Minggu, 23 Desember 2012

SADDU Aż-ŻARIʻAḤ DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM HUKUM ISLAM

SADDU Aż-ŻARIʻAḤ DAN SIGNIFIKANSINYA DALAM HUKUM ISLAM

Oleh: Khoirul Abror [1]

A. Latar Belakang Masalah

Suatu pebuatan yang dilakukan oleh seseoang secara sadar pasti mempunyai tujuan tertentu yang jelas, terkadang tanpa mempersoalkan apakah perbuatan yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau muḍarat.[2] Sebelum sampai pada perbuatan yang dituju, ada serentetan perbuatan yang mendahuluinya dan harus dilalui. Contoh, bila seseorang ingin menuntut ilmu, ia melalui beberapa fase kegiatan seperti mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Perbuatan pokok dalam hal ini adalah menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain merupakan perantara atau pendahuluan.

Contoh lain adalah berzina. Ada hal-hal yang mendahuluinya seperti rangsangan, penyediaan kesempatan untuk bisa melakukan zina. Dalam hal ini zina merupakan perrbuatan pokok, sedangkan yang mendahuluinya disebut perantara. Perbuatan-perbuatan pokok yang dituju oleh seseorang telah diatur syara’dan termasuk kedalam hukum taklifi yang lima atau disebut juga Al-ahkam Al-khamsaḥ. Untuk dapat melakukan perbuatan pokok baik yang disuruh ataupun dilarang, harus terlebih dahulu melakukan perbuatan yang mendahuluinya. Keharusan melakukan atau menghindari perbuatan yang mendahului perbuatan pokok tersebut, ada yang telah diatur sendiri hukumnya oleh syara’ dan ada yang tidak diatur secara langsung.[3]



Contoh pebuatan pendahuluan yang sudah diatur hukumnya adalah: Wudhu. wudhu adalah perantara melakukan șalat, namun kewajiban wudhu itu sendiri telah diatur hukumnya oleh al-Qur’an. Jelas dalam hal ini antara wudhu (perantara) dan șalat yang menjadi perbuatan pokok hukumnya sama-sama wajib. Contoh lain yaitu Berzina. Berzina adalah perbuatan yang dilarang, sedangkan perbuatan yang mendahuluinya adalah berkhalwat yang hukumnya sudah ditentukan dalam al-Qur’an. Jadi antara zina yang menjadi perbuatan pokok dengan khalwat yang menjadi perbuatan perantara hukumnya sama-sama haram.

Contoh perbuatan pendahuluan yang tidak ditetapkan hukumnya adalah kewajiban menuntut ilmu itu diwajibkan tetapi perbuatan perantara seperti mendirikan sekolah dan mencari guru itu tidak ada dalil hukumnya secara langsung. Dapatkah mendirikan sekolah dan mencari guru itu wajib sebagaimana wajibnya menuntut ilmu?. Contoh lain adalah membunuh tanpa hak merupakan perbuatan haram yang harus dijauhi, tetapi untuk menghindar dari membunh tanpa hak umpamanya dengan tidak memiliki senjata, dalam hal ini dapatkah memiliki senjata dikatakan hukumnya haram sebagaimana haramnya membunh tanpa hak yang menjadi perbuatan pokok?.[4]

Berangkat dari kegelisahan inilah maka penulis ingin membahas mengenai perbuatan pendahuluan yang belum jelas kontek hukumnya yang dalam makalah ini disebut dengan Saddu Aż-Żariʻaḥ. Fiqh merupakan suatu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Karenanya dalam kajian fiqh para fuqaha menggunakan metode-metode tertentu, seperti qiyas, istihsan, istishab, istislah, dan saddu aż- Żariʻaḥ.[5]  Oleh karena itu Żariʻaḥ  menjadi hal yang penting untuk dikaji kaitannya dengan ikhtiyat untuk menghindari kemudaratan. Berpijak dari latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah: Apakah yang menjadi landasan sehingga Saddu Aż-Żariʻaḥ bisa menjadi salah satu istimbat hukum?  dan bagaimanakah proses pengambilan hukum Saddu Aż-Żariʻaḥ dalam mengantisispasi amoral di tengah masyarakat yang beranekaragam prilaku?

B. Pengertian Saddu Aż-Żariʻaḥ

Saddu Aż-Żariʻaḥ terdiri atas dua perkataan, yaitu Saddu dan Żariʻaḥ. Kata Saddu menurut bahasa berarti menutup, penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang Aż-Żariʻaḥ berarti waşilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian, Saddu Aż-Żariʻaḥ secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[6]  Pengertian Żaraʻi sebagai wașilah dikemukakan oleh Abu Zahra dan Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau sesuatu yang membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Sedangkan Ibnu Taimiyyah memaknai Żaraʻi  sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi perantara kepada perbuatan yang diharamkan.[7]  Dalam konteks metodologi pemikiran hukum Islam. maka Saddu Aż-Żariʻaḥ dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh dari seorang mujtahid untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu dengan menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan.[8]

Secara etimologi (lughawi/ bahasa) Żariʻaḥ berarti “jalan yang menuju kepada sesuatu baik ataupun buruk”. Arti yang lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan penilaian kepada hasil perbuatan, pengetian inilah yang diangkat oleh Ibnul Qayyim kedalam rumusan definisi tentang Żariʻaḥ yaitu: apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu. Ada juga yang mengkhususkan pengertian Żariʻaḥ dengan “sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”. Akan tetapi, Ibn Qayyim al-Juziyah (691-751 H/1292-1350 M) ahli fiqh Hambali), mengatakan bahwa pembatasan pengertian Żariʻaḥ yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Pendapat ibnu qayyim didukung oleh Wahbah Zuhaili. Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap żariʻaḥ, ia mengatakan żariʻaḥ adalah bahwa apa yang menyampaikan kepada sesuatu yang terlarang dan mengandung kerusakan sedangkan saddu atinya menutup, jadi saddu Aż-Żariʻaḥ berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.[9]

Menurut al-Qarafi, Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah memotong jalan kerusakan (mafsadaḥ) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadaḥ), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadaḥ), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[10] Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, Aż-Żariʻaḥ adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahẓur).[11] Olehsebab itu menurutnya pengertian żariʻaḥ lebih baik dikemukakan yang bersifat umum, sehingga żariʻaḥ mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang, disebut dengan Saddu Aż-Żariʻaḥ dan yang menuntut untuk dilaksanakan disebut Fathu Aż-Żariʻaḥ.[12]

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Żariʻaḥ adalah wașilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan/cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnya halal serta jalan/cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.[13] Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan kewajiban kecuali dengan dia, maka wajib pula mengerjakan sesuatu itu.[14]

Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Żariʻaḥ dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnul qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa Żariʻaḥ tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan.[15]

Imam asy-Syathibi mendefinisikan Żariʻaḥ dengan: Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya, seseorang melakukan pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tapi tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya: dalam masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga wajib mengeluarkan zakat) datang seseorang yang memiliki sejumlah harta yang wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga berkurang nisab harta itu dan ia terhindar dari kewajiban zakat.

Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain dianjurkan oleh syaraʻ, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah dilakaukan itu adalah untuk menghindari kewajban yaitu membayar zakat, maka perbuatan ini dilarang. Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.

Menurut istilah Saddu Aż-Żaraʻi adalah menetapkan hukum suatu perkara dengan suatu hukum yang terdapat pada perkara yang dituju.[16] Jadi Żariʻaḥ artinya wașilah (jalan), yang menyampaikan kepada tujuan. Yang dimaksud dengan Żariʻaḥ di sini ialah jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Maka cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, dan cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnyapun halal pula, dan apa yang menyampaikan kita kepada yang wajib hukumnyapun adalah wajib.

“Hukumnya waşilah (jalan/cara yang menuju kepada tujuan) sama dengan hukumnya tujuan”[17].  Sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan kewajiban kecuali dengan dia, maka wajib pula mengerjakan sesuatu itu.[18]

Contoh: Zina itu adalah haram, maka melihat aurat wanita yang membawa kepada perzinahan adalah haram juga. Ṣalat Jumʻat adalah wajib, maka meninggalkan jual beli pada waktu şalat jumʻat demi untuk melaksanakan şalat jumʻat adalah wajib pula. Haji adalah wajib, maka usaha-usaha yang menuju kepada terlaksananya ibadah haji adalah wajib pula.

Dalam hukum taklifi diuraikan tentang sesuatu yang mendahului perbuatan wajib, yang disebut muqaddimah wajib. Karena muqaddimah merupakan wașilah (perantara) kepada suatu yang dikenai hukum, maka ia juga disebut Żariʻaḥ. Oleh karena itu para penulis dan ulama ushul fiqh memasukkan muqaddimah wajib kedalam pembahasan tentang Żariʻaḥ, karena sama-sama sebagai perantara untuk melakukan sesuatu.

Badran dan zuhaili membedakan antara muqaddimah wajib dengan Żariʻaḥ, perbedaannya terletak pada ketergantungan perbuatan pokok yang dituju dengan perantara atau washilah. Pada Żariʻaḥ, hukum perbuatan pokok tidak tergantung pada perantara. Contohnya adalah zina, khalwat adalah perantara dalam melakukan zina, tetapi tanpa adanya khalwatpun zina bisa terjadi, karena itu khalwat sebagai perantara disini disebut Żariʻaḥ.[19] Muqaddimah adalah hukum perbuatan pokok tergantung pada perantara, contohnya Shalat. Wudhu merupakan perantara shalat dan kesahan shalat itu tergantung pada pelaksanaan wudhu karenanya wudhu disebut Muqaddimah bukan Żariʻaḥ  menurut Badran dan Zuhaili.[20]  Ada juga yang membedakan antara Żariʻaḥ dan Muqaddimah itu tergantung pada baik dan buruknya perbuatan pokok yang dituju. Bila perbuatan pokok yang dituju merupakan perbuatan pokok yang dianjurkan, maka washilahnya disebut Muqaddimah, sedangkan bila perbuatan pokok yang dituju merupakan larangan maka washilahnya adalah Żariʻaḥ karena manusia harus menjauhi perbuatan yang dilarang termasuk washilahnya. Maka pembahasan disini adalah usaha untuk menjauhi washilah agar terhindar dari perbuatan pokok yang dilarang.  Sedangkan menurut  enssiklopedi hukum islam, dalam ilmu ushul fiqh, dikenal dua istilah yang berkaitan dengan Żariʻaḥ, yaitu Saddu Aż-Żariʻaḥ dan Fathu Aż-Żariʻaḥ.[21]

Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa Żariʻaḥ itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddu Aż-Żariʻaḥ, dan ada kalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fathu Aż-Żariʻaḥ. Seperti meninggalkan segala aktivitas untuk melaksanakan şalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi Wahbah Az-Zuhaili berbeda pendapat dengan Ibnul Qayyim. Dia menyatakan bahwa meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam Żariʻaḥ tetapi dikategorikan sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan.[22]

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, tetapi mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Żariʻaḥ. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fathu Aż-Żariʻaḥ, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah Żariʻaḥ. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah.[23] Walaupun Golongan Zhahiriyah tidak mengakui kehujjahan Saddu Aż-Żariʻaḥ sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

Kesimpulannya adalah bahwa Żariʻaḥ merupakan waşilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan/ cara yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan/ cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.[24]

Contohnya adalah: Zina hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga merupakan haram atau shalat jum,at merupakan kewajiban maka meninggalkan segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib pula hukumnya.

C. Kedudukan Saddu Aż-Żariʻaḥ

Ushul Fiqh, merupakan ilmu alat yang sangat strategis dalam kajian ilmu-ilmu Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Melalui ushul Fiqh, kajian substansial atas kedua sumber itu dapat dibedah dan dikembangkan secara lebih relevan dengan kebutuhan objectif manusia.[25] Żariʻaḥ sebagai sumber untuk menetapkan sesuatu hukum syara’. Melalui żariʻaḥ dapat ditentukan sesuatu tindakan itu betul atau salah. Para ulama menjadikan żariʻaḥ sebagai sumber untuk menetapkan sesuatu hukum syara’, yaitu dengan membuat penilaian terhadap kesan dan akibat sesuatu perbuatan. Menggunakan dasar żariʻaḥ, umat Islam dilarang mencerca barang sembahan orang bukan Islam, guna mengelakkan tindak balas orang bukan Islam terhadap Islam. Meskipun hampir semua ulama’ dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang Saddu Aż-Żariʻaḥ, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri.

Ada yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati oleh ulama’. Ibnu Hazm yang menolak untuk berhujjah dengan Saddu Aż-Żariʻaḥ, ia menyatakan: “Segolongan orang mengharamkan beberapa perkara dengan jalan ihtiyath dan karena khawatir menjadi wașilah kepada yang benar-benar haram”.[26] Ditempatkannya Aż-Żariʻaḥ sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya, mengandung arti bahwa karena wașilah sebagai perbuatan pendahuluan maka ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa waşilah itu sebagaimana hukum yang ditetapkan syara’ tehadap perbuatan pokoknya. Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, Saddu Aż-Żariʻaḥ merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbaṭ al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari disisi produk hukumnya, Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah salah satu sumber hukum.

Tidak semua ulama sepakat dengan Saddu Aż-Żariʻaḥ sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu: a) yang menerima sepenuhnya; b) yang tidak menerima sepenuhnya; c) yang menolak sepenuhnya.

Imam Malik dan Imam Ahmad amat banyak berpegang pada Żariʻaḥ, sedangkan Imam Syafi`y dan Abu Hanifah kurang dari mereka walaupun mereka berdua terakhir tidak menolak Żariʻaḥ secara keseluruhan dan tidak mengakuinya sebagai dalil yang berdiri sendiri. Menurut Syafi`y dan Abu Hanifah, Żariʻaḥ ini masuk ke dalam dasar yang sudah mereka tetapkan yaitu Qiyas menurut Imam Syafi`y dan istihsan menurut Hanafy.[27]

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi  (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqāt.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak Saddu Aż-Żariʻaḥ sebagai metode istinbaṭ pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan Saddu Aż-Żariʻaḥ, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (żariʻaḥ) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga żariʻaḥ kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[28]

Contoh kasus penggunaan Saddu Aż-Żariʻaḥ oleh mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan Saddu Aż-Żariʻaḥ agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.  [29]

Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 100 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 50 juta. [30]

Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 100 juta dan secara tunai seharga Rp. 50 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa. [31] Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan Saddu Aż-Żariʻaḥ dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba. [32]

Bagi mazhab Syafiʻi, transaksi jual beli kredit seperti itu adalah sah secara formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si-penjual untuk melakukan riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si-penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[33]

Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (ẓahir al-lafẓ). Sementara Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.

Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode Saddu Aż-Żariʻaḥ dalam kitabnya al-Ahkam fῑ Ușul al-Ahkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap Saddu Aż-Żariʻaḥ dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Saddu Aż-Żariʻaḥ lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep Saddu Aż-Żariʻaḥ tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan berdasarkan nash  dan ijma’ (qaṭʻi). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh naș tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan naș lain yang jelas atau ijmaʻ. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash yang jelas atau ijmaʻ. hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata. [34]

Contoh kasus penolakan kalangan aż-Ẓahiri dalam penggunaan Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki, perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (żariʻaḥ) bagi wanita untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang halal.[35]

Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan Saddu Aż-Żariʻaḥ, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi dikalangan empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak menggunakan Saddu Aż-Żariʻaḥ dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.

Adapun tentang mażab Ẓahiri yang menolak mentah-mentah Saddu Aż-Żariʻaḥ, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus diputuskan berdasarkan ẓahir naş dan ẓahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual naş juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadaḥ dan meraih maşlahaḥ. Jika memang mafsadaḥ jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.

Dengan Saddu Aż-Żariʻaḥ, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mażab aẓ-Ẓahiri. Namun agar tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam Saddu Aż-Żariʻaḥ adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut  tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu halal. 

D.  Dasar Hukum Saddu Aż-Żariʻaḥ

1. Al-qurān

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Allah merekalah kembali, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’ảm: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah Aż-Żariʻaḥ adz-dzari’ah yang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadaḥ yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (Saddu Aż-Żariʻaḥ).

Surat an-Nūr ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya.

Sebenarnya menghentakan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi diketahui orang, sehingga menimbulkan rangsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakan kaki bagi perempuan itu menjadi terlarang. [36]

Berangkat dari dua contoh ayat di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya.

2. Sunnaḥ

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ

Dari Abdullah bin ʻAmr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk diantara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya”. Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.” [37]

Hadis ini dijadikan oleh Imam Syaṭibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep Saddu Aż-Żariʻaḥ. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (ẓann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks Saddu Aż-Żariʻaḥ. [38]

Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari zakat.[39]

3. Kaidah Fikih 

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:

 دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.

Menolak keburukan (mafsadaḥ) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mașlahaḥ). [40]

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan dibawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, Saddu Aż-Żariʻaḥ pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam Saddu Aż-Żariʻaḥ terdapat unsur mafsadaḥ yang harus dihindari.

4. Logika

Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Muwaqqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.” [41]

Untuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, perlu diperhatikan:
  1. Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
  2. Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syariʻaḥ, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.[42] Contohnya seperti yang sedang marak dibicarakan sekarang yaitu katup jantung. Pada dasarnya membedah orang yang sudah meninggal itu dilarang. Berdasarkan Hadis Nabi riwayat Abu Daud: “Memecah/ merusak tulang orang yang telah meninggal dunia sama dengan memecahkannya/ merusaknya sewaktu manusia itu masih hidup.” (HR. Abu Daud). tetapi dengan Kaidah hukum yang berbunyi: “Kehormatan orang masih hidup diutamakan dari pada kehormatan orang yang telah meninggal dunia“[43]  Bolehnya melakukan pembedahan terhadap perut jenazah/orang yang telah meninggal dunia dengan tujuan untuk menyelamatkan harta atau jiwa orang lain, sebagaimana dijelaskan oleh Kitab Syarah al-Muhazzab, juz V hal 300: “Apabila ada mayit sewaktu masih hidup menelan permata milik orang lain dan”pemilik permata memintanya (kepada ahli waris mayit) maka perut mayit tersebut harus dibedah untuk mengambil permatanya“. Kitab Syarah al-Muhazzab, juz V hal 301: “Apabila ada seorang wanita meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin/bayi yang hidup,, maka perut wanita tersebut harus dibedah, karena hal itu berarti upaya menyelamatkan orang yang masih hidup dengan merusak bagian/organ orang yang telah meninggal. Dengan demikian kebolehannya itu sama dengan (kebolehan) memakan daging mayit dalam keadaan darurat. maka MUI Memfatwakan: Bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ ahli warisnya.[44]

Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama’ adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:
a.   Sisi yang mendorong untuk berbuat.
b.  Sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (Kesimpulan/ Akibat) dari perbuatan itu. Menurut natijahnya, perbuatan itu ada 2 bentuk:
  • Natijahnya baik, maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan olehkarenanya dituntut untuk mengerjakannya.
  • Natijahnya buruk, maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.[45]
E. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Saddu Aż-Żariʻaḥ

Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dari riba, umpama si A menjual arloji kepada si B dengan harga Rp 800.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A dengan harga Rp 600.000 tunai, si B mengantongi uang p 600.000 tetapi nanti pada waktu yang sudah ditentukan si B harus membayar rp 800.000 pada si A.  Jual beli seperti ini dikenal dengan bai’ al-ʻainah atau bai’ul ajal.[46]

Menurut Wahbah Azzuhaili, para ulama sepakat tentang dilarangnya perbuatan ini, karena cara seperti ini merupakan praktik-praktik riba yang berusaha dijadikan helah oleh para pelakunya. Bahkan kalangan Malikiyah dan Hambaliyah jual beli ini dilarang karena masalah dilarang atau tidaknya suatu perbuatan tidak hanya diukur pada bentuk formal dari suatu perbuatan, tetapi juga dilihat kepada akibat dari perbuatan itu. Hal ini terkait dengan moral di tengah masyarakat, sehingga penetapan hukum yang berprinsip Saddu Aż-Żariʻaḥ merupakan antisipasi tehadap berbagai kegiatan yang bersifat amoral di masyarakat karena dalam prinsip Saddu Aż-Żariʻaḥ tidak hanya terpaku pada hukum dasar suatu pebuatan, tetapi juga mempertimbangkan moti-motif yang melatar belakangi perbuatan serta akibat yang akan ditimbulkannya. Sedangkan menurut Hanafiyah jual beli seperti itu fasid (rusak) bukan karena atas dasa Saddu Aż-Żariʻaḥ, tetapi atas dasar bahwa pihak penjual tidak sah membeli barang itu kembali sebelum pihak pembeli melunasi barang tersebut.[47]

Menurut kalangan syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu hukumnya sah, selama syarat dan rukunnya telah dipenuhi, adanya kemungkinan tujuan tersembunyi dibalik yang lahiriyah dari kedua belah pihak, karena tidak dapat dipastikan, tidak berpengaruh pada sahnya akad jual beli.[48]

Perbedaan sisi pandang ini menimbulkan perbedaan tentang penerimaan dalil Saddu Aż-Żaraʻi. Malikiyah mengukur sah/ tidaknya suatu perbuatan dengan mempetimbangkan niat, tujuan dan akibat dari perbuatan itu sendiri. Sementara hanafiyah dan syafi’iyah hanya memandang akadnya, jika sesuai dengan rukun dan syarat maka itu sah, sedangkan niat tersembunyi dikembalikan kepada Allah.

Kerancauan mengenai batasan maşlahat dan muḍarat menimbulkan berbagai pendapat mengenai kedudukan Saddu Aż-Żaraʻi yaitu bisa diterima dengan memenuhi dua prinsip:
a. Żaraʻi digunakan bila mengakibatkan kerusakan yang ditetapkan naș/ hal-hal yang ada naşnya.
b. Perkara yang berhubungan dengan amanat dalam hukum syara’, bukan berarti tidak memeperhitungkan kemungkinan terjadinya khianat, karena bisa jadi bahaya menutup Żaraʻi bermudarat lebih besar dari bahaya yang dapat dihindarkan melalui meninggalkan Żaraʻi.[49]

Dalam masyarakat yang majemuk, banyak hal yang bisa dikaji dengan konsep Saddu Aż-Żariʻaḥ sebagai antisipasi terhadap kemafsadatan yang akan ditimbulkan oleh suatu pebuatan. Contoh lain dari jenis Żariʻaḥ yaitu acara muhasabah bersama yang diadakan oleh lembaga atau yayasan, baik muhasabah akhir tahun, maupun acara-acara Muhasabah insidentil. Dewan Syariʻah Yayasan Al-khairāt mengatakan bahwa acara-acara muhasabah seperti itu adalah bidʻah. Pada dasarnya Muhasabah artinya evaluasi atas prilaku dan tindak tanduk kita dengan tujuan kita dapat menyesali dosa-dosa yang telah kita lakukan, beristighfar dan bertobat serta bertekad tidak akan melakukan lagi. Muhasabah dianjurkan oleh Al-Qurān dalam banyak ayat dan hadiś. Dan boleh dilakukan baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama (berjamaah).[50]

Dasar yang menjadi masalah adalah bila muhasabah yang dilakukan secara berjamaah itu secara proses waktu menjadi sebuah bentuk ibadah ritual baru dengan syarat, aturan, ketentuan dan rukun yang baku. Meski maksud dan tujuannya baik dan bahkan tidak ada mata acara yang bertentangan dengan syariʻah, tapi sebagai paket ritual, menjadi hal yang ditakutkan akan menimbulkan salah paham dikemudian hari. Orang akan beranggapan bahwa itu adalah sebuah bentuk ibadah mahḍaḥ tersendiri.[51]

Dalam hal ini, ada ketentuan Saddu Aż-Żariʻaḥ, yaitu mencegah hal-hal yang dikhawatirkan menimbulkan keburukan dan dikhawatirkan menjadi ketetapan tradisi dan menjadi ibadah yang bid`ah. Sebenarnya fenomena ramainya peserta muhasabah dan menjamurnya acara tersebut sangat menggembirakan apalagi digelar pada momentum malam tahun baru yang umumnya digunakan untuk hura-hura. Sangat kontras dengan acara ini dimana pada malam yang sama puluhan bahkan ratusan masjid dijejali oleh kawula muda yang khusyu` mendengarkan siraman rohani dan menangis mendengarkan imam membacakan ayat-ayat Qurān yang suci. Sebuah pemandangan yang langka.

Dalam batas tertentu itu memang menggembirakan. Namun para ulama sudah berpikir panjang dan melihat kedepan dengan menggunakan Saddu Aż-Żariʻaḥ. Maka ketika kemudian gejala ini dirasakan semakin meluas sementara tidak ada jaminan bahwa generasi berikutnya benar-benar memahami konteks di atas, maka sebelum menjadi sebuah keharusan sosial, ditetapkanlah bahwa acara muhasabah berjamaah seperti itu tidak perlu diteruskan, apalagi menggunakan momentum tahun baru dan sejenisnya, karena mencegah yang mungkar itu lebih didahulukan dari mencari keutamaan.[52]

Menurut Imam Asy-Syațibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang sebenarnya hukumnya boleh tetapi mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur kemafsadatannya.[53]

F. Kesimpulan

Żariʻaḥ adalah waşilah (jalan) yang menyampaikan kepada tujuan, baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan/ cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan/ cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun wajib.

Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan, walaupun sebagian tidak sepakat dalam menerimanya sebagai Żariʻaḥ. Ulama Hanafiyah dan Hanabilah dapat menerima sebagai Fathu Aż-Żariʻaḥ, sedangkan ulama Syafi’iyah, Hanafiyyah dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai Muqaddimah, tidak termasuk sebagai kaidah żariʻaḥ. Namun mereka sepakat bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai hujjah. Walaupun Golongan Ẓahiriyyah tidak mengakui kehujjahan Saddu Aż-Żariʻaḥ sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syaraʻ. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan naş secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

Menurut Syafi`i dan Abu Hanifah, żariʻaḥ ini masuk ke dalam dasar yang sudah mereka tetapkan yaitu Qiyas menurut Imam Syafi`i dan Istihsān menurut Hanafi.

Ayat-ayat Al-Qurān yang mengisyaratkan kearah Saddu Aż-Żariʻaḥ menarik perhatian para ulama’ contoh: Surat Al-An’ām ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan. dan Surat an-Nūr ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Juga terdapat dalam hadiś nabi Muhammad SAW. contohnya yaitu Nabi melarang melaknat kedua orang tuanya, dengan cara mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu yang melaknat itu.

Dasar hukum pemikiran bagi ulama’ adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi:1) Sisi yang mendorong untuk berbuat. 2) Sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (Kesimpulan/Akibat) dari perbuatan itu. Menurut natijahnya, perbuatan itu ada 2 bentuk:

  1. Natijahnya baik, maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut  untuk mengerjakannya.
  2. Natijahnya buruk, maka segala sesuatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk, dan karenannya dilarang.

Dapat disimpulkan bahwa dalam Saddu Aż-Żariʻaḥ penetapan hukumnya selalu menekankan pada keutamaan manfaat dan menghindari kemufsadatan. Hal ini untuk mengantisispasi sikap hidup yang tidak terpuji ditengah masyarakat.

Untuk menetapkan hukum jalan (sarana) yang mengharamkan kepada tujuan, dalam Saddu Aż-Żariʻaḥ, ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
  • Tujuan. Jika tujuannya dilarang, maka jalannyapun dilarang dan   jika tujuannya wajib, maka jalannyapun diwajibkan.
  • Niat (Motif). Jika niatnya untuk mencapai yang halal, maka hukum sarananya halal, dan jika niat yang ingin dicapai haram, maka sarananyapun haram.
Akibat dari suatu perbuatan. Jika akibat suatu perbuatan menghasilkan kemaslahatan seperti yang diajarkan syari’ah, maka wasilah hukumnya boleh dikerjakan, dan sebaliknya jika akibat perbuatan adalah kerusakan, walaupun tujuannya demi kebaikan, maka hukumnya tidak boleh.

==================================

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubāb fi Syarh al-Kitāb, Beirut: Dār al-Ma’rifaḥ, 1997.

Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Abu al-Abbas al-Qarafi, Syihab ad-Din, Tanqih al-Fușūl fi ‘Ilm al-Ușūl, dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar li at-Turaś al-Islāmi, Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt.

 Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm aẓ-Ẓahiri, al-Ahkām fi Uşul al-Ihkām, Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998, juz 6.

 -----------, Al-Mahalli bi al-Aśār, Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 2003, juz 12.

 Al-Ja’fi, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Jamȋ’ aş-Ṣahih al-Mukhtaşar, Beirut: Dār Ibn Kaśir, 1987, juz 5.

Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim A’lam al-Muqi’in, Beirut: Dār al-Kutūb al-‘Ilmiyyah, 1996.

As-Suyuți, Jalaluddin, Al-Asybah wa an-Naẓāir, Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, tt.

Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris al-Umm, juz 7.

Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali Irsyad al-Fuhūl fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ușul,  Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1994.

Az-Zarkasyi, Muhammad bin Bahadur bin Abdullah, al-Bahr al-Muhiṭ, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, tt).

Az-Zuhaili, Wahbah,  Ușul al-Fiqh al-Islāmi, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986).

Djazuli, A. Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Media Group, 2005).

Effendi, Satria, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)

Haroen, Nasrun, Ușul Fiqh I, (Jakarta: Logos , Wacana Ilmu,  1997).

http://www.google.co.id/search?hl=id&q=ZARI%27AH&meta=

http://ridaingz.wordpress.com/2012/07/19/. Mujiatun Ridawati,

http://www.halalguide.info/content/view/103/55/

http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg01530.html

Husin Al-Munawar, Said Agil, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta, 2005.

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syațibi, al-Muwafaqāt fi Uşul al-Fiqh, (Beirut: Dār al-Ma’rifaḥ, tt).

Khallaf,  Abdul Wahab Ilmu Ușul Fiqh, , (Semarang: Dina Utama, 1994).

Koto, Alaiddin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (sebuah Pengantar), Raja Grafindo Persada, jakarta, 2004.

Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dār Ṣadir, tt).

Mukhtar, Kamal. 1995. Ushul Fiqh 1. Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf.

Rahman, Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).

Syukur, Syarmin, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.

Tiharjanti, Ummu Isfaroh, Penerapan Sadduz Zara’i Terhadap Penyakit Genetik Karier Resesif dalam Perkawinan Inbreeding, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2003).

Yahya Mukhtar, dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).

----------------------------------------------

[1] Mahasiswa Program Doktor, Program Pascasarjana (PPs) IAIN Raden Intan Lampung Program Studi Hukum Keluarga T.A 2012/2013

[2] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ușul Fiqh, , (Semarang: Dina Utama, 1994),  h. 135.

[3] Nasrun Haroen, Ușul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,  1997),  h. 160

[4] Ibid., h. 161.

[5] http://www.google.co.id/search?hl=id&q=ZARI%27AH&meta=

[6] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (sebuah Pengantar), Raja Grafindo Persada, jakarta, 2004, h.113

[7] Ummu Isfaroh Tiharjanti, Penerapan Sadduz Zara’i Terhadap Penyakit Genetik Karier Resesif dalam Perkawinan Inbreeding, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2003), h. 27-28.

[8] Ibid.

[9] Nasrun Haroen, Op. Cit.  h. 161

[10] Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fușūl fi ‘Ilm al-Ușūl, dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar li at-Turaś al-Islāmi, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).

[11] Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhūl fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ușul,  (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1994), h. 295.

[12] Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)

[13] A. Djazuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Media Group, 2005), h. 98.

[14]  Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, h. 164.

[15] Syafe’i Rahman, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 132

[16] Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h.245

[17] A.Djazuli, Loc, Cit.

[18] Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Loc Cit..

[19] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Op. Cit, h.113-114

[20] Nasrun Haroen, Loc. Cit.

[21] Ensiklopedi Hukum Islam, Loc Cit

[22] Syafe’i Rahman, Op Cit., h. 139.

[23] Ibid,  h. 140

[24] Djazuli, H.A, Op Cit, h. 99.

[25] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta, 2005, h. 26

[26] Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Op. Cit, h. 113.

[27] Sulaiman Abdullah, Sumber hukum Islam, Op Cit, h.166

[28] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, h. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar., op. cit.

[29] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubāb fi Syarh al-Kitāb, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1, h. 465

[30] Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), h. 161

[31] Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ușul al-Fiqh al-Islāmi, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), h. 892-893.

[32] Wahbah az-Zuhaili, Ușul al-Fiqh al-Islāmi, Ibid, h. 892-893.

[33] Ibid. h. 889, 893, dan  899.

[34] Lihat, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm aẓ-Ẓahiri, al-Ahkām fi Uşul al-Ihkām, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, h. 179-189.

[35] Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm aẓ-Ẓahiri, al-Mahalli bi al-Aśār, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 2003), juz 12, h. 378.

[36] Nasrun Haroen, Op. Cit., h. 164.

[37] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jamȋ’ aş-Ṣahih al-Mukhtaşar, (Beirut: Dār Ibn Kaśir, 1987), juz 5, h. 2228.

[38] Asy-Syathibi, al-Muwafaqāt, op. cit., juz 2, h. 360

[39] Syafe’i Rahman, Op. Cit, h. 132.

[40] Jalaluddin as-Suyuți, al-Asybah wa an-Naẓāir, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), h. 176.

[41] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muwaqqi’ȋn, loc. cit.

[42] Syarmin Syukur, Sumber Sumber Hukum Islam, Op Cit, h. 112

[43] http://www.halalguide.info/content/view/103/55/

[44] Ibid.

[45] Nasrun Haroen, Op Cit, h. 166

[46] Ibid., h. 135.

[47] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 174.

[48] Ibid., h. 175.

[49] Ummu Isfaroh Tiharjanti, Op Cit., h. 43.

[50] http://www.mail-archive.com/fupm-ejip@usahamulia.net/msg01530.html

[51] Ibid.

[52] Ibid.

[53] Syafe’i Rahman, Op Cit, , h. 133

Tidak ada komentar:

Posting Komentar