Sabtu, 12 Januari 2013

WACANA TENTANG NIKAH SIRRI DALAM FIKIH KONTEMPORER

WACANA TENTANG NIKAH SIRRI DALAM
FIKIH KONTEMPORER

Oleh: Khoirul Abror [1]

A. Pendahuluan

Tarik menarik diantara dua hukum yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan masalah tersendiri dalam hukum nasional Indonesia. Nikah siri atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah.

Dualisme hukum di Indonesia yang aturannya saling bertentangan terkait pernikahan atau talak merupakan hal yang bermasalah. Salahsatu penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ’madzhab’ yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran Islam total dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif. Supaya terjadi sinkronisasi maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia yang berdasarkan hukum yang mana hukumnya dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya.

Nikah sirri dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: UA).[2] Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.[3]

Definisi tersebut dapat dipahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan Syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan Syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanyasaja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat; dengan kata lain: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, sementara pernikahan resmi yang sulit digugat,[4] selama akte nikahnya masih ada”.

B. Pembahasan

1.  Arti dan Status Nikah Sirri

Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqashidu syari’ah) adalah mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak dicatat pemerintah menimbulkan mudharat kepada istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut sebagian orang dapat dipandang sebagai masalah dharurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, atau maqashidu syari’ah berdasarkan qaidah fiqhiyah: [5]

تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة

Artinya: “Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[6]. Menurut Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. [7]

Di samping itu ada pula yang menjadikan maslahat mursalah sebagai landasan berpendapat. Teori ini mengajarkan bahwa: “Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis dapat dibuat aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus menghindari mudharat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan anak-anaknya,” [8] karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak mendatangkan mudharat dari pada manfaatnya. Para perancang ordonansi perkawinan di Pakistan mendasarkan fikiran mereka pada ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa dalam melakukan transaksi penting seperti utang piutang saja hendaknya selalu dicatatkan, apalagi perkawinan yang bahkan lebih penting dari utang piutang. [9]

Undang-undang Perkawinan menyatakan dalam bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[10] Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal  tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti, guna mendapatkan kepastian hukum. Ketika suatu perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) saja maka akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi Negara. Olehkarenanya maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada, bila tidak tercatat.

Solusi bagi suami istri yang telah melakukan nikah dengan tidak diketahuinya secara resmi oleh negara adalah dengan memintakan itsbat (ketetapan) resmi dari lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya yaitu Pengadilan Agama.

Dalam menganalisis masalah pencatatan perkawinan dengan metode ini dapat dilakukan sebagai berikut. Dalam analisis tematik bahwa nash tidak pernah menyebutkan secara tegas memerintahkan pencatatan perkawinan. Nash al Quran yang memerintahkan agar dicatat transaksi hutang piutang adalah QS, al-Baqarah (2): 282.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍۢ مُّسَمًّۭى فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْـًۭٔا ۚ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.

 فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَٱسْتَشْهِدُوا۟ شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌۭ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىٰهُمَا ٱلْأُخْرَىٰ ۚ

jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.

 وَلَا يَأْبَ ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا۟ ۚ وَلَا تَسْـَٔمُوٓا۟ أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدْنَىٰٓ أَلَّا تَرْتَابُوٓا۟ ۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً حَاضِرَةًۭ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ

janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.

وَأَشْهِدُوٓا۟ إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌۭ وَلَا شَهِيدٌۭ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا۟ فَإِنَّهُۥ فُسُوقٌۢ بِكُمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ

dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu…

Terkait masalah status hukum perkawinan dibawah tangan (nikah Sirri), sebagian menilai bahwa nikah dibawah tangan adalah sah secara agama sementara secara kenegaraan tidak sah. Dalam hal ini penulis tidak ingin larut dalam kontradiksi tersebut, tidak ingin mengklaim sah dan tidaknya nikah. Penulis hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan dibawah tangan yang banyak dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi pemerintah pencatat nikah, tidak menimbulkan implikasi bagi pelaku dan keturunannya.

Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akte Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Perkawinan di bawah tangan jelas tidak memiliki Akte Nikah, maka bagi masyarakat yang tidak mempunyai Akte Nikah dapat mengajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama (ayat 2),[11] Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a). Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b). Hilangnya Akte Nikah;
(c). Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d). Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974; dan
(e). Perkawinan yang dilakukan oleh merekayang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang- 
      Undang Nomor 1Tahun 1974.

Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara isbat nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik bagi pencari keadilan agar permasalahan nikah di bawah tangan yang dilaksanakannya atau karena tidak punya akte nikah dapat segera teratasi, sehingga problematika yang terkait hal-hal keperdataan bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan di bawah tangan ini terselesaikan dengan baik.

2. Manfaat Pencatatan Nikah

Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak, diantaranya:

a. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut;

b. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari;

c. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hokum;

d. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya;

e. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[12]

Karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu  dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateraan spritual dan material. Namun kadang apa yang telah dicanangkan tersebut tidak sesuai dengan harapan. Ditengah perjalanan goncangan dalam berumah tangga tidak dapat dihindari sehingga bisa berkahir dengan terjadinya perceraian. Sesuatu hal yang tidak diharapkan ini kapanpun bisa terjadi, apakah perkawinannya resmi dicatat oleh negara atau hanya berdasarkan agama dan kepercayaannya saja.

Perceraian yang terjadi jika perkawinanya tidak pernah diresmikan oleh Negara, maka tidak akan membawa dampak hukum yang sangat merumitkan bagi pelakunya. Sebab dari awal perkawinan mereka memang dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Sebaliknya perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara perkawinannya sah secara hukum negara juga tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.

C. Kesimpulan

1. Ada perbedaan antara nikah sirri dan nikah di bawah tangan dari segi terminologi, historis dan yuridis, Nikah sirri yang diartikan menurut terminologi fiqh, dilarang dan tidak sah menurut hukum Islam, kaena ada unsur sirri (dirahasiakan nikahnya), yang bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa mengundang fitnah dan tuhmah, serta dapat mendatangkan madarat/resiko berat bagi pelakunya dan keluarganya. Naikah sirri juga tidak sah menurut hukum positif , karena tidak melaksanakan ketentuan hukum munakahat yang baku dan benar, dan tidak pula diadakan pencatatan nikahnya oleh Petugas pencatatan yang resmi.

2. nikah di bawah tangan timbul setelah berlakunya UU Perkawinan secara efektif tahun 1975. Hukumnya sah menurut hukum Islam sepanjang tidak motifv “sirri”, karena telah memenuhi ketentuan syari‟ah yang benar. Nikah di bawah tangan ini juga tidak sah menurut hukum positif, karena tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang hukum perkawinan

3. Bahwa dalam perkembangan berpikir fiqh kontemporer, tidak perlu ada dualisme hukum atau dikotomi antara negara dan agama dalam hal hukum perkawinan, semuanya menyatu dalam fikih baru Indonesia. Dan mengenai nikah sirri, bisa dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum, karenanya perlu diberlakukan sanksi pidana yang ditunagkan dalam dalam UU perkawinan, baik yang menikah sirri, maupun yang menikahkannya.

-----------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA


Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta. Akademi Pressindo, 1992.

Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi , Dȃr al- Așimah, KSA, cet pertama 1426 H.

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, PT  Raja Grafindo persada, 1995.

Amr Abdul Fatah,  As-Siyasah asy-Syar’iyyah fil ahwan Syakhsyiyyah , tt

Azmi Mamduh, Al-‘Aqdu Al-‘Urf, tt.

Dirjen Bimas Islam dan Pembinaan Syari’ah kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, lajnah pentashih Al-Qur’an, PT. Tehazed, Jakarta, 2010,

Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007.

Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas.

Keppres RI No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009

---------------, Hukum Perkawinan 1, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2004

--------------, Sejarah Pemikiran Islam, ACAdeMIA, TAZZAFA, Yogyakarta, 2012.

--------------, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, ACAdeMIA, TAZZAFA, Yogyakarta, 2010,

Majallah al-Buhuś al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ RAjab-Sya`ban-Ramaḍan 1428.H.

Notosusanto, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura, Yogyakarta, Tanpa Penerbit, 1953.

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam & Pluralitas Sosial, Penamadani, Jakarta, cet.2, 2005.

Satria Efendi, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Departemen Agama RI. Jakarta.

Usamah al-Asyqar, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq, tt

Yahya Harahap,"Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" Dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5 (Jakarta: Al-Hikmah, 1992).

Peraturan/ Perundang-undangan:

UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan

UU RI Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

UU RI Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas undang-undang UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Instruksi Presiden RI, No. 1 Tahun 1991, (Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun1991) tentang Kompilasi Hukum Di Indonesia.

[1] Mahasiswa Program Doktor, Program Pascasarjana (PPs) IAIN Raden Intan Lampung Program Studi Hukum Keluarga T.A 2012/2013

[2] Majallah al-Buhuś al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ RAjab-Sya`ban-Ramaḍan 1428.H, h. 194

[3] Azmi Mamduh, Al-‘Aqdu Al-‘Urf, hal. 11, dan Usamah al-Asyqor, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq, h. 130

[4] Amr Abdul Fatah,  As-Siyasah asy-Syar’iyyah fil ahwan Syakhsyiyyah , h. 43

[5] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22.

[6] Menurut Syamsul Anwar, dalam kesempatan memberi kuliah Program S3 Hukum Keluarga pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, hari Sabtu 03 Nopember 2012 mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`I tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.

[7] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.

[8] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.

[9]  Ibid.

[10]  UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (1) dan (2)

[11] Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam

[12] Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Az-Zawaj Al-‘Urfi , Dȃr al- Așimah, KSA, cet pertama 1426 H, h. 74-75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar