Rabu, 18 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB V)


BAB V
NIKAH MUȚ’AH

A.    Pengertian  Nikah Muț’ah

Yang dimaksud nikah muț’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. [1]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), serta tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan. [2]
Kata nikah dalam bahasa arab yang berarti menghimpun atau mengumpulkan[3], secara umum pengertian nikah (diluar definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqih) adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi,[4] yang karenanya hubungan badan menjadi halal; [5]  Sedangkan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, tidak disebutkan istilah nikah tapi perkawinan, yang berarti; ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.
Disebutkan dalam QS. ar-Rum (30): 21;[6] dalam hal ini tujuan perkawinan dimaksudkan agar tercipatanya kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Begitu juga, disebutkan dalam QS. an-Nahl (16): 72, [7] QS. an-Nisȃ’ (4): 1, 9; untuk tujuan regenerasi dan/atau pengembangbiakan manusia (reproduksi).[8] Dengan tercapainya tujuan reproduksi, maka tujuan memenuhi kebutuhan biologis, sebagaimana difirmankan dalam QS.al-Ma’ȃrij (70): 29-31, QS. al-Baqarah (2): 187, 223 dan QS. an-Nur (24): 33, akan dengan sendirinya tercapai, sekaligus terciptanya ketenangan dan cinta kasih dalam kehidupan keluarga.

Ketika menafsirkan QS. an-Nisȃ` (4): 24

"Dan (diharamkan  juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki[9] sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang demikian itu, [10]jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah kepada mereka mas kawinnya (maharnya) kepada mereka, sebagai suatu kewajiban; tetapi tiadalah mengapa jika ternyata diantara kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan (ditetapkan) mahar itu.[11] Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Al-Khazin (salah seorang Mufassir Sunni) menjelaskan definisi nikah mut’ah, “dan menurut sebagian kaum (ulama), yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah, yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talak (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciannya, dan tidak adanya janin dalam kandungannya), serta tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [12].

B.     Disyari’atkannya Nikah Muț’ah

Telah disepakati bahwa nikah muț’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah ḑa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat, bahwa nikah muț’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal ḑaruriyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah muț’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip an-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah muț’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam….” [13] namun oleh Nabi Saw pada akhirnya dilarang.
Ibnu Hajar mendefinisikan nikah muț’ah, “ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari bahwa ia sebelumnya mubah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [14]
Al-Syaukȃni juga menegaskan bahwa nikah muț’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, kemudian katanya dilarang oleh Nabi Saw, ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah muț’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [15]
Ibnu Kaśir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah muț’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah muț’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan….” [16]

C.    Nikah Muț`ah antara Boleh dan Tidak

1.      Dasar dibolehkannya Nikah Muț`ah

Nikah muț’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang naș-naș yang melarang hingga hari Kiamat.
Diantara hadiś yang menyebutkan dibolehkannya nikah muț’ah pada awal Islam ialah:

عن علي إبن أبي طالب رضي الله عنه قا ل إن النبي ص نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر لأ حلية زمن خيبر

"Dari Ali bin Abi Thalib R.a berkata: ''Sesung-guhnya Rasulullah melarang nikah muț’ah dan memakan daging khimar jinak pada waktu perang Khaibar”. [17]
عَن الرَّبيْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya R.a, bahwasanya ia bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan muț’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Swt telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[18]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata: “Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk muț’ah pada masa penaklukan kota Makkah, ketika kami memasuki Makkah. Belum kami keluar, beliau Nabi Saw telah mengharamkannya atas kami”. [19]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Dari Salamah bin Akwa` R.a, ia berkata: “Rasulullah Saw telah memberikan keringanan dalam muț’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”.[20]
2.      Dasar diharamkannya Nikah Muț’ah

Nikah muț’ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab (al-Qur`an), Sunnah, Ijma’, dan secara akal (qiyas).
a.       Berdasarkan QS.Al-Ma`ȃrij (70): 29-31:

“dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki,[21] Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di luar itu,[22]  Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS.Al-Ma`ȃrij (70): 29-31)
Ayat ini menerangkan bahwa, sebab disahkannya berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah Ṣahih dan perbudakan. Sedangkan wanita muț’ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [23]

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman, dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah sebagian dari yang lain,[24] karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin yang pantas (patut), karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka yang tidak bersuami. (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.)QS, An-Nisȃ’ (4): 25)

Ada dua alasan yang dapat dipetik dari ayat ini:

Pertama, jika nikah muț’ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi hamba sahaya atau bersabar untuk tidak menikah.[25]
Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah muț’ah, karena Allah Swt berfirman “karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyari’atkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah muț’ah, tidak mensyari’atkan demikian.[26]

b.      Dalil dari Sunnah

Semua riwayat yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami merupakan dalil haramnya nikah muț’ah.
Dalil-dalil dari hadis yang mengharamkannya-pun jelas dan sahih lagi, sehingga tidak ada alasan bagi kita saat ini untuk menghalalkannya.

c.       Dalil Ijma`

Para ulama ahlussunnah menyebutkan, bahwa seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah muț’ah itu telah dimansukhkan sendiri oleh Rasulullah. Tidak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang menghalalkannya kecuali oleh ulama syi`ah sendiri. Diantara pernyataan tersebut adalah:
1)      Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah, sebagaimana Al Qurțubi berkata, “Telah berkata Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun muț’ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena muț’ah  diperbolehkan pada awal Islam, kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan muț’ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.” [27]
2)      Imam Thahawi berkata,”Umar telah melarang muț’ah  dihadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[28]
3)      Qaḑi Iyaḑ berkata,”Telah terjadi Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafiḑah (kelompok Syi’ah)”. [29]
4)      Disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman muț’ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [30]


d.      Alasan dari Akal dan Qiyas [31]

1)      Sesungguhnya nikah muț’ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari țalak, iddah dan waris, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2)      ‘Umar telah mengumumkan pengharamannya dihadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat ‘Umar tersebut salah.
3)      Haramnya nikah muț’ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Antara lain:
a)      Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b)      Disia-siakannya anak hasil muț’ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c)      Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke-tangan yang lain, dan sebagainya.


e.       Pendapat Para Ulama

Berdasarkan hadiś-hadiś tersebut di atas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
1)      Mażhab Hanafi; Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuț (V/152) mengatakan: “Nikah muț’ah ini bațil menurut maẓhab kami. Demikian pula Imam Ala al-Din al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada’i al-Sanȃ’iTartib al-Syarȃ’i (II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah muț’ah”.
2)      Mażhab Maliki; Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) mengatakan, “hadiś-hadiś yang mengharamkan nikah muț’ah mencapai peringkat mutawatir” [32] Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) mengatakan, “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”[33]
3)      Mażhab Syafi’; Imam Syafi’i (wafat 204 H) dalam kitabnya al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah muț’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.” Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ (XVII/356) mengatakan, “Nikah muț’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”[34]
4)      Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam Al-Mughni mengatakan, “Nikah muț’ah ini adalah nikah yang batil.”[35] Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah muț’ah adalah haram.

Masih banyak lagi kesesatan dan penyimpangan Syi’ah. Kami ingatkan kepada kaum muslimin agar waspada terhadap ajakan para propagandis Syi’ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama “Wajib mengikuti maẓhab Ahlul Bait”, sementara pada hakikatnya Ahlul Bait berlepas diri dari mereka, itulah manipulasi mereka. Semoga Allah selalu membimbing kita kejalan yang lurus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafus Ṣalih.

D.    Kajian Psikologis, Sosiologis dan Filosofis

Al-Baihaqi berkata dari Ja'far bin Muhammad bahwa beliau ditanya tentang nikah muț’ah dan jawabannya adalah bahwa nikah muț’ah itu adalah zina itu sendiri.
Selain itu nikah muț’ah sama sekali tidak sejalan dengan tujuan dari pernikahan secara umum, karena tujuannya bukan membangun rumah tangga sakinah. Sebaliknya tujuannya semata-mata mengumbar hawa nafsu dengan imbalan uang. Merendahkan harkat perempuan karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka. Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu.    
Apalagi bila dikaitkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang Ṣalih dan Ṣalihah. Semua itu jelas tidak akan tercapai lantararan nikah muț’ah memang tidak pernah bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Tetapi untuk kenikmatan seksual sesaat. Tidak pernah terbersit untuk nantinya punya keturunan dari sebuah nikah muț’ah. Bahkan ketika dahulu sempat dihalalkan di masa Nabi yang kemudian segera diharamkan, para şahabat-pun tidak pernah berniat membentuk rumah tangga dari nikah muț’ah itu.
Ungkapan bahwa nikah muț’ah itu adalah zina dibenarkan oleh Ibnu Umar. Dan sebagai sebuah kemungkaran, pelaku nikah muț’ah diancam dengan hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina. Ibnu Umar telah berkata bahwa Rasulullah memberi izin untuk nikah muț’ah selama tiga hari, lalu beliau mengharamkannya.[36] Lebih lanjut tentang pelaku nikah muț’ah ini, fuqaha dari kalangan sahabat Umar berkata, "Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah muț’ah padahal dia muhșan kecuali aku merajamnya."[37]
Nikah muț’ah identik dengan penyakit kelamin yang memalukan. Dampak negatif dari nikah muț’ah ini seperti yang banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah muț’ah itu memang zina. Sungguh amat memalukan ada wanita yang rapi berjilbab, menutup aurat dan mengesankan dirinya sebagai wanita baik-baik, tetapi datang ke-dokter spesialis gara-gara terkena penyakit khas para pelacur. Na`ŭzu billȃhi min ẓȃlik!
Mereka yang menghalalkan muț’ah, tidak rela anak wanitanya dinikahi secara muț’ah. Ini adalah dalil bahwa nikah muț’ah itu bertentangan dengan fitrah manusia. Seandainya orang-orang yang menghalalkan nikah muț’ah itu punya anak wanita yang disayanginya, dipelihara dengan kasih sayang, dibesarkan dan diberikan pendidikan serta rizki yang cukup, lalu setelah besar hanya dijadikan piala bergilir oleh laki-laki manapun yang mau membayarnya, dengan beberapa uang receh, tentu saja hatinya menjerit untuk menolak nikah muț’ah.
Sungguh aneh melihat ada orang tua yang rela anak perempuannya disetubuhi hanya berdasarkan kesepakatan kontrak dan menerima bayaran dari jasa kenikmatan. Sungguh nikah muț’ah tidak ada bedanya dengan pelacuran yang dilegalkan.
Adapun hikmah atau rahasia dibolehkannya kawin muț’ah waktu itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliyah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.
Nikah muț’ah yang dibolehkan diawal Islam[38] jauh berbeda dengan nikah muț’ah menurut Syi'ah. Nikah Mut'ah Dalam Ajaran Syi'ah dan kesan Negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.
Nikah muț’ah dalam sekte syi'ah memiliki lima syarat, yaitu:
  1. Calon Istri
  2. Calon Suami
  3. Mahar
  4. Batas Waktu
  5. Ijab Kabul.
Nikah muț’ah ini tidak perlu wali dan tidak perlu saksi dan tidak ada hak waris-mewarisi.[39] Kalau ada anak yang lahir akibat muț’ah ini adalah menjadi tanggung jawab ibunya, karena faraj ibunya waktu melakukan nikah muț’ah tadinya sudah dibayar.
Di dalam al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya al-Kulaini, dia menyatakan bahwa Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: "Apa yang aku katakan kepada dia (wanita yang akan dinikahi) bila aku telah berduaan dengannya?" Maka beliau menjawab: "Engkau katakan: Aku menikahimu secara muț’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian." Engkau sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah riḑa dan halal bagi si pria untuk menggaulinya.[40] Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih perawan bila dia riḑa walaupun tanpa izin kedua orang tuanya.”[41]

E.     Dampak Negative Nikah Muț’ah Ala Syi'ah

Diantara dampak negative nikah muț’ah ala syi’ah dapat diketahui sebagai berikut:
1.      Banyak didapati kasusnya adalah, beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah muț’ah itu memang zina;
2.      "Merusak garis nasab manusia”. Dalam nikah muț’ah, suami tidak bisa menceraikan istri sebelum masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu muț’ahnya kepada laki-laki lain tanpa persetujuan istri;
3.      Berpeluang disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka;
4.      Merendahkan harkat perempuan, karena perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.[42]

Ada beberapa perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak yang dimiliki.
Perbedaan tersebut adalah:
  1. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan;
  2. Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan muț’ah, sedangkan nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya;
  3. Boleh muț’ah lebih dari 4 wanita bahkan (tidak terhitung/ribuan), artinya nikah muț’ah tidak membatasi jumlah istri, sedangkan nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang;
  4. Muț’ah selesai (jika habis masa/kontraknya) tanpa ada perceraian; dengan kata lain, bahwa muț’ah dibatasi oleh waktu, sedangkan nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu;
  5. Pasangan muț’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak;
  6. Boleh muț’ah dengan wanita musyrik;
  7. ‘Iddah muț’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan;
  8. Wanita yang di-muț’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya;
  9. Orang yang muț’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhșan);
  10. Boleh muț’ah dengan wanita yang memiliki suami;
  11. Boleh muț’ah dengan pelacur;
  12. Boleh muț’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui);
  13. Tidak ada li’an dalam muț’ah;
  14. Tidak ada Ẓihar dalam muț’ah;
  15. Tidak ada ila’ dalam muț’ah;
  16. Tidak ada nafkah bagi wanita yang di-muț’ah (tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri), nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.
  17. Tidak ada tempat tinggal bagi wanita dalam muț’ah ;
  18. Boleh mensyaratkan dalam muț’ah untuk tidak melakukan jima’, calon istri dalam muț’ah bisa mensyaratkan dalam akadnya untuk tidak sampai ke tidur, sedangkan  dalam nikah sunni tidak boleh mensyaratkan demikian;
  19. Boleh melakukan ‘azl dalam muț’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah;
  20. Tidak ada khulu’ dalam muț’ah;
  21. Boleh muț’ah dengan saudari istri sendiri (ipar) [43]
  22. Nikah muț’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia;
23.  Nikah muț’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi, sedangkan nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi;

Banyaknya perbedaan antara wanita yang di-mut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang di-mut’ah bukanlah istri atau budak, sehingga muț’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan (ketika Rasulullah Saw hidup) [44] maka menjadi haram hukum mut’ah.[45]

F.     Bentuk Ijab Qabul Nikah Mut’ah

Bentuk ijab qabul nikah mut’ah ini dilakukan dengan cara: Calon Wanita Mengucapkan Ijab:

 متّعتك نفسى فى المدّة المعلومة على المهر المعلوم

(Matta’tuka nafsiy fi al-muddati al-ma’lūmaḥ `ala al-mahri al-ma’lumi) artinya: saya mut’ahkan diri saya dengan anda dengan jangka waktu yg diketahui (disepakati ) dan mahar yg diketahui (disepakati), 

Bila calon wanita selesai mengucapkan Ijab maka calon lelaki dengan segera mengucapkan Qabul yaitu dengan kata قبلت (Qabiltu) Artinya “saya terima”, dengan selesainya ucapan ijab qabul maka sahlah kedua calon itu menjadi suami istri dan calon lelaki wajib memberikan maharnya dengan segera. Group ini dibentuk pada tanggal 5 Mei 2010, dan telah dilike oleh 827 orang sampai hari ini. Pada kolom perkenalannya tertulis “Nikah mut’ah dalam Islam dapat menyelesaikan masalah hubungan antar pria dan wanita yang ingin berniat menjauhi dosa besar yaitu berzina. dst……..” Na’uẓubillah min ẓȃlik…..
Padahal Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah  dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikit pun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka” (HR. Muslim). [46]
Hadiś ini juga merupakan salah satu dalil pertimbangan Majelis Ulama Indonesia untuk menetapkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, fatwa ini ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 1997. [47]
KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI Pusat) menyimpulkan bahwa Fatwa MUI Jatim dan Sampang tentang Syi’ah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan. Tak lama berselang, Jalaludin Rakhmat, tokoh Syi’ah yang juga Ketua Dewan Syura IJABI dalam artikelnya “Menyikapi Fatwa tentang Fatwa” di Republika [48] menggugat KH. Ma’ruf Amin dan Fatwa MUI Jatim.
Inti gugatannya: 
Pertama, fatwa yang salah, sama seperti obat yang salah diberikan kepada pasien, alih-alih menyembuhkan, ia justru bisa membunuh. Lebih jauh Jalal menyebut Fatwa MUI Sampang ikut serta membunuh muslim di Sampang dan Fatwa MUI Jatim juga menjadi dasar bagi Pengadilan Tinggi Jawa Timur  untuk memberi tambahan hukuman 2 tahun penjara kepada Tajul Muluk.
Kedua, menurut Jalal, Fatwa MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin mengabaikan dan tidak membaca keputusan Konferensi Islam Internasional di Jordania 4-6 Juli 2005 yang melahirkan Risalah Amman yang poinnya menegaskan bahwa pengikut dua mazhab Syi’ah (Ja’fari dan Zaidi) adalah Muslim sebagaimana pengikut empat mazhab Sunni (Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dan tidak boleh mengkafirkannya.
Menjawab gugatan pertama, fatwa resmi yang dikeluarkan oleh lembaga ulama seperti MUI, terutama menyangkut akidah dan paham agama, adalah dalam rangka meluruskan pemahaman dan membentengi akidah umat.
MUI sangat peka terhadap penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan serius dan sungguh-sungguh, “Penetapan fatwa (MUI” bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI: 5) dan “Setiap usaha pendangkalan agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan terus menerus.”[49] Fatwa MUI berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan kemurnian agama, “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, serta dalil lain yang dianggap mu’tabar.” (Himpunan Fatwa MUI: 5), dan “MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum, terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat Islam Indonesia” (Himpunan Fatwa MUI: 7). Jelasnya, Fatwa tidak pernah dirumuskan untuk menciptakan permusuhan dan apalagi pembunuhan. Fakta ini sangat gamblang untuk direnungkan.

G.    Mengabaikan Akar Masalah

Jalaludin Rakhmat dalam artikelnya sama sekali tidak menyebutkan akar masalah yang memicu keluarnya Fatwa MUI Jatim, yang didahului sebelumnya oleh MUI Sampang tentang ajaran Syi`ah yang dibawa oleh Tajul Muluk di Sampang.
Dalam konsideran Fatwa MUI Sampang disebutkan bahwa Tajul Muluk telah menyebarkan ajaran-ajaran yang terindikasi menyimpang dari ajaran Islam sebagai berikut: 

1.      Mengimani imam yang 12 dan menganggap perkataan mereka sebagai wahyu;
2.      Al-Quran yang ada saat ini dianggap sudah tidak orisinil;
3.      Melaknat sahabat Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar dan Usman;
4.      Ṣalat Jum’at tidak wajib; 
5.      Haji tidak wajib ke Makkah cukup ke Karbala;
6.      Nikah mut’ah dianggap sunnah; 
7.      Hanya taat kepada imam yang 12 dan memusuhi musuh-musuhnya imam yang 12; 
8.      Shalat hanya dilakukan tiga waktu; 
9.      Aurat yang wajib ditutup hanya alat vital saja; 
10.  Salat Tarawih, Ḓuha dan Puasa ‘Asyura haram.[50]

Sebelum keluar fatwa MUI Sampang yang dikukuhkan oleh fatwa MUI Jatim, para ulama Sampang dan Madura terlebih dahulu mengumpulkan para saksi, warga yang pernah mengikuti pengajian-pengajian Tajul Muluk. dari pengakuan para saksi warga, terkumpul 29 poin ajaran yang ditanyakan warga kepada ulama dan dianggap menyimpang. (temuan 50 Ulama Madura, ada 22 poin ajaran yang menyimpang).[51]

Dalam dokumen “Dakwaan Kesesatan yang dituduhkan kepada Tajul Muluk Ma’mun” terungkap beberapa ajaran krusial misalnya:
1.      Mereka menganggap bahwa Kitab Suci Al-Qur’an yang ada pada tangan Muslimin se-alam dunia tidak murni diturunkan Allah, akan tetapi sudah terdapat penambahan, pengurangan dan perubahan dalam susunan ayat-ayatnya (no.4);
2.      Mereka menganggap bahwa semua ummat Islam -selain kaum Syi’ah- mulai dari para Ṣahabat Nabi hingga hari qiamat,  termasuk didalamnya tiga Khalifah Nabi (Abu Bakar, Umar, Usman) dan imam empat Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’ie, Ahmad) termasuk pula Bujuk Batu Ampar adalah orang-orang pendusta, dan beraqidah dengan aqidah bodoh lagi murtad karena membenarkan tiga Khalifah tersebut di dalam merebut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (no.5). [52] Tidak hanya Tajul Muluk, Jalaludin Rakhmat sendiri terbukti banyak sekali melecehkan para Sahabat Nabi. Berikut ini adalah sebagian daftar pelecehan Jalaludin Rakhmat terhadap para sahabat utama Nabi Muhammad Saw yang menjelek-jelekan, melaknat dan bahkan mengkafirkan mereka.
Di dalam buku-buku yang diedit atau ditulisnya sendiri (oleh: Jalaluddin Rakhmat) ditemukan antara lain; “Syiah melaknat orang yang dilaknat Fatimah”.[53] Dan yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar.[54] Para sahabat suka membantah perintah Nabi Muhammad.[55] “Para Sahabat Merobah-robah Agama” [56]Para Sahabat Murtad. [57] Uśman tidak menikahi dua putri Nabi Saw, tapi dua wanita lain. [58] Dia jelas membenci julukan Dzu-Nuraini (pemilik dua cahaya) karena Uśman bin Affan menikah dengan dua puteri Rasulullah Saw. Julukan itu kata Jalal, harus kita hapus (mansukh)! [59] Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kelaliman musuh (Bani Umayyah). [60]
Tentu saja, berbagai tulisan yang bernada melecehkan, menghujat dan mendiskreditkan para sahabat utama Nabi seperti di atas tidak bisa dikatakan tidak sesat! Namun sungguh aneh, para penyokong dan pendakwah Syi`ah seperti Jalaludin Rakhmat dan Haidar Bagir selalu meminta kaum Sunni kedepankan akhlak dan mengangkat persatuan ummat dihadapan ajaran-ajaran yang menyinggung akidah dan perasaan Sunni.
Dalam artikelnya berjudul ‘Wa’tașimŭ bi Hablillȃhi Jamȋ’an’,[61]  Haidar Bagir menyintir perkataan Imam At-Thahawi dalam ‘Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah’  bahwa, “Kita tidak menisbatkan kekafiran, kemusyrikan dan kemunafikan kepada seseorang selama tidak tampak dari mereka sesuatu yang menunjukkan hal-hal demikian itu. Dan sebagai gantinya, kita menyerahkan semua yang tidak tampak itu kepada Allah, kita hanya menghukum berdasar yang tampak saja.”
Tampaknya ia sedang meminta kaum Sunni untuk tidak menghukumi kafir dan seterusnya kepada Syi`ah. Padahal dalam kitab yang sama, jika mau jujur, Imam At-Thahawi sangat keras menghukumi orang yang berani lancang menghujat para sahabat Nabi berdasarkan kaidah “Kita hanya menghukum berdasar yang tampak saja”.
Beliau menulis, “Kita mencintai para sahabat Rasulullah Saw dan tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang mereka, kita juga tidak berlepas diri dari mereka. Kita membenci orang yang membenci mereka (para sahabat) dan yang menyebut mereka tidak baik. Kita tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman dan ihsan. Membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap melampaui batas (țughyȃn).” [62]

H.    Kontroversi Risalah Amman

Gugatan Jalaludin kedua adalah masalah Deklarasi Amman. Seperti disebutkan Jalaludin Rakhmat, sebenarnya bukanlah Ijma’ Ulama dalam pengertian yang fixed dalam ushul fikih. Risalah Amman, juga deklarasi Makkah dan Bogor lebih bersifat politis. Ia dipicu oleh konflik Sunni-Syi’ah di Iraq, pasca tumbangnya Saddam Husain tahun 2003 yang digulingkan oleh AS dan Sekutu yang berkolaborasi dengan kaum Syi`ah Iraq dengan kompensasi politik yang menguntungkan posisi Syi`ah di Iraq pasca Saddam.
Tak pelak terjadi eskalasi kekerasan antara Sunni-Syi’ah, dimana Sunni menuding Syi`ah menyerahkan kedaulatan Iraq kepada Amerika dengan keuntungan politik tertentu, telah membantai ribuan kaum Sunni Iraq dan merampas tanah-tanah wakaf Ahlus Sunnah di Iraq.
Dalam rangka merespons konflik sektarian yang berdarah itu, maka terjadilah upaya-upaya mediasi dunia Islam seperti pertemuan Amman, Makkah dan Bogor.
Bukti bahwa Risalah Amman 2005 itu sekedar basa-basi politis (bukan fatwa keagamaan) dan tidak mengikat seluruh ulama yang hadir, adalah fakta Prof. Dr. Yusuf Al-Qarḑawi yang ikut tercantum namanya (diundang dan menandatangani Risalah Amman) ternyata merilis tiga fatwa tentang Syi`ah Imamiyah 12 didalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009.
Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syi`ah Imamiyah 12 dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan Syi`ah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (Taqrib) sunni-syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qarḑawi (2009) bahwa kaum Syi`ah masih dikategorikan Muslim (seperti yang dinyatakan oleh Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalam hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qarḑawi. Tentu saja Syeikh Al-Qarḑawi lebih alim dan mumpuni daripada Jalaludin Rakhmat, sehingga mampu membedakan mana kekufuran dan kesesatan. Sehingga wajar para ulama MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin juga merasa tak perlu menengok Risalah Amman yang terbukti bukan Ijma Ulama itu.
Ada baiknya kita mengaca kepada sikap institusi Al-Azhar Mesir dalam menyikapi dakwah Syi`ah. Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran syi`ah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas, memecah belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.[63]

I.       Kesimpulan

1.      Muț’ah berarti bersenang-senang atau menikmati. Istilah muț’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya.
2.      Eksistensi hukum nikah muț’ah ada dua pandangan. Pertama; memandang boleh sejauh dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa, artinya bukan halal secara mutlak. Kedua, nikah muț’ah pernah dibolehkan sebelum perang Khaibar dan ketika Fathu Makkah; setelah itu Rasulullah Saw melarang untuk seterusnya hingga kiamat. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Makkah.
3.      Nikah muț’ah yang dibolehkan diawal Islam jauh berbeda dengan nikah muț’ah menurut Syi'ah. Nikah muț’ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.






[1] Jami’ Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan  lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan’ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46)
[2]  ash Shan’ani, Subulus Salam, Loc Cit.
[3] Abi Zakariya al Anshari, Fathul Wahhab, Syarah minhajut tulhab, Syirkah Izamatuddin, juz II,  tt, h. 30 .
[4] Esiklopedi Hukum Islam (editor: Abdul Aziz Dahlan), PT. Ichtiar Baru Van Hove, jilid 4, Jakarta. cet. I, 1966, h. 1329.
[5] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, penerjmh. M. Abdul Ghoffar, E.M, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004, h. 3 ; Lihat, M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i,atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.k6, Mizan, Bandung, 1997, h. 191 
[6] Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. ar-Rum (30): 21)
[7] Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. an-Nahl (16): 72)
[8] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, Op. Cit, 226; Lihat juga: Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2004, h. 40.
[9] Maksudnya: perempuan-perempuan yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya.
[10] Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam QS. An Nisa' ayat 23 dan 24.
[11] Bisa jadi untuk menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
[12] Tafsir Khazin  (Lubab at-Ta’wiil).1, 506.
[13] Sahih Muslim dengan syarah al-Nawawi. 9179, Bab Nikah al-Mut’ah.
[14] Fathu al-Bȃri.19, 200, Kitabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[15]  Tafsir Fathu al-Qadir.1, 449.
[16] Tafsir Ibnu Katsir.1, 474.
[17] HR. Bukhari , 5115, dan HR. Muslim, 1407.
[18] HR Muslim, 9/159, (1406), HR. Ahmad 3/404, HR. Thabrani dalam Al-Kabir,  6536, HR. Baihaqi  7/202,  HR. Ad-Darimi  2/140
[19] HR Muslim, 9/159, (1406).
[20] HR Muslim, 9/157, (1405). dan HR.Muslim 1023
[21] Maksudnya: hamba sahaya (budak-budak) belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, perempuan-perempuan yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini.
[22] Maksudnya: seperti zina, homo seksual, lesbian dan sebagainya.
[23] Mahmud Syukri al Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ariah, h. 228.
[24] Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah sama-sama keturunan  Adam dan Hawa dan sama-sama beriman.
[25] Mahmud Syukri al Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ariah, Loc Cit
[26] al Qurthubi, Jami’ Ahkamil Qur`an, (5/130).
[27] al Qurthubi, Jami’ Ahkamil Qur`an, Dar Syi’ib (5/130-131).
[28] Syarh Ma’anil Atsar (3/27).
[29] Ibnu Hajar Fathul Bari, (9/173).
[30] Khattabi, Aunul Ma’bud, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[31] lihat Muhammad Malullah, asy Syi’ah wal Mut’ah, Maktabah Ibnu Taimiyah, h..19; Mahmud Syukri al-Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ari`ah, h. 227-228 dan Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (II, h. 130-131).
[32] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334).
[33] Imam Malik bin Anas, Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130)
[34] Imam Nawawi, Al-Majmu’ (XVII/356)
[35] Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni,  (X/46)
[36] Lihat; HR Muslim, 9/157, (1405). dan HR.Muslim 1023; dan lihat juga,Tafsir Khazin  (Lubab at-Ta’wȋl).1, 506.
[37] lihat Muhammad Malullah, asy Syi’ah wal Mut’ah, Maktabah Ibnu Taimiyah, h..19
[38] al Qurthubi, Jami’ Ahkamil Qur`an, Dar Syi’ib (5/130-131).
[39] al Qurthubi, Jami’ Ahkamil Qur`an, (5/130).
[40] Al-Mut’ah Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’I,  h. 28-29 dan 31
[41] Tahdzibul Ahkam 7/254.
[42]Islamid. blogspot.com. Nikah Mut'ah Menurut Kacamata Islam,.Diposkan Sabtu, 17 Desember 2011, Akses, Desember 2013; lihat: http://www.voa islam. com/ islamia/aqidah/ 2010/04/06/4744/haramkah-nikah-mutah-yang-diagungkan-syiah/ Posted by Ummu Hanif at 9:52 AM
[43] http.//Nanang Soehendar.blogspot.com/, Nikah Mut`ah, diposkan  Selasa, 17 Januari 2012, Akses 20 Desember 2013
[44] Lihat; QS.Al-Ma`ȃrij (70): 29-31; Lihat, Mahmud Syukri al Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ariah, h. 228.
[45] HR Muslim, 9/159, (1406).
[46] HR Muslim, 9/159, (1406); HR. Ahmad 3/404; HR. Thabrani dalam Al-Kabir,  6536; HR. Baihaqi  7/202;  HR. Ad-Darimi  2/140
[47] Lihat Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Penerbit Erlangga, h.379.
[48] Harian Republika (10/11/2012)
[49] Fatwa MUI, 1 Juni 1980, dalam Himpunan Fatwa MUI: 42.
[50] Fatwa MUI Sampang, tanggal 8 shafar 1433/ 1 Januari 2012.
[51] http://www.hidayatullah.com/ read/ 20495/03/01/2012.
[52] lihat Dokumen Fatwa MUI Jatim dan Sampang tentang Ajaran Tajul Muluk di Sampang, tanggal:  8 shafar 1433/ 1 Januari 2012.
[53] Emilia Renita AZ, dalam “40 Masalah Syiah”. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009.  h. 90.
[54] Jalaluddin Rakhmat , “Meraih Cinta Ilahi”, Depok: Pustaka IIMaN, 2008. h. 404-405.
[55] Jalaluddin Rakhmat dalam “Sahabat Dalam Timbangan Al-Quran, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”, PPs UIN Alauddin, 2009. h. 7.
[56] Jalaluddin dalam artikel di Buletin at-Tanwir, Yayasan Muțahhari, Edisi Khusus No. 298. 10 Muharram 1431 H.  h. 3.
[57] Ibid. h. 4.
[58] Jalaluddin Rakhmat, dalam “Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan)”, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008, h.164.
[59] Ibid, h.165-166.
[60] Jalaluddin Rakhmat dalam “Meraih Cinta Ilahi”, Op Cit, h.493.
[61] Harian Republika 02 Nopember 2012.
[62] Ibnu Abi Al-‘Izz , Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah dan Syarahnya, tt, h. 689.
[63] Penulis adalah Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Red: Cholis Akbar/ hidayatullah.com, Rabu, 14 November 2012

1 komentar:

  1. Golden Nugget - Casino & Resort
    Golden Nugget, Las Vegas (NV). Directions · 광주광역 출장마사지 (702) 770-6711. Call Now · Full menu · More Info. Hours, Accepts Credit Cards, Wi-Fi, PokéStop, 출장안마 PokéStop  Rating: 2 · 천안 출장안마 ‎8 reviews · ‎Price range: $$ (Based on 구미 출장마사지 Average Nightly Rates for a 이천 출장안마 Standard Room from our Partners)Which popular attractions are close to Golden Nugget?What are some of the property amenities at Golden Nugget?

    BalasHapus