Senin, 14 April 2014

POLITIK (LEGISLASI) HUKUM KELUARGA DI AFGANISTAN (2)



A.    Era Baru Afganistan
Era Afganistan ditandai kehadiran para wanita di kancah perpolitikan. Tampilnya Masooda Jalal sebagai kandidat Presiden. Ini tidak pernah terjadi saat rezim Taliban menguasai Afganistan tahun 1997-1999.
Namun demikian wewenang Karzai yang sesungguhnya dan dukungan rakyat terhadap dirinya diluar ibu kota Kabul dikabarkan sangat terbatas sehingga ia sering diejek sebagai "Wali kota Kabul".
1.      Reformasi hukum Keluarga di Afghanistan
Reformasi hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun 1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanȗn al-Izwȃj sebagai hukum yang mengatur masalah perkawinan. Proses pembentukan hukum ini tidak terlepas dari pengaruh hukum keluarga di Mesir tahun 1929. Selain itu, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perkawinan ini juga memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang berlaku pada tahun 1939 di India. Sejalan dengan itu, mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai juga diberlakukan secara menyeluruh. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978. [1]
Salah satu materi reformasi hukum perkawinan yang dilakukan di Afghanistan adalah kewajiban pencatatan perkawinan.[2]  Walaupun materi ini merupakan salah satu ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di Afghanistan, namun tidak terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja yang ditujukan untuk melindungi hak-hak perempuan.
2.      Kontroversi UU di Afghanistan
RUU yang mengizinkan suami di Afghanistan membuat istrinya kelaparan jika menolak berhubungan seks telah diundangkan. RUU sebelumnya pada awal tahun menyebabkan kemarahan dan memaksa Presiden Hamid Karzai menariknya. Namun para pengkritik mengatakan versi yang telah diubah masih bersifat sangat menekan.
Mereka menuduh Karzai mengorbankan kaum perempuan Afghanistan demi dukungan kaum Shiah yang konservatif dalam pemilu presiden tanggal 20 Agustus. Hukum ini mengatur kehidupan keluarga masyarakat minoritas Shiah Afghanistan.
Permintaan seks
Versi asli Undang-undang ini mewajibkan kaum wanita Shiah melakukan hubungan seks dengan suami mereka minimum empat hari sekali, dan pada dasarnya mengizinkan perkosaan dalam perkawinan dengan mencabut kemauan bersama melakukan hubungan seks.
Para pemimpin negara barat dan kelompok wanita Afghanistan bersatu dalam mengecam pencabutan kebebasan inti kaum wanita setelah Taliban disingkirkan. Kini versi RUU yang telah diubah itu secara diam-diam diundangkan dengan persetujuan Presiden Karzai. Pengundangannya terjadi sebelum pemilu presiden hari Kamis (20/08) mendatang, dan kelompok hak asasi manusia mengatakan waktu ini bukannya tidak disengaja. "Sebelumnya ada proses kaji ulang - Karzai ditekan oleh seluruh dunia untuk mengubah hukum ini, tetapi sebagian besar asas hukum yang menekan tidak diubah," ujar Rchel Reid, wakil Human Rights Watch di Kabul. "Yang lebih penting bagi Karzai adalah dukungan dari kaum fundamentalis dan garis keras Afghanistan yang sangat diperlukan dalam pemilu."
Kelompok-kelompok hak perempuan mengatakan susunan kata-kata hukum itu masih melanggar prinsip persamaan yang dijunjung oleh Undang-Undang Dasar negara itu.
Berdasarkan hukum ini, seorang suami berhak menahan makanan untuk istrinya jika menolak tuntutan berhubungan seks; seorang wanita harus mendapat izin suami untuk bisa bekerja; ayah dan kakek mendapat hak memelihara anak-anak secara ekslusif.[3]
3.      Parlemen Afganistan Blokir UU Hak-hak Perempuan
Para anggota parlemen religius konservatif di Afganistan, Sabtu (18/5/13), menghalangi pengesahan undang-undang yang memperkuat kebebasan perempuan, dengan alasan bahwa beberapa bagian melanggar prinsip-prinsip Islam dan mendorong ketidakpatuhan.
Anggota parlemen Konservatif yang menunda amandemen itu bersikeras meminta bagian-bagian yang menurut mereka "bertentangan dengan hukum Islam," untuk dihapus.
Menurut aktivis HAM, keputusan Sabtu itu merupakan pukulan bagi kemajuan hak-hak perempuan yang telah dicapai di negara Muslim yang konservatif tersebut sejak tersingkirnya Taliban dari kekuasaan. Taliban memberlakukan hukum Islam yang ketat yang melarang perempuan Afganistan bersekolah atau berpartisipasi dalam sebagian besar kegiatan publik.
Undang-undang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan itu mulai berlaku 2009 dengan Keputusan Presiden Hamid Karzai. Seorang perempuan anggota parlemen membawa upaya itu ke parlemen guna mencegah kemungkinan undang-undang itu dibatalkan oleh presiden mendatang.
Undang-undang itu menyatakan kawin paksa dan menikahi anak dibawah umur adalah kejahatan. Undang-undang itu juga melarang "Baad," praktek tradisional bertukar perempuan dan anak perempuan untuk menyelesaikan perselisihan. [4]
4.      Penghapusan Kekerasan Pada Wanita di Afganistan
Hukum Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita di Afganistan (EVAW Law) telah di berlakukan pada bulan Agustus 2009. [5] Hukum ini membuat tindakan jual dan beli wanita untuk pernikahan dan untuk memberikan wanita resolusi yang tidak jelas menjadi tidakan criminal, dan hukum ini membuat pernikahan paksa dan pernikahan dibawah umur, isolasi paksa, dan memaksa seorang wanita untuk melakukan pengorbanan dan menyangkal hak wanita untuk mendapatkan pendidikan, kerja dan pelayanan kesehatan menjadi tindakan criminal. Tetapi sebuah survey telah menunjukan bahwa praktek tradisional berbahaya terhadap wanita masih ada di seluruh Afganistan dan hukum tersebut belum diimplentasikan.
a.      Survey
Survey tersebut, dilakukan oleh United Nation Assistance Mission in Afganistan (UNAMA) yang berbasis pada penelitian ekstensif diskusi dan wawancara pada seluruh 32 provisi dari Afganistan dengan pria, wanita, pejabat pemerintah, pemimpin agama, dan kelompok masyarakan. Jutaan dari wanita Afganistan merasakan sakit, penderitaan, dipermalukan, dan dimarginalkan karena praktek tradisional yang berbahaya ini. Praktek tradisional yang paling berbahaya ini, bukan hanya tindakan criminal dibawah hukum Afganistan, tetapi juga tidak konsisten terhadap hukum Syariah.
b.      Temuan Survey
Banyak pria dan wanita Afganistan yang diwawancara mengatakan bahwa cara untuk mengakhiri praktek berbahaya terhadap wanita ini adalah mendidik pemimpin agama tentang hak wanita dan kekerasan terhadap wanita. Pemimpin agama ini kemudian dapat memberi nasehat kepada masyarakat bahwa praktek demikian, berbahaya, menurunkan martabat, dan mendiskriminasi wanita dan dalam banyak kasus tidak konsisten terhadap hukum Islam.
Banyak pernikahan di Afganistan yang dipaksa karena kebebasan wanita untuk memilih dan informasinya dihilangkan. Bagaimanapun, didalam Islam, pernikahan adalah sebuah perjanjian kontrak, dan kebebasan diperlukan dari kedua pihak baik pria dan wanita untuk pernikahan menjadi sah.
Pernikahan dibawah umur tersebar, tetapi semua pria dan wanita yang diwawancara mengidentifikasi hal tersebut sebagai salah satu praktek yang paling berbahaya serius di negeri tersebut. Ada sebutan umum yang mengatakan “Jika kamu memukul seorang gadis dengan topimu dan ia tidak jatuh, itulah saatnya untuk menceraikannya”. Pernikahan anak-anak telah secara luas memperlihatkan efek yang lama dan menghancurkan pada kesehatan, pendidikan, dan menjadi wanita yang sempurna. Afganistan mempunyai laju kematian ibu yang paling buruk di dunia, dan banyak kematian karena wanita yang menikah dibawah usia 16 tahun.
Diantara konsekuensi yang paling tragis dari praktek yang berbahaya ini adalah bunuh diri, secara umum wanita atau gadis membakar diri mereka dalam api, karena tangisan untuk pertolongan atau hal tersebut pelarian mereka dari kekerasan.[6]
Survey tersebut juga menemukan banyak dari pejabat penegak hukum tidak sadar dari hukum EVAW. Ditambahkan, banyak orang Afganistan yang mengatakan bahwa polisi dan penguasa sering tidak menegakan hukum yang melindungi hak wanita, atau mereka memilih pendekatan yang selektif dalam menegakan keadilan. Secara singkat, mereka mengejar kasus-kasus dimana mereka melihat pihak wanita yang telah melanggar norma masyarakat (banyak wanita di penjara karena pelanggaran moral), atau mereka tidak  bertindak ketika wanita melaporkan kekerasan, mengklaim banhwa pernikahan dibawah umur adalah “persoalan pribadi”. Terkadang wanita dan gadis kabur dari rumah mereka untuk melarikan diri dari kenyataan mereka yang menakutkan. Melarikan diri bukan sebuah tindakan kriminal dibawah hukum Afganistan, tetapi orang-orang ini sering ditahan, disiksa dan dipenjara karena melakukannya. Dalam kasus seperti ini tuntutannya biasanya karena melakukan hubungan seksual diluar pernikahan.
c.       Rekomendasi dari Laporan Survey
Laporan tersebut mendesak pemerintah Afganistan, termasuk Presiden, untuk secara umum memenangkan hak wanita, untuk mempercepat Rencana Aksi Nasional untuk Wanita Afganistan, termasuk implementasi penuh dari hukum EVAW, dan sebagai langkah langsung, untuk menerbitkan dekrit Presiden untuk melepaskan gadis atau wanita yang ditahan karena melarikan diri. Akhirnya hal ini merekomendasikan bahwa donor internasional meningkatkan dukungan pada pemerintah Afganistan dan masyarakat sipil yang ditujukan pada inisiatif penegakan hukum EVAW dan usaha untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional untuk Wanita Afganistan

5.     Kekerasan Terhadap Perempuan

Ranjau Tewaskan 10 Bocah Perempuan Afganistan. Mereka sedang mencari kayu bakar saat tiba-tiba benda itu meledak.  Ledakan terjadi di wilayah timur Afganistan pada Senin waktu setempat, menewaskan 10 bocah perempuan yang sedang mencari kayu bakar. Diduga, ledakan berasal dari ranjau darat yang ditanam saat perang.

Diberitakan Reuters, 17 Desember 2012, ledakan terjadi di desa Dawlatzai di provinsi Nangarhar. Menurut gubernur distrik Mohammad Sediq Dawlatzai, bocah-bocah perempuan malang itu tengah mencari kayu bakar dan menggali tanah sebelum terjadinya ledakan.

Belum dapat dipastikan apa yang meledak. Namun, diduga kuat ledakan berasal dari ranjau yang ditanam tentara Taliban atau sisa-sisa mortir yang tidak meledak pada pendudukan Soviet.[7]

Lebih lanjut, kekerasan terjadi dicontohkan dalam sebuah temuan, bahwa seorang gadis, Sahar gaul (15 tahun), mendapat penyiksaan oleh suaminya yang berusia 30 tahun, lantaran menolak dijadikan pekerja seks komersial (pekerja prostitusi); sehingga Presiden Hamid karzai memerintahkan Kementerian Dalam Negeri Afganistan, untuk menangkap semua orang, dan bahkan yang terlibat penyiksaan Sahar, demikian pernyataa kantor keperesidenan yang diberitakan oleh CNN, senin 12 januari 2012.[8]

6.      Pencatatan Perkawinan dan Prakteknya Pada Masa Awal Islam

Konsep pencatatan perkawinan pada dasarnya, merupakan suatu bentuk pembaruan yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam. Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan perkawinan di dalam al-Qurȃn dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama fiqh tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan.

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para ulama pada masa awal Islam;
Pertama, adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al-Qurȃn. Tujuannya untuk mencegah tercampurnya al-Qurȃn dari yang lain. Akibatnya, kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat mengandalkan ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa perkawinan bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Ketiga, tradisi walimaḥ al-`urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi, disamping saksi syarʻi tentang suatu perkawinan.[9] Olehkarenanya, pada masa awal Islam, pencatatan perkawinan sebagai alat bukti yang autentik belum lagi dibutuhkan. Walaupun demikian, pada masa awal Islam, sudah ada tradisi iʻlan an-nikȃh (mengumumkan suatu perkawinan ditengah masyarakat setempat). Menurut pendapat yang kuat, iʻlan an-nikȃh merupakan salah satu syarat sahnya aqad nikah. Artinya, apabila pernikahan tidak diumumkan, maka pernikahan tersebut tidak sah, bahkan menurut pendapat sebagian ulama, yang membedakan antara pernikahan dan perzinaan adalah bahwa pernikahan diumumkan sedangkan perzinaan tidak diumumkan.[10]
Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak dipandang sudah sah. Senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.[11] Pendapat ini diambil setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Qurȃn memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. [12] Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan. Kedua, adanya hadiś yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan.
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan  [13]
Praktek iʻlan an-nikȃh pada masa awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadiś yang menyatakan demikian, diantaranya:

عن عبد لله ابن الزبير أن رسول لله ص م قال :أعلنوا النكاح  ) أخرجه أحمد(

Artinya: Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu".Dalam hadiś lain dinyatakan:

عن عائشة قالت :قال رسول لله ص م :أعلنوا النكاح و اجعلوه في المساجد واضربوا عليه بالضفوف  )أخرجه الترمذي(

Artinya: ʻAisyah berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: "Umumkanlah pernikahan itu dan jadikanlah tempat mengumumkannya di masjid-masjid dan tabuhlah rebana-rebana". Salah satu bentuk iʻlan an-nikȃh adalah walimaḥ al ʻurusy (resepsi pernikahan).

Dalam sebuah hadiś, Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya, walaupun secara sederhana:

قال رسول لله ص م : أولم ولو بشاة  )رواه البخري(

Artinya: Rasulullah Saw bersabda: "Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor kambing."

Berpijak dari beberapa hadiś yang telah dikemukakan, terlihat bahwa walaupun pencatatan perkawinan belum dilakukan pada masa itu, namun, spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan perkawinan telah dimanifestasikan, meskipun dalam bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa tradisi walimaḥ al ʻurusy yang merupakan salah satu bentuk iʻlan an-nikȃh dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, disamping adanya saksi syar`i. Lebih lanjut, terkait dengan hal ini, menurut Atho` Mudzhar dalam bukunya Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi, pencatatan perkawinan yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan pernikahan (iʻlan an-nikȃh). Lebih jauh lagi, menurutnya, pencatatan perkawinan ini dianggap lebih mașlahat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.[14]

7.      Urgensi Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang urgent, bahkan menjadi sebuah persyaratan administratif yang harus dilakukan. Tujuannya adalah agar perkawinan itu jelas dan menjadi bukti bahwa perkawinan itu telah terjadi, baik bagi yang bersangkutan, keluarga kedua belah pihak, orang lain, maupun bagi masyarakat karena peristiwa perkawinan itu dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan dalam suatu daftar yang sengaja dipersiapkan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik.[15] Dengan adanya surat bukti tersebut, maka secara hukum dapat dicegah terjadinya suatu perbuatan lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun ketentuan pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif, namun ketentuan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap ketentuan administrasi lainnya, khususnya yang terkait dengan peristiwa dan perbuatan hokum; sebab, akta perkawinan pada dasarnya merupakan salah satu alat bukti yang sah. Terkait dengan hal ini, pada Buku keempat, Bab I, Pasal 1865 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa tujuan diadakannya alat bukti adalah:
a.       Sebagai dalil bahwa seseorang mempunyai hak;
b.      Untuk meneguhkan dan menguatkan bahwa seseorang mempunyai hak;
c.       Untuk membantah atau menyatakan ketidakbenaran bahwa orang lain mempunyai hak;
d.      Untuk menunjukkan dan menyatakan bahwa telah terdapat suatu keadaan atau telah terjadi suatu peristiwa.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberadaan akta perkawinan secara hukum memegang peranan yang sangat penting, khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang serta untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim. Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.[16]
Alasan yang paling umum (klasik), bagi banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya adalah biaya yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi Pegawai Negeri dan ABRI di Indonesia). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
8.       Pencatatan Perkawinan dalam Ajaran Islam
Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqaşidus syari`ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan muḍarat kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur`an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadiś, atau maqaşidus syari`ah berdasarkan qaidah fiqhiyah: [17]

تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة

Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[18]. Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. [19]

a.      Prosedur Pencatatan Perkawinan Di Indonesia
Di Indonesia, dalam  hal  prosedur pencatatan perkawinan harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu sebagai berikut:
1.      Syarat syarat internal absolut antara lain meliputi:
a)      Persetujuan dari kedua calon mempelai;
b)      Izin orang tua kalau calon mempelai belum berusia 21tahun;
c)      Usia min untuk laki-laki 19 tahun dan 16tahun untuk perempuan. Apabila belum mencapai maka harus ada izin dari pengadilan;
d)     Calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang, kecuali dalam poligami yang diperbolehkan oleh undang-undang;
e)      Telah habis masa iddahnya bagi wanita yang telah diceraikan atau ditinggal mati suaminya.[20]

2.      Syarat-syarat Ekstern

Yang dimaksud syarat-syarat ekstern ini adalah merupakan syarat-syarat yang berhubungan dengan cara atau formalitas perlangsungan perkawinan.[21] Syarat-syarat tersebut antara lain:
Pemberitahuan, setiap orang yang akan melaksanakan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada PPN sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat sebagai berikut:
           1)  Surat persetujuan calon mempelai;
2)  Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat asal usul;
3)  Surat keterangan tentang orang tua;
4)  Surat keterangan untuk nikah
5)  Surat izin kawin bagi anggota ABRI
6)  Akta cerai talak/cerai gugatan bagi calon janda/duda
7)  Surat keterangan kematian suami/istri yang dibuat oleh kepala desa tempat tinggal yang bersangkutan bagi calon yang seorang janda/duda karena cerai mati;
8)  Surat izi dispensasi bagi calon dibawah usia minimum

B.     Kesimpulan
Berangkat dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Reformasi Politik (legislasi) hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun 1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanȗn al-Izwȃj sebagai hukum yang mengatur masalah perkawinan. Ketentuan yang diatur dalam hukum perkawinan ini memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang berlaku pada tahun 1939 di India. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978.
2.      Salah satu materi reformasi Politik (legislasi) hukum perkawinan yang di Afghanistan adalah kewajiban pencatatan perkawinan. Meskipun tidak terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja.
3.      Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk reformasi Politik (legislslasi) hukum keluarga yang dilakukan oleh negara-negara muslim di dunia. Tujuannya adalah agar tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas suatu perkawinan. Oleh karena itu, berbagai negara di dunia Islam menjadikan pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban yang dilegalkan dalam suatu perundang-undangan.
4.      Meskipun terdapat perbedaan pandangan mengenai eksistensi pencatatan perkawinan, namun, berdasarkan realita yang ada, berbagai negara muslim (tidak terkecuali Afganistan) hanya memberlakukannya sebagai persyaratan administratif dan tidak berkaitan dengan validitas perkawinan. Dalam hal ini validitas perkawinan tetap disandarkan pada ketentuan hukum Islam.




















[1] Atho, Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 139-140

[2] Ibid, h. 149
[4] KABUL, KOMPAS.com Parlemen Afganistan Blokir UU Hak-Hak Perempuan Minggu, 19 Mei 2013 | 08:55 WIB, Akses 17 Nopember 2013.
[8] indonesia.faithfreedom.org/.../sahar-gul-wanita-afganistan-dipaksa-suami...9 Jan 2012 – Akses 14 Nopember 2013.
[9] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 121

[10]Aep Saepulloh Darusmanwiati, “Mahar dan Adab Pernikahan dalam Islam”, http://www.indonesianschool.org, diakses tanggal 22 Januari 2007
[11] M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaḍab li al-Syairozi (Jeddah: Maktabah al-Irșad, tt) h. 296. Lihat juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Juz IX (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2002) h.  6559
[12] Ayat-ayat pernikahan berikut tidak mencantumkan saksi,:
 فانكحوا ما طاب لكم من النساء ,  وأنكحوا الأيامى منكم. .
[13] Lihat. Keterangan dalam al-Maktabaḥ asy-Syȃmilaḥ, Tuhfaḥ al-Ahwaḍi, Bab Pernikahan Tanpa Saksi,  juz III,  h. 131
[14] M. Atho` Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi dalam Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit , h. 135

[15] Kamal Muchtar, Nikah Sirri di Indonesia dalam Jurnal Al Jami`ah No. 56 Tahun 1994, h. 14-15
[16] Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, makalah  Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top Jakarta, 19 Februari 2010
[17] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan
Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22.

[18] Menurut Syamsul Anwar, dalam kesempatan memberi kuliah Program S3 Hukum Keluarga pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, hari Sabtu 03 Nopember 2012 mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`I tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.

[19] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.

[20] Masyhur Anhari, Usaha-usaha Untuk Memberikan Kepastian Hukum. h. 26

[21] Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta:Graha Ilmu, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar