A.
Era Baru
Afganistan
Era Afganistan
ditandai kehadiran para wanita di kancah perpolitikan. Tampilnya Masooda Jalal sebagai kandidat Presiden. Ini tidak
pernah terjadi saat rezim Taliban menguasai Afganistan tahun 1997-1999.
Namun demikian
wewenang Karzai yang sesungguhnya dan dukungan rakyat terhadap dirinya diluar
ibu kota Kabul dikabarkan
sangat terbatas sehingga ia sering diejek sebagai "Wali kota Kabul".
1.
Reformasi hukum Keluarga di Afghanistan
Reformasi
hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru dimulai pada tahun
1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanȗn al-Izwȃj sebagai
hukum yang mengatur masalah perkawinan. Proses pembentukan hukum ini tidak
terlepas dari pengaruh hukum keluarga di Mesir tahun 1929. Selain itu,
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum perkawinan ini juga memiliki
kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang berlaku pada tahun 1939 di
India. Sejalan dengan itu, mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai juga
diberlakukan secara menyeluruh. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini
kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978. [1]
Salah satu materi
reformasi hukum perkawinan yang dilakukan di Afghanistan adalah kewajiban
pencatatan perkawinan.[2] Walaupun materi ini
merupakan salah satu ketentuan khusus dari hukum keluarga yang berlaku di
Afghanistan, namun tidak terlihat adanya aturan ataupun penjelasan secara
detail mengenai prosedur dan akibat hukum dari pencatatan suatu perkawinan.
Hal ini mengindikasikan bahwa penerapannya hanya sebagai syarat administratif
saja yang ditujukan untuk melindungi hak-hak perempuan.
2. Kontroversi UU di Afghanistan
RUU yang mengizinkan suami di
Afghanistan membuat istrinya kelaparan jika menolak berhubungan seks telah
diundangkan. RUU sebelumnya pada awal tahun menyebabkan kemarahan dan
memaksa Presiden Hamid Karzai menariknya. Namun para pengkritik mengatakan
versi yang telah diubah masih bersifat sangat menekan.
Mereka menuduh Karzai mengorbankan
kaum perempuan Afghanistan demi dukungan kaum Shiah yang konservatif dalam
pemilu presiden tanggal 20 Agustus. Hukum ini mengatur kehidupan keluarga
masyarakat minoritas Shiah Afghanistan.
Permintaan
seks
Versi asli Undang-undang ini mewajibkan
kaum wanita Shiah melakukan hubungan seks dengan suami mereka minimum empat
hari sekali, dan pada dasarnya mengizinkan perkosaan dalam perkawinan dengan
mencabut kemauan bersama melakukan hubungan seks.
Para pemimpin negara barat dan
kelompok wanita Afghanistan bersatu dalam mengecam pencabutan kebebasan inti
kaum wanita setelah Taliban disingkirkan. Kini versi RUU yang telah diubah itu
secara diam-diam diundangkan dengan persetujuan Presiden Karzai.
Pengundangannya terjadi sebelum pemilu presiden hari Kamis (20/08) mendatang,
dan kelompok hak asasi manusia mengatakan waktu ini bukannya tidak disengaja.
"Sebelumnya ada proses kaji ulang - Karzai ditekan oleh seluruh dunia
untuk mengubah hukum ini, tetapi sebagian besar asas hukum yang menekan tidak
diubah," ujar Rchel Reid, wakil Human Rights Watch di Kabul. "Yang
lebih penting bagi Karzai adalah dukungan dari kaum fundamentalis dan garis keras
Afghanistan yang sangat diperlukan dalam pemilu."
Kelompok-kelompok hak perempuan
mengatakan susunan kata-kata hukum itu masih melanggar prinsip persamaan yang
dijunjung oleh Undang-Undang Dasar negara itu.
Berdasarkan hukum ini, seorang suami
berhak menahan makanan untuk istrinya jika menolak tuntutan berhubungan seks; seorang
wanita harus mendapat izin suami untuk bisa bekerja; ayah dan kakek mendapat
hak memelihara anak-anak secara ekslusif.[3]
3. Parlemen
Afganistan Blokir UU Hak-hak Perempuan
Para anggota parlemen religius
konservatif di Afganistan, Sabtu (18/5/13), menghalangi pengesahan
undang-undang yang memperkuat kebebasan perempuan, dengan alasan bahwa beberapa
bagian melanggar prinsip-prinsip Islam dan mendorong ketidakpatuhan.
Anggota parlemen Konservatif yang
menunda amandemen itu bersikeras meminta bagian-bagian yang menurut mereka
"bertentangan dengan hukum Islam," untuk dihapus.
Menurut aktivis HAM, keputusan Sabtu
itu merupakan pukulan bagi kemajuan hak-hak perempuan yang telah dicapai di
negara Muslim yang konservatif tersebut sejak tersingkirnya Taliban dari
kekuasaan. Taliban memberlakukan hukum Islam yang ketat yang melarang perempuan
Afganistan bersekolah atau berpartisipasi dalam sebagian besar kegiatan publik.
Undang-undang Penghapusan
Kekerasan Terhadap Perempuan itu mulai berlaku 2009 dengan Keputusan
Presiden Hamid Karzai. Seorang perempuan anggota parlemen membawa upaya itu ke
parlemen guna mencegah kemungkinan undang-undang itu dibatalkan oleh presiden
mendatang.
Undang-undang itu menyatakan kawin
paksa dan menikahi anak dibawah umur adalah kejahatan. Undang-undang itu juga
melarang "Baad," praktek tradisional bertukar perempuan dan anak
perempuan untuk menyelesaikan perselisihan. [4]
4.
Penghapusan
Kekerasan Pada Wanita di Afganistan
Hukum Penghapusan Kekerasan Terhadap
Wanita di Afganistan (EVAW Law) telah di berlakukan pada bulan Agustus 2009. [5]
Hukum ini membuat tindakan jual dan beli wanita untuk pernikahan dan untuk
memberikan wanita resolusi yang tidak jelas menjadi tidakan criminal, dan hukum
ini membuat pernikahan paksa dan pernikahan dibawah umur, isolasi paksa, dan
memaksa seorang wanita untuk melakukan pengorbanan dan menyangkal hak wanita
untuk mendapatkan pendidikan, kerja dan pelayanan kesehatan menjadi tindakan
criminal. Tetapi sebuah survey telah menunjukan bahwa praktek tradisional
berbahaya terhadap wanita masih ada di seluruh Afganistan dan hukum tersebut
belum diimplentasikan.
a. Survey
Survey tersebut, dilakukan oleh
United Nation Assistance Mission in Afganistan (UNAMA) yang berbasis pada
penelitian ekstensif diskusi dan wawancara pada seluruh 32 provisi dari
Afganistan dengan pria, wanita, pejabat pemerintah, pemimpin agama, dan kelompok
masyarakan. Jutaan dari wanita Afganistan merasakan sakit, penderitaan,
dipermalukan, dan dimarginalkan karena praktek tradisional yang berbahaya
ini. Praktek tradisional yang paling berbahaya ini, bukan hanya tindakan
criminal dibawah hukum Afganistan, tetapi juga tidak konsisten terhadap hukum
Syariah.
b.
Temuan
Survey
Banyak pria dan wanita Afganistan
yang diwawancara mengatakan bahwa cara untuk mengakhiri praktek berbahaya
terhadap wanita ini adalah mendidik pemimpin agama tentang hak wanita dan
kekerasan terhadap wanita. Pemimpin agama ini kemudian dapat memberi nasehat
kepada masyarakat bahwa praktek demikian, berbahaya, menurunkan martabat, dan
mendiskriminasi wanita dan dalam banyak kasus tidak konsisten terhadap hukum
Islam.
Banyak pernikahan di Afganistan yang
dipaksa karena kebebasan wanita untuk memilih dan informasinya dihilangkan.
Bagaimanapun, didalam Islam, pernikahan adalah sebuah perjanjian kontrak, dan
kebebasan diperlukan dari kedua pihak baik pria dan wanita untuk pernikahan
menjadi sah.
Pernikahan dibawah umur tersebar, tetapi semua pria dan wanita yang
diwawancara mengidentifikasi hal tersebut sebagai salah satu praktek yang
paling berbahaya serius di negeri tersebut. Ada sebutan umum yang mengatakan
“Jika kamu memukul seorang gadis dengan topimu dan ia tidak jatuh, itulah
saatnya untuk menceraikannya”. Pernikahan anak-anak telah secara luas
memperlihatkan efek yang lama dan menghancurkan pada kesehatan, pendidikan, dan
menjadi wanita yang sempurna. Afganistan mempunyai laju kematian ibu yang
paling buruk di dunia, dan banyak kematian karena wanita yang menikah dibawah
usia 16 tahun.
Diantara konsekuensi yang paling
tragis dari praktek yang berbahaya ini adalah bunuh diri, secara umum wanita
atau gadis membakar diri mereka dalam api, karena tangisan untuk pertolongan
atau hal tersebut pelarian mereka dari kekerasan.[6]
Survey tersebut juga menemukan
banyak dari pejabat penegak hukum tidak sadar dari hukum EVAW. Ditambahkan,
banyak orang Afganistan yang mengatakan bahwa polisi dan penguasa sering tidak
menegakan hukum yang melindungi hak wanita, atau mereka memilih pendekatan yang
selektif dalam menegakan keadilan. Secara singkat, mereka mengejar kasus-kasus
dimana mereka melihat pihak wanita yang telah melanggar norma masyarakat
(banyak wanita di penjara karena pelanggaran moral), atau mereka tidak
bertindak ketika wanita melaporkan kekerasan, mengklaim banhwa pernikahan
dibawah umur adalah “persoalan pribadi”. Terkadang wanita dan gadis kabur dari
rumah mereka untuk melarikan diri dari kenyataan mereka yang menakutkan.
Melarikan diri bukan sebuah tindakan kriminal dibawah hukum Afganistan, tetapi
orang-orang ini sering ditahan, disiksa dan dipenjara karena melakukannya.
Dalam kasus seperti ini tuntutannya biasanya karena melakukan hubungan seksual
diluar pernikahan.
c. Rekomendasi
dari Laporan Survey
Laporan tersebut mendesak pemerintah
Afganistan, termasuk Presiden, untuk secara umum memenangkan hak wanita, untuk
mempercepat Rencana Aksi Nasional untuk Wanita Afganistan, termasuk
implementasi penuh dari hukum EVAW, dan sebagai langkah langsung, untuk
menerbitkan dekrit Presiden untuk melepaskan gadis atau wanita yang ditahan
karena melarikan diri. Akhirnya hal ini merekomendasikan bahwa donor
internasional meningkatkan dukungan pada pemerintah Afganistan dan masyarakat
sipil yang ditujukan pada inisiatif penegakan hukum EVAW dan usaha untuk
mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional untuk Wanita Afganistan
5. Kekerasan Terhadap Perempuan
Ranjau Tewaskan 10 Bocah Perempuan Afganistan. Mereka sedang mencari kayu bakar saat tiba-tiba benda itu meledak. Ledakan terjadi di wilayah timur Afganistan pada Senin waktu setempat, menewaskan 10 bocah perempuan yang sedang mencari kayu bakar. Diduga, ledakan berasal dari ranjau darat yang ditanam saat perang.
Diberitakan Reuters, 17 Desember 2012, ledakan terjadi di desa Dawlatzai di provinsi Nangarhar. Menurut gubernur distrik Mohammad Sediq Dawlatzai, bocah-bocah perempuan malang itu tengah mencari kayu bakar dan menggali tanah sebelum terjadinya ledakan.
Belum dapat dipastikan apa yang meledak. Namun, diduga kuat ledakan berasal dari ranjau yang ditanam tentara Taliban atau sisa-sisa mortir yang tidak meledak pada pendudukan Soviet.[7]
Lebih lanjut, kekerasan terjadi dicontohkan dalam sebuah temuan, bahwa seorang gadis, Sahar gaul (15 tahun), mendapat penyiksaan oleh suaminya yang berusia 30 tahun, lantaran menolak dijadikan pekerja seks komersial (pekerja prostitusi); sehingga Presiden Hamid karzai memerintahkan Kementerian Dalam Negeri Afganistan, untuk menangkap semua orang, dan bahkan yang terlibat penyiksaan Sahar, demikian pernyataa kantor keperesidenan yang diberitakan oleh CNN, senin 12 januari 2012.[8]
6.
Pencatatan
Perkawinan dan Prakteknya Pada Masa Awal Islam
Konsep pencatatan perkawinan pada
dasarnya, merupakan suatu bentuk pembaruan yang dilakukan dalam bidang hukum
keluarga Islam. Hal ini disebabkan oleh tidak diungkapnya keharusan pencatatan
perkawinan di dalam al-Qurȃn dan sunnah. Atas dasar inilah, para ulama
fiqh tidak memberikan perhatian serius terhadap pencatatan perkawinan.
Ada beberapa hal yang
dianggap sebagai faktor penyebab pencatatan perkawinan luput dari perhatian para
ulama pada masa awal Islam;
Pertama,
adanya larangan dari Rasulullah untuk menulis sesuatu selain al-Qurȃn.
Tujuannya untuk mencegah tercampurnya al-Qurȃn dari yang lain. Akibatnya,
kultur tulis tidak begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral).
Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, mereka sangat
mengandalkan ingatan (hafalan). Agaknya mengingat suatu peristiwa perkawinan
bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.
Ketiga,
tradisi walimaḥ al-`urusy yang dilakukan dianggap telah menjadi saksi,
disamping saksi syarʻi tentang suatu perkawinan.[9]
Olehkarenanya, pada masa awal Islam, pencatatan perkawinan sebagai alat bukti
yang autentik belum lagi dibutuhkan. Walaupun demikian, pada masa awal Islam,
sudah ada tradisi iʻlan an-nikȃh (mengumumkan suatu perkawinan ditengah
masyarakat setempat). Menurut pendapat yang kuat, iʻlan an-nikȃh merupakan
salah satu syarat sahnya aqad nikah. Artinya, apabila pernikahan tidak
diumumkan, maka pernikahan tersebut tidak sah, bahkan menurut pendapat sebagian
ulama, yang membedakan antara pernikahan dan perzinaan adalah bahwa pernikahan
diumumkan sedangkan perzinaan tidak diumumkan.[10]
Imam Malik menyatakan bahwa
keberadaan saksi bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan
diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak
dipandang sudah sah. Senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah
menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada
hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.[11] Pendapat ini diambil
setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual
beli. Allah dalam al-Qurȃn memerintahkan adanya saksi dalam jual beli,
sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. [12] Oleh karena itu, apabila saksi bukan
merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam
pernikahan. Kedua, adanya hadiś yang memerintahkan untuk
memberitakan pernikahan.
Adanya perintah
Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah
adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah,
melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila
tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi
diperlukan [13]
Praktek iʻlan an-nikȃh pada masa
awal Islam merupakan salah satu hal yang disunnahkan dan sangat dianjurkan oleh
Rasulullah. Hal ini terbukti dengan adanya hadiś yang menyatakan demikian,
diantaranya:
عن عبد لله ابن الزبير أن رسول لله ص م قال :أعلنوا النكاح ) أخرجه أحمد(
Artinya:
Dari Abdullah Ibn Zubair bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Umumkanlah
pernikahan itu".Dalam hadiś lain dinyatakan:
عن عائشة قالت :قال رسول لله ص م :أعلنوا النكاح و اجعلوه في المساجد واضربوا عليه بالضفوف )أخرجه الترمذي(
Artinya:
ʻAisyah berkata bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: "Umumkanlah
pernikahan itu dan jadikanlah tempat mengumumkannya di masjid-masjid dan
tabuhlah rebana-rebana". Salah satu bentuk iʻlan an-nikȃh adalah walimaḥ
al ʻurusy (resepsi pernikahan).
Dalam
sebuah hadiś, Rasulullah memerintahkan untuk melaksanakannya, walaupun secara
sederhana:
قال رسول لله ص م : أولم ولو بشاة )رواه البخري(
Artinya:
Rasulullah Saw bersabda: "Adakanlah walimah, walaupun hanya dengan seekor
kambing."
Berpijak dari beberapa
hadiś yang telah dikemukakan, terlihat bahwa walaupun pencatatan perkawinan
belum dilakukan pada masa itu, namun, spirit dan substansi yang ingin
dicapai dari pencatatan perkawinan telah dimanifestasikan, meskipun dalam
bentuk yang lebih sederhana. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa
tradisi walimaḥ al ʻurusy yang merupakan salah satu bentuk iʻlan
an-nikȃh dianggap menjadi saksi telah terjadinya suatu perkawinan, disamping
adanya saksi syar`i. Lebih lanjut, terkait dengan hal ini, menurut Atho`
Mudzhar dalam bukunya Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi,
pencatatan perkawinan yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk
baru cara mengumumkan pernikahan (iʻlan an-nikȃh). Lebih jauh lagi, menurutnya, pencatatan perkawinan ini dianggap
lebih mașlahat, terutama bagi perempuan dan anak-anak.[14]
7.
Urgensi
Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan
merupakan suatu hal yang urgent, bahkan menjadi sebuah persyaratan
administratif yang harus dilakukan. Tujuannya adalah agar perkawinan itu jelas
dan menjadi bukti bahwa perkawinan itu telah terjadi, baik bagi yang
bersangkutan, keluarga kedua belah pihak, orang lain, maupun bagi masyarakat
karena peristiwa perkawinan itu dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat
resmi dan dalam suatu daftar yang sengaja dipersiapkan untuk itu, sehingga
sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang
autentik.[15]
Dengan adanya surat bukti tersebut, maka secara hukum dapat dicegah terjadinya
suatu perbuatan lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun ketentuan
pencatatan perkawinan hanya merupakan persyaratan administratif, namun
ketentuan ini memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap ketentuan
administrasi lainnya, khususnya yang terkait dengan peristiwa dan perbuatan hokum;
sebab, akta perkawinan pada dasarnya merupakan salah satu alat bukti yang sah.
Terkait dengan hal ini, pada Buku keempat, Bab I, Pasal 1865 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa tujuan diadakannya alat bukti
adalah:
a.
Sebagai dalil
bahwa seseorang mempunyai hak;
b. Untuk
meneguhkan dan menguatkan bahwa seseorang mempunyai hak;
c. Untuk
membantah atau menyatakan ketidakbenaran bahwa orang lain mempunyai hak;
d.
Untuk
menunjukkan dan menyatakan bahwa telah terdapat suatu keadaan atau telah
terjadi suatu peristiwa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
keberadaan akta perkawinan secara hukum memegang peranan yang sangat penting,
khususnya dalam upaya mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang serta
untuk membuktikan bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa masalah ini merupakan salah
satu hal yang paling banyak diatur dalam Hukum Keluarga negara-negara Muslim.
Minimal tercatat ada 5 Hukum Keluarga yang mencantumkan ketentuan tentang
masalah ini, yakni Indonesia, Iran, Yaman (Selatan), Yordania, dan Srilanka.[16]
Alasan yang paling umum (klasik),
bagi banyak pasangan suami istri tidak mencatatkan perkawinannya adalah biaya
yang mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk
menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari
atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi Pegawai Negeri dan
ABRI di Indonesia). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah
perkawinan bawah tangan atau nikah sirri.
8.
Pencatatan Perkawinan dalam Ajaran Islam
Menurut
hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqaşidus syari`ah) adalah
mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak
dicatat pemerintah menimbulkan muḍarat kepada istri, anak, dan harta
bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut
sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan
secara rinci dalam Al-Qur`an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan
ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk
kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan Hadiś, atau maqaşidus
syari`ah berdasarkan qaidah fiqhiyah: [17]
تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة
Artinya:
“Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[18].
Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah
hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik,
faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. [19]
a. Prosedur Pencatatan Perkawinan Di Indonesia
Di Indonesia, dalam
hal prosedur pencatatan perkawinan harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu
sebagai berikut:
1.
Syarat syarat
internal absolut antara lain meliputi:
a) Persetujuan dari kedua calon mempelai;
b) Izin orang tua kalau calon mempelai belum berusia 21tahun;
c) Usia min untuk laki-laki 19 tahun dan
16tahun untuk perempuan. Apabila belum mencapai maka harus ada izin dari
pengadilan;
d) Calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang,
kecuali dalam poligami yang diperbolehkan oleh undang-undang;
e) Telah habis masa iddahnya bagi wanita yang telah
diceraikan atau ditinggal mati suaminya.[20]
2.
Syarat-syarat
Ekstern
Yang dimaksud
syarat-syarat ekstern ini adalah merupakan syarat-syarat yang berhubungan
dengan cara atau formalitas perlangsungan perkawinan.[21]
Syarat-syarat tersebut antara lain:
Pemberitahuan, setiap orang yang akan
melaksanakan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada PPN
sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan
kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya
dengan membawa surat-surat sebagai berikut:
1) Surat persetujuan calon mempelai;
2) Akta kelahiran atau surat kenal lahir
atau surat asal usul;
3) Surat
keterangan tentang orang tua;
4) Surat keterangan untuk nikah
5) Surat izin kawin bagi anggota ABRI
6) Akta cerai talak/cerai gugatan bagi
calon janda/duda
7)
Surat keterangan kematian suami/istri
yang dibuat oleh kepala desa tempat tinggal yang bersangkutan bagi calon yang
seorang janda/duda karena cerai mati;
8) Surat izi dispensasi bagi calon dibawah
usia minimum
B. Kesimpulan
Berangkat dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Reformasi
Politik (legislasi) hukum keluarga, khususnya perkawinan di Afghanistan baru
dimulai pada tahun 1971 yaitu dengan ditetapkannya Qanȗn al-Izwȃj
sebagai hukum yang mengatur masalah perkawinan. Ketentuan yang diatur dalam
hukum perkawinan ini memiliki kesesuaian dengan hukum perkawinan muslim yang
berlaku pada tahun 1939 di India. Namun, beberapa ketentuan dari hukum ini
kemudian diamandemen oleh Keputusan tentang Hak-hak Wanita Tahun 1978.
2.
Salah satu
materi reformasi Politik (legislasi) hukum perkawinan yang di Afghanistan
adalah kewajiban pencatatan perkawinan. Meskipun tidak terlihat
adanya aturan ataupun penjelasan secara detail mengenai prosedur dan akibat
hukum dari pencatatan suatu perkawinan. Hal ini mengindikasikan bahwa
penerapannya hanya sebagai syarat administratif saja.
3.
Pencatatan
perkawinan merupakan salah satu bentuk reformasi Politik (legislslasi) hukum
keluarga yang dilakukan oleh negara-negara muslim di dunia. Tujuannya adalah
agar tercapainya kepastian hukum, ketertiban hukum, dan perlindungan hukum atas
suatu perkawinan. Oleh karena itu, berbagai negara di dunia Islam menjadikan
pencatatan perkawinan sebagai suatu kewajiban yang dilegalkan dalam suatu
perundang-undangan.
4.
Meskipun
terdapat perbedaan pandangan mengenai eksistensi pencatatan perkawinan, namun,
berdasarkan realita yang ada, berbagai negara muslim (tidak terkecuali
Afganistan) hanya memberlakukannya sebagai persyaratan administratif dan tidak
berkaitan dengan validitas perkawinan. Dalam hal ini validitas perkawinan tetap
disandarkan pada ketentuan hukum Islam.
[1]
Atho, Mudzhar dan Khoiruddin Nasution (ed.), Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, Studi Perbandingan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, (Jakarta :
Ciputat Press, 2003), h. 139-140
[2] Ibid,
h. 149
[3]http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2009/08/printable/090816_afghanwomen.shtml, diunduh 17 Nopember 2013
[4]
KABUL,
KOMPAS.com Parlemen Afganistan Blokir UU
Hak-Hak Perempuan Minggu,
19 Mei 2013 | 08:55 WIB, Akses 17 Nopember 2013.
[5]
http://www.abigmessage.com/bahasa-blog/praktek-tradisional-berbahaya-terhadap-wanita-masih-tersebar-di-afganistan.html, Akses 17 Nopember 2013
jam 20.15
[6]
http://www.abigmessage.com/bahasa-blog/praktek-tradisional-berbahaya-terhadap-wanita-masih-tersebar-di-afganistan.html, diunduh tanggal 17
Nopember 2013 jam 20.15
[7] http://ainuttijar.blogspot.com/2012_12_17_archive.html, Akses 14 Nopember 2013 jam 10.00
[8] indonesia.faithfreedom.org/.../sahar-gul-wanita-afganistan-dipaksa-suami...9 Jan 2012 –
Akses 14 Nopember 2013.
[9]
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI,
(Jakarta : Kencana, 2004), h. 121
[10]Aep Saepulloh
Darusmanwiati, “Mahar dan Adab Pernikahan dalam Islam”, http://www.indonesianschool.org,
diakses tanggal 22 Januari 2007
[11] M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’ Syarh
al-Muhaḍab li al-Syairozi (Jeddah: Maktabah al-Irșad, tt) h. 296. Lihat
juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Juz IX
(Beirut: Dȃr al-Fikr, 2002) h. 6559
فانكحوا ما طاب لكم من النساء , وأنكحوا الأيامى منكم. .
[13] Lihat. Keterangan dalam al-Maktabaḥ asy-Syȃmilaḥ, Tuhfaḥ al-Ahwaḍi,
Bab Pernikahan Tanpa Saksi, juz
III, h. 131
[14]
M. Atho`
Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, Antara Tradisi dan Liberasi dalam
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit , h. 135
[15]
Kamal Muchtar, Nikah
Sirri di Indonesia dalam Jurnal Al Jami`ah No. 56 Tahun 1994, h.
14-15
[16]
Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, makalah Disampaikan pada acara Seminar Nasional Hukum
Materiil Peradilan Agama, antara Cita, Realita dan Harapan, Hotel Red Top
Jakarta, 19 Februari 2010
[17] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang
Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan
Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22.
[18] Menurut
Syamsul Anwar, dalam kesempatan memberi kuliah Program S3 Hukum Keluarga
pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, hari Sabtu 03 Nopember 2012
mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada
tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3)
Hukum itu tidak bersifat Qaț`I tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar