BAB VI
PERKAWINAN
TIDAK TERCATAT
A.
Pendahuluan
Tarik menarik diantara dua hukum
yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan
masalah tersendiri dalam hukum Nasional Indonesia. Nikah tidak tercatat atau
talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut
hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah.
Dualisme hukum di Indonesia yang
aturannya saling bertentangan, terkait pernikahan dan talak merupakan hal yang
bermasalah. Salah satu penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada
dua kelompok ’madzhab’ (yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran
Islam total, dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif). Supaya terjadi
sinkronisasi, maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia
yang berdasarkan hukum yang dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah
sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya.
Nikah
tidak tercatat dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi
yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak
tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca:
KUA).[1] Disebut nikah
‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang
berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi Saw dan para sahabat yang
mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka, tanpa
ada permasalahan dalam hati mereka.[2]
B.
Historis
Pencatatan Akad Nikah
Kaum
muslimin pada zaman dahulu, untuk melangsungkan nikah cukup dengan lafaz dan
saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan
berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, dimungkinkan para saksi itu
lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan
akad nikah secara tertulis.[3]
Awal
pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau
sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti
pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Para sahabat tidak
menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara
langsung, meskipun ada diantara mereka yang mengakhirkan, tetapi dengan cara
yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktu lama dan terkadang
lupa, maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu
merupakan bukti kuat tentang mahar, dan wanita itu adalah istrinya”.[4]
Kelahiran UUP telah mengalami rentetan
sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan
haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau
konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,[5]
kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan yang kelak menjadi
embrio lahirnya UUP. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928
kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang
keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.[6]
Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan
rakyat (volksraad).[7]
Pada akhir tahun 1950 dengan surat
keputusan Menteri Agama No. B/2/4299
tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[8] Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak
kepada Pemerintah dan DPR agar secepat mungkin merampungkan penggarapan
mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR.[9] Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah
Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi
Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar
Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).[10]
Umat Islam waktu itu
mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan
bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil.
Kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke
pemerintah. Segala upaya telah dikerahkan untuk
menghasilkan UUP yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang
waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia
(ISWI) pada tahun1972 menyarankan agar PP ISWI memperjuangkan tentang UUP.
Kemudian Badan Musyawarah Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang
ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11
Februari 1973.[11]
Akhirnya, setelah bekerja keras,
pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan
No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru
kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga)
pasal.[12]
RUU ini mempunyai tiga tujuan. Pertama,
memberikan kepastian hukum bagi masalah perkawinan,. Kedua,
untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan
harapan kaum wanita. Ketiga,
menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.[13]
Keterangan Pemerintah tentang RUU tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman
pada tanggal 30 Agustus 1973.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya terdapat 11 pasal yang
bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat),.[14] Kemudian diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi
atas RUU tentang Perkawinan pada tanggal 17 dan 18 September 1973, [15]
Adapun
hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14
(empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti
dicatat sebelumnya. [16] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR
yaitu terdiri dari 73 pasal. [17] sehingga dapat difahami bahwa UU No 74 sangat kental
nuansa politisnya yang pada akhirnya UU yang lahir terkesan membela salah satu
kepentingan, dalam hal ini kepentingan wanita.
C.
Perkawinan yang
Tidak Tercatat
Salah
satu kerangka awal untuk mendapatkan jaminan hukum dalam sebuah perkawinan
adalah dengan mencatatkannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini tidak
hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam saja, melainkan juga bagi mereka
yang beragama Kristen, Katholik, Hindu maupun Budha. Sebagaimana tertuang dalam
UU no. 22 tahun 1946 j.o. UU No 32 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan
Rujuk (penjelasan Pasal 1), juga dalam UU No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (2), yang diperkuat dengan Inpres RI no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam Pasal 5 dan 6.
Dalam
hukum Islam, hukum perkawinan merupakan salah satu aspek yang paling banyak
diterapkan oleh kaum muslimin di seluruh dunia dibanding dengan hukum-hukum
muamalah yang lain.[18] Perkawinan adalah miśȃqan galȋẓan, atau ikatan yang kokoh, yang dianggap sah bila
telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Berdasarkan Alquran dan hadis, para
ulama menyimpulkan bahwa hal yang termasuk rukun pernikahan adalah calon suami,
calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul. Kewajiban akan adanya saksi ini adalah
pendapat Syafi’i, Hanafi dan Hanbali.[19] Adapun syarat-sahnya nikah, menurut Wahbah
Zuhaili adalah antara suami isteri tidak ada hubungan nasab, sighat ijab
qabul tidak dibatasi waktu, adanya persaksian, tidak ada paksaan, ada kejelasan
calon suami isteri, tidak sedang ihram, ada mahar, tidak ada kesepakatan untuk
menyembunyikan akad nikah salah satu calon mempelai tidak sedang menderita
penyakit kronis, adanya wali.[20]
Melihat
kriteria rukun maupun persyaratan nikah di atas, tidak ada penyebutan
tentang pencatatan. Keberadaan saksi dianggap telah memperkuat keabsahan
suatu perkawinan. Pihak-pihak terkait tidak bisa mengadakan pengingkaran akan
akad yang sudah terjadi. Bisa jadi ini didasarkan pada pernikahan masa
Rasulullah sendiri tidak ada yang dicatatkan. Dalam kitab fikh klasikpun tidak
ada pembahasan tentang pencatatan pernikahan.
Menurut
hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqȃşidus syari`ah) adalah
mendatangkan maslahat dan menghindarkan bahaya, karena perkawinan yang tidak
dicatat pemerintah menimbulkan muḍarat kepada istri, anak, dan harta bersama
(gono gini), maka pencatatan perkawinan oleh pemerintah menurut sebagian orang
dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan secara
rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad
ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan
dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis, atau maqȃşidus
syari`ah berdasarkan kaidah fiqhiyah: [21]
تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة
“Hukum
dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[22].
Menurut
Abdul Manan, ada beberapa faktor yang menjadi alat atau factor pengubah hukum,
yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor
ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum. [23]
Ada
pula yang menjadikan maslahat mursalah sebagai landasan berpendapat.
Teori ini mengajarkan bahwa: “Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit
dalam Al-Qur’an dan Al Hadis dapat dibuat aturan yang mengharuskan
berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus menghindari muḍarat. Berdasarkan
cara berfikir ini, pencatatan perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga
kemaslahatan suami, istri, dan anak-anaknya,”[24]
karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak mendatangkan muḍarat
daripada manfaatnya. Para perancang ordonansi perkawinan di Pakistan
mendasarkan fikiran mereka pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa dalam
melakukan transaksi penting seperti utang piutang saja hendaknya selalu
dicatatkan, apalagi perkawinan yang bahkan lebih penting dari utang piutang.
[25]
Undang-undang Perkawinan menyatakan
bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[26] Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal
tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti,
guna mendapatkan kepastian hukum.
Ketika suatu perkawinan hanya
dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) saja, maka akibat hukumnya
adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut
tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara, dalam hal ini minta
putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan
tidak tercatat secara resmi didalam administrasi Negara. Olehkarenanya maka segala
konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara
dianggap tidak pernah ada, bila tidak tercatat.
Solusi bagi suami
istri yang telah melakukan nikah dengan tidak diketahuinya secara resmi
oleh negara adalah dengan memintakan işbat (ketetapan) resmi dari
lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya yaitu Pengadilan
Agama.
Dalam menganalisis masalah
pencatatan perkawinan dengan metode ini dapat dilakukan sebagai berikut:
Dalam analisis tematik bahwa naș tidak pernah menyebutkan
secara tegas memerintahkan pencatatan perkawinan. Naș al-Qur`an yang
memerintahkan agar dicatat transaksi hutang piutang adalah QS, al-Baqarah
(2): 282.
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya….. “
“jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
Maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). jika tak ada dua oang lelaki,
Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
riḍai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya”.
“janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu
jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah
mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan diantara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya”.
“dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu…”
Terkait
masalah status hukum perkawinan tidak tercatat (dibawah tangan/ nikah Sirri),
sebagian menilai bahwa nikah dibawah tangan adalah sah secara agama sementara
secara kenegaraan tidak sah. Dalam hal ini penulis tidak ingin larut dalam
kontradiksi tersebut, tidak ingin mengklaim sah dan tidaknya nikah. Penulis
hanya ingin memfokuskan bagaimana pernikahan dibawah tangan yang banyak
dilakukan masyarakat atau yang tidak tercatat di KUA sebagai lembaga resmi
pemerintah pencatat nikah, tidak menimbulkan implikasi bagi pelaku dan
keturunannya.
Jadi, Nikah sirri, yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah nikah yang tidak
terdaftar secara resmi di lembaga perkawinan. Bukan pernikahan yang
dirahasiakan sebagaimana terambil dari kata “sirrun” dalam bahasa Arab
yang berarti: rahasia.
Pasal
7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akte Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”.
Perkawinan dibawah tangan jelas tidak memiliki Akte Nikah, maka bagi masyarakat
yang tidak mempunyai Akte Nikah dapat mengajukan isbat nikahnya ke Pengadilan
Agama (ayat 2),[27]
Iśbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan:
1. Adanya
perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
2.
Hilangnya Akte Nikah;
3.
Adanya keraguan tentang
sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
4.
Adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974;
5.
Perkawinan yang dilakukan
oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1Tahun
1974.
Batas…….
Pengadilan
Agama sebagai lembaga yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara isbat
nikah, tentunya harus memberikan pelayanan terbaik bagi pencari keadilan agar
permasalahan nikah di bawah tangan yang dilaksanakannya atau karena tidak punya
akte nikah dapat segera teratasi, sehingga problematika yang terkait hal-hal
keperdataan bagi pasangan suami istri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan
di bawah tangan ini terselesaikan dengan baik.
Ada minimal tiga hal yang
dapat diambil dari sunnah untuk mengadakan pengumuman:
1. Bahwa perkawinan merupakan urusan public yang siapapun pantas
mengetahui;
2.
Pengakuan
public ini diharapkan sebagai sarana pengakuan dan penjaminan hak; dan
3.
Bentuk
pengakuan dan penjaminan hak dalam masyarakat ini muncul dalam bentuk pengumuman
(walimah-an, iklan dan sejenisnya) dan saksi.
Pengakuan dan
penjaminan hak di masa nabi cukup dengan pengumuman kepada masyarakat. Namun
seiring dengan perkembangan masyarakat, kemajuan administrasi dan
ketatanegaraan, bentuk pengakuan masyarakat dan penjaminan hak juga mengalami
perkembangan. Bentuk pengakuan dan penjaminan di masa sekarang dalam bentuk
hitam di atas putih yang dalam ini adalah akta nikah.
D. Manfaat Pencatatan Akad Nikah
Pencatatan
akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat, diantaranya:
1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik
hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya..
2. Menyelesaikan persengketaan antara
suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah
satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan
pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada.
3. Catatan dan tulisan akan bertahan
lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun
catatan masih berlaku.
4. Catatan nikah akan menjaga suatu
pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu
syarat dan rukun serta penghalangnya.
5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam
pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang mengaku telah menikahi seorang
wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya
karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu. [28]
E.
Muḑarat Nikah
Tidak Tercatat
Banyak
problem hukum yang dijumpai bagi pasangan suami istri dan anaknya akibat dari
perkawinan tidak tercatat, dan mereka mengajukan permohonan isbat nikah ke
Pengadilan. Perkara isbat nikah ini, dapat
diklasifikasikan masalahnya sebagai berikut:
1. Suami
istri yang telah menikah di bawah tangan, tidak mempunyai akte nikah sebagai
bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara. Akibatnya
anak-anak tidak dapat memperoleh Akte Kelahiran dari instansi yang berwenang,
karena untuk mendapatkan akte kelahiran itu diperlukan akte nikah dari orang
tuanya.[29]
2.
Suami istri yang
melangsungkan pernikahan sesudah tahun 1974 tidak mengetahui kalau
pernikahannya tidak tercatat, karena mereka merasa dinikahkan oleh penghulu
resmi dan membayar sejumlah biaya pernikahan, namun pada saat memerlukan buku
nikah sebagai syarat untuk berangkat haji atau mengurus pensiun atau pembuatan
akte kelahiran anak, baru diketahui ternyata perkawinan mereka tidak tercatat
di KUA setempat, kemudian kedua suami istri mengajukan isbat nikah.[30]
3.
Suami istri menikah
secara sirri, kemudian terjadi sengketa perkawinan, suami mengajukan permohonan
isbat nikah untuk bercerai dan adapula istri (Penggugat) yang mengajukan isbat
nikah untuk bercerai karena telah ditinggal pergi oleh suaminya, guna
memperoleh kepastian hukum status
dirinya sebagai janda;
4.
Seorang wanita yang tanpa
sadar senang kepada seorang laki-laki beristri dan menikah dengan laki-laki
tersebut tanpa adanya pendaftaran ke KUA. Beberapa bulan berselang, istri
(pertama) laki-laki tersebut mendatangi istri baru suaminya, selanjutnya suami
beristri dua tersebut menghilang dan tidak kembali lagi ke rumah istri barunya.
Setelah sekian lama tidak melaksanakan kewajiban lahir batinnya, wanita tersebut mengajukan
permohonan isbat untuk bercerai, tetapi:
a.
Ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah;
b. Perkawinannya
sesudah UU Nomor 1 Tahun 1974 diberlakukan, dan
c. Perkawinannya
merupakan perkawinan kedua bagi laki-laki beristri.
Memang
berdasarkan ketentuan Pasal 7 huruf a dan e Kompilasi Hukum Islam,
permohonannya beralasan hukum, tetapi ketentuan pasal tersebut pada huruf d
tidak terpenuhi, sedangkan ketentuan pada ayat b pasal tersebut “dapat”
dianggap sama dengan perkawinan yang tidak tercatat. Akan tetapi permohonannya
itu berbenturan dengan ketentuan huruf c di atas, yang terkait dengan asas
perkawinan di Indonesia (Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan
syarat-syarat suami berpoligami (Pasal 4 dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974 atau PP
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Poligami).
Perablemnya adalah:
1.
Ia tidak dapat bercerai
dari suaminya itu, kecuali apabila pernikahannya diiśbatkan;
2.
Pernikahannya tidak dapat
diiśbatkan tanpa suami, tergugat tidak mendapat persetujuan istri pertamanya;
3.
Apabila pengadilan
mengisbatkannya, berarti perkawinan tersebut terjadi sebagaimana didalilkan
oleh penggugat (yang bertindak pula sebagai Pemohon) dan isbat nikah tersebut
menimbulkan hukum lainnya, yaitu adanya hubungan hukum kewarisan antara pemohon
dengan suaminya. Bila ternyata suaminya itu meninggal dunia setelah atau antara
tanggal perkawinan yang diisbatkan dan tanggal perceraian yang diajukan dan
diputus bersama-sama dan terkait harta gono gini yang harus dibagi;
4. Apabila
pengadilan menolaknya atau sekurang-kurangnya menyatakan permohonan tidak
diterima, bagaimana wanita tersebut melepaskan ikatan perkawinannya?; Bagaimana
pengadilan menyelesaikan kasus di atas?[31]
F.
Faktor Penyebab
Pernikahan Tidak Tercatat
Jeje Zainudin, Ketua Pengadilan Agama Gunungkidul mengatakan: “masih banyak
yang berpendapat bahwa nikah merupakan urusan pribadi dalam melaksanakan ajaran
agama, jadi tidak perlu melibatkan aparat yang berwenang dalam hal ini Kantor
Urusan Agama (KUA). Disamping itu pernikahan sirri juga dianggap sebagai jalan
pintas bagi pasangan yang menginginkan pernikahan, namun belum siap atau ada
hal lain yang tidak memungkinkannya terikat secara hukum. Seperti contoh kasus:[32]
1.
Ati, merasa tidak ada yang salah dengan
pernikahan sirrinya, karena dengan sepengetahuan isteri pertama (Tini) dan
dengan alasan ingin mendapatkan keturunan. Sebelum menikah Ati sendiri tahu,
kalau pernikahannya tidak dicatatkan. Yang melatarbelakangi pernikahan sirrinya
adalah status sebagai isteri kedua dari seorang PNS, tidak memungkinkan
pernikahannya dicatatkan. Sementara pernikahan Tini lebih didasari konflik
batin.
2.
Meskipun tidak disetujui oleh kedua orang
tuanya, sepasang remaja yang saling mencintai tetap melangsungkan pernikahan
sirri. Mereka berdua masih kuliah dan belum siap
menghadapi kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya bila pernikahannya
dicatatkan.
3.
Sementara Tatik akan merasakan beban yang
lebih berat bila pernikahan tidak dilangsungkan, mengingat bayi yang ada dalam
kandungannya membutuhkan seorang ayah. Sebaliknya, pernikahan Ida justru memicu konflik batin yang membuat kuliah Ida
terbengkalai. Pernikahan tersebut terjadi karena perjodohan. Orang tuanya menikahkan secara sirri karena khawatir
melihat hubungan Ida semakin lengket dengan teman kuliahnya.
4.
Kasus Syekh Puji lebih didasari karena
pernikahan dibawah umur sehingga sangat tidak memungkinkan bagi mereka untuk
mencatatkan pernikahannya.
Membaca dan mempelajari kasus tersebut, dapat
dianalisis, beberapa permasalahan yang mendorong seseorang memilih nikah siri
sebagai alternatif perkawinannya.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya
pernikahan sirri adalah:
1.
Nikah sirri dilakukan karena hubungan yang
tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah satu pihak. Misalnya orang
tua kedua pihak atau salah satu pihak berniat menjodohkan anaknya dengan calon
pilihan mereka.
2.
Nikah sirri dilakukan karena adanya hubungan
terlarang (perselingkuhan/ hamil diluar nikah), misalnya salah satu atau kedua
pihak sebelumnya pernah menikah secara resmi dan telah mempunya istri atau
suami yang resmi, tetapi ingin menikah lagi, tanpa sepengetahuan isteri pertama
karna telah hamil.
3.
Nikah sirri dilakukan dengan alasan terasa
belum lengkap karena sudah bertahun-tahun belum punya anak. Dengan dalih ingin
memiliki keturunan, ia menikah dengan
isteri keduanya.
4.
Nikah sirri dilakukan dengan dalih menghindari
dosa karena zina. Kekhawatiran tersebut dialami oleh pasangan
mahasiswa dll yang semakin hari semakin dekat, menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya perbuatan yang melanggar syariah. Sebagai jalan keluar yang mampu
menghalalkan gejolak cinta sekaligus menghilangkan kekhawatiran terjadinya
zina. Nikah sirri dilakukan karena merasa belum siap secara materi dan secara
sosial.
5.
Nikah Sirri sering ditempatkan menjadi sebuah
pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya sendiri.
Seperti contoh kasus berikut :
6.
Pujiono (baca: syekh Puji) menikahi Ulfa yang
masih dibawah umur, sebagai isteri kedua. Yang menjadi kontroversial adalah
usia Ulfa masih 12 tahun. Dengan dalih sah secara Agama, dan berpedoman kepada
pernikahan Rasul dan Aisyah yang masih berumur 9 tahun, pernikahan tersebut
berlangsung dengan persetujuan orang tua Ulfa dan isteri pertama Puji. Namun
karena sorotan berbagai kalangan, Puji akhirnya mengembalikan Ulfa kepada orang
tuanya;
7.
Pernikahan yang pernah terjadi antara Rhoma
Irama dengan Angel Lelga yang menurut beberapa sumber media, Rhoma menikahi
Angel karena dia bersedia menjadi muallaf. Pernikahan
tersebut ditutupi salah satunya karena khawatir popularitas keartisannya akan
pudar. Nyatanya, setelah terekspos media masa, Rhoma Irama justru menceraikan
Angel Lelga;
8.
Pernikahan Bambang Triatmojo dan Mayangsari. Sebagai orang terkenal
di Indonesia, pernikahan sirri dalam poligami yang dilakukan Bambang tersebut
salah satunya bertujuan menghindari publikasi media. Ketika pers mengulas berita tersebut, yang terjadi adalah konflik
berkepanjangan dengan isteri pertamanya, Halimah, bahkan dengan anak-anaknya.
Disinilah sebenarnya keabsahan nikah sirri harus dipertanyakan kembali;
9.
Pernikahan sirri yang
dilakukan oleh Bupati Garut, Jawa Barat Aceng HM. Fikri (baca: Aceng) dengan
Fani Oktora (baca: FO) pada hari Senin, 16 Oktober 2012 merupakan peristiwa
controversial yang cukup menghebohkan banyak kalangan, karena Aceng disatu sisi
sebagai pejabat negara, disisi lain, sebagai tokoh masyarakat yang dipandang
mengerti agama,[33]
tetapi dalam melakukan pernikahan tersebut terkesan tidak etis disebabkan ia
menceraikan FO melalui SMS dengan talak tiga sekaligus (țalak ba’in).[34] Dan Fani Oktara
merasa dilecehkan oleh sang Bupati setelah dirinya hanya dinikahi selama 4 hari
karena dianggap tidak perawan.[35]
10. Nikah sirri dilakukan karena pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu
prosedur hukum. Hal ini bisa terjadi pada suatu masyarakat
wilayah desa terpencil yang jarang bersentuhan dengan dunia luar. Lain lagi
dengan komunitas jamaah tertentu misalnya, yang menganggap bahwa kyai atau
pemimpin jamaah adalah rujukan utama dalam semua permasalahan termasuk urusan
pernikahan. Asal sudah dinikahkan oleh kyainya, pernikahan sudah sah secara
Islam dan tidak perlu dicatatkan;
11. Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan hubungan
badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada
kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati prosedur yang
berbelit-belit;
12. Nikah sirri dilakukan untuk menghindari beban biaya dan prosedur
administrasi yang berbelit. Biasanya pernikahan semacam ini dilakukan oleh
kalangan pendatang yang tidak mempunyai KTP. Di Jakarta banyak terjadi di
lingkungan pendatang yang hidup di lingkungan kumuh dan tidak menetap;
13. Nikah sirri dilakukan karena alasan pernikahan beda agama. Biasanya salah
satu pasangan bersedia menjadi muallaf
(baru beragama Islam) untuk memperoleh keabsahan pernikahannya. Dan bisa jadi
masih ada faktor lain yang belum terungkap, semua alasan tersebut mengarah kepada posisi perkawinan sirri
(tidak tercatat) dipandang sebagai jalan pintas untuk menghalalkan hubungan
suami isteri.
G.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berkut:
1.
Pada
dasarnya pernikahan tidak tercatat dilakukan karena ada hal-hal yang dirasa
tidak memungkinkan bagi pasangan untuk menikah secara formal. Ada banyak faktor
yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tidak tercatat, yang semua alasan
tersebut mengarah kepada posisi
perkawinan sirri dipandang sebagai jalan pintas yang lebih mudah untuk
menghalalkan hubungan suami isteri.
2.
Problem
yang menyertai pernikahan tidak tercatat yang paling nyata adalah problem
hukum, khususnya bagi perempuan, tapi juga problem intern dalam keluarga,
problem sosial dan phiskologis yang menyangkut opini publik yang menimbulkan
tekanan batin bagi pihak perempuan. Problem agama yang perlu dipertanyakan
lagi keabsahan nikah sirri yang
akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia;
3.
Dampak
pernikahan tidak tercatat bagi perempuan adalah
secara hukum, isteri tidak dianggap sebagai isteri sah, tidak berhak mendapat
warisan jika suami meninggal, tidak berhak mendapat harta gono-gini bila
terjadi perpisahan. Dampak tersebut juga berlaku bagi anak kandung hasil
pernikahan siri. Adapun dampak sosial lebih kepada benturan-benturan dengan
pandangan negatif masyarakat tentang status pernikahan sirri, yang bisa
menimbulkan tekanan batin bagi pelaku terutama perempuan;
4.
Nikah sirri, yang berkembang
ditengah masyarakat adalah nikah yang
tidak terdaftar secara resmi di lembaga perkawinan.(nikah tidak tercatat) Bukan pernikahan yang dirahasiakan sebagaimana
terambil dari kata “sirrun” dalam bahasa Arab yang berarti: rahasia.
[1]
Majallah al-Buhuś al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ RAjab-Sya`ban-Ramaḍan
1428.H, h. 194
[2] Azmi
Mamduh, Al-‘Aqdu Al-‘Urf, hal. 11, dan Usamah al-Asyqor, Mustajaddat
Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq, h. 130
[3]
Majalah, Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah, Op Cit,
h. 194
[4] Majmu’
Fatawa 32/131
[5] Sebelum UUP No 1/ 74 lahir, Muslim Indonesia menggunakan
hukum Islam yang telah diresepsi ke dalam hukum Adat. Hukum islam yang telah
diresepsi ke dalam hukum adat tersebut mendapat pengakuan dari Indische
Staats Regeling (ISR) yang berlaku untuk tiga golongan. (a. Golongan Eropa
(termasuk Jepang); b. Golongan pribumi (orang Indonesia) dan; c. Golongan Timur
Asing, Pasal 163). Lihat Hilman Hadikusuma,
Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agam, cet.
I (Bandung: Mandar Maju, 1990), h.4-5, bandingkan dengan C.S.T.
Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet. II (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 224-225
[6] Keburukan dimaksud antara lain: perkawinan (anak di bawah umur), kawin paksa, poligami, talak
sewenang-wenang dan lain-lain. Sementara menurut Khoiruddin Nasution respon
perempuan Indonesia terhadap praktek perkawinan hukum Islam khususnya mengenai
ketentuan hak dan kewajiban suami isteri.. Bandingkan
antara Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), h. 9 dan Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi
Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I) Dilengkapi Dengan Perbandingan UU Negara
Muslim (Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2004), h. 285
[7] Arso Sosroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 9 .
[8] Kepanitiaan itu mengalami beberapa perubahan personalia, maka pada
tanggal 1 April 1961 dibentuklah panitia baru yang diketuai oleh Mr. H. Moh.
Noer Poerwosoetjipto. Lihat Ibid.
[9] Pada
waktu itu ada dua RUU yang masuk ke DPR yaitu; a. RUU tentang Pokok-pokok
Perkawinan Umat Islam dan; b. RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan. Lihat Ibid.,
h. 10
[10] Ibid.
[11] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), h. 4
[12] Ibid., h. 2 dan h. 27.
[13] Tentang tujuan memenuhi harapan kaum wanita misalnya dapat
tergambar dari Pidato Kenegaraan Presiden Suharto pada tanggal 16 Agustus 1973,
disinggung tentang munculnya desakan kaum wanita dan organisasi lainnya agar
negara memiliki uu yang mengatur tentang perkawinan.
[14] Dikutip
oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, Undang-Unang
Nomor 1 tahun 1974 sampai KHI), cet. I (Jakarta: Kencana, 2004), h. 24
[15] Adapun
fraksi-fraksi yang terlibat yaitu Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan
Fraksi Persatuan Pembangunan. Lihat Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Indonesia, h. 27
[16] Yaitu UUP yang berlaku sampai saat sekarang ini yang diundangkan
pada tanggal 2 januari 1974, dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran
Negara No. 3019. lebih lanjut lihat C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, h. 222
[17] Ibid.
Meskipun Atho mencatat bahwa hasil akhir UU No. 1 Tahun 1974 adalah 66 pasal,
dalam kenyataan UU No.1 Tahun 1974
terdiri dari 67 pasal.
[18] Syukri Fathudin AW, Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya
bagi Perempuan”. Dalam http://www. google.com, Akses 25 Nopember 2013, yang mengutip
dari Anderson, J.N.D,
Hukum Islam di Dunia Modern, (1994) Yogyakarta,Tiara Wacana, h. 46
[19] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhab
Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali , Hidakarya Agung, Jakarta, 1996, h.
18.
[20] Wahbah Zuhaili, All-Fiqh
al-Islam wa adillatuhu, (Dar-al-Fikr, Beirut,1989), h. 62.
[21] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan
Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG
Pas, h. 22.
[22] Menurut
Syamsul Anwar, (nara sumber) Sabtu 03 Nopember 2012 mengemukakan bahwa ada 4
(empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2)
Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat
Qaț`i tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.
[23] Abdul Manan, Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.
[24] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya
Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.
[25] Ibid.
[26] UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan,
Pasal 2 ayat (1) dan (2)
[27] Pasal 7
ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
[28] Lihat: Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy, Az-Zawaj
Al-‘Urfi, Darul Ashimah, KSA, cet pertama, 1426 H, 74-75.
[29] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya
Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.
[30] T a r s i, (Ketua Pengadilan Agama Pelaihari) Problematika
Nikah di bawah tangan kaitannya Dengan Pengesahan Nikah, www.pa.plaihari.go,id/index.php?conten=mod-artikel, Akses 24 Nopember 2013
[31] Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan per
Undang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2004, h.
100-101.
[32] Diolah dari
laporan hasil penelitian, Ringkasan dan Summary, Syukri Fathudin AW , Vita Fitria, Problematika Nikah Sirri dan Akibat Hukumnya
bagi Perempuan”., https://www.google.com, Akses 25 Nopember 2013
[33] Acaeng,
adalah salah seorang sarjana dan alumni
Perguruan Tinggi Agama Islam di Jawa Barat.
[34] Lihat,
Koran Harian Tribun, Sabdtu, 01
Desember 2012, h. 1 dan 7. Majalah Nova,
N0. 1294/XXIV, 10-16 Desember 2012, h. 58.
[35]http://www.youtube.com/user/dedikusmayadi/Published on
Dec 1, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar