DISEPUTAR SHALAT TARAWIH: Dalam Perspektif
Normative dan Historis
Oleh: Khoirul Abror
A.
Pendahuluan
Setiap
kali kita memasuki bulan suci Ramadhan ada-ada saja peristiwa yang selalu
diperbincangkan, dinataranya ketika masuk bulan ramadhan, ada yang yang lebih
dahulu dan ada yang belakangan, seperti halnya
.ramadhan tahun 1435.h ini, ada yang memulai pada tanggal 28 juni 2014
dan ada yang 29 juni 2014. Meskipun begitu itulah Indahnya Islam. Islam
menghargai setiap pendapat seseorang. Asalkan dia mengatakan berdasarkan dalil
maka pendapatnya itu perlu dipertimbangkan.
Salah
satu ibadah shalat yang dilaksanakan dimalam hari (qiyamu al-lail) atau
disebut uga dengan shalat malam, diantarannya adalah shalat tarawih
(istirahat). Shalat ini dinamakan salat tarawih karena kaum muslimin yang beristirahat dimalam hari
setelah ia melaksanakan puasa ramadhan disiang harinya, lalu ia melaksanakan
shalat lail (dimalam harinya). Dengan kata lain bahwa shalat tarawih ini hanya
dilaksanakan khusus pada malam bulan ramadhan, yang dilaksanakan setelah shalat
Isya’ dan sebelum shalat witir.[1]
Para
ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan).[2]
Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih
adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi
laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.
Imam
Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan
sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa shalat tarawih lebih afdhol
dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab r.a
dan para sahabat. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat
tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’at Islam yang begitu nampak
sehingga serupa dengan shalat ‘ied.
B.
Hukum Shalat
Tarawih
Hukum
untuk Shalat Sunat yang sering diselenggarakan di setiap malam bulan Ramadhan
ini, cukup membuat bingung sebagian orang. Sebab di beberapa masjid ada
yang melaksanakan 8 rakaat plus 3 witir (11 rakaat), dan ada yang melaksanakan
20 rakat plus 3 witir (23 rakaat). Lagi ada yang bilang, orang-orang yang
melaksanakan 8 rakaa’at itu terlalu sedikit. Jadi kurang berpahala. Dan
kesannya orang-orang yang melaksanakan 8 rakaa’at itu orang-orang yang hanya
mau cepat selesai. Sedangkan untuk orang-orang yang melaksanakan 23 raka’at,
mereka bilang tidak ada dasar hukumnya. Kalau pun ada itu haditsnya lemah, bukan
shahih. Mana yang benar ? apakah tidak membingungkan sebagian diantara orang
yang sangat awam ?
Agar
kita semua mengerti duduk permasalahannya. Sehingga kita tidak sembarangan mengomentari
kepercayaan orang lain; Maka dipandang perlu kita telusuri lebih dahulu duduk
permasalahannya. Dan tidaklah mengapa kita mengutip tulisan Ustadz Hariyadi Lc yang pernah dimuat dalam
majalah Asy Syariah, sebagaimana dikemukakan oleh Yasir Arafat dalam tulisannya,[3]
bahwa:Tarawih
dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَة (tarwȋhah); yang berarti waktu
sesaat untuk istirahat.[4]
Dan dinamakan tarwȋhah pada bulan
Ramadhan, karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap
4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
Shalat
yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan
tarawih.[5]
karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih,
beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat
ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan
salam).[6]
Ketika
Al-Imam An-Nawawi menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka
Al-Hafizh Ibnu Hajar memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa
qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah
yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat
tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Shalat
Tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam di bulan Ramadlan yang penuh
keutamaan disisi Allah swt. Shalat Tarawih termasuk bagian dari qiyamu
Ramadhan, yakni shalat sunah yang dilakukan setelah shalat Isya’ dan sebelum
shalat witir selama bulan Ramadhan. Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah mustahab
(sunnah) bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan,[7]
karena tarawih telah dianjurkan beliau Nabi Muhammad saw kepada ummatnya.
Sebagaimana hadis dari Abi Hurairah, riwayat Bukhari dan Muslim sbb:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abi Hurairah
ra: sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; “Barang siapa yang melakukan
ibadah (shalat Tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan
ridla dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR.
Bukhari dan Muslim).[8]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه مسلم)
“Dari Abi Hurairah
ra: Rasulullah SAW menggemarkan shalat pada bulan Ramadlan dengan anjuran yang
tidak keras. Beliau berkata: “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat
Tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridla dari Allah,
maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR: Muslim).
Maksud
kataقَامَ رَمَضَانَ dalam
hadis di atas adalah menunaikan ibadah untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan
dengan cara melaksanakan shalat Tarawih, dzikir, membaca al-Qur’an, bersadaqah,
dan ibadah sunnah lainnya, sebagaimana yang dianjurkan Nabi saw. Dan
orang-orang yang melakukannya dengan didasari iman dan mengharapkan keridlo’an
Allah swt, maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu.
C.
Historis Shalat Tarawih
Pertama
kali shalat tarawih ini dikerjakan Nabi saw pada tanggal 23 Ramadlan tahun
kedua hijriyyah. Pada masa itu beliau Nabi saw mengerjakan shalat Tarawih tidak
di masjid terus menerus, kadang di masjid, kadang di rumah. Sebagaimana dalam
Hadis:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى
ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ
الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ
أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ
وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ
تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)
“Dari
‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari
shalat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, pada hari
berikutnya beliau sholat dan pengikut semakin banyak. Kemudian pada hari ketiga
dan keempat orang-orang banyak berkumpul menunggu Nabi saw, namun Nabi saw
tidak datang ke masjid lagi. Pada pagi harinya Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya
aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. namun aku tidak datang ke masjid
karena aku takut kalau shalat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah
berkata: “hal itu terjadi pada bulan Ramadlan”. (HR. Bukhari dan Muslim).[9]
Hadist ini menerangkan bahwa Nabi
saw suatu hari melaksanakan shalat tarawih, pada malam hari yang kedua beliau
datang lagi mengerjakan shalat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang
ketiga dan keempat Nabi saw tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa Nabi
saw takut shalat Tarawih akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat
antusias dan bertambah banyak, Nabi saw berfikir bahwa Allah sewaktu-waktu akan
menurunkan wahyu mewajibkan shalat tarawih kepada umatnya, karena orang-orang
muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi
berat bagi umatnya. Atau akan memberikan dugaan kepada umatnya, bahwa shalat
Tarawih telah diwajibkan, karena shalat Tarawih adalah perbuatan baik yang
selalu dikerjakan beliau Nabi saw, sehingga umatnya akan menduga shalat Tarawih
adalah wajib.
Al-Imam
An-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah
(sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri
kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat
gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur
ulama.”[10]
Adapun rakaat Tarawih yang dilakukan
pada waktu Nabi saw masih hidup masih dipertentangkan para ulama. Ada yang
mengatakan 11 rakaat dan ada yang 23 rakaat, ada yang 39 rakaat bahkan ada yang
mengatakan tidak terbatas.
Dalil salat Tarawih dengan 11 rakaat
adalah hadis riwayat Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى
رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَ
“Rasulullah saw tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam
shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari
11 raka’at.” (HR. Bukhari)[11]
Adapun dalil Tarawih dengan 23
rakaat adalah hadis:
روي
ابن شيبة في مسنده قال: حدثنا يزيد حدثنا ابراهيم ابن عثمان عن الحكم عن مقسم عن
ابن عباس: أنَ رسول لله صلَى الله عليه و سلَم كا ن يصلَى فى رمضان عشرين ركعة.
Diriwayatkan dari ibnu syaibah dalam
kitab musnadnya, dia berkata: diceritakan dari yazid, dari Ustman, dari Hakam,
dari Ibnu Abbas: Rasulullah shalat di bulan Ramadhan (Tarawih) dengan 20
rakaat.[12]
Dalam kitab Mashabih al-Tarawih, Imam al-Suyuti mengatakan
bahwa para ulama berbeda pendapat terkait rakaat shalat Tarawih. Jika Nabi
telah menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih maka tidak akan terjadi perbedaan
pendapat di antara para ulama.[13]
Pendapat ini mengarahkan bahwa pada dasarnya rakaat shalat Tarawih tidak
dibatasi, sehingga umat Islam diberi kebebasan menjalankan shalat Tarawih
dengan rakaat tidak terbatas.
D.
Penutup
Berpijak dari beberapa pendapat para ulama dan hadis-hadis
di atas, dapat dipahami bahwa:
1.
Shalat Tarawih
merupakan salah satu syi’ar Islam di bulan Ramadlan yang penuh keutamaan disisi
Allah swt. Shalat Tarawih termasuk bagian dari qiyamu Ramadhan, yakni
shalat sunah yang dilakukan setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir
selama bulan Ramadhan.
2.
Hukum
melaksanakan shalat tarawih adalah mustahab (sunnah) bagi kaum laki-laki
dan kaum perempuan,
3.
Nabi
melaksanakan shalat Tarawih berjama’ah di Masjid hanya dua malam. Dan beliau
tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut
atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada ummatnya.
4.
Shalat
tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh Nabi saw dan beliau
mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.
5.
Dalam
hadis di atas tidak ada penyebutan bilangan raka’at dan ketentuan raka’at
shalat Tarawih secara rinci. Oleh karenanya para ulama masih
mempertentangkannya (khilafiyah); bahkan Nabi saw tidak pernah membatasi rakaat
shalat tarawih.
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Qadir Syibat al-Hamdi, Al-Jami’u
al-Shahih lil Bukhari min Riwayati Abi Dzar al-Harawi, (Riyadh: Maktabah
Al-Mulk, 2008), juz I.
Abu Abdillah Muhammadibn Ismail
a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah Al-Salafiyah, tt),juz
I.
Al Jaami’ Li Ahkami ash- Sholah,
3/63
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah,
2/9630.
Al-Imam Al-Suyuti, Al-Mashabih fi
Shalat al-Tarawih, (Oman: Dar Al-Qubs,1986).
Al-Majmu’,
3/499;528
Bukhari Muslim dalam: Abu Hafs Umar
ibn Badr al-Mushili, Al-Jam’u baina al-Shahihain, Bab Qiyamu Syahri Ramadhan,
(Beirut: al-Maktab al-Islami, 1995) juz I.
Buku
Pesantren, Hukum dan Sejarah Shalat Tarawih http://bukupesantren.
wordpress.com/2012/12/22/ hukum-dan-sejarah-shalat-tarawih/ diakses 28 -06-14
Fathul
Bari, 4/294
Lisanul
‘Arab, 2/462
M.
yasir Arafat, Hukum Shalat Tarawh, http://myasirarafat.wordpress.com/2012/07/21/
hukum-shalat-tarawih/ Akses,
28 Juni 2014.
Syarh
Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
[1] Al Jaami’ Li
Ahkami ash- Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.
[2] Syarh Shahih
Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
[3] M. yasir
Arafat, Hukum Shalat Tarawh, http://myasirarafat.wordpress.com/2012/07/21/hukum-shalat-tarawih/ Akses, 28 Juni
2014.
[4] Lisanul ‘Arab,
2/462 dan Fathul Bari, 4/294
[5] Syarh Shahih
Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294
[6] Lisanul ‘Arab,
2/462 dan Fathul Bari, 4/294
[7] Syarh Shahih
Muslim, 6/282)
[8] Abu Abdillah
Muhammadibn Ismail a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah
Al-Salafiyah, tt),juz I, hal. 60. Lihat juga, Abd al-Qadir Syibat al-Hamdi, Al-Jami’u
al-Shahih lil Bukhari min Riwayati Abi Dzar al-Harawi, (Riyadh: Maktabah
Al-Mulk, 2008), juz I, 525.
[9] Lihat riwayat
Bukhari Muslim dalam: Abu Hafs Umar ibn Badr al-Mushili, Al-Jam’u baina
al-Shahihain, Bab Qiyamu Syahri Ramadhan, (Beirut: al-Maktab al-Islami,
1995) juz I, 457.
[10] Syarh Shahih
Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528
[11] Abu Abdillah
Muhammad ibn Ismail a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah
Al-Salafiyah, tt),juz I, 61.
[12] Al-Imam
Al-Suyuti, Al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih, (Oman: Dar Al-Qubs,1986),
12.