Sabtu, 28 Juni 2014

DISEPUTAR SHALAT TARAWIH: Dalam Perspektif Normative dan Historis



DISEPUTAR SHALAT TARAWIH: Dalam Perspektif Normative dan Historis
Oleh: Khoirul Abror

A.    Pendahuluan

Setiap kali kita memasuki bulan suci Ramadhan ada-ada saja peristiwa yang selalu diperbincangkan, dinataranya ketika masuk bulan ramadhan, ada yang yang lebih dahulu dan ada yang belakangan, seperti halnya  .ramadhan tahun 1435.h ini, ada yang memulai pada tanggal 28 juni 2014 dan ada yang 29 juni 2014. Meskipun begitu itulah Indahnya Islam. Islam menghargai setiap pendapat seseorang. Asalkan dia mengatakan berdasarkan dalil maka pendapatnya itu perlu dipertimbangkan.

Salah satu ibadah shalat yang dilaksanakan dimalam hari (qiyamu al-lail) atau disebut uga dengan shalat malam, diantarannya adalah shalat tarawih (istirahat). Shalat ini dinamakan salat tarawih karena kaum  muslimin yang beristirahat dimalam hari setelah ia melaksanakan puasa ramadhan disiang harinya, lalu ia melaksanakan shalat lail (dimalam harinya). Dengan kata lain bahwa shalat tarawih ini hanya dilaksanakan khusus pada malam bulan ramadhan, yang dilaksanakan setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir.[1]

Para ulama sepakat bahwa shalat tarawih hukumnya adalah sunnah (dianjurkan).[2] Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat tarawih adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan. Shalat tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam.
Imam Asy Syafi’i, mayoritas ulama Syafi’iyah, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa shalat tarawih lebih afdhol dilaksanakan secara berjama’ah sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin Khattab r.a dan para sahabat. Kaum muslimin pun terus menerus melakukan shalat tarawih secara berjama’ah karena merupakan syi’at Islam yang begitu nampak sehingga serupa dengan shalat ‘ied.

B.     Hukum Shalat Tarawih

Hukum untuk Shalat Sunat yang sering diselenggarakan di setiap malam bulan Ramadhan ini, cukup membuat bingung sebagian orang.  Sebab di beberapa masjid ada yang melaksanakan 8 rakaat plus 3 witir (11 rakaat), dan ada yang melaksanakan 20 rakat plus 3 witir (23 rakaat). Lagi ada yang bilang, orang-orang yang melaksanakan 8 rakaa’at itu terlalu sedikit. Jadi kurang berpahala. Dan kesannya orang-orang yang melaksanakan 8 rakaa’at itu orang-orang yang hanya mau cepat selesai. Sedangkan untuk orang-orang yang melaksanakan 23 raka’at, mereka bilang tidak ada dasar hukumnya. Kalau pun ada itu haditsnya lemah, bukan shahih. Mana yang benar ? apakah tidak membingungkan sebagian diantara orang yang sangat awam  ?

Agar kita semua mengerti duduk permasalahannya. Sehingga kita tidak sembarangan mengomentari kepercayaan orang lain; Maka dipandang perlu kita telusuri lebih dahulu duduk permasalahannya. Dan tidaklah mengapa kita mengutip tulisan  Ustadz Hariyadi Lc yang pernah dimuat dalam majalah Asy Syariah, sebagaimana dikemukakan oleh Yasir Arafat dalam tulisannya,[3] bahwa:Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَة (tarwȋhah); yang berarti waktu sesaat untuk istirahat.[4]  Dan dinamakan tarwȋhah pada bulan Ramadhan, karena para jamaah beristirahat setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462) 

Shalat yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan dinamakan tarawih.[5] karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih, beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup dengan salam).[6]
 
Ketika Al-Imam An-Nawawi menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka Al-Hafizh Ibnu Hajar memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)

Shalat Tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam di bulan Ramadlan yang penuh keutamaan disisi Allah swt.  Shalat Tarawih termasuk bagian dari qiyamu Ramadhan, yakni shalat sunah yang dilakukan setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir selama bulan Ramadhan. Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah mustahab (sunnah) bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan,[7] karena tarawih telah dianjurkan beliau Nabi Muhammad saw kepada ummatnya. Sebagaimana hadis dari Abi Hurairah, riwayat Bukhari dan Muslim sbb: 
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري ومسلم)
Dari Abi Hurairah ra: sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda; “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat Tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridla dari Allah, maka baginya diampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR. Bukhari dan Muslim).[8]

Dipertegas juga dalam sebuah hadis dari Abi Hurairah riwayat Muslim sbb:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه مسلم)
“Dari Abi Hurairah ra: Rasulullah SAW menggemarkan shalat pada bulan Ramadlan dengan anjuran yang tidak keras. Beliau berkata: “Barang siapa yang melakukan ibadah (shalat Tarawih) di bulan Ramadlan hanya karena iman dan mengharapkan ridla dari Allah, maka baginya di ampuni dosa-dosanya yang telah lewat”. (HR: Muslim).

Maksud kataقَامَ رَمَضَانَ   dalam hadis di atas adalah menunaikan ibadah untuk menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan cara melaksanakan shalat Tarawih, dzikir, membaca al-Qur’an, bersadaqah, dan ibadah sunnah lainnya, sebagaimana yang dianjurkan Nabi saw. Dan orang-orang yang melakukannya dengan didasari iman dan mengharapkan keridlo’an Allah swt, maka Allah swt akan mengampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu.

C.     Historis Shalat Tarawih

Pertama kali shalat tarawih ini dikerjakan Nabi saw pada tanggal 23 Ramadlan tahun kedua hijriyyah. Pada masa itu beliau Nabi saw mengerjakan shalat Tarawih tidak di masjid terus menerus, kadang di masjid, kadang di rumah. Sebagaimana dalam Hadis:

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ (رواه البخاري ومسلم)
“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari shalat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, pada hari berikutnya beliau sholat dan pengikut semakin banyak. Kemudian pada hari ketiga dan keempat orang-orang banyak berkumpul menunggu Nabi saw, namun Nabi saw tidak datang ke masjid lagi. Pada pagi harinya Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. namun aku tidak datang ke masjid karena aku takut kalau shalat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah berkata: “hal itu terjadi pada bulan Ramadlan”. (HR. Bukhari dan Muslim).[9]

Hadist ini menerangkan bahwa Nabi saw suatu hari melaksanakan shalat tarawih, pada malam hari yang kedua beliau datang lagi mengerjakan shalat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan keempat Nabi saw tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa Nabi saw takut shalat Tarawih akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan bertambah banyak, Nabi saw berfikir bahwa Allah sewaktu-waktu akan menurunkan wahyu mewajibkan shalat tarawih kepada umatnya, karena orang-orang muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi berat bagi umatnya. Atau akan memberikan dugaan kepada umatnya, bahwa shalat Tarawih telah diwajibkan, karena shalat Tarawih adalah perbuatan baik yang selalu dikerjakan beliau Nabi saw, sehingga umatnya akan menduga shalat Tarawih adalah wajib.

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah) secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih menurut jumhur ulama.”[10]
 
Adapun rakaat Tarawih yang dilakukan pada waktu Nabi saw masih hidup masih dipertentangkan para ulama. Ada yang mengatakan 11 rakaat dan ada yang 23 rakaat, ada yang 39 rakaat bahkan ada yang mengatakan tidak terbatas.
Dalil salat Tarawih dengan 11 rakaat adalah hadis riwayat Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَ
“Rasulullah saw tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari)[11]
Adapun dalil Tarawih dengan 23 rakaat adalah hadis:
روي ابن شيبة في مسنده قال: حدثنا يزيد حدثنا ابراهيم ابن عثمان عن الحكم عن مقسم عن ابن عباس: أنَ رسول لله صلَى الله عليه و سلَم كا ن يصلَى فى رمضان عشرين ركعة.
Diriwayatkan dari ibnu syaibah dalam kitab musnadnya, dia berkata: diceritakan dari yazid, dari Ustman, dari Hakam, dari Ibnu Abbas: Rasulullah shalat di bulan Ramadhan (Tarawih) dengan 20 rakaat.[12]  

Dalam kitab Mashabih al-Tarawih, Imam al-Suyuti mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat terkait rakaat shalat Tarawih. Jika Nabi telah menetapkan jumlah rakaat shalat Tarawih maka tidak akan terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.[13] Pendapat ini mengarahkan bahwa pada dasarnya rakaat shalat Tarawih tidak dibatasi, sehingga umat Islam diberi kebebasan menjalankan shalat Tarawih dengan rakaat tidak terbatas.
D.    Penutup

Berpijak dari beberapa pendapat para ulama dan hadis-hadis di atas, dapat dipahami bahwa:
1.      Shalat Tarawih merupakan salah satu syi’ar Islam di bulan Ramadlan yang penuh keutamaan disisi Allah swt.  Shalat Tarawih termasuk bagian dari qiyamu Ramadhan, yakni shalat sunah yang dilakukan setelah shalat Isya’ dan sebelum shalat witir selama bulan Ramadhan.

2.      Hukum melaksanakan shalat tarawih adalah mustahab (sunnah) bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan,

3.      Nabi melaksanakan shalat Tarawih berjama’ah di Masjid hanya dua malam. Dan beliau tidak hadir melaksanakan shalat tarawih bersama-sama di masjid karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada ummatnya.

4.      Shalat tarawih hukumnya adalah sunnah, karena sangat digemari oleh Nabi saw dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya.

5.      Dalam hadis di atas tidak ada penyebutan bilangan raka’at dan ketentuan raka’at shalat Tarawih secara rinci. Oleh karenanya para ulama masih mempertentangkannya (khilafiyah); bahkan Nabi saw tidak pernah membatasi rakaat shalat tarawih.






DAFTAR PUSTAKA


Abd al-Qadir Syibat al-Hamdi, Al-Jami’u al-Shahih lil Bukhari min Riwayati Abi Dzar al-Harawi, (Riyadh: Maktabah Al-Mulk, 2008), juz I.

Abu Abdillah Muhammadibn Ismail a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah Al-Salafiyah, tt),juz I.

Al Jaami’ Li Ahkami ash- Sholah, 3/63

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

Al-Imam Al-Suyuti, Al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih, (Oman: Dar Al-Qubs,1986).

Al-Majmu’, 3/499;528

Bukhari Muslim dalam: Abu Hafs Umar ibn Badr al-Mushili, Al-Jam’u baina al-Shahihain, Bab Qiyamu Syahri Ramadhan, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1995) juz I.
Buku Pesantren, Hukum dan Sejarah Shalat Tarawih http://bukupesantren. wordpress.com/2012/12/22/ hukum-dan-sejarah-shalat-tarawih/ diakses 28 -06-14
Fathul Bari, 4/294

Lisanul ‘Arab, 2/462

M. yasir Arafat, Hukum Shalat Tarawh, http://myasirarafat.wordpress.com/2012/07/21/ hukum-shalat-tarawih/ Akses, 28 Juni 2014.

Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).



[1] Al Jaami’ Li Ahkami ash- Sholah, 3/63 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9630.

[2] Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’ (3/526).
[3] M. yasir Arafat, Hukum Shalat Tarawh, http://myasirarafat.wordpress.com/2012/07/21/hukum-shalat-tarawih/ Akses, 28 Juni 2014.
[4] Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294
[5] Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294
[6] Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294
[7] Syarh Shahih Muslim, 6/282)
[8] Abu Abdillah Muhammadibn Ismail a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah Al-Salafiyah, tt),juz I, hal. 60. Lihat juga, Abd al-Qadir Syibat al-Hamdi, Al-Jami’u al-Shahih lil Bukhari min Riwayati Abi Dzar al-Harawi, (Riyadh: Maktabah Al-Mulk, 2008), juz I, 525.
[9] Lihat riwayat Bukhari Muslim dalam: Abu Hafs Umar ibn Badr al-Mushili, Al-Jam’u baina al-Shahihain, Bab Qiyamu Syahri Ramadhan, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1995) juz I,  457.
[10] Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula Al-Majmu’, 3/499;528
[11] Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail a-Bukhari, Al-Jami’us Shahih, (Kairo: Al-Mathba’ah Al-Salafiyah, tt),juz I, 61.
[12] Al-Imam Al-Suyuti, Al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih, (Oman: Dar Al-Qubs,1986), 12.
[13] Al-Imam Al-Suyuti, Al-Mashabih fi Shalat al-Tarawih, (Oman: Dar Al-Qubs,1986), 30