Selasa, 17 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB IV)


BAB IV
PERCERAIAN



A.     Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’. [1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”. Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. [2]
Menurut A. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[3]
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab, antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.[4]
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut. Setiap orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula perkawinan yang dibina dengan susah payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal mungkin dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian tersebut.[5]

B.     Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak, sebagaimana dikutip oleh Husni Syams.[6] Menurut Ulama Hanafiyah, rukun talak itu adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Kasani sebagai berikut:
فركن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة على معنى الطلاق لغة وهو التخلية والإرسال ورفع القيد الصريح وقطع الوصلة ونحوه فى الكناية أو شرعا وهو إزالة حل المحلية فى النوعين أو ما يقوم مقام اللفظ [7]
"Rukun talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik secara etimologi, yaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal (mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara' yang menghilangkan halalnya ("bersenang-senag" dengan) isteri dalam kedua bentuknya (raj'iy dan ba'in), atau apapun yang menempati posisi lafal"
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa rukun talak itu dalam pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu şighah atau lafal yang menunjukkan pengertian talak, baik secara etimologi, syar'iy maupun apa saja yang menempati posisi lafal-lafal tersebut.
Menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat, yaitu:
1.      Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia masih kecil.
2.      Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang menjatuhkan talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori lafal sharih atau lafal kinayah yang jelas.
3.      Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang dijatuhkan itu mesti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu pernikahan yang sah.
4.      Adanya lafal, baik bersifat şarih (gamblang/ terang) ataupun termasuk kategori lafal kinayah.[8]

Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun talak itu adal lima, yaitu:

1.      Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah seorang mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh dan talak orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum;
2.      Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama Syafi'iyyah membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a.       Lafal yang diucapkan secara şarih dan kinayah. Diantara yang termasuk lafal şarih adalah al-sarrah, al-firaq, al-țalaq dan setiap kata yang terambil dari lafal al-țalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami berkata kepada isterinya: iżhabi (pergilah kamu) atau ukhruji (keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami itu baru terakad apabila diucapkan dengan lafal-lafal yang şarih ataupun lafal kinayah dengan meniatkannya untuk menjatuhkan talak;
b.      Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara şarih maupun kinayah, boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh orang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada şarih dan kinayah. Isyarat şarih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang banyak, sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat yang hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:

الإشارة المعهودة للأخرس كالبيان باللسان [9]
"Isyarat yang biasanya dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan bagi orang-orang bisu"
c.       Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami tersebut menyerahkan (al-fawiḑ) kepada isterinya untuk menjatuhkan talaknya. Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Țalliqi nafsak (talaklah/ aku talak dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: Țallaqtu (aku talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam menjatuhkan talak.
Jadi dalam pandangan ulama Syafi'iyyah, lafal atau sighah yang merupakan salah satu rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan lafal yang şarih atau kinayah, isyarat bagi orang yang bisu baik dengan isyarat yang şarih maupun kinayah, ataupun melalui penyerahan menjatuhkan talak yang dikuasakan oleh seorang suami kepada isterinya.

3.      Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan. Ulama Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya kesengajaan, yaitu:

a.       Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Țariq, lalu ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Țaliq (wahai yang ditalak). Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah ucapan), maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah ucapannya  sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal yang secara şarih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah;

b.      Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: "Hai wanita yang ditalak" kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur ulama Syafi'iyyah talaknya sah. Namun apabila orang 'ajam (non arab) mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya maka talak itu tidak sah;

c.       Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau, tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya;

d.      Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi ke-absahan seluruh bentuk taşarruf kecuali mengislamkan kafir harbi dan murtad. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat terkuat, unsur paksaan yang menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya hanya unsur paksaan yang termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti ancaman bunuh dan lenyapnya harta, bukan keterpaksaan relative seperti dikurung atau tidak diberi makanan. Ketentuan tersebut berdasarkan kepada Hadis Nabi Saw berikut:

عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه (رواه ابن ماجة والحاكم . [10]

"Diterima dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi Saw bahwa ia bersabda: Sesungguhnya Allah Swt mengangkatkan dari umatku dari sifat tersalah, lupa dan apa saja yang dipaksakan kepadanya" (H.R. Ibnu Majah dan al-Hakim)
e.       Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat. Gilanya seseorang dapat menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk taşaruf. Ketentuan tersebut didasarkan kepada hadis Nabi Saw:

عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق (رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم وأخرجه ابن حبان .[11]

"Diterima dari Aisyah r.a., dari Nabi Saw bahwa ia bersabda: Dibebaskan dari tiga macam kewajiban, yaitu dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau sadar" (H.R. Ahmad dan al-Arba'ah kecuali al-Tirmiżi. Hadis ini dianggap şahih oleh al-Hakim dan juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban)
4.      Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan talak itu kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya sah. Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada faḑalat tubuhnya seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah;

5.      Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami berkata kepada seorang wanita yang bukan isterinya: Anti țalliq (kamu wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa 'iddah talak raj'i, maka talaknya baru dianggap sah. Bahkan menurut ulama Syafi'iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita yang bukan isterinya: In nakahtuki fa anti țalliq (jika aku menikahimu maka kamu adalah wanita yang ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka, ucapan yang dikaitkan dengan syarat-pun juga tidak sah, sebab ketika ia mengucapkannya, wanita tersebut tidak berada dalam kekuasaannya. [12] Karena itu, dapat dipahami bahwa dalam menetapkan rukun talak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu hanya satu, yaitu lafal yang menunjukkan makna talak, baik secara etimologi dalam kategori şarih atau kinayah, atau secara syar'i, atau tafwiḑ (menyerahkan kepada isteri untuk menjatuhkan talaknya).
Menurut ulama Malikiyyah rukun talak ada empat, yaitu:
1.      orang yang berkompeten menjatuhkan talak;
2.      ada kesengajaan menjatuhkan talak;
3.      wanita yang dihalalkan; dan
4.      Adanya lafal, baik şarih maupun kinayah.

Menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima, yaitu:
1.      orang yang menjatuhkan talak;
2.      adanya lafal talak;
3.      adanya kesengajaan menjatuhkan talak;
4.      adanya wanita yang dihalalkan; dan
5.      menguasai isteri tersebut.
Apabila diperhatikan secara seksama, sebenarnya rukun talak yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah itu relatif sama substansinya dengan formulasi rukun talak yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana formulasi menguasai isteri yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah telah tercakup kedalam rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang dikemukakan ulama Malikiyyah. Oleh karena itulah, dalam sebagian literatur persoalan ini diklasifikasikan kepada pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.[13]

C.    Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 KHI adalah:
1.      Karena Țalaq.
a.       Pengertian dan dasar Hukum Talak
Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak (țalaq),[14] Kata Țalaq diambil dari kata ițlaq yang berarti melepaskan atau menanggalkan, [15] semakna dengan kata talak itu, adalah al-irsȃl atau tarku, yang berarti melepaskan dan menanggalkan.[16] yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri; atau secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan. Meskipun Islam memperkenankan perceraian, jika terdapat alasan-alasan yang kuat baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.[17] 
Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi; Sebagaimana  HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر قال قال رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) إن أبغض الحلال الى الله عز وجل الطلاق ـ (رواه أبو داود)   [18]

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Țalaq, adalah merupakan perkara halal yang paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).

Menurut Muhammad Ismail al-Kahlani, țalaq adalah:
الطلاق : حل الوثاق مشتق من الأطلاق وهو الأرسال والترك
Țalaq menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ițlaq yaitu melepaskan, menanggalkan” [19]

Menurut Wahbah Zuhaily, țalaq ialah:
الطلاق لغة حل القيد والاطلاق
Țalaq menurut bahasa ialah membuka ikatan atau melepaskan”[20]

Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa țalaq itu dapat dipahami sebagai berikut: “Țalaq menurut istilah syara’ ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”[21] 
Maksudnya ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan țalaq kepada isterinya.
Memperhatikan beberapa pengertian țalaq di atas baik secara bahasa maupun istilah dapat diambil dipetik pemahaman, bahwa yang dimaksud dengan țalaq adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang ditetapkan.
Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau dilepaskan, maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal ini terjadi bila suami melaksanakan țalaq ba’in. Tapi apabila suami melaksanakan țalaq raj’i maka hak țalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami memiliki hak menjatuhkan țalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan menjadi satu. Dengan kata lain țalaq raj’i adalah mengurangi pelepasan ikatan perkawinan.
Islam menentukan bahwa țalaq merupakan hak sepenuhnya yang berada ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami boleh menjatuhkan țalaq kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah kecuali al-Nasȃ'i sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهز لهن جد النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)
"Dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Ada tiga perkara sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-sungguh, dan main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, țalaq, dan rujuk " (diriwayatkan oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasȃ'i dan di-şahih-kan oleh Hakim).[22]
Pengertian perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991) telah dijumpai dalam Pasal 117, yaitu: “Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, 130, 131”.[23]
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hal-hal mengenai perceraian telah diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang isinya sebagai berikut: "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."[24]
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang termaktub di atas maka yang dimaksud dengan perceraian disini adalah proses pengucapan ikrar talak yang harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan Agama,. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar persidangan, maka talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,[25] sebagaimana disebutkan dalam Pasal 113 KHI.
Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian (cerai gugat). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[26] Sehingga KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan dihadapan sidang Pengadilan. Tampaknya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat (1):
“Seseorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.[27] 

Mencermati pengertian talak di atas, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat perceraian yang bernama talak, yakni:
1)      Kata “melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan perkawinan;
2)      Kata “ikatan perkawinan” mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang selama ini terjadi antara pasangan suami dan istri;
3)      Kata “dengan lafaz ța-la-qa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang digunakan adalah kata-kata țalaq tidak dengan: putus perkawinan, bila tidak dengan cara mengucapkan ucapan tersebut, seperti halnya putusnya perkawinan karena kematian.
b.      Macam-macam Talak
Talak dibagi kepada dua macam, sebagai berikut:
1)      Talak Raj’i; Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri tanpa kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada isteri yang telah digauli.[28] Dengan demikian, yang dimaksud dengan talak raj’i adalah: talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isteri sebagai talak satu atau dua, yang di ikrarkan di depan sidang Pengadilan, dan suami diperbolehkan meruju’nya bila masih dalam masa iddah, tanpa diharuskan nikah baru. Hal ini sesuai dengan firman Allah, QS. Al- Baqarah (2): 229

ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xƒÎŽô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”

2)      Talak Ba’in; secara etimologi, ba’in adalah nyata, jelas, pisah atau jatuh, yaitu talak yang terjadi karena isteri belum digauli oleh suami, atau karena adanya bilangan talak tertentu (tiga kali), dan atau karena adanya penerimaan talak tebus (khulu’),[29] meskipun ini masih diperselisihkan fuqaha, apakah khulu’ ini talak atau fasakh.
Talak ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu ba’in şugra dan ba’in kubra.
a)      Ba’in şugra adalah talak yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru (tajdid an-nikah) kepada bekas isterinya. Yang dimaksud menghilangkan hak-hak rujuk, seperti suami tidak diperkenankan rujuk kepada isterinya yang ditalak, hingga masa iddahnya habis. Suami diperbolehkan kembali kepada isterinya namun diharuskan nikah baru (tajdid an nikah) dan juga mahar baru (tajdid al mahr).
b)      Ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya telah kawin dengan laki-laki lain dan telah berkumpul sebagaimana suami isteri secara nyata dan sah, dan juga isteri tersebut telah menjalani masa iddahnya serta iddahnya telah habis pula.
      Allah berfirman QS. Al-Baqarah (2): 230
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî
        “maka apabila suami mentalaknya, sesudah talak yang kedua, maka perempuan itu tidak halal baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain”.

Perlu diperhatikan juga,  bahwa hendaklah pernikahan yang kedua itu benar-benar menurut kemauan laki-laki yang kedua, dan benar-benar dengan kemauan perempuan, bukan kehendak suami yang pertama. Tegasnya bukan dengan maksud supaya ia dapat menikah kembali dengan laki-laki yang pertama, memang betul-betul dengan niat akan kekal sebagaimana pernikahan pada umumnya.

Dilihat dari waktu mengucapkannya, dibagi kepada talak sunni dan talak bid’i.
a)      Talak sunni, adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuai dengan yang telah digariskan oleh syara).[30] Dalam formulasi fikih Syafi'iyyah terjadi perbedaan pendapat dalam mendefenisikan talak sunni tersebut. Sebahagian ulama syafi'iyyah mendefenisikan talak sunni, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad al-Hashari berikut:[31]

"Talak Sunni adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah) disetubuhi dan dijatuhkan pada waktu suci serta belum disetubuhinya pada waktu suci tersebut, bukan (dijatuhkan) pada waktu haid, wanita itu tidak dalam keadaan hamil, anak kecil dan tidak pula wanita monopouse, sementara ber'iddah dengan quru[32]
Menurut sebahagian ulama Syafi'iyyah yang lain, talak sunni adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang dijatuhkan pada waktu suci dan ia belum disetubuhi pada waktu suci tersebut.[33] Adapun talak yang dijatuhkan kepada isteri yang masih kecil (sebelum Baligh), sudah tua yang telah monopouse, hamil atau isteri yang belum disetubuhi, menurut kelompok ini, tidak dinamakan talak sunni dan tidak pula bid'iy tetapi antara keduanya. [34]
Perbedaan antara mendefinisikan talak sunni di atas disebabkan perbedaan dalam mengklasifi-kasikan bentuk kategori. Kelompok pertama mengklasifikasikan talak dalam kategori: Talak sunni dan talak bid'iy. Sedangkan kelompok kedua mengklasifikasikannya kepada: talak sunni, talak bid'iy, dan kelompok ketiga mengkatagorikan bukan talak yang bukan sunni dan bid'iy.
Ulama Hanabilla, mengemukakan bahwa, talak sunni adalah:
طلاق السنة هو أن يطلقها من غير جماع واحدة ثم بدعها حتى تنقض عدنها [35]          
"Talak sunni adalah seseorang menjatuhkan talak kepada isterinya yang belum distubuhinya (pada waktu suci itu) satu kali, kemudian ia meninggalkan isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya "
Ulama Hanafiyyah, mengklasifikasikan talak sunni tersebut kepada dua kategori, yaitu talak ahsan (lebih baik) dan talak hasan (baik).[36] Substansi yang membedakan antara kedua macam talak sunni yang dikemukakan oleh ulama Hanfiyyah di atas (ahsan dan hasan) terletak pada jumlah talak; yang dijatuhkan satu kali sampai habis masa 'iddahnya, maka talak sunni itu dinamakan sunni ahsan. Namun apabila dijatuhkan tiga kali pada waktu tiga kali suci maka dinamakan dengan talak sunni hasan. [37]
Ulasan ulama Hanafiyyah, yang membedakan antara talak sunni ahsan dan talak sunni hasan tersebut didasarkan kepada riwayat yang diterima dari Ibrahim al-Nakh'i yang menjelaskan bahwa para sahabat Rasulullah Saw menyukai talak hanya satu sampai habis masa 'iddah isterinya. [38] Dan seorang suami hanya menjatuhkan satu talak sampai habis masa 'iddah isterinya, lebih memberi peluang kepada suami tersebut untuk menyesali tindakannya.
Karena itu menurutnya, tidak dapat disamakan antara talak sunni ahsan, yaitu menjatuhkan satu talak, dengan talak sunni hasan, seorang suami menjatuhkan talak isterinya tiga kali pada masa tiga kali suci.
Apabila diperhatikan formulasi fikih tentang talak sunni yang telah ditemukan oleh para ulama terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa kategori talak sunni ahsan versi ulama Hanafiyyah tersebut jelas merupakan talak sunni menurut Jumhur Ulama. Namun kategori talak sunni hasan versi ulama Hanafiyyah itu, sudah termasuk talak bid'iy menurut ulama Malikiyyah dan ulama Hanabillah.[39] 

Alasan lain yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yang menyatakan talak sunni ahsan adalah firman Allah Swt QS. al-Țalaq (65): 1, dan Hadis Nabi Saw.
يا أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن...

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…” (QS. al-Țalaq (65): 1)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt menyuruh Nabi-Nya untuk menjatuhkan talak isterinya pada waktu mereka dapat menghadapi 'iddahnya. Menurut mereka, bukankah 'iddah meraka tiga kali suci dan oleh karenanya talak boleh dijatuhkan setiap kali suci itu, asalkan pada waktu suci tersebut wanita itu belum disetubuhinya.
Pemahaman ulama Hanafiyyah tersebut didukung oleh Hadis Nabi Saw berikut:

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسلم صلى الله عليه وسلم فسأل عمر بن الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء (متفق عليه)[40]

"Dari Abdillah Ibnu 'Umar, bahwa sesungguhnya ia menjatuhkan talak isterinya, sementara isterinya itu dalam keadaan haid, pada masa Rasulullah Saw. Lalu 'Umar Ibn al-Khattab menanyakan hal itu kepada Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepada 'Umar Ibn al-Khatab: suruh ia dan hendaknya ia rujuk kepada isterinya, kemudian hendaklah ia meninggalkannya sampai ia suci, kemudian haid, kemudian suci lagi. Selanjutnya, jika ia mau peganglah ia dan jika ia mau talak dia sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang diperintahkan oleh Alllah 'azza wa jalla untuk menjatuhkan talak pada wanita"
Menurut ulama Hanafiyyah tersebut, bahwa Rasulullah Saw menyuruh 'Umar untuk merujuk isterinya pada waktu suci. Kemudian apabila masa haid setelah masa suci tersebut telah berlalu maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih antara; tetap memegangnya atau menceraikannya. Hal ini menurut mereka mengindikasikan bolehnya menjatuhkan talak sampai tiga kali pada waktu setiap kali suci.
Hadis Nabi Saw yang terkait dalam masalah ini, sebagai berikut:

عن عبد الله أنه قال طلاق السنة تطليقة وهي طاهر في غير جماع فإذا حاضت وطهرت طلقها أخرى فإذا حاضت وطهرت طلقها أخرى ثم تعتد بعد ذلك بحيضة (رواه النسائي)[41]

"Diterima dari Abdullah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Talak sunni adalah bahwa seseorang menjatuhkan talak isterinya satu, sementara isterinya itu dalam keadaan suci yang belum disetubuhi (pada waktu suci itu). Apabila masa hainya telah berlalu dan telah datang pula masa sucinya, ia mentalak lagi isterinya itu. Kemudian ia menunggu berlalunya satu kali masa haid lagi"
Talak sunni menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Hashari sebagai berikiut:
هو أن يطلق الرجل امرئته فى طهر ثم يطأها فيه [42]
"Talak sunni ialah seorang suami menjatuhkan talak isterinya pada waktu suci yang pada masa suci itu isterinya belum disetubuhinya"
Diadalam Kompilasi Hukum Islam[43], talak raj'iy juga dijelaskan yaitu, talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa 'iddah, kecuali talak yang jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul

Dikategorikan sebagai talak sunni apabila memenuhi 3 syarat, yaitu:
1)      Isteri yang ditalak sudah pernah dikumpuli, apabila talak dijatuhkan kepada isteri yang belum pernah dikumpuli tidak termasuk talak sunni;
2)      Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu isteri dalam   keadaan suci dari haid;
3)      Talak dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci.
Hal ini dapat berdasarkan Firman Allah QS. Aț-Țhalȃq (65):  1
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù  ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6­/u   
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[44] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”.

b)      Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuatau yang dilarang syara') [45]. Artinya, talak bid'iy tersebut dijatuhkan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan syara'. Akan tetapi, dalam menjelaskan talak yang termasuk dilarang dalam kategori syara' itu, para ulama berbeda pendapat.
Ulama Malikiyyah membagi talak bid'iy kepada dua bagian, yaitu:
1)      Talak yang haram dijatuhkan; yaitu talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang memenuhi persyaratan berikut:
a)      Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan haid atau nifash. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah, wanita haid atau nifash baru boleh melakukan ibadah yang sifatnya ta'abudiyyah setelah ia mandi, disamping telah habis keluar darah haid dan nifas. Maka ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah terputus darah haid dan nifasnya dan belum mandi, maka hukumnya termasuk kedalam kategori haram.
Mengenai isteri yang tidak haid, seperti wanita yang telah monopouse atau tidak/belum haid, maka termasuk kategori talak bid'iy yang diharamkan baginya, tidak ada dalam poin ini, namun hanya pada dua bentuk yang terakhir.
b)      Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya tiga kali pada satu tempat, baik isteri itu pada masa haid atau dalam masa suci. Namun tentu saja menjatuhkan talak tiga kepada isteri ketika ia berada dalam masa haid, berarti ia melakukan dua dosa sekaligus, yaitu menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang berada dalam masa haid;
c)      Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya sebagai talak saja, misalnya, seorang suami berkata kepada isterinya; Engkau tertalak sebagian talak, atau suami tersebut menjatuhkan talak kepada sebagian anggota tubuhnya saja, seperti suami tersebut berkata: "tangan kamu tertalak";
2)      Talak yang makruh dijatuhkan.
Yang termasuk talak bid'iy yang makruh dijatuhkan, terwujud dengan dua syarat, yaitu:
a)      Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya pada masa suci yang telah disetubuhinya pada masa suci itu;
b)      Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya dua kali pada satu tempat. [46]

Menurut ulama Syafi'iyyah, talak bid'iy itu terbagi dua, yaitu:
a)       Suami tersebut menjatuhkan talak kepada istrinya yang telah disetubuhi pada masa haid. Ketentuan ini mereka dasarkan kepada firman Allah QS. Aț-Țhalȃq (65):  1, ”hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya”. Sebab pengharaman menjatuhkan talak dalam bentuk ini, karena akan memuḑaratkan istrinya;
b)      Suami tersebut menjatuhkan talak istrinya pada masa suci namun pada masa suci itu ia telah menyetubuhi istrinya; hal ini karena ada kemungkinan istrinya hamil. Oleh karenanya akan menyulitkan masa 'iddah-nya, apakah sampai melahirkan atau dengan menggunakan qurû'. Di samping itu ada kemungkinan suami itu akan menyesal karena ia akan berpisah juga dengan anaknya.[47] Ulama Hanabilah sepakat dengan ulama Syafi'iyyah. [48]

c)      Țalak lȃ Sunni walȃ Bid’i, ada beberapa talak yang termasuk talak lȃ Sunni walȃ Bid’i, diantaranya adalah:

1)      Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah didukhul (disetubuhi);

2)      Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid atau isteri telah lepas dari masa haid (menopause);

3)      Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang hamil.[49]

Ditinjau dari segi lafaẓ (redaksi) yang digunakan untuk menjatuhkan talak, yaitu talak şareh dan talak kinayah
Talak şareh adalah talak yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya dengan mempergunakan kata-kata at-Țalak, al-firȃq atau as sara. Ketiga kata ini adalah jelas artinya adalah menceraikan isteri. Dengan menggunakan redaksi ini walaupun tanpa niat jatuh talak secara hukum.[50]
Talak kinayah adalah talak yang dilakukan seorang suami kepada isterinya dengan menggunakan kata-kata selain kata-kata pada lafaẓ şareh. Seorang suami mentalak isterinya dengan menggunakan lafaẓ kinayah (sindiran) jatuh talaknya apabila suami tersebut niat bahwa perbuatannya tersebut adalah ucapan yang bertujuan untuk mentalak isterinya.
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi’i, apabila seorang suami menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak, maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah mempunyai makna ganda (makna talak dan selain talak) dan yang dapat membedakannya hanya niat dan tujuannya.[51]
Ditinjau dari cara menyampaikan redaksi talak, yaitu: talak dengan ucapan, dengan tulisan, dengan isyarat dan dengan utusan.

1). Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya dengan menggunakan ucapan lisan sendiri dihadapan isterinya secara langsung dan didengarkan langsung oleh isterinya;

2). Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan suami kepada isterinya secara tertulis kemudian dibaca oleh isterinya dan memehami maksud dan isinya;

3) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat seorang suami yang tuna wicara kepada isterinya dihadapan isterinya secara langsung dan ia paham terhadap maksud serta isyarat suaminya itu;

4) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya dengan melalui prantara orang lain sebagai utusan suami untuk menyampaikan maksud mentalak isterinya. Talak dengan utusan ini diharuskan ada saksi, demikian ini untuk dijadikan dasar sampai dan tidaknya utusan yang dimaksud kepada isterinya yang akan menerima talak dari suaminya.

Secara yuridis, perceraian telah diatur dalam UU tentang perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa “putusnya suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan Pengadilan”.[52] Kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan karena perceraian (cerai talak), adalah berbeda halnya dengan putusnya perkawinan karena (cerai gugat) atau karena kematian.
Ditegaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.[53] Dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, [54]  hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal 38 undang-undang tersebut.

b.      Gugatan Perceraian
Putusnya perkawinan karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-śaub” yang berarti melepaskan atau mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi laki-laki, dan juga sebaliknya.[55] Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2): 187.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri membayar uang ‘iwaḑ atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan pernyataan cerai atau khulu’.[56] Karena itu, Jika suami berlaku kejam, maka isteri dapat meminta cerai (khulu’) dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut baginya.Islam telah memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.[57] Hal ini berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 229:
÷bÎ*sù ÷LäêøÿÅz žwr& $uKÉ)ムyŠrßãn الله Ÿxsù yy$oYã_ $yJÍköŽn=tã $uKÏù ôNytGøù$# ¾ÏmÎ/ 3 y7ù=Ï? ߊrßãn الله Ÿxsù $ydrßtG÷ès? 4 ...
“Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan (oleh isteri) untuk menebus dirinya.  [58]Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya… “

 Bila terjadi cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.[59]
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah merupakan țalaq ba’in. Maka bila suami telah melakukan khulu’ terhadap isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada isteri, sekalipun isteri rela menerima kembali uang iwaḑ yang telah dibayarkannya. Jika isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c.       Perceraian Karena Sebab lain
1)      Putusnya perkawinan karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun pengertian fasakh menurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri.[60] Thalaq adalah hak suami; khulu’ merupakan hak isteri; sementara fasakh merupakan hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka hak fasakh ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai yang ditentukan agama sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.

2)      Putusnya perkawinan karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan. Sementara secara terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga terhadap suaminya.
Mencermati definisi tersebut, dapat dipahami bahwa Suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknat oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.

3)      Putusnya perkawinan karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. An-Nisȃ (4): 35

“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai (hakam) dari keluarga perempuan. Jika keduanya (hakam itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha teliti” (QS. An-Nisȃ (4): 35).

Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa bila keutuhan rumah tangga suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak mungkin diatasinya, maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak. Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak berhasil mendamaikannya.




4)      Putusnya perkawinan karena Ila’
Ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-țalaq ataupun diceraikan; sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak ada ketentuan yang pastian.
Berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
a)      Suami yang meng-ila’ isterinya, batas waktunya paling lama hanya empat bulan;
b)      Kalau batas waktu itu habis, maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya.

Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kaffarah. Kaffarah sumpah ila’ sama dengan kaffarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam QS. Al-Maidah (5): 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:

a.       Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu; atau
b.      Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin; atau
c.       Memerdekakan seorang budak; atau kamu tidak sanggup juga maka
a.       Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
5)      Putusnya perkawinan karena Ẓihȃr
Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri. Ẓihȃradalah salah satu bentuk perceraian di zaman jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi dan juga tidak menginginkan isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya isterinya telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam ẓihar itu tidak lagi dibenarkan, karena men-ẓihar isteri dengan menyamakannya dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami yang terlanjur men-ẓihar isterinya agar menarik kembali men-ẓihar nya dengan diwajibkan membayar kaffarat (denda) dengan memerdekakan seorang budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika suami tidak mampu memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika juga tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Mujȃdalah (58): 3 dan 4

“Dan mereka yang men-ẓihar isterinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujȃdalah (58): 3)
   
“Maka barangsiapa yang tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa yang tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya, akan mendapat azab yang sangat pedih”. (QS. Al-Mujȃdalah (58): 4)

Sekiranya suami tidak ingin kembali lagi kepada isterinya, agar isterinya tidak terkatung-katung, maka suami diberi waktu 4 (empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali kepada isterinya dengan membayar kaffarat ataukah akan menceraikan isterinya, maka dalam hal ini isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dengan demikian hakim dapat mengabulkan gugatan isteri  bila terbukti kebenarannya.

6)      Putusnya perkawinan karena meninggal dunia (kematian)
Putusnya perkawinan karena kematian, terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan meninggal dunia, apakah itu suami atau istri, yang lebih dulu atau pun para pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.
Putusnya perkawinan karena kematian, merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini. Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari Allah.[61] Putusnya perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai mati.[62]
Berdasarkan Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan menjadi putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. Namun, dalam UUP tersebut tidak disebutkan secara khusus definisi dari cerai hidup dan cerai mati.
Cerai hidup dan cerai mati dapat kita temui dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni dalam beberapa pasal berikut:
Pasal 8:
Putusnya perkawinan selain “cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk, atau putusan taklik talak.
Pasal 96:
(1)   Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama;
(2)   Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhnya sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya[63] habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.

7)      Putusnya Perkawinan karena Putusan Pengadilan

Putusnya Perkawinan karena putusan Pengadilan ini, sebagaimana ditunjukkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), Pasal 114 dan Pasal 115.
Menurut Pasal 115 menyatakan bahwa: perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak ber-hasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan istri),
Kekuasan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) dilakukan dan dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.[64] Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah MA ini merupakan penyelenggara kekuasaan di bidang yudikatif. Oleh karena itu secara konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (state court). [65]
Masing-masing lingkungan peradilan terebut memiliki wewenang mengadili perkara dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum merupakan peradilan yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana bagi rakyat pada umumnya. [66]
Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan diantaranya: Paradilan Umum, sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 jo. UU. No. 8 Tahun 2004 jo. UU. No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum hanya berwenang mengadili perkara pidana dan perdata (perdata umum dan khusus). Sehingga Pengadilan Negeri sebagai bagian dari Peradilan Umum sebagaimana yang telah disebutkan pada Pasal 50 dan 51 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum memiliki kewenangan diantaranya, yaitu di bidang perdata umum. Kewenangan yang dimilikinya itu berlaku bagi rakyat pada umumnya. Salah satu diantara sengketa perdata umum yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri adalah sengketa di bidang perceraian bagi rakyat yang bukan beragama Islam. Terjadinya sengketa perceraian di kalangan rakyat yang bukan beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Negeri dalam memeriksanya.
Pengadilan Agama, sebagai salah satu lembaga Peradilan Khusus merupakan lembaga yang memiliki tugas dan fungsi dalam menyelesaikan sengketa yang muncul dikalangan orang-orang yang beragama Islam. Dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Peradilan Agama memiliki wewenang terhadap persoalan yang menyangkut dengan perkawinan, kewarisan, wakaf, sadaqah, wasiat, hibah, dan sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah.
Kekuasaan Pengadilan itu diatur dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989, dan di dalam ketentuan Pasal 49 dinyatakan:
(1)  Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;, c. Wakaf dan shadaqah;
(2)  Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku;
(3)  Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Salah satu cakupan kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah bidang perkawinan. Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah, terutama sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974. Menurut penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain adalah:

1.      Izin beristeri lebih dari satu orang;
2.      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3.      Dispensasi kawin;
4.      Pencegahan perkawinan;
5.       Penolakan perkawinan oleh PPN;
6.      Pembatalan perkawinan;
7.      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8.      Perceraian karena țalaq;
9.      Gugatan perceraian;
10.  Penyelesaian harta bersama;
11.  Mengenai penguasaan anak;
12.  Ibu dapat memikul biaya pemeliharan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13.  Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14.  Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15.  Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16.  Pencabutan kekuasaan wali;
17.  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
18.  Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19.  Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20.  Penetapan asal usul seorang anak;
21.  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22.  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain;

Dari 22 perkara tersebut, terdapat enam perkara yang relatif cukup besar diterima dan diselesaikan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, dua perkara perkawinan dan empat perkara perceraian. Perkara perceraian tersebut meliputi penetapan izin ikrar țalaq, ta’lik țalaq, fasakh, dan perceraian.

D.    Alasan Perceraian
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan undang-undang. Dalam kaitannya dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan istilah “perceraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan. [67]

Alasan Perceraian Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 209 KUH Perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah:
1.       Zina, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinaan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinaan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinaan.
2.       Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 KUH Perdata gugatan itu baru dapat diajukan  setelah lampau lima tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalam rumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
3.       Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
4.       Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 5 ditegaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a.       Kekerasan fisik;
b.      Kekerasan psikis;
c.       Kekerasan seksual; 
d.      Penelantaran rumah tangga”.[68]
Alasan Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan lahirnya Undang-undang Perkawinan  No. 1 tahun 1974 yang diundangkan tanggal 2 Januari 1974 sebagai hukum positif dan berlaku efektif setelah disahkannya  Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan pelaksanaan Undang-undang perkawinan, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan dengan semena-mena seperti yang terjadi sebelumnya.
Alasan-alasan perceraian menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan dalam Pasal 39.  [69] Dari ketentuan Pasal 39 ayat 2 ini maka perceraian akan dikabulkan oleh hakim hanya jika ada cukup alasan, artinya bahwa sebuah perceraian tidak serta merta digantungkan pada kehendak pihak yang menginginkannya, namun harus ada cukup alasan. Apa saja yang dimaksud dengan alasan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut pada UU Perkawinan, untuk itu kita harus melihat penjelasannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975), dalam Pasal 19 dikatakan:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai suami isteri;
f.        Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
"Alasan atau alasan-alasan" artinya, perceraian dapat diajukan berdasarkan satu alasan saja atau dapat pula berdasarkan lebih dari satu alasan/akumulasi dari yang ditentukan tersebut. Alasan atau alasan-alasan itulah yang nantinya akan diuji oleh majelis hakim dalam agenda pembuktian di persidangan.
Secara tidak langsung ketentuan tentang alasan perceraian ini memberikan perlindungan kepada istri yang sering kita dengar mendapatkan pernyataan "cerai liar" dari suami tanpa suatu proses peradilan. "Cerai liar" [70] atau yang lebih dikenal dengan (Cerai di bawah tangan) yang dilakukan suami tidak didepan sidang pengadilan yang ditetapkan untuk itu, dengan demikian tidak dapat menguji alasan dari sang suami menceraikan sang istri. Proses pengujian di sidang pemeriksaan Pengadilan inilah yang melindungi pihak istri dari pernyataan "cerai liar" yang dilakukan suami yang dilakukan secara serampangan, tanpa alasan dan tanpa pembuktian.









[1]Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz. 11, h. 175
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT. Liberti, 2004), h. 103
[3]Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta No. 52 Th. XII 2001 h.7
[4] Lihat,  Pasal 113 Kompilasi  Hukum  Islam
[5] Lihat, Hadis yang dikemukakan oleh Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam  tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
[7] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, h. 98
[8] Menurut Ibn Juza (ulama Malikiyah), rukun talak ada tiga, yaitu al-muthalliq (suami), al-muthallaqah (isteri, dan al-shighah (lafal atau yang menempatinya secara hukum); Lihat dalam: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 361-362
[9]Muhammad al-Zarqa`, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1996), cet. Ke-4, h. 351
[10] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 176. Lihat juga: Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 659
[11] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 180-181; Lihat juga: Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 658.
[12] Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab al-Imâm al-Syâfi'iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289; Lihat juga: Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Jilid 4, h. 2
[13] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 280; Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 264.
[14] QS.At-Talaq (65): 1-7; QS. Al-Baqarah (2): 229; QS. An-Nisa’ (4): 21
[15] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 9
[16] Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam,  Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin, Ciputat, Lembaga penelitian UIN, Jakarta,  2008
[17] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), h. 8
[18] Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam  tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
[19] Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Pustaka Dahlan, 1987), jilid 3, h. 168
[20] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik, Dar al-Fikr, 1989), juz. VII, h. 356
[21] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. (Bandung: al-Ma’arif, 1998), jilid 8, h. 9
[22] Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, Terj. (Bandung : Dahlan, t.th), h. 175
[23] Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 112; Lihat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab XVI Pasal 117; Putusnya Perkawinan Bagian kesatu umum. Pasal 115, h. 21.
[24] Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab XVI Putusnya Perkawinan Bagian kesatu umum. Pasal 115, h. 21.
[25] Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), h. 171. Selanjutnya disebut Ali Hasan, Pedoman Hidup.
[26] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. 2, h. 152.
[27] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, h. 221; Lihat, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 66 ayat (1).
[28] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’, Semarang, 1990, h. 476
[29]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’, Semarang, 1990, h. 477
[31]Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 653;
[32] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 653
[33] Musthafa Dib al-Bagha, al-Tawzhîb fi Adillaħ min al-Ghâyaħ wa al-Taqrîb, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, h. 173
[34] Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy, (Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz 18, h. 277-278
[35] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 243.
[36] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88. Lihat juga: al-Hasariy, ibid., h. 212;
[37]Lihat, Burhan al-Din Abi al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah Syarh Bidayat al-Mubatadi`, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz 1, h. 247; Lihat Juga: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 426
[38] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 212; Lihat juga, 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88.
[39] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88; Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 213.
[40] Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 2, h. 1093
[41] Al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid 3, h. 102
[42] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 246.
[43] Lihat, Pasal 163 ayat (1) dan  (2) Kompilasi Hukum  Islam
[44] Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Tentang masa  iddah, lihat QS. Al-Baqarah (2): 228, 234; dan QS. aț- Țalaq (65):  4.
[45] Lihat, Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 425; dan Lihat, Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 231
[46] Abdurrahman al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Juz 4, h. 300-301
[47] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 430
[48] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 431
[49] Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Cet I, 1993, h. 137
[50] Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Cet I, 1993, h. 138
[51] Alhamdani, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta, 1980, h. 184
[52] Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[53] Lihat Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[54] Pembedaan antara cerai thalaq dan cerai gugatan ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 14 sampai dengan pasal 36. Pasal 14 sampai dengan pasal 18 adalah mengatur tentang cerai thalaq, sementara pasal 20 sampai dengan pasal 36 adalah mengatur tentang cerai gugatan. (hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan Penjelasan atas PP No. 9 Tahun 1975).
[55] Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu-pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah (2): 187)
[56] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Grup 2010),  h. 220
[57]Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. (Jakarta:Prenada Media Grup. 2010),  h. 220; Lihat, Zakiah Daradjat, (et al) Ilmu Fiqh, jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),  h. 192; Depag RI, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1984/1985), cet,2, h. 251.
[58]Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwaḑ. Khulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwaḑ.
[59] Dasrizal Dahlan, Putusnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Perdata Barat (BW); Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta : PT. Kartika Insan Lestari, 2003), h. 201
[60] Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian dalam Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999),  h. 136
[61] Supriatna dkk, Fiqih Munakahat II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h. 17

[62]Asevy Sobari, Advokat & Konsultan Hukum,https:// www.blogger. com/ profile/ 09735696252797569363, Akses 14 Februari 2015

[63] Iddah, ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya; sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
[64] Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan sekarang diganti dengan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU  No.  4 Tahun 2004
[65] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 180-181; Lihat Juga, A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 137-146
[66] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 159
[67] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), cet, 4, hlm. 445
[68] Pasal 5 Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
[69] Pasal 39 ayat (1) dan (2) UUP No 1 tahun 1974: “(1)  Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah  pihak; (2) untuk melakukan perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami isteri  itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri”
[70] Meminjam dan mengutip istilah Asevy Sobari, Advokat & Konsultan Hukum, http: //asevysobari. blogspot.com/2014/11/ alasan-perceraian.html, Akses 12 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar