Rabu, 18 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB VII)


BAB VII
POLIGAMI



A.       Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
1.         Pengertian Poligami
          Poligami berasal dari bahasa yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang berarti banyak dan kata gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas.[1] Sedangkan dalam bahasa arab poligami sering diistilahkan dengan ta’addud az-zaujat.[2]Poligami menurut kamus Bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan, yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.[3]
          Menurut tinjauan antropoligi sosial, poligami mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak wanita dalam waktu bersamaan, sedangkan poliandri adalah perkawinan antara seorang wanita dengan beberapa orang laki-laki.
          Istilah poligami jarang dipakai dikalangan masyarakat, dan hanya digunakan dikalangan antropologi saja, sehingga secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan yang disebut poligami, dan kata ini digunakan sebagai lawan dari poliandri.[4] Sehingga secara istilah, poligami berarti ikatan perkawinan dimana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Walaupun dalam pengertian di atas terdapat kalimat “salah satu pihak”, akan tetapi karena istilah perempuan yang memiliki banyak suami dikenal dengan poliandri, maka yang dimaksud poligami disini adalah ikatan perkawinan, dimana seorang suami punya beberapa isteri dalam waktu bersamaan.[5]

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB VI)


BAB VI
PERKAWINAN TIDAK TERCATAT



A.    Pendahuluan
Tarik menarik diantara dua hukum yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan masalah tersendiri dalam hukum Nasional Indonesia. Nikah tidak tercatat atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah.
Dualisme hukum di Indonesia yang aturannya saling bertentangan, terkait pernikahan dan talak merupakan hal yang bermasalah. Salah satu penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ’madzhab’ (yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran Islam total, dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif). Supaya terjadi sinkronisasi, maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia yang berdasarkan hukum yang dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya.
Nikah tidak tercatat dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[1] Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka, tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.[2]

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB V)


BAB V
NIKAH MUȚ’AH

A.    Pengertian  Nikah Muț’ah

Yang dimaksud nikah muț’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. [1]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), serta tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan. [2]
Kata nikah dalam bahasa arab yang berarti menghimpun atau mengumpulkan[3], secara umum pengertian nikah (diluar definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqih) adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi,[4] yang karenanya hubungan badan menjadi halal; [5]  Sedangkan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, tidak disebutkan istilah nikah tapi perkawinan, yang berarti; ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.

Selasa, 17 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB IV)


BAB IV
PERCERAIAN



A.     Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’. [1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. [2]
Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[3]
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.[4]

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB III)

BAB III
WALI DAN SAKSI DALAM PERKAWINAN



A.    Wali Dalam Perkawinan

Perwalian adalah berasal dari bahasa Arab Walȃyaḥ atau wilȃyaḥ yaitu hak yang diberikan oleh syariʻat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan. [1]
Menurut Amin Summa, perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan Al-walȃyaḥ atau al-wilȃyaḥ seperti kata addalȃlah yang juga disebut addilȃlah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbaḥ) dan pertolongan (an-naşraḥ) atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu. [2]
Kamal Muchtar mengemukakan bahwa, yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[3] Dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya. [4] Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.[5]  Sementara Abdur Rahman juga mengungkapkan tentang wali, yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, dan yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[6]

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB II)


BAB II

PERKAWINAN

 

A.    Pengertian Perkawinan


Perkawinan dan atau sering disebut pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Namun itu adalah suatu cara  yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.[1] Menurut bahasa, nikah berarti peng-gabungan dan percampuran; bisa juga berarti menghimpun dan mengumpulkan.[2] Sedangkan menurut istilah syara’, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal; [3] dan bisa juga diartikan menurut syara’ ialah:


عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ اِباَحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ نِكاَحٍ أَوْتَزْوِيْجٍ, وَهُوَ حَقِيْقَةٌ فِي اْلعَقْدِ مَجاَزٌ فِي اْلوَطْءِ عَلىَ لصَّحِيْحٍ


“Akad yang menjadi perantara diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan kata nikah, atau tazwȋj, sedangkan nikah adalah makna hakikat didalam akad dan bermakna majazi dalam waț’ȋ, hal ini menurut qaul yang şahih”.[4]

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB I)

BAB I     PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Salah satu bentuk ketaatan manusia kepada Allah Swt adalah, bahwa dalam rangka penyaluran hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah didasarkan pada ikatan yang telah ditentukan-Nya, yaitu melalui lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, sakral bagi umat Islam. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,[1] dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga yang (sakinah, mawaddah warahmah) merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga; Bahkan al-Qur’an memproklamasikan perkawinan sebagai suatu perjanjian (ikatan) yang paling suci, paling kokoh antara suami isteri,[2]   teguh dan kuat (mițaqan ghaliẓan).[3] Selain itu juga tujuan perkawinan, untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina, penerus keturunan (anak) dan juga bertujuan ibadah.[4]

Negara RI adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijamin oleh Pasal 29 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (Referensi)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu juta), atau pidana penjara paling lama 7 (Tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan , atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

© Hak cipta pada pengarang
Dilarang mengutip sebagian atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun tanpa seizin penerbit, kecuali untuk kepentingan penulisan artikel atau karangan ilmiah.

Judul Buku           
:
HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
Penulis                  
:
Dr. H. Khoirul Abror, M.H
Cetakan Pertama
Cetakan Kedua
:
:
September 2017
Februari 2020
Desain Cover        
:
PermataNet
Layout oleh          
:
PermataNet




Penerbit LADANG KATA
Kampung Jagangrejo, Banguntapan Bantul – Yogyakarta
0274-2841901 | ladangkata@gmail.com

Percetakan cv ARJASA PRATAMA
Jl. P. Tirtayasa Gg. Andalas Waykiri II No.1, Sukabumi-Bandar Lampung
0721-5640386 | 085231945055 | cvarjasapratapratama@gmail.com


ISBN                       :  978-602-6541-50-5


Isi diluar tanggung jawab percetakan