BAB IV
PERCERAIAN
A.
Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari
kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian
merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah
lafaẓ yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh
syara’. [1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talaq” atau “Furqah”.
Talaq berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah
berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talaq
dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti
segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh
hakim. Sedangkan dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak
suami. [2]
Menurut A. Fuad Sa’id yang
dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami-istri karena
tidak ada kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri
atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua
belah pihak.[3]
Menurut hukum Islam, perkawinan itu dapat putus karena beberapa sebab,
antara lain: karena putus dengan sendirinya (karena kematian), karena adanya
perceraian, karena adanya putusan Pengadilan.[4]
Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian
tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, sedangkan
perceraian merupakan akhir dari kehidupan bersama suami isteri tersebut. Setiap
orang menghendaki agar perkawinan yang dilakukannya tetap utuh sepanjang masa
kehidupannya. Tetapi tidak sedikit pula perkawinan yang dibina dengan susah
payah itu berakhir dengan sebuah perceraian. Tidak selalu perkawinan yang
dilaksanakan itu sesuai dengan cita-cita, walaupun sudah diusahakan semaksimal
mungkin dengan membinanya secara baik, tetapi pada akhirnya terpaksa mereka
harus berpisah dan memilih untuk membubarkan perkawinan.
Islam telah memberikan ketentuan tentang batas-batas hak dan tanggung jawab
bagi suami isteri supaya perkawinan berjalan dengan sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Bila ada di antara suami isteri berbuat di luar hak dan
kewajibannya maka Islam memberi petunjuk bagaimana cara mengatasinya dan
mengembalikannya kepada yang hak. Tetapi bila dalam suatu rumah tangga terjadi
krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka Islam memberikan jalan keluar berupa
perceraian. Meskipun perceraian itu merupakan perbuatan yang halal, namun Allah
sangat membenci perceraian tersebut.[5]
B.
Rukun
dan Syarat Perceraian
Rukun talak
adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terujudnya talak bergantung
ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama mengenai penetapan rukun talak, sebagaimana dikutip
oleh Husni Syams.[6] Menurut Ulama Hanafiyah, rukun talak itu adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Kasani sebagai berikut:
فركن الطلاق هو اللفظ الذي جعل دلالة
على معنى الطلاق لغة وهو التخلية والإرسال ورفع القيد الصريح وقطع الوصلة ونحوه فى
الكناية أو شرعا وهو إزالة حل المحلية فى النوعين أو ما يقوم مقام اللفظ [7]
"Rukun
talak adalah lafal yang menjadi penunjukan terhadap makna talak, baik secara
etimologi, yaitu al-takhliyyah (meninggalkan atau membiarkan), al-irsal
(mengutus) dan raf al-Qayyid (mengangkat ikatan) dalam kategori
lafal-lafal lainnya pada lafal kinayah, atau secara syara' yang
menghilangkan halalnya ("bersenang-senag" dengan) isteri dalam kedua
bentuknya (raj'iy dan ba'in), atau apapun yang menempati posisi
lafal"
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa
rukun talak itu dalam pandangan ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu şighah
atau lafal yang menunjukkan pengertian talak, baik secara etimologi, syar'iy
maupun apa saja yang menempati posisi lafal-lafal tersebut.
Menurut ulama Malikiyah, rukun talak itu ada empat,
yaitu:
1. Orang yang berkompeten melakukannya. Maksudnya, orang yang menjatuhkan
talak itu adalah suami atau wakilnya (kuasa hukumnya) ataupun wali, jika ia
masih kecil.
2.
Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, orang yang
menjatuhkan talak itu sengaja membacakan lafal-lafal yang termasuk kategori
lafal sharih atau lafal kinayah yang jelas.
3.
Isteri yang dihalalkan. Maksudnya talak yang
dijatuhkan itu mesti terhadap isteri yang telah dimiliki melalui suatu
pernikahan yang sah.
4.
Adanya lafal, baik bersifat şarih (gamblang/ terang) ataupun termasuk kategori lafal kinayah.[8]
Adapun menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah, rukun
talak itu adal lima, yaitu:
1. Orang yang menjatuhkan talak. Orang yang menjatuhkan talak itu hendaklah
seorang mukallaf. Oleh karena itu, talak anak kecil yang belum baligh
dan talak orang gila tidak mempunyai kekuatan hukum;
2.
Lafal talak. Mengenai rukun yang kedua ini, para ulama
Syafi'iyyah membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a. Lafal yang diucapkan secara şarih dan kinayah. Diantara
yang termasuk lafal şarih adalah al-sarrah, al-firaq, al-țalaq
dan setiap kata yang terambil dari lafal al-țalaq tersebut. Sedangkan lafal kinayah
adalah setiap lafal yang memiliki beberapa pengertian, seperti seorang suami
berkata kepada isterinya: iżhabi (pergilah kamu) atau ukhruji
(keluarlah kamu) dan lafal-lafal lain seperti itu, sementara suami itu
meniatkan menjatuhkan talaknya. Jadi menurut mereka, talak yang dijatuhkan oleh
seorang suami itu baru terakad apabila diucapkan dengan lafal-lafal yang şarih
ataupun lafal kinayah dengan meniatkannya untuk menjatuhkan
talak;
b.
Apabila lafal talak itu tidak diucapkan, baik secara şarih maupun kinayah,
boleh saja melalui isyarat yang dipahami bermakna talak, namun menurut
kesepakatan ulama dikalangan Syafi'iyyah, isyarat tersebut baru dinyatakan sah
dan mempunyai kekuatan hukum apabila dilakukan oleh orang bisu. Menurut mereka isyarat tersebut juga terbagi kepada şarih dan kinayah.
Isyarat şarih adalah isyarat yang dapat dipahami oleh orang banyak,
sementara isyarat yang termasuk kategori kinayah adalah isyarat yang
hanya dipahami oleh sebagian orang. Penetapan dapatnya isyarat itu menggantikan
kedudukan lafal, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah sebagai berikut:
الإشارة المعهودة للأخرس كالبيان
باللسان [9]
"Isyarat
yang biasanya dapat dipahami sama kedudukannya dengan penjelasan melalui lisan
bagi orang-orang bisu"
c.
Talak itu juga sudah dianggap memenuhi rukun kedua ini, apabila suami
tersebut menyerahkan (al-fawiḑ) kepada isterinya untuk menjatuhkan
talaknya. Misalanya seorang suami berkata kepada isterinya: Țalliqi nafsak
(talaklah/ aku talak dirimu), lalu apabila isterinya itu menjawab: Țallaqtu (aku
talakkan), maka talak isterinya itu telah jatuh. Sebab dalam kasus
seperti itu, isteri berkedudukan sebagai tamlik (wakil) dalam
menjatuhkan talak.
Jadi dalam pandangan ulama Syafi'iyyah, lafal atau sighah
yang merupakan salah satu rukun talak itu dapat terpenuhi melalui ucapan dengan
lafal yang şarih atau kinayah, isyarat bagi orang yang bisu baik
dengan isyarat yang şarih maupun kinayah, ataupun melalui
penyerahan menjatuhkan talak yang dikuasakan oleh seorang suami kepada
isterinya.
3. Dilakukan secara sengaja. Maksudnya, lafal talak itu sengaja diucapkan.
Ulama Syafi'iyyah mengemukakan bahwa ada lima bentuk yang keraguan cacatnya
kesengajaan, yaitu:
a. Salah ucapan. Misalnya, seorang suami yang isterinya bernama Țariq,
lalu ia memanggilnya dengan ucapan: Ya Țaliq (wahai yang
ditalak). Kemudian suami tersebut mengatakan bahwa lidahnya terpeleset (salah
ucapan), maka talaknya tidak sah. Jadi apabila seorang suami tersalah
ucapannya sehingga kata yang keluar itu adalah kata talak atau lafal-lafal
yang secara şarih bermakna talak, maka talaknya dianggap tidak sah;
b. Ketidak tahuan. Apabila seorang suami mengatakan: "Hai wanita yang
ditalak" kepada seorang wanita yang disangkanya isteri orang lain namun
ternyata wanita itu adalah isterinya sendiri, maka menurut pendapat Jumhur
ulama Syafi'iyyah talaknya sah. Namun apabila orang 'ajam (non arab)
mengucapkan lafal talak, sementara ia tidak memahami maksudnya maka talak itu
tidak sah;
c. Bersenda gurau. Talak yang dijatuhkan dalam keadaan bersenda gurau,
tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum, sebagaimana ketentuan yang
berlaku pada seluruh bentuk akad lainnya;
d. Adanya unsur paksaan. Adanya unsur keterpaksaan dapat menghalangi
ke-absahan seluruh bentuk taşarruf kecuali mengislamkan kafir harbi dan
murtad. Oleh karena itu, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami dalam keadaan
terpaksa tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Namun menurut pendapat
terkuat, unsur paksaan yang menjadikan talak itu tidak diakui keabsahannya
hanya unsur paksaan yang termasuk kategori keterpaksaan absolute seperti
ancaman bunuh dan lenyapnya harta, bukan keterpaksaan relative seperti
dikurung atau tidak diberi makanan. Ketentuan tersebut berdasarkan kepada Hadis
Nabi Saw berikut:
عن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال إن الله وضع عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه (رواه ابن ماجة
والحاكم .
[10]
"Diterima
dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi Saw bahwa ia bersabda: Sesungguhnya Allah Swt
mengangkatkan dari umatku dari sifat tersalah, lupa dan apa saja yang
dipaksakan kepadanya" (H.R. Ibnu Majah dan al-Hakim)
e.
Hilang akal pikiran disebabkan gila dan minum obat.
Gilanya seseorang dapat menghalangi keabsahan dari seluruh bentuk taşaruf.
Ketentuan tersebut didasarkan kepada hadis Nabi Saw:
عن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قال رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى
يكبر وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق (رواه أحمد والأربعة إلا الترمذي وصححه الحاكم
وأخرجه ابن حبان .[11]
"Diterima
dari Aisyah r.a., dari Nabi Saw bahwa ia bersabda: Dibebaskan dari tiga macam
kewajiban, yaitu dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga
dewasa dan dari orang gila hingga ia ingat atau sadar" (H.R. Ahmad dan
al-Arba'ah kecuali al-Tirmiżi. Hadis ini dianggap şahih oleh al-Hakim dan juga
diriwayatkan oleh Ibn Hibban)
4. Wanita yang dihalalkan (isteri). Apabila seorang suami menyandarkan
talak itu kepada bagian dari tubuh isterinya, misalnya ia menyandarkan kepada
anggota tubuh tertentu seperti tangan, kepala, limpa atau hati, maka talaknya
sah. Namun apabila suami tersebut menyandarkan kepada faḑalat tubuhnya
seperti air liur, air susu atau air mani, maka talaknya tidak sah;
5.
Menguasai isteri tersebut. Apabila seorang suami
berkata kepada seorang wanita yang bukan isterinya: Anti țalliq (kamu
wanita yang ditalak), maka talaknya tidak sah, namun apabila suami tersebut
berkata kepada isterinya atau isterinya itu masih berada dalam masa 'iddah
talak raj'i, maka talaknya baru dianggap sah. Bahkan menurut ulama
Syafi'iyyah, apabila seorang suami berkata kepada wanita yang bukan isterinya: In
nakahtuki fa anti țalliq (jika aku menikahimu maka kamu adalah wanita yang
ditalak), maka nikahnya juga tidak sah. Jadi menurut mereka, ucapan yang
dikaitkan dengan syarat-pun juga tidak sah, sebab ketika ia mengucapkannya,
wanita tersebut tidak berada dalam kekuasaannya. [12] Karena itu, dapat dipahami bahwa dalam menetapkan
rukun talak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Menurut ulama Hanafiyyah, rukun talak itu hanya satu, yaitu lafal yang
menunjukkan makna talak, baik secara etimologi dalam kategori şarih atau
kinayah, atau secara syar'i, atau tafwiḑ (menyerahkan kepada
isteri untuk menjatuhkan talaknya).
Menurut ulama Malikiyyah rukun talak ada empat, yaitu:
1.
orang yang berkompeten menjatuhkan talak;
2.
ada kesengajaan menjatuhkan talak;
3.
wanita yang dihalalkan; dan
4.
Adanya lafal, baik şarih maupun kinayah.
Menurut ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah rukun talak tersebut ada lima,
yaitu:
1.
orang yang menjatuhkan talak;
2.
adanya lafal talak;
3.
adanya kesengajaan menjatuhkan talak;
4.
adanya wanita yang dihalalkan; dan
5.
menguasai isteri tersebut.
Apabila diperhatikan secara seksama, sebenarnya rukun
talak yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan Hanabillah itu relatif sama substansinya
dengan formulasi rukun talak yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah, dimana
formulasi menguasai isteri yang dikemukakan oleh ulama Syafi'iyyah dan
Hanabillah telah tercakup kedalam rumusan adanya wanita yang dihalalkan yang
dikemukakan ulama Malikiyyah. Oleh karena itulah, dalam sebagian literatur
persoalan ini diklasifikasikan kepada pendapat Hanafiyyah dan non Hanafiyyah.[13]
C.
Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Hal-hal yang menyebabkan putusnya
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 KHI adalah:
1. Karena
Țalaq.
a.
Pengertian dan dasar Hukum Talak
Perceraian dalam Islam dikenal
dengan istilah talak (țalaq),[14] Kata Țalaq diambil dari kata ițlaq yang berarti melepaskan atau
menanggalkan, [15] semakna dengan kata talak itu, adalah al-irsȃl atau tarku,
yang berarti melepaskan dan menanggalkan.[16] yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri;
atau
secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang. Ia dipergunakan dalam
syari’ah untuk menunjukkan cara yang sah dalam mengakhiri sebuah perkawinan.
Meskipun Islam memperkenankan perceraian, jika terdapat alasan-alasan yang kuat
baginya, namun hak itu hanya dapat dipergunakan dalam keadaan yang mendesak.[17]
Talak bukanlah sebuah
larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah tangga, ketika tidak ada
jalan keluar lagi; Sebagaimana HR. Abu
Daud dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر قال قال رسول الله (
صلى الله عليه وسلم ) إن أبغض الحلال الى الله عز وجل الطلاق ـ (رواه أبو داود) [18]
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Țalaq,
adalah merupakan perkara halal yang paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan
dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).
Menurut
Muhammad Ismail al-Kahlani, țalaq adalah:
الطلاق : حل الوثاق
مشتق من الأطلاق وهو الأرسال والترك
“Țalaq
menurut bahasa yaitu membuka ikatan, yang diambil dari kata ițlaq yaitu
melepaskan, menanggalkan” [19]
Menurut
Wahbah Zuhaily, țalaq ialah:
الطلاق لغة حل القيد والاطلاق
“Țalaq
menurut bahasa ialah membuka ikatan atau melepaskan”[20]
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa țalaq itu
dapat dipahami sebagai berikut: “Țalaq menurut istilah syara’
ialah melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”[21]
Maksudnya
ialah bahwa ikatan perkawinan itu akan putus dan berakhirnya hubungan suami
isteri dalam rumah tangga apabila suami menjatuhkan țalaq kepada
isterinya.
Memperhatikan beberapa pengertian țalaq di
atas baik secara bahasa maupun istilah dapat diambil dipetik pemahaman, bahwa
yang dimaksud dengan țalaq adalah melepaskan atau mengakhiri ikatan
perkawinan antara suami dan isteri dengan ucapan atau dengan tata cara yang
ditetapkan.
Setelah ikatan perkawinan itu diangkat atau
dilepaskan, maka isteri tidak halal lagi bagi suaminya. Hal ini terjadi bila
suami melaksanakan țalaq ba’in. Tapi apabila suami melaksanakan țalaq
raj’i maka hak țalaq berkurang bagi suami, yang pada awalnya suami
memiliki hak menjatuhkan țalaq tiga kali, maka sekarang menjadi dua dan
menjadi satu. Dengan kata lain țalaq raj’i adalah mengurangi pelepasan
ikatan perkawinan.
Islam menentukan bahwa țalaq merupakan hak sepenuhnya yang
berada ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami
boleh menjatuhkan țalaq kepada isterinya kapan saja dan
dimana saja. Hal ini sesuai denagan Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh al-'Arba'ah
kecuali al-Nasȃ'i sebagai berikut:
عن أبي هريرة
رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثلاث جدهن جد وهز لهن جد
النكاح والطلاق والرجعة (رواه الأربعة إلا النسائي وصححه الحاكم)
"Dari
Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Ada tiga perkara
sungguh-sungguh dalam tiga perkara itu menjadi sungguh-sungguh, dan
main-main menjadi sungguh-sungguh, yaitu nikah, țalaq, dan rujuk " (diriwayatkan
oleh al-Arba'ah kecuali al-Nasȃ'i dan di-şahih-kan oleh Hakim).[22]
Pengertian
perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden Nomor 1 tahun
1991) telah dijumpai dalam Pasal 117, yaitu: “Talak adalah ikrar suami di hadapan
sidang Pengadilan Agama yang mengadili salah satu sebab putusnya perkawinan
dengan cara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 129, 130, 131”.[23]
Di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) hal-hal mengenai perceraian telah diatur
dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 148 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan
melihat isi pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa prosedur bercerai tidak
mudah, karena harus memiliki alasan-alasan yang kuat dan alasan-alasan tersebut
harus benar-benar menurut hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang isinya sebagai berikut: "Perceraian hanya dapat
dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak."[24]
Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 seperti yang termaktub di atas maka yang
dimaksud dengan perceraian disini adalah proses pengucapan ikrar talak yang
harus dilakukan didepan persidangan dan disaksikan oleh para hakim Pengadilan
Agama,. Apabila pengucapan ikrar talak itu dilakukan di luar persidangan, maka
talak tersebut merupakan talak liar yang dianggap tidak sah dan tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat,[25] sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 113 KHI.
Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian (cerai gugat). Perceraian hanya dapat dilakukan
didepan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.[26] Sehingga KHI
mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan
dihadapan sidang Pengadilan. Tampaknya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada Pasal 66 ayat
(1):
“Seseorang
suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.[27]
Mencermati
pengertian talak di atas, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat
perceraian yang bernama talak, yakni:
1)
Kata
“melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa talak
itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat dengan erat yaitu ikatan
perkawinan;
2)
Kata
“ikatan perkawinan” mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan
perkawinan yang selama ini terjadi antara pasangan suami dan istri;
3)
Kata
“dengan lafaz ța-la-qa dan sama maksudnya dengan itu” mengandung arti
bahwa putusnya perkawinan itu melalui ucapan. Dan ucapan yang digunakan adalah
kata-kata țalaq tidak dengan: putus perkawinan, bila tidak dengan cara
mengucapkan ucapan tersebut, seperti halnya putusnya perkawinan karena
kematian.
b.
Macam-macam
Talak
Talak dibagi kepada dua macam, sebagai
berikut:
1) Talak Raj’i;
Adalah suatu talak dimana suami memiliki hak untuk merujuk isteri tanpa
kehendaknya. Dan talak raj’i ini disyaratkan pada isteri yang telah
digauli.[28]
Dengan demikian, yang dimaksud dengan talak raj’i adalah: talak yang
dijatuhkan oleh suami kepada isteri sebagai talak satu atau dua, yang di
ikrarkan di depan sidang Pengadilan, dan suami diperbolehkan meruju’nya bila
masih dalam masa iddah, tanpa diharuskan nikah baru. Hal ini sesuai dengan
firman Allah, QS. Al- Baqarah (2): 229
ß,»n=©Ü9$# Èb$s?§sD ( 88$|¡øBÎ*sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& 7xÎô£s? 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
“Talak
(yang dapat dirujuk) dua kali. setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara yang
ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik”
2) Talak Ba’in;
secara etimologi, ba’in adalah nyata, jelas, pisah atau jatuh, yaitu
talak yang terjadi karena isteri belum digauli oleh suami, atau karena adanya
bilangan talak tertentu (tiga kali), dan atau karena adanya penerimaan talak
tebus (khulu’),[29]
meskipun ini masih diperselisihkan fuqaha, apakah khulu’ ini talak atau fasakh.
Talak ba’in dibagi menjadi dua macam, yaitu ba’in şugra dan ba’in
kubra.
a) Ba’in şugra adalah talak
yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas suaminya, tetapi tidak menghilangkan
hak nikah baru (tajdid an-nikah) kepada bekas isterinya. Yang
dimaksud menghilangkan hak-hak rujuk, seperti suami tidak diperkenankan rujuk
kepada isterinya yang ditalak, hingga masa iddahnya habis. Suami diperbolehkan
kembali kepada isterinya namun diharuskan nikah baru (tajdid an nikah) dan
juga mahar baru (tajdid al mahr).
b)
Ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk nikah
kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya telah kawin dengan
laki-laki lain dan telah berkumpul sebagaimana suami isteri secara nyata dan
sah, dan juga isteri tersebut telah menjalani masa iddahnya serta iddahnya
telah habis pula.
Allah berfirman QS. Al-Baqarah (2): 230
bÎ*sù
$ygs)¯=sÛ
xsù
@ÏtrB
¼ã&s!
.`ÏB
ß÷èt/
4Ó®Lym
yxÅ3Ys?
%¹`÷ry
¼çnuöxî
“maka apabila suami mentalaknya, sesudah talak yang kedua, maka perempuan
itu tidak halal baginya sampai dia kawin dengan suami yang lain”.
Perlu diperhatikan
juga, bahwa hendaklah pernikahan yang
kedua itu benar-benar menurut kemauan laki-laki yang kedua, dan benar-benar
dengan kemauan perempuan, bukan kehendak suami yang pertama. Tegasnya bukan
dengan maksud supaya ia dapat menikah kembali dengan laki-laki yang pertama,
memang betul-betul dengan niat akan kekal sebagaimana pernikahan pada umumnya.
Dilihat dari waktu mengucapkannya, dibagi kepada talak sunni dan talak bid’i.
a) Talak sunni, adalah talak
yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuai dengan yang telah
digariskan oleh syara’).[30]
Dalam formulasi fikih Syafi'iyyah terjadi perbedaan pendapat dalam
mendefenisikan talak sunni tersebut. Sebahagian ulama syafi'iyyah
mendefenisikan talak sunni, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad
al-Hashari berikut:[31]
"Talak
Sunni adalah talak (yang dijatuhkan kepada isteri yang telah) disetubuhi dan
dijatuhkan pada waktu suci serta belum disetubuhinya pada waktu suci tersebut,
bukan (dijatuhkan) pada waktu haid, wanita itu tidak dalam keadaan hamil, anak
kecil dan tidak pula wanita monopouse, sementara ber'iddah dengan quru’
[32]
Menurut sebahagian ulama Syafi'iyyah yang lain, talak sunni
adalah talak yang dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang
dijatuhkan pada waktu suci dan ia belum disetubuhi pada waktu suci tersebut.[33] Adapun talak yang dijatuhkan kepada isteri yang masih
kecil (sebelum Baligh), sudah tua yang telah monopouse, hamil
atau isteri yang belum disetubuhi, menurut kelompok ini, tidak dinamakan talak sunni
dan tidak pula bid'iy tetapi antara keduanya. [34]
Perbedaan antara mendefinisikan talak sunni di
atas disebabkan perbedaan dalam mengklasifi-kasikan bentuk kategori. Kelompok
pertama mengklasifikasikan talak dalam kategori: Talak sunni dan talak bid'iy.
Sedangkan kelompok kedua mengklasifikasikannya kepada: talak sunni,
talak bid'iy, dan kelompok ketiga mengkatagorikan bukan talak yang bukan
sunni dan bid'iy.
Ulama Hanabilla, mengemukakan bahwa, talak sunni adalah:
طلاق السنة هو أن يطلقها من غير جماع
واحدة ثم بدعها حتى تنقض عدنها [35]
"Talak
sunni adalah seseorang menjatuhkan talak kepada isterinya yang belum
distubuhinya (pada waktu suci itu) satu kali, kemudian ia meninggalkan
isterinya itu sampai habis masa 'iddahnya "
Ulama Hanafiyyah, mengklasifikasikan talak sunni
tersebut kepada dua kategori, yaitu talak ahsan (lebih baik) dan talak hasan
(baik).[36] Substansi
yang membedakan antara kedua macam talak sunni yang dikemukakan oleh
ulama Hanfiyyah di atas (ahsan dan hasan) terletak pada jumlah
talak; yang dijatuhkan satu kali sampai habis masa 'iddahnya, maka talak
sunni itu dinamakan sunni ahsan. Namun apabila dijatuhkan tiga
kali pada waktu tiga kali suci maka dinamakan dengan talak sunni hasan. [37]
Ulasan ulama Hanafiyyah, yang membedakan antara talak
sunni ahsan dan talak sunni hasan tersebut didasarkan kepada
riwayat yang diterima dari Ibrahim al-Nakh'i yang menjelaskan bahwa para
sahabat Rasulullah Saw menyukai talak hanya satu sampai habis masa 'iddah
isterinya. [38] Dan seorang
suami hanya menjatuhkan satu talak sampai habis masa 'iddah isterinya, lebih
memberi peluang kepada suami tersebut untuk menyesali tindakannya.
Karena itu menurutnya, tidak dapat disamakan antara
talak sunni ahsan, yaitu menjatuhkan satu talak, dengan talak sunni
hasan, seorang suami menjatuhkan talak isterinya tiga kali pada masa tiga
kali suci.
Apabila diperhatikan formulasi fikih tentang talak
sunni yang telah ditemukan oleh para ulama terdahulu, maka dapat disimpulkan
bahwa kategori talak sunni ahsan versi ulama Hanafiyyah tersebut jelas
merupakan talak sunni menurut Jumhur Ulama. Namun kategori talak sunni
hasan versi ulama Hanafiyyah itu, sudah termasuk talak bid'iy
menurut ulama Malikiyyah dan ulama Hanabillah.[39]
Alasan lain yang dikemukakan ulama Hanafiyyah yang
menyatakan talak sunni ahsan adalah firman Allah Swt QS. al-Țalaq (65):
1, dan Hadis Nabi Saw.
يا
أيها النبي إذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن...
“Hai Nabi,
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka
pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)…” (QS. al-Țalaq
(65): 1)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Swt menyuruh
Nabi-Nya untuk menjatuhkan talak isterinya pada waktu mereka dapat menghadapi
'iddahnya. Menurut mereka, bukankah 'iddah meraka tiga kali suci dan oleh
karenanya talak boleh dijatuhkan setiap kali suci itu, asalkan pada waktu suci
tersebut wanita itu belum disetubuhinya.
Pemahaman ulama Hanafiyyah tersebut didukung oleh
Hadis Nabi Saw berikut:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما
أنه طلق امرأته وهي حائض على رسول الله وسلم صلى الله عليه وسلم فسأل عمر بن
الخطاب رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم (
مره فليرجعها ثم ليمسكها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد وإن شاء طلق
قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها النساء (متفق عليه)[40]
"Dari Abdillah Ibnu 'Umar, bahwa sesungguhnya ia
menjatuhkan talak isterinya, sementara isterinya itu dalam keadaan haid, pada
masa Rasulullah Saw. Lalu 'Umar Ibn al-Khattab menanyakan hal itu kepada
Rasulullah Saw, Rasulullah Saw berkata kepada 'Umar Ibn al-Khatab: suruh ia dan
hendaknya ia rujuk kepada isterinya, kemudian hendaklah ia meninggalkannya sampai
ia suci, kemudian haid, kemudian suci lagi. Selanjutnya, jika ia mau peganglah
ia dan jika ia mau talak dia sebelum disetubuhi. Demikianlah 'iddah yang
diperintahkan oleh Alllah 'azza wa jalla untuk menjatuhkan talak pada
wanita"
Menurut ulama Hanafiyyah tersebut, bahwa Rasulullah
Saw menyuruh 'Umar untuk merujuk isterinya pada waktu suci. Kemudian apabila
masa haid setelah masa suci tersebut telah berlalu maka Rasulullah menyuruhnya
untuk memilih antara; tetap memegangnya atau menceraikannya. Hal ini menurut
mereka mengindikasikan bolehnya menjatuhkan talak sampai tiga kali pada waktu
setiap kali suci.
Hadis Nabi
Saw yang terkait dalam masalah ini, sebagai berikut:
عن عبد الله أنه قال طلاق السنة
تطليقة وهي طاهر في غير جماع فإذا حاضت وطهرت طلقها أخرى فإذا حاضت وطهرت طلقها
أخرى ثم تعتد بعد ذلك بحيضة (رواه النسائي)[41]
"Diterima
dari Abdullah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Talak sunni
adalah bahwa seseorang menjatuhkan talak isterinya satu, sementara isterinya
itu dalam keadaan suci yang belum disetubuhi (pada waktu suci itu). Apabila
masa hainya telah berlalu dan telah datang pula masa sucinya, ia mentalak lagi
isterinya itu. Kemudian ia menunggu berlalunya satu kali masa haid lagi"
Talak sunni menurut ulama Zhahiriyyah, sebagaimana
dikutip oleh Ahmad Hashari sebagai berikiut:
هو أن
يطلق الرجل امرئته فى طهر ثم يطأها فيه [42]
"Talak
sunni ialah seorang suami menjatuhkan talak isterinya pada waktu suci yang pada
masa suci itu isterinya belum disetubuhinya"
Diadalam Kompilasi Hukum Islam[43], talak raj'iy juga dijelaskan
yaitu, talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam
masa 'iddah, kecuali talak yang jatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan qabla
al-dukhul
Dikategorikan sebagai talak sunni apabila memenuhi
3 syarat, yaitu:
1)
Isteri yang ditalak sudah pernah dikumpuli,
apabila talak dijatuhkan kepada isteri yang belum pernah dikumpuli tidak
termasuk talak sunni;
2)
Isteri dapat segera melakukan iddah
suci setelah ditalak, yaitu isteri dalam
keadaan suci dari haid;
3)
Talak dijatuhkan ketika isteri dalam
keadaan suci.
Hal ini dapat berdasarkan Firman Allah QS. Aț-Țhalȃq (65): 1
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) ÞOçFø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# £`èdqà)Ïk=sÜsù ÆÍkÌE£ÏèÏ9 (#qÝÁômr&ur no£Ïèø9$# ( (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6/u
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)[44]
dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu”.
b) Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan tidak
sesuai dengan tuntunan sunnah (sesuatau yang dilarang syara') [45]. Artinya, talak bid'iy tersebut dijatuhkan tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah digariskan syara'. Akan tetapi, dalam menjelaskan talak yang termasuk
dilarang dalam kategori syara' itu, para ulama berbeda pendapat.
Ulama Malikiyyah membagi talak bid'iy kepada
dua bagian, yaitu:
1)
Talak yang haram dijatuhkan; yaitu talak yang
dijatuhkan kepada isteri yang telah disetubuhi, yang memenuhi persyaratan
berikut:
a)
Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya
dalam keadaan haid atau nifash. Oleh karena itu, menurut ulama Malikiyyah,
wanita haid atau nifash baru boleh melakukan ibadah yang sifatnya ta'abudiyyah
setelah ia mandi, disamping telah habis keluar darah haid dan nifas. Maka
ketika seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya yang telah terputus
darah haid dan nifasnya dan belum mandi, maka hukumnya termasuk kedalam
kategori haram.
Mengenai isteri yang tidak haid, seperti wanita yang
telah monopouse atau tidak/belum haid, maka termasuk kategori talak bid'iy
yang diharamkan baginya, tidak ada dalam poin ini, namun hanya pada dua bentuk
yang terakhir.
b) Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya tiga kali pada satu tempat, baik isteri itu pada masa haid atau dalam
masa suci. Namun tentu saja menjatuhkan talak tiga kepada isteri ketika ia
berada dalam masa haid, berarti ia melakukan dua dosa sekaligus, yaitu
menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang berada dalam masa haid;
c) Suami tersebut menjatuhkan talak kepada isterinya sebagai talak saja,
misalnya, seorang suami berkata kepada isterinya; Engkau tertalak sebagian
talak, atau suami tersebut menjatuhkan talak kepada sebagian anggota tubuhnya
saja, seperti suami tersebut berkata: "tangan kamu tertalak";
2)
Talak yang makruh dijatuhkan.
Yang termasuk talak bid'iy yang makruh dijatuhkan, terwujud
dengan dua syarat, yaitu:
a) Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya pada masa suci yang telah
disetubuhinya pada masa suci itu;
b)
Suami tersebut menjatuhkan talak isterinya dua kali pada satu
tempat. [46]
Menurut ulama
Syafi'iyyah, talak bid'iy itu terbagi dua, yaitu:
a) Suami tersebut
menjatuhkan talak kepada istrinya yang telah disetubuhi pada masa haid. Ketentuan ini mereka
dasarkan kepada firman Allah QS. Aț-Țhalȃq (65): 1, ”hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya”. Sebab pengharaman
menjatuhkan talak dalam bentuk ini, karena akan memuḑaratkan istrinya;
b) Suami tersebut
menjatuhkan talak istrinya pada masa suci namun pada masa suci itu ia telah
menyetubuhi istrinya; hal ini karena ada kemungkinan istrinya hamil. Oleh
karenanya akan menyulitkan masa 'iddah-nya, apakah sampai melahirkan
atau dengan menggunakan qurû'. Di samping itu ada kemungkinan suami itu
akan menyesal karena ia akan berpisah juga dengan anaknya.[47] Ulama Hanabilah
sepakat dengan ulama Syafi'iyyah. [48]
c)
Țalak lȃ Sunni walȃ Bid’i, ada
beberapa talak yang termasuk talak lȃ Sunni walȃ Bid’i, diantaranya
adalah:
1) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah didukhul
(disetubuhi);
2) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah haid atau
isteri telah lepas dari masa haid (menopause);
3) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang hamil.[49]
Ditinjau dari segi lafaẓ (redaksi) yang digunakan untuk
menjatuhkan talak, yaitu talak şareh dan talak kinayah
Talak şareh adalah talak yang apabila seorang suami menjatuhkan talak kepada isterinya
dengan mempergunakan kata-kata at-Țalak, al-firȃq atau as sara. Ketiga
kata ini adalah jelas artinya adalah menceraikan isteri. Dengan menggunakan redaksi ini walaupun tanpa niat jatuh talak secara hukum.[50]
Talak kinayah adalah talak yang dilakukan seorang suami kepada isterinya dengan
menggunakan kata-kata selain kata-kata pada lafaẓ şareh. Seorang suami
mentalak isterinya dengan menggunakan lafaẓ kinayah (sindiran) jatuh
talaknya apabila suami tersebut niat bahwa perbuatannya tersebut adalah ucapan
yang bertujuan untuk mentalak isterinya.
Menurut Imam Maliki
dan Imam Syafi’i, apabila seorang suami menjatuhkan talak secara kinayah
tanpa maksud mentalak, maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah
mempunyai makna ganda (makna talak dan selain talak) dan yang dapat
membedakannya hanya niat dan tujuannya.[51]
Ditinjau dari cara menyampaikan redaksi talak, yaitu: talak dengan ucapan, dengan tulisan, dengan isyarat dan dengan utusan.
1). Talak dengan
ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya dengan
menggunakan ucapan lisan sendiri dihadapan isterinya secara langsung dan
didengarkan langsung oleh isterinya;
2). Talak dengan
tulisan, yaitu talak yang disampaikan suami kepada isterinya secara tertulis
kemudian dibaca oleh isterinya dan memehami maksud dan isinya;
3) Talak dengan isyarat,
yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat seorang suami yang tuna wicara
kepada isterinya dihadapan isterinya secara langsung dan ia paham terhadap
maksud serta isyarat suaminya itu;
4) Talak dengan utusan,
yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya dengan melalui
prantara orang lain sebagai utusan suami untuk menyampaikan maksud mentalak
isterinya. Talak dengan utusan ini diharuskan ada saksi, demikian ini untuk
dijadikan dasar sampai dan tidaknya utusan yang dimaksud kepada isterinya yang
akan menerima talak dari suaminya.
Secara yuridis, perceraian
telah diatur dalam UU tentang perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa “putusnya
suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan
Pengadilan”.[52] Kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan
karena perceraian (cerai talak), adalah berbeda halnya dengan putusnya
perkawinan karena (cerai gugat) atau karena kematian.
Ditegaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhenti mendamaikan kedua belah pihak.[53] Dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, [54] hal ini
dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada
Pasal 38 undang-undang tersebut.
b.
Gugatan Perceraian
Putusnya perkawinan karena Khulu’
Khulu’ berasal dari kata “khulu’ al-śaub” yang berarti melepaskan atau
mengganti pakaian pada badan, karena seorang wanita adalah pakaian bagi
laki-laki, dan juga sebaliknya.[55] Hal ini
berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2): 187.
Khulu’ adalah salah satu bentuk perceraian dalam Islam
yang berarti menghilangkan atau mengurungkan akad nikah dengan kesediaan isteri
membayar uang ‘iwaḑ atau uang pengganti kepada suami dengan menggunakan
pernyataan cerai atau khulu’.[56] Karena
itu, Jika suami berlaku kejam, maka isteri dapat meminta cerai (khulu’)
dan tidak dipaksa menerima perlakuan yang sekiranya tidak patut baginya.Islam telah memberi jalan kepada istri yang
menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum Islam
memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.[57] Hal ini berdasarkan firman Allah QS.
Al-Baqarah (2): 229:
÷bÎ*sù
÷LäêøÿÅz
wr&
$uKÉ)ã
yrßãn
الله xsù
yy$oYã_
$yJÍkön=tã
$uKÏù
ôNytGøù$#
¾ÏmÎ/
3
y7ù=Ï?
ßrßãn
الله xsù
$ydrßtG÷ès?
4
...
“Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya
(suami isteri) tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan (oleh isteri) untuk menebus
dirinya. [58]Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya… “
Bila terjadi
cerai dengan cara khulu’ maka suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kepada isterinya. Dari tinjauan sighat, khulu’ mengandung
pengertian “penggantungan” dan ganti rugi oleh pihak isteri. Perceraian akan
terjadi bila isteri telah membayar sejumlah yang disyaratkan suami.[59]
Perceraian yang disebabkan khulu’ adalah
merupakan țalaq ba’in. Maka bila suami telah melakukan khulu’ terhadap
isteri, suami tidak berhak untuk ruju’ kembali kepada isteri, sekalipun
isteri rela menerima kembali uang iwaḑ yang telah dibayarkannya. Jika
isteri bersedia kembali bekas suaminya tersebut ruju’ kepadanya, maka
suami harus melakukan akad nikah kembali dengan melengkapi rukun dan syaratnya.
c.
Perceraian Karena Sebab lain
1)
Putusnya perkawinan
karena Fasakh
Fasakh menurut bahasa berarti memisahkan atau memutuskan. Adapun pengertian fasakh
menurut istilah adalah memutuskan akan nikah karena ada sebab yang nyata
dan jelas yang menghalangi kelestarian hubungan suami isteri.[60] Thalaq
adalah hak suami; khulu’ merupakan hak isteri; sementara fasakh merupakan
hak bagi keduanya. Bila sebab fasakh ada pada isteri, maka hak fasakh
ada pada suami, dan begitu juga sebaliknya.
Perceraian dalam bentuk fasakh termasuk
perceraian dalam proses peradilan. Hakimlah yang memberikan keputusan tentang
berlangsungnya perkawinan, atau terjadinya perceraian karena itu pihak
penggugat dalam perkara fasakh haruslah mempunyai alat-alat bukti yang
lengkap, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menimbulkan keyakinan bagi
hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Fasakh biasanya timbul apabila pihak suami atau isteri
merasa dirugikan oleh pasangannya itu, merasa tidak memperoleh hak-hak sesuai
yang ditentukan agama sebagai seorang suami atau isteri. Akibatnya salah
seorang dari keduanya tidak lagi sanggup melanjutkan perkawinan karena
keharmonisan rumah tangga tidak lagi ada dan tidak mungkin untuk mewujudkan
perdamaian sehingga fasakh ini perlu ditempuh.
Pada dasarnya fasakh adalah hak bagi suami
dan juga isteri, namun dalam praktek sehari-hari hak fasakh ini lebih
banyak dimanfaatkan oleh isteri. Barangkali karena suami lebih banyak
menggunakan hak thalaq yang ditentukan agama.
2)
Putusnya perkawinan
karena Li’an
Li’an secara etimologi berarti laknat atau kutukan.
Sementara secara terminologi adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika
menuduh isterinya berzina dengan empat kali sumpah dan menyatakan bahwa dia
adalah termasuk orang yang benar dalam tuduhan, dan pada sumpah kelima disertai
pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat/kutukan Allah jika ia dusta dalam
tuduhannya. Bila suami melakukan li’an kepada isterinya, sedangkan
isterinya tidak menerima, maka isteri boleh melakukan sumpah li’an juga
terhadap suaminya.
Mencermati definisi tersebut, dapat dipahami bahwa
Suami isteri saling menyatakan bersedia dilaknat oleh Allah setelah
masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri
yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak
bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui
anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan
pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki
alat bukti yang diajukan kepada hakim.
3)
Putusnya perkawinan
karena Syiqaq
Syiqaq artinya adalah perselisihan yang terus menerus antara suami dan isteri. Bila
ini terjadi maka diadakanlah dua utusan sebagai pendamai antara pihak suami dan
isteri setelah fase-fase menasehati, memisahkan tempat tidur, dan memukul
isteri sebagai upaya mendidik menuju perdamaian rumah tangga yang tak kunjung
berhasil. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. An-Nisȃ (4): 35
“Dan jika kamu khawatir terjadi
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai (hakam)
dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai (hakam) dari keluarga
perempuan. Jika keduanya (hakam itu) bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha teliti” (QS. An-Nisȃ (4): 35).
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami, bahwa bila
keutuhan rumah tangga suami isteri terancam karena pertengkaran yang tak
mungkin diatasinya, maka perlu diadakan juru damai dari kedua belah pihak.
Sekiranya hal ini masih juga tidak membuahkan hasil maka persoalannya wajar
ditangani oleh hakim untuk memberi putusan setelah pihak-pihak pendamai tidak
berhasil mendamaikannya.
4)
Putusnya perkawinan
karena Ila’
Ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan.
Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti
khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak
mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak di-țalaq
ataupun diceraikan; sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang
menderita adalah pihak isteri karena keadaannya terkatung-katung dan tidak ada
ketentuan yang pastian.
Berdasarkan firman Allah QS.
Al-Baqarah (2): 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
a) Suami yang meng-ila’ isterinya, batas waktunya paling lama hanya
empat bulan;
b) Kalau batas waktu itu habis, maka suami harus kembali hidup sebagai
suami-isteri atau mentalaknya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan
dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kaffarah. Kaffarah
sumpah ila’ sama dengan kaffarah umum yang terlanggar dalam hukum
Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam QS. Al-Maidah (5): 89, berupa salah
satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
a.
Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang
wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu; atau
b.
Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin; atau
c.
Memerdekakan seorang budak; atau kamu tidak sanggup
juga maka
a. Hendaklah
kamu berpuasa tiga hari.
5)
Putusnya perkawinan
karena Ẓihȃr
Salah satu perceraian antara suami isteri yang merupakan wewenang hakim
untuk menetapkan putusnya yakni bila suami menyatakan kepada isterinya bahwa
isterinya itu disamakan dengan ibunya sendiri. Ẓihȃradalah salah satu
bentuk perceraian di zaman jahiliyyah, bila suami tidak menyukai isterinya lagi
dan juga tidak menginginkan isterinya itu kawin dengan laki-laki lain sekiranya
isterinya telah diceraikannya. Dengan datangnya aturan Islam ẓihar itu
tidak lagi dibenarkan, karena men-ẓihar isteri dengan menyamakannya
dengan ibu berarti mengucapkan perkataan dusta dan mungkar. Suami yang
terlanjur men-ẓihar isterinya agar menarik kembali men-ẓihar nya
dengan diwajibkan membayar kaffarat (denda) dengan memerdekakan seorang
budak sebelum melakukan hubungan suami isteri. Jika suami tidak mampu
memerdekakan budak hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika
juga tidak mampu maka hendaklah ia memberi makan 60 orang miskin. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT QS. Al-Mujȃdalah (58): 3 dan 4
“Dan
mereka yang men-ẓihar isterinya, kemudian menarik kembali apa yang telah
mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum
kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujȃdalah
(58): 3)
“Maka barangsiapa yang
tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia
wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi
barangsiapa yang tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah
hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya, akan mendapat azab
yang sangat pedih”. (QS. Al-Mujȃdalah (58): 4)
Sekiranya suami tidak ingin kembali lagi kepada
isterinya, agar isterinya tidak terkatung-katung, maka suami diberi waktu 4
(empat) bulan untuk menentukan apakah ia akan kembali kepada isterinya dengan
membayar kaffarat ataukah akan menceraikan isterinya, maka dalam hal ini
isteri berhak mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Dengan demikian
hakim dapat mengabulkan gugatan isteri
bila terbukti kebenarannya.
6)
Putusnya perkawinan karena meninggal dunia
(kematian)
Putusnya
perkawinan karena kematian, terjadi karena salah satu pihak dalam perkawinan
meninggal dunia, apakah itu suami atau istri, yang lebih dulu atau pun para
pihak suami dan istri secara bersamaan meninggal dunia.
Putusnya
perkawinan karena kematian, merupakan kejadian yang berada diluar kehendak atau
kuasa dari para pihak dalam perkawinan. Tidak terdapat campur tangan dari
pasangan yang hidup lebih lama ataupun campur tangan pengadilan dalam hal ini.
Putusnya perkawinan karena kematian sepenuhnya merupakan kehendak atau kuasa dari
Allah.[61] Putusnya
perkawinan karena kematian lazim disebut dalam masyarakat kita dengan istilah cerai
mati.[62]
Berdasarkan Pasal 38 UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan menjadi putus karena
kematian, perceraian, dan atas putusan Pengadilan. Namun, dalam UUP tersebut tidak disebutkan
secara khusus definisi dari cerai hidup dan cerai mati.
Cerai hidup dan cerai mati dapat kita temui dalam Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni dalam beberapa
pasal berikut:
Pasal 8:
Putusnya perkawinan selain “cerai
mati” hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan
Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk,
atau putusan taklik talak.
Pasal 96:
(1)
Apabila
terjadi cerai mati, maka separuh
harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama;
(2)
Pembagian
harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang
harus ditangguhnya sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya
secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Walaupun dengan kematian suami tidak
dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami
tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si
isteri harus menunggu masa iddahnya[63]
habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
7) Putusnya
Perkawinan karena Putusan Pengadilan
Putusnya
Perkawinan karena putusan Pengadilan ini, sebagaimana ditunjukkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Pasal 114 dan Pasal 115.
Menurut Pasal 115 menyatakan bahwa: perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha
dan tidak ber-hasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan istri),
Kekuasan Kehakiman (Judicial Power) yang berada di bawah Mahkamah
Agung (MA) dilakukan dan dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata Usaha Negara.[64] Keempat lingkungan peradilan yang berada dibawah MA ini merupakan
penyelenggara kekuasaan di bidang yudikatif. Oleh karena itu secara
konstitusional bertindak menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan (state court). [65]
Masing-masing lingkungan peradilan terebut memiliki wewenang mengadili
perkara dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
peradilan khusus, yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongan rakyat tertentu. Sedangkan Peradilan Umum merupakan peradilan
yang berwenang mengadili perkara-perkara perdata dan perkara-perkara pidana
bagi rakyat pada umumnya. [66]
Kewenangan masing-masing lingkungan peradilan diantaranya: Paradilan
Umum, sebagaimana yang digariskan Pasal 50 dan Pasal 51 UU No. 2 Tahun
1986 jo. UU. No. 8 Tahun 2004 jo. UU. No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum
hanya berwenang mengadili perkara pidana dan perdata (perdata umum dan khusus).
Sehingga Pengadilan Negeri sebagai bagian dari Peradilan Umum sebagaimana yang
telah disebutkan pada Pasal 50 dan 51 UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum memiliki kewenangan diantaranya, yaitu di bidang perdata umum. Kewenangan
yang dimilikinya itu berlaku bagi rakyat pada umumnya. Salah satu diantara
sengketa perdata umum yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri adalah sengketa
di bidang perceraian bagi rakyat yang bukan beragama Islam. Terjadinya sengketa
perceraian di kalangan rakyat yang bukan beragama Islam menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri dalam memeriksanya.
Pengadilan Agama, sebagai salah satu lembaga Peradilan Khusus merupakan lembaga yang
memiliki tugas dan fungsi dalam menyelesaikan sengketa yang muncul dikalangan
orang-orang yang beragama Islam. Dalam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No.
3 Tahun 2006 jo. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa
Peradilan Agama memiliki wewenang terhadap persoalan yang menyangkut dengan
perkawinan, kewarisan, wakaf, sadaqah, wasiat, hibah, dan sengketa di bidang
Ekonomi Syari’ah.
Kekuasaan Pengadilan itu diatur dalam Bab III Pasal 49 sampai dengan
pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989, dan di dalam ketentuan Pasal 49 dinyatakan:
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat,
dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;, c. Wakaf dan shadaqah;
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku;
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
huruf b ialah penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan
tersebut.
Salah satu cakupan kekuasaan absolut Pengadilan Agama adalah bidang
perkawinan. Kekuasaan badan peradilan di bidang tersebut semakin bertambah,
terutama sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1974. Menurut penjelasan Pasal 49 ayat
(2) UU No. 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, antara lain adalah:
1. Izin beristeri lebih dari satu orang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam
hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh PPN;
6. Pembatalan perkawinan;
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8. Perceraian karena țalaq;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Mengenai penguasaan anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharan dan pendidikan anak bilamana bapak
yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut;
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal usul seorang anak;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain;
Dari 22 perkara tersebut, terdapat enam perkara yang relatif cukup besar
diterima dan diselesaikan oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama, dua
perkara perkawinan dan empat perkara perceraian. Perkara perceraian tersebut
meliputi penetapan izin ikrar țalaq, ta’lik țalaq, fasakh,
dan perceraian.
Berkenaan dengan perceraian yang terjadi, menurut hukum perdata
perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan
undang-undang. Dalam kaitannya dengan hal ini ada dua pengertian yang perlu
dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan istilah “perceraian”. Perceraian adalah salah satu sebab dari bubarnya perkawinan. [67]
Alasan Perceraian Menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 209 KUH Perdata disebutkan
alasan-alasan perceraian adalah:
1. Zina, berarti
terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah
dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinaan itu sendiri harus
dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena
kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan
perzinaan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang
dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut
melakukan perzinaan.
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama
dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak
yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 KUH Perdata
gugatan itu baru dapat diajukan setelah lampau lima tahun dihitung dari saat
pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah.
Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang
kembali dalam rumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi
tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah
saat perginya yang kedua kali.
3. Penghukuman dengan hukuman penjara
lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah
perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman
penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih,
pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka,
sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh
masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan
berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk
menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu
ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
4. Melukai berat atau menganiaya,
dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian
sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan ini semakin
diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 5 ditegaskan “setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya,
dengan cara:
a.
Kekerasan
fisik;
b.
Kekerasan
psikis;
c.
Kekerasan
seksual;
d.
Penelantaran
rumah tangga”.[68]
Alasan
Perceraian Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan lahirnya
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang diundangkan tanggal 2
Januari 1974 sebagai hukum positif dan berlaku efektif setelah
disahkannya Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan
pelaksanaan Undang-undang perkawinan, maka perceraian tidak dapat lagi
dilakukan dengan semena-mena seperti yang terjadi sebelumnya.
Alasan-alasan
perceraian menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 disebutkan dalam
Pasal 39. [69] Dari ketentuan Pasal 39 ayat 2 ini maka
perceraian akan dikabulkan oleh hakim hanya jika ada cukup alasan, artinya
bahwa sebuah perceraian tidak serta merta digantungkan pada kehendak pihak yang
menginginkannya, namun harus ada cukup alasan. Apa saja yang dimaksud dengan
alasan tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut pada UU Perkawinan, untuk itu
kita harus melihat penjelasannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP 9/1975),
dalam Pasal 19 dikatakan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau
pemabuk, penjudi dan sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban-kewajibannya sebagai suami isteri;
f.
Antara
suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
"Alasan
atau alasan-alasan" artinya, perceraian dapat diajukan berdasarkan satu
alasan saja atau dapat pula berdasarkan lebih dari satu alasan/akumulasi dari
yang ditentukan tersebut. Alasan atau alasan-alasan itulah yang nantinya akan
diuji oleh majelis hakim dalam agenda pembuktian di persidangan.
Secara
tidak langsung ketentuan tentang alasan perceraian ini memberikan perlindungan
kepada istri yang sering kita dengar mendapatkan pernyataan "cerai
liar" dari suami tanpa suatu proses peradilan. "Cerai liar" [70] atau yang
lebih dikenal dengan (Cerai di bawah tangan) yang dilakukan suami tidak didepan
sidang pengadilan yang ditetapkan untuk itu, dengan demikian tidak dapat
menguji alasan dari sang suami menceraikan sang istri. Proses pengujian di
sidang pemeriksaan Pengadilan inilah yang melindungi pihak istri dari
pernyataan "cerai liar" yang dilakukan suami yang dilakukan secara
serampangan, tanpa alasan dan tanpa pembuktian.
[1]Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz.
11, h. 175
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974, (Yogyakarta: PT. Liberti, 2004), h. 103
[3]Abdul Manan, Problematika
Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA,
Jakarta No. 52 Th. XII 2001 h.7
[4] Lihat,
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam
[5] Lihat, Hadis yang
dikemukakan oleh Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal
Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
[6]http://fikihonline.blogspot.com/
2010/ 04 /rukun-dan-syarat-talak.html, Akses 12 feb 2015
[7] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i',
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Juz 3, h. 98
[8] Menurut Ibn
Juza (ulama Malikiyah), rukun talak ada tiga, yaitu al-muthalliq
(suami), al-muthallaqah (isteri, dan al-shighah (lafal atau yang
menempatinya secara hukum); Lihat dalam: Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh
al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 361-362
[9]Muhammad al-Zarqa`, Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, (Damaskus, Dar
al-Qalam, 1996), cet. Ke-4, h. 351
[10] Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min
Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 176. Lihat juga:
Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah
al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 659
[11] Muhammad Ibn Isma'il
al-Kahlaniy, Subul al-Salâm; Syarh Bulûgh al-Marâm min
Adillaħ al-Ahkâm, (Bandung: Dahlan, t.th.), h. 180-181; Lihat juga: Muhammad Fu`ad 'Abd al-Baqiy, Sunan
Ibn Majah, (Beirut: al-Maktabah al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 1, h. 658.
[12] Muhammad bin Muhammad Abi Hamid al-Ghazaliy, al-Wajiz fi Fiqħ Madzhab
al-Imâm al-Syâfi'iy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 286-289; Lihat juga:
Al-Sayyid Abi Bakr (al-Sayyid al-Bakr), I'ânât al-Thâlibîn, (Beirut: Dar Ihya`
al-Turats al-'Arabiy, t.th.), Jilid 4, h. 2
[13] Abdurrahman
al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), Juz 4, h. 280; Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh
al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 264.
[14] QS.At-Talaq
(65): 1-7; QS. Al-Baqarah (2): 229; QS. An-Nisa’ (4): 21
[15] Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka
Setia, 1999), Cet. I, h. 9
[16] Said
Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam,
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin, Ciputat,
Lembaga penelitian UIN, Jakarta, 2008
[17] Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta :
Rineka Cipta, 1996), h. 8
[18] Abu
Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah,
Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974, h.158
[19] Moh. Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, (Bandung: Pustaka
Dahlan, 1987), jilid 3, h. 168
[20] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik,
Dar al-Fikr, 1989), juz. VII, h. 356
[21] Sayyid
Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih bahasa oleh Moh. Thalib. (Bandung: al-Ma’arif,
1998), jilid 8, h. 9
[22] Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul al-Salam; Syarh Bulugh
al-Maram min Adillah al-Ahkam, Terj. (Bandung : Dahlan, t.th), h. 175
[23] Abdul Ghani
Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 112; Lihat, Kompilasi Hukum Islam
(KHI), Bab XVI Pasal 117; Putusnya Perkawinan Bagian kesatu umum. Pasal 115, h.
21.
[24] Kompilasi
Hukum Islam
(KHI), Bab XVI Putusnya Perkawinan Bagian kesatu umum. Pasal 115, h. 21.
[25] Ali Hasan, Pedoman
Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), h. 171.
Selanjutnya disebut Ali Hasan, Pedoman Hidup.
[26] Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. 2,
h. 152.
[27] Amiur Nuruddin
dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2004), Cet. 1, h. 221; Lihat, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, Pasal 66 ayat (1).
[28] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terj, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’,
Semarang, 1990, h. 476
[29]Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid, terjemahan, Abdurrahman dkk, Juz 2, Asy-Syifa’,
Semarang, 1990, h. 477
[30] http://fikihonline.blogspot.com/2010/04/macam-macam-talak.html, Akses 15
Feb 2015
[31]Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ
al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ,
(Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 653;
[32] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ
al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2,
h. 653
[33] Musthafa Dib
al-Bagha, al-Tawzhîb fi Adillaħ min al-Ghâyaħ wa al-Taqrîb, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, h. 173
[34] Mahmud Mathrajiy, al-Majmû' Syarh al-Muhadzdzab al-Imâm al-Nawawiy,
(Beirut: dar al-Fikr, 2000), Juz 18, h. 277-278
[35] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ
al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2,
h. 243.
[36] 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i',
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88. Lihat juga:
al-Hasariy, ibid., h. 212;
[37]Lihat, Burhan al-Din Abi al-Hasan 'Ali Ibn Abi Bakr 'Abd al-Jalil
al-Rasyidaniy al-Marghinaniy, al-Hidayah Syarh Bidayat al-Mubatadi`,
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), Juz 1, h. 247; Lihat Juga: Wahbah
al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr,
1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 426
[38] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ
al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2,
h. 212; Lihat juga, 'Ala al-Din Abi Bakr Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa
al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88.
[39] 'Ala al-Din Abi Bakr
Ibn Mas'ud al-Kasaniy, Bada`i' wa al-Shana`i', (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 3, h. 88; Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ
al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ,
(Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 213.
[40] Muslim, Shahih
Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.th.), Jilid 2, h. 1093
[41] Al-Nasa`iy, Sunan al-Nasa`iy, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.), Jilid 3, h. 102
[42] Ahmad al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ,
al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar
al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 246.
[43] Lihat,
Pasal 163 ayat (1) dan (2) Kompilasi
Hukum Islam
[44] Maksudnya:
isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. Tentang
masa iddah, lihat QS. Al-Baqarah (2):
228, 234; dan QS. aț- Țalaq (65): 4.
[45] Lihat, Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh,
(Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 425; dan Lihat, Ahmad
al-Hashariy, al-Wilâyaħ al-Washâyaħ, al-Thalâq fi al-Fiqħ al-Islâmiy li
Ahwâl al-Syakhshiyyaħ, (Beirut: Dar al-Jil, 1992), cet. Ke-2, h. 231
[46] Abdurrahman
al-Jaziriy, al-Fiqħ 'Ala Madzâħib al-Arba'aħ, (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), Juz 4, h. 300-301
[47] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus,
Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7, h. 430
[48] Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh
al-Islâmiy wa Adillatuh, (Damaskus, Dâr al-Fikr, 1989), cet. Ke-3, Juz 7,
h. 431
[49] Djaman
Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Cet I, 1993, h. 137
[50] Djaman
Nur, Fiqih Munakahat, Dina Utama, Semarang, Cet I, 1993, h. 138
[51] Alhamdani, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta,
1980, h. 184
[52] Pasal
38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[53] Lihat
Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[54] Pembedaan antara cerai thalaq dan cerai gugatan
ini dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 14 sampai dengan
pasal 36. Pasal 14 sampai dengan pasal 18 adalah mengatur tentang cerai thalaq,
sementara pasal 20 sampai dengan pasal 36 adalah mengatur tentang cerai
gugatan. (hal ini dapat dipahami dengan memperhatikan Penjelasan atas PP No. 9
Tahun 1975).
[55] Mereka itu
adalah pakaian bagimu, dan kamu-pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS.
Al-Baqarah (2): 187)
[56] Abdul
Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Grup 2010), h. 220
[57]Abdul Rahman Ghozali. Fiqh Munakahat. (Jakarta:Prenada Media
Grup. 2010), h. 220; Lihat, Zakiah
Daradjat, (et al) Ilmu Fiqh, jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1995), h. 192; Depag RI, Ilmu Fiqh,
(Jakarta: Dirjen Binbaga Islam, 1984/1985), cet,2, h. 251.
[58]Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwaḑ.
Khulu' yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang
disebut 'iwaḑ.
[59] Dasrizal Dahlan, Putusnya Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun
1974 dan Hukum Perdata Barat (BW); Tinjauan Hukum Islam. (Jakarta : PT.
Kartika Insan Lestari, 2003), h. 201
[60] Isni Bustami, Perkawinan dan Perceraian
dalam Islam, (Padang : IAIN IB Press, 1999), h. 136
[61] Supriatna dkk, Fiqih Munakahat II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
17
[62]Asevy Sobari, Advokat
& Konsultan Hukum,https://
www.blogger. com/ profile/ 09735696252797569363, Akses 14 Februari 2015
[63] Iddah, ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh
talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya; sehingga pada
masa iddah ini si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru
dengan laki-laki lain.
[64] Menurut amandemen Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1970 sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan
sekarang diganti dengan Pasal 2 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004
[65] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2007), h. 180-181; Lihat Juga, A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 137-146
[66] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 159
[67] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata
di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), cet, 4, hlm. 445
[68] Pasal 5
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
[69] Pasal
39 ayat (1) dan (2) UUP No 1 tahun 1974: “(1)
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua
belah pihak; (2) untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alas an, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami isteri”
[70] Meminjam dan mengutip istilah Asevy Sobari, Advokat
& Konsultan Hukum, http: //asevysobari. blogspot.com/2014/11/
alasan-perceraian.html, Akses 12 Februari
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar