 Tahun 1974 terdiri dari 67 pasal.

[16] Syukri Fathudin AW, Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan”. Dalam http://www. google.com, Akses 25 Nopember 2013, yang mengutip dari Anderson,  J.N.D, Hukum Islam di Dunia Modern, (1994) Yogyakarta,Tiara Wacana, h. 46

[17] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali , Hidakarya Agung, Jakarta, 1996, h. 18.

[18] Wahbah Zuhaili, All-Fiqh al-Islam wa adillatuhu,  (Dar-al-Fikr, Beirut,1989), h. 62.

[19] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22.

[20] Menurut Syamsul Anwar, dalam kesempatan memberi kuliah Program S3 Hukum Keluarga pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, hari Sabtu 03 Nopember 2012 mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`i tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.

[21] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.

[22] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.

[23]  Ibid.

[24]  UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2)

[25] Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

[26] Lihat: Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi, Darul Ashimah, KSA, cet pertama, 1426 H, 74-75.

[27] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.

[28] T a r s i, (Ketua Pengadilan Agama Pelaihari) Problematika Nikah di bawah tangan kaitannya Dengan Pengesahan Nikah, www.pa.plaihari.go,id/index.php?conten=mod-artikel, Akses 24 Nopember 2013

[29] Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan per Undang-Undangan

Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004, h. 100-101.

[30] Diolah dari  laporan hasil penelitian, Ringkasan dan Summary, Syukri Fathudin AW , Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya bagi Perempuan”., https://www.google.com, Akses 25 Nopember 2013

[31] Acaeng, adalah  salah seorang sarjana dan alumni Perguruan Tinggi Agama Islam di Jawa Barat.

[32] Lihat, Koran Harian Tribun, Sabdtu, 01 Desember 2012, h. 1 dan 7. Majalah Nova, N0. 1294/XXIV, 10-16 Desember 2012, h. 58.

[33]http://www.youtube.com/user/dedikusmayadi/Published on Dec 1, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar