Selasa, 17 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB II)


BAB II

PERKAWINAN

 

A.    Pengertian Perkawinan


Perkawinan dan atau sering disebut pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Namun itu adalah suatu cara  yang dipilih oleh Allah Swt, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.[1] Menurut bahasa, nikah berarti peng-gabungan dan percampuran; bisa juga berarti menghimpun dan mengumpulkan.[2] Sedangkan menurut istilah syara’, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal; [3] dan bisa juga diartikan menurut syara’ ialah:


عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ اِباَحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ نِكاَحٍ أَوْتَزْوِيْجٍ, وَهُوَ حَقِيْقَةٌ فِي اْلعَقْدِ مَجاَزٌ فِي اْلوَطْءِ عَلىَ لصَّحِيْحٍ


“Akad yang menjadi perantara diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan kata nikah, atau tazwȋj, sedangkan nikah adalah makna hakikat didalam akad dan bermakna majazi dalam waț’ȋ, hal ini menurut qaul yang şahih”.[4]


Sayyid Sabiq dalam bukunya “Fiqh Sunnah” mendefinisikan nikah sebagai berikut:


اَلزَّوْجِيَّةُ سُنَّةٌ مِنْ سُنَّةِ اللهِ فِي اْلخَلْقِ وَالتَّكْوِيْنٌ وَهِيَ عاَمَةٌ مُطَرَّدَةٌ لَا يَسُدُّ عَنْهاَ عاَلَمُ اْلاِنْساَنِ اَوْ عاَلَمُ اْلحَيَوَانِ أَوْ عاَلَمُ النَّباَ تِ


"Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan".[5]


Keterangan tersebut, diperjelas dalam firman Allah QS. Aż-Źȃriyȃt, (51): 49 yaitu:




“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat (kebesaran Allah)”. (QS. Ad-Dzariyat (51): 49)


Kata nikah dalam al-Qur’an terkadang digunakan untuk menyebut akad nikah, tetapi terkadang juga dipakai untuk menyebut suatu hubungan seksual. Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah, QS. An-Nisȃ’ (4): 3




Maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat  aniaya”. (QS. An-Nisa’ (4): 3)


Contoh lain adalah firman Allah QS. An-Nisȃ’ (4): 22:




“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh.’’(QS. An-Nisȃ’ (4): 22)


Kedua ayat di atas  dipahami untuk mengurai dan mengartikan semata-mata untuk melaksanakan akad nikah (menikah), bukan berarti al-waț-u atau al-jimȃ’u (melakukan hubungan seksual). Sedangkan contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual [6] (al-waț-u atau al-jimȃ’u) adalah sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 230)


“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah (2): 230)


Arti nikah pada ayat ini dapat dipahami maksudnya sebagai al-waț-u atau al-jimȃ’u (melakukan hubungan seksual), bukan dimaksudkan sebagai akad nikah. Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus melakukan nikah (hubungan seksual) dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Jadi, senada dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Bagir,[7] bahwa melakukan nikah dengan suami yang kedua itu, tidak lain maksudnya adalah melakukan hubungan seksual.


Kedua makna nikah tersebut di atas, para Ulama berbeda pendapat dalam memahami makna yang hakiki dan makna yang majȃzi. sbb:


Pendapat pertama (Mażhab Syafi’iyah) yang disahihkan oleh Abu Thayib, Mutawali dan Qaḑi Husain: bahwa nikah pada hakikatnya digunakan untuk menyebut akad nikah, dan terkadang dipakai secara majȃzi untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat şahih dari mazhab Syafi’iyah,[8]


Pendapat kedua (Mazhab Hanafiyah): mengemukakan bahwa nikah pada hakikatnya dipakai untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majȃzi untuk menyebut akad nikah.[9]


Terkadang kata pernikahan disebut dengan kata perkawinan. Dalam bahasa Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah “kawin” digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama; Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh.[10]


Nikah (اَنِّكَاحُ) berarti menghimpun atau mengumpulkan. Yaitu salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami istri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi.[11]


Ada beberpa definisi nikah yang dikemukakan ulama fikih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama mażhab Syafi’i mendefinisikannya dengan “akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu”. Ulama mażhab Hanafi mendefinisikannya dengan “akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara’”.[12]


Menurut Muhammad Abu Zahrah nikah adalah akad yang menjadikan halalnya hubungan seksual antara seorang lelaki dan seorang wanita, saling tolong-menolong diantara keduanya serta menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.[13]


Ibnu Qudamah -rahimahullaahu ta’ala- mengatakan bahwa nikah menurut istilah syar’i adalah suatu akad perkawinan dan lafaẓ nikah secara mutlak mengandung pengertian tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. Al-Qadhi berkata tentang adanya keserupaan dalam hakekat secara menyeluruh antara akad dan hubungan intim, [14] sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah QS An-Nisȃ’ (4): 22




“dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”.[15]


Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.


Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miiśȃqan ghalȋẓan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[16] Jadi, perkawinan dapat diartikan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Perkawinan dalam arti sempit yaitu akad yang menghalalkan hubungan badan antara seorang laki-laki dan perempuan. Sedangkan perkawinan dalam arti luas yaitu akad atau ikatan antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, sakinah, mawaddah dan rahmah.


Pengertian Perkawinan menurut hukum adat, pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan berarti sebagai "perikatan perdata" tetapi juga merupakan "perikatan adat" dan sekaligus merupakan "perikatan kekerabatan dan ketetanggaan". Menurut Hilman, tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri maupun pihak suami.[17] Jadi, terjadinya perikatan perkawinan bukan saja semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan, dan ketetanggaan, serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan dengan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan sesama manusia (mu'amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat dunia dan akhirat.


B.     Dasar Hukum Perkawinan


Hukum perkawinan, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan erat dengan akibat dari perkawinan tersebut.


Al-Qur’an telah mensinyalir, bahwa semua makhluk hidup diciptakan berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan, termasuk didalamnya adalah manusia. Pengaturan manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam aturan-aturan tersendiri. Sebagaimana firman Allah Swt. QS. An-Nisȃ’ (4): 1

“Wahai manusia!, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan Allah menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri) nya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan (silaturrahim). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [18]


 Ditegaskan juga dalam QS. Ar-Rŭm (30): 21  

“Dan diantara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rŭm (30): 21)

    

Menurut para sarjana Ilmu Alam mengatakan bahwa segala sesuatu kebanyakan terdiri dari dua pasangan. Misalnya, air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik (positif dan negatif) dan sebagainya. Apa yang dinyatakan oleh para sarjana ilmu Alam tersebut sesuai dengan pernyataan Allah Swt sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an. QS. Aż-Źȃriyȃt (51):  49


”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu   mengingat (kebesaran Allah)”.


Dasar hukum perkawinan ini disusun berdasarkan sumber hukum Islam, yakni:


1.  Menurut Al-Qur’an:


“   Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (masih membujang) [19] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nŭr (24): 32


   


“Allah menjadikan bagi kamu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bațil dan mengingkari nikmat Allah?".QS. An-Nahl (16): 72

2. Menurut Hadiś:


Hadiś Rasulullah Saw dari Abdillah, yang diriwayatkan oleh Bukhari:


عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ:كُنَّا مَعَ النَّبِىٍّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْىأً فَقَالَ لَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَالشَّبَابِ:مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ.فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِ نَّهُ أَغَضُ لِلْبَصَرِوَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ,وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاء.ٌ(روه البخارى)[20]


”Dari ‘Abdillah bin Mas’ud berkata: Di zaman Rasulullah Saw, kami adalah pemuda-pemuda yang tidak memilki apa-apa. Rasullullah Saw berkata kepada kami, ‘Hai para pemuda! Siapa yang mampu berumah tangga, kawinlah! Perkawinan itu melindungi pandangan mata dan memelihara kehormatan. Tetapi siapa yang tidak sanggup kawin, berpuasalah, karena puasa itu merupakan tameng baginya’.” (H.R. Bukhari) [21]


 

Sebuah hadiś yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan Qabul kewajiban laki-laki:


أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ[22]


“Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh walinya maka pernikahannya tidak sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)


Berdasarkan keterangan naş di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan dalam hukum Islam diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadiś. Perkawinan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Meskipun perkawinan itu asalnya mubah, namun dapat berubah menurut kondisi dan keadaannya, sbb:


 a.       Wajib


Yaitu pernikahan yang harus dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) juga memiliki nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir dirinya melakukan perbuatan zina manakala tidak melakukan pernikahan. Keharusan menikah ini didasarkan atas alasan bahwa mempertahankan kehormatan diri dari kemungkinan berbuat zina adalah wajib. Dan satu-satunya sarana untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina itu adalah nikah, menjauhkan diri dari yang haram adalah wajib, sedang untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan nikah, maka menikah menjadi wajib bagi orang yang seperti ini.


b.      Sunnah (dianjurkan/ az-zawaj al-mustahab)


Yaitu pernikahan yang dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki nafsu biologis, tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan melakukan zina; memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi, serta sehat jasmani dalam artian memiliki nafsu syahwat (tidak impoten), maka dia tetap dianjurkan supaya menikah meskipun orang yang bersangkutan merasa mampu untuk memelihara kehormatan dirinya dan kemungkinan melakukan pelanggaran seksual, khususnya zina. dalam hal seperti ini maka nikah lebih baik daripada membujang karena membujang tidak diajarkan oleh Islam. Sebab, Islam pada dasarnya tidak menyukai pemeluknya yang membujang semur hidup;


Sebagaimana didasarkan pada hadis Nabi Saw:


عَنْ عَبْدِ الله قَا لَ قَالَ لَنَا رَسُو لُ الله صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَا بِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَا ءَ ةَ فَلْيَتَزَ وَّ جُ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وّاَحْصَنُ لِلْفَرْ جِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ. (اخرجه مسلم في كتاب النكاح)[23]    

“Dari Abdillah berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah, maka nikahlah, sesungguhnya nikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga farji (memelihara kehormatan/kemaluan); sedang bagi yang belum mempunyai kemampuan menikah agar menunaikan ibadah puasa, sebab puasa dapat menjadi penawar nafsu sahwat”. (diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah).

c.       Haram


Yaitu pernikahan yang dilakukan bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban batin seperti mencampuri isteri, serta nafsunya pun tidak mendesak, sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat untuk mencapai yang haram secara pasti, sesuatu yang menyampaikan kepada yang haram secara pasti, maka ia haram juga. Jika seseorang menikahi wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikah menjadi haram untuknya. [24]


Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyari’atkan dalam Islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat. Hikmah kemaslahatan ini tidak tercapai jika nikah dijadikan sarana mencapai bahaya, kerusakan, dan penganiayaan; sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Baqarah (2): 195


“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,…”


Selain keharaman tersebut di atas, Zakiah Daradjat [25] menambahkan haram pula hukumnya suatu pernikahan, apabila seseorang menikah dengan maksud untuk menelantarkan perempuannya, wanita yang dinikahi itu tidak diurus, hanya bermaksud agar wanita itu tidak dapat menikah dengan laki-laki lain.

d.      Makruh


Yaitu jenis pernikahan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kemampuan biaya hidup memberi belanja isteri, meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis (lemah syahwat) meskipun memiliki kemampuan ekonomi (kaya), walaupun ketidakmampuan biologis atau ekonomi itu tidak sampai membahayakan (merugikan) salah satu pihak khususnya istri. Jika kondisi seseorang seperti itu tetapi dia tetap melakukan pernikahan, maka pernikahannya (tidak disukai) karena pernikahan yang dilakukannya besar kemungkinan menimbulkan hal-hal yang kurang disukai oleh salah satu pihak.


e.       Mubah (ibȃhah)


Yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa ada faktor-faktor yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi. Pernikahan ibȃhah inilah yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat luas, dan oleh kebanyakan ulama’ dinyatakan sebagai hukum dasar atau hukum asal dari nikah. [26]


Menurut Sayyid Sabiq, bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan untuk nikah belum membahayakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak haram bila tidak nikah.[27]


Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan bagi orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan, bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan pengahambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan nikah, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.[28]


Uraian di atas menggambarkan bahwa dasar perkawinan menurut Islam, pada dasarnya bisa menjadi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya.


C.    Rukun dan Syarat Perkawinan


Rukun, merupakan sesuatu yang mesti ada dan menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu sendiri, seperti membasuh untuk wuḑu dan takbȋratu al-ihram untuk șalat, [29] atau adanya calon pengantin laki-laki, dan calon pengantin perempuan dalam perkawinan.


Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat dalam șalat, atau menurut Islam, calon mempelai laki-laki/ perempuan itu harus beragama Islam. Sah adalah sesuati pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan.[30] 


Baik rukun maupun syarat, sebagaimana ditegaskan oleh khoiruddin Nasution, memang tidak seorangpun fuqaha konvensional yang secara tegas memberikan definisi rukun dan syarat perkawinan, bahkan fuqaha konvensional tidak menyebutkan mana syarat dan mana rukun.[31]  Namun diakuinya bahwa memang ada beberapa fuqaha yang menyebutkan unsur mana yang menjadi syarat dan unsur mana yang menjadi rukun perkawinan.


Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:


1.      Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan;


2.      Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.


3.      Adanya dua orang saksi


4.      Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.


Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat: Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:


  1. Wali dari pihak perempuan
  2. Mahar (maskawin)
  3. Calon pengantin laki-laki
  4. Calon pengantin perempuan
  5. Sighat akad nikah[32]


Imam Syafi’i yang dikemukakan oleh al-Nawawi berpendapat bahwa, rukun nikah itu ada empat macam, yaitu:


  1. Calon pengantin (laki-laki dan perempuan);
  2. Wali (dua orang yang melakukan akad; yaitu wali/ wakil dan calon suami);
  3. Dua orang saksi;
  4. Sighat akad nikah (Ijab dan qabul).[33]

 

Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki).


Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, sebagaimana terlihat di bawah ini:


Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan;

  1. Adanya wali;
  2. Adanya saksi; dan
  3. Dilakukan dengan sighat tertentu.[34]

Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali, sama sekali tidak menyebut secara tegas tentang syarat dan rukun perkawinan. Pembahasan yang ada hanya statemen-statemen yang mengarah kepada rukun dan syarat perkawinan, seperti menyebutkan perkawinan sah bila ada wali dan saksi. Dasar hukum adanya keharusan wali dan saksi dalam perkawinan menurut Qudamah, adalah sabda Nabi yang mengatakan: “tidak ada perkawinan kecuali harus dengan wali”[35].


 


Jadi, yang dimaksud dengan syarat perkawinan disini ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.


D.    Prinsip-Prinsip Perkawinan


Asas-asas dan/atau prinsip-prinsip perkawinan yang dimaksud disini adalah dasar-dasar atau norma-norma umum yang seharusnya dipegangi dan sekaligus diamalkan oleh pasangan dalam menempuh bahtera rumah tangga menurut hukum Islam.


Ada beberapa ayat al-quran yang berbicara sekitar prinsip-prinsip perkawinan, diantaranya: QS Al-Baqarah (2): 187, 228 dan 233; QS. An-Nisȃ’ (4): 9, 19, 32 dan 58; An-Nahl (16): 90; at-Talak (65): 7.


Berdasarkan ayat-ayat di atas, Khoiruddin Nasution mengungkapkan, minimal ada 5 prinsip perkawinan:[36]


  1. Prinsip musyawarah dan demokrasi;
  2. Prinsip menciptakan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam kehidupan keluarga;
  3. Prinsip menghindari dari kekerasan;
  4. Prinsip bahwa hubungan suami dan isteri adalah sebagai partner;
  5. Prinsip keadilan.

 Selain 5 prinsip tersebut di atas, masih ada prinsip lain, diantaranya:


1      Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya adalah diadakan khitbah (peminangan) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak;


2.      Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan;


3.      Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri;


4.      Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tenteram, damai, dan kekal untuk selama-lamanya;


5.      Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.


 

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, sebagaimana termaktub didalam penjelasan umumnya, sebagai berikut:


 

1.      Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.[37]


2.      Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.[38]


3.      Undang-undang ini menganut asas monogamy. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.[39]


4.      Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon suami istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.[40]


5.       Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian.[41] Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan non Islam.


6.      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.[42]


 


Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Undang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar.


Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alqur’an dan alhadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai berikut:


1.      Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal;


2.      Asas keabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang;


3.      Asas monogami terbuka;


4.      Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian;


5.      Asas mempersulit terjadinya perceraian;


6.      Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah  tangga dan kehidupan masyrakat;


7.      Asas pencatatan perkawinan.


 

E.     Tujuan Perkawinan


Istilah yang dipakai para ahli dalam menyebutkan tujuan perkawinan, ada yang memakai istilah tujuan, ada juga yang memakai istilah manfaat, dan ada juga yang memakai istilah faedah serta ada pula yang menyebutnya dengan hikmah perkawinan. Demikian juga para ahli tidak sama dalam menyebutkan banyaknya tujuan perkawinan serta urut-urutannya. Dalam pembahasan ini dipakai istilah tujuan.


Menurut Khoiruddin Nasution, ada sejumlah ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan, yang bila disimpulkan akan tampak minimal lima tujuan umum.[43] Penetapan tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw.


Sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan itu:


1.      Bertujuan untuk membangun keluarga sakinah;


2.      Bertujuan untuk regenerasi dan/atau pengembangbiakan manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi agama Islam;


3.      Bertujuan untuk pemenuhan biologis (seksual);


4.      Bertujuan nuntuk menjaga kehormatan;


5.      Bertujuan ibadah, yang dapat dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis. [44]


Disebutkan dalam QS. ar-Rŭm (30): 21;[45] dalam hal ini tujuan perkawinan dimaksudkan agar tercipatanya kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Begitu juga, disebutkan dalam QS. an-Nahl (16): 72, [46] QS.an-Nisȃ’ (4): 1, untuk tujuan regenerasi dan/atau penegembangbiakan manusia (reproduksi).[47] Dengan tercapainya tujuan reproduksi, maka tujuan memenuhi kebutuhan biologis, sebagaimana difirmankan dalam QS.al-Ma’arij (70): 29-31, Al-Baqarah (2): 187, 223 dan QS. an-Nŭr (24): 33, akan dengan sendirinya tercapai, sekaligus terciptanya ketenangan dan cinta kasih dalam kehidupan keluarga.


Lebih lanjut tujuan perkawinan, adalah menjaga kehormatan diri sendiri, anak dan keluarga, sebagaimana ditegaskan dalam QS.al-Ma’arij (70): 29-31, QS. al-Mu’minŭn (23): 5-7, QS. an-Nŭr (24): 33. Tujuan yang tidak dapat ditinggalkan dalam perkawinan dapat dipahami secara implisit dalam al-quran, bahwa salah satu tujuan hidup manusia adalah ibadah. Hal ini dapat dipahami dalam QS. al-Mu’ minŭn (23): 115,[48] QS. Aż-Źȃriyȃt (51): 56. [49]


Sementara sunnah Nabi Muhammad Saw yang berbicara tentang tujuan perkawinan ialah:


 


عَنْ عَبْدِ الله قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاع مِنْكُمُ الْبَا ءَةَ فَلْيَتَزَوَّجُ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وّاَحْصَنُ لِلْفَرْ جِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ  (اخرجه مسلم في كتا ب النكا ح) [50]   


“Dari Abdillah berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami, “hai para pemuda barang siapa diri kalian mampu untuk menikah, maka nikahlah, sesungguhnya nikah itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga farji (memelihara kehormatan/kemaluan); sedang bagi yang belum mempunyai kemampuan menikah agar menunaikan ibadah puasa, sebab puasa dapat menjadi penawar nafsu sahwat”. (diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Nikah).


ولكني أصُومُ وأفْطِرُ ، وأصَلِّي وأرْقُدُ ، وأتَزَوَّجُ النِّساءَ ، فَمَن رغِبَ عَنْ سُنَّتِي فليس منِّي ». أخرجه البخاري ومسلم. [51]


“Aku sendiri berpuasa, berbuka, şalat dan tidur, dan menikahi wnita, seraya mengatakan, siapa yang benci sunnahku, maka orang tersebut tidak termasuk umatku”.


Beberapa hadis tersbut mempertegas dan memperjelas tujuan perkawinan sebagaimana termaktub dalam al-Quran, yang menyatu dan terpadu (integral dan induktif), yang harus diletakan menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berkaitan,  baik yang berhubungan dengan suruhan untuk menikah bagi pemuda-pemudi yang sanggup/ mampu, merupakan perintah dan anjuran dari agama yang sebagai bagian dari ibadah, juga terdapat unsur sosial kemasyarakatannya, 


Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan tidak dirumuskan dalam pasal tersendiri tetapi disebutkan dalam rumusan perkawinan, yaitu dalam Pasal 1 bahwa tujuan tersebut ialah  “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[52]


Dalam KHI, tujuan.perkawinan disebutkan dalam Pasal 3 yaitu “untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.[53] Tujuan ini ditarik dari firman Allah dalam QS. ar-Rŭm (30) ayat 21.[54] Sekalipun secara redaksi berbeda, tetapi tujuan perkawinan menurut UU No. 1/1974 dengan KHI esensinya tidaklah berbeda, yaitu membentuk keluarga yang bahagia (sakinah) dengan dilandasi oleh mawaddah wa rahmah.


Secara eksplisit, ada sisi perbedaan tujuan perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI. Dalam Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 mendefenisikan perkawinan ialah: “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan UU Perkawinan tersebut, dapat diartikan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mencapai bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan defenisi Sayuti Thalib yaitu: perkawinan adalah perjanjian kokoh dan suci antara seorang perempuan dan laki-laki sebagai suami istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia, kasih mengasihi, tenteram dan kekal. Sedangkan defenisi kekal itu diambil dari ajaran Katolik Roma, yang mengartikan perkawinan itu adalah sehidup semati. Namun bisa juga diartikan bahwa perkawinan itu harus ada kesetiaan antara pasangan suami dan istri.


Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Artinya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen, Budha, Hindu adalah sah menurut UU Perkawinan. Berbeda halnya menurut Pasal 4 KHI yaitu ”perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”. Artinya KHI lebih menekankan perkawinan dalam konsep hukum Islam, namun tetap didasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 1974.


F.     Hikmah Perkawinan


Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia di dunia ini berlanjut dari generasi ke-generasi seterusnya. Juga menjadi penyalur nafsu birahi yang halal, melalui hubungan suami istri yang sah, serta menghindari godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan pada asas saling tolong-menolong dalam wilayah kasih sayang, dan berkewajiban untuk mengerjakan tugas di dalam rumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan.[55] Supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat.


Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi,[56] sebagaimana dikutip Abdul Rahman Ghozali, bahwa diantara hikmah-hikmah dari pernikahan adalah:


1.      Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu banyak, maka peroses pemakmuran bumi yang dikerjakan bersama-sama akan berjalan dengan mudah;


2.      Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya tertib dan teratur;


3.      Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan;


4.      Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi orang yang dikasihi. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. Istri berfungsi sebagai teman dalam suka dan duka, penolong dalam mengatur kehidupan. Sebagaimana yang dikehendaki dalam firman Allah (QS. Al-A’rȃf (7): 189)

“…Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang (tenang) kepadanya…”


5.      Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya;


6.      Pernikahan akan memelihara keturunan serta menjaganya. Didalamnya terdapat faedah yang banyak, antara lain memelihara hak-hak dalam warisan;


7.      Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik yang sedikit. Pernikahan pada umumnya akan menghasilkan keturunan yang banyak;


8.      Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya. Namun apabila masih meninggalkan anak dan istri, mereka akan mendo’akannya dengan kebaikan hingga amalnya tidak terputus dan pahalanya pun tidak ditolak. 


Adapun hikmah yang lain dalam pernikahan, yaitu: [57]


1.      Mampu menjaga kelangsungan hidup manusia dengan jalan berkembang biak dan berketurunan, serta memelihara nasab dengan baik yang memang sepenuhnya diperhatikan oleh Islam;


2.      Mampu menjaga suami istri terjerumus dalam perbuatan nista dan mampu mengekang syahwat serta menahan pandangan dari sesuatu yang diharamkan (perbuatan maksiat) ;


3.      Mampu menenangkan dan menentramkan jiwa dengan cara duduk-duduk dan bercengkrama antar suami isteri, saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak; menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan; [58]


4.      Mampu membuat wanita melaksanakan tugasnya sesuai dengan tabiat kewanitaan yang diciptakan, adanya pembagian tugas dan menimbulkan rasa tanggung jawab dalam mencukupi keluarga;


5.      Dalam salah satu pernyataan PBB yang diberitakan oleh harian “National” terbitan Sabtu 6 Juni 1959, sebagaimana dikutip oleh Bukhori, mengatakan:[59] “Bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih panjang umurnya, daripada orang-orang yang tidak bersuami istri, baik karena menjanda, bercerai atau sengaja membujang.

G.    Larangan dan Batalnya Perkawinan


1.      Perkawinan yang dilarang


Larangan perkawinan dalam bahasan ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan perkawinan; yakni perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki, atau sebaliknya laki-laki mana saja yang tidak boleh mengawini seorang perempuan. Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan wanita, karena: 

a.       Larangan Perkawinan Karena Pertalian Nasab;


Larangan perkawinan ini, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah (QS. An-Nisȃ (4): 23):


“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan [60]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuanmu sesusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

 


Berdasarkan ayat di atas, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (halangan abadi) karena pertalian nasab adalah:


1)      Ibu; yang dimaksud adalah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan ke-atas, yaitu; ibu, nenek (baik dari pihak garis keturunan ayah maupun ibu, dan seterusnya ke-atas);


2)      Anak perempuan; yang dimaksud adalah perempuan yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke-bawah, yaitu: anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke-bawah;


3)      Saudara perempuan (adik/ kakak); baik se-ayah se-ibu, se-ayah saja, atau se-ibu saja;


4)      Saudara perempuan ayah atau ibu (bibi dari pihak ayah atau bibi dari pihak ibu ); baik saudara sekandung ayah atau seibu;


5)      Anak perempuan dari saudara laki-laki atau anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan).[61]


Sebagaimana difirmankan Allah (QS. An-Nisȃ (4): 23), yaitu:


Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, [62] saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…


b.      Larangan Perkawinan karena hubungan Pertalian Kerabat (Semenda)


Perempuan-perempuan yang tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki untuk selamanya karena hubungan perkawinan (semenda) [63] adalah sebagai berikut:


1)      Ibu isterimu (mertua perempuan); termasuk juga nenek perempuan isteri, baik dari garis ibu atau ayah;


2)      Anak-anak isterimu yang dalam  pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri)


3)      Isteri-isteri anak kandungmu  (menantu); termasuk juga isteri cucu;


4)      Perempuan yang  telah dinikahi oleh ayah  (ibu tiri); tanpa disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ayah dan ibu.


Keharaman ini disebutkan dalam (QS. An-Nisȃ (4): 23), dan QS An-Nisȃ’ (4): 22, yaitu:


àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/u‘ur ÓÉL»©9$# ’Îû Nà2Í‘qàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6ø‹n=tæ ã   @Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ‹©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& ...


“Dan (diharamkan) atas kamu (mengawini) ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)…” (QS. An-Nisȃ (4): 23)


“dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu…” QS An-Nisȃ’ (4): 22.

c.       Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan

Hubungan sesusuan menjadikan orang mempunyai hubungan kekeluargaan yang sedemikian dekatnya. Mereka yang sesusuan itu telah menjadi saudara dalam pengertian hukum perkawinan ini, sehingga disebut saudara sesusuan; tetapi pendekatan ke-dalam saudara sesusuan, tidak menjadikan hubungan persaudaraan sedarah untuk terjadinya saling mewarisi. [64]


Larangan perkawinan karena hubungan sesusuan ini berdasarkan firman Allah yang terdapat dalam kelanjutan (QS. An-Nisȃ (4): 23), yaitu:

“Dan (diharamkan) atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; dan saudara perempuan sepersusuan”.


Hadis yang terkait:


اَنَّ رَسُوْلَ  الله صلى الله عليه وسلم كاَنَ عِنْدَ عاَ ئِشَةَ وَاَنَّهاَ سَمِعَتْ صَوْتَ رَجُلٍ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِ حَفْصَةَ . قاَ لَتْ عاَ ئِشَةُ : فَقُلْتُ ياَ رَسُوْلَ الله! أُرَاهُ فُلاَ ناً (لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَا عَةِ ) فَقَا لَتْ عَا ئِشَةُ : يَا رَسَوْلَ الله! هَذَا رَجُلٌ يَسْتَأْذِنُ فىِ بَيْتِكَ ، قَا لَتْ : فَقَالَ يَارَسَوْلَ  الله صلى الله عليه وسلم: "أُرَاهُ فُلاَناً" (لِعَمِّ حَفْصَةَ مِنَ الرَّضَاعَةِ ) فَقَالَتْ عَائِشَةُ : لَوْكاَ نَ فُلاَنٌ حَيًّا (لِعَمِّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ) دَخَلَ عَلَيَّ ؟ فَقَا لَ رَسُوْلَ  الله صلى الله عليه وسلم "نَعَمْ" اَنَّ الرَّضَاعَةَ تُحَرِّمُ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ "

“Pada suatu hari Rasulullah berada di kamar Aisyah dan Aisyah mendengar suara seorang laki-laki meminta izin masuk di rumah Hafşah. Aisyah berkata: Ya Rasulullah, saya pikir si fulan (seorang paman susuan Hafşah). Kemudian Aisyah berkata: Ya Rasulullah, dia meminta izin masuk kerumahmu, kata Aisyah; maka Rasulullah menjawab: saya pikir yang meminta izin itu si fulan (seorang paman susuan Hafşah). Aisyah berkata: sekiranya si-fulan itu masih hidup (seorang paman susuan Aisyah, tentu juga dia boleh masuk ketempatku)? Rasulullah menjawab: benar, sesungguhnya susuan itu mengharamkan apa yang diharamkan lantaran hubungan keluarga.” [65]

d.      Larangan pernikahan untuk sementara waktu (Mahram Ghairu Muabbad)

Mahram ghairu muabbad, yaitu larangan perkawinan yang berlaku hanya untuk sementara waktu disebabkan oleh hal tertentu; bila hal tersebut sudah tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku lagi. Larangan kawin untuk sementara itu berlaku dalam hal-hal seperti berikut:


1)      Mengawini (menghimpun) dua orang bersaudara dalam satu masa


Keharaman mengumpulkan (menghimpun) dua orang wanita bersaudara dalam satu masa perkawinan itu, disebutkan dalam lanjutan firman Allah QS. An-Nisȃ’ (4): 23

…dan diharamkan bagimu mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau…”


Hadis yang terkait:

عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ فَيْرُوزَ الدَّيْلَمِيِّ عَنْ أَبِيْهِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ يَارَسُولَ الله ، إِنِّي أَسْلَمْتُ وَ تَحْتِي أُخْتَانِ، فَقَالَ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم : طَلَّقْ أَيَتَهُمَا شِئْتَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَ اْلأَرْبَعَةُ إِلاَّ النَّسَائِيَّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالدَّارَ قُطْنِيُّ ، وَأَعَلَّهُ الْبُخَارِيُّ

“Dari Aḑ-Ḓahhȃk bin Fairuz Ad-Dailami, dari ayahnya r.a berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah masuk Islam sedang aku mempunyai dua istri kakak beradik, maka Rasulullah Saw bersabda: “Ceraikanlah salah seorang dari keduanya yang kamu kehendaki.” (HR. Ahmad dan Al-Arba’ah, kecuali An-Nasȃ’i. Hadis Ṣahih menurut Ibnu Hibban, Ad-Daraquțni, dan ma’lul menurut al-Bukhari)” [66]

2)      Poligami di luar batas (lebih dari 4 orang)


Seorang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak menikahi empat orang, dan tidak boleh lebih dari itu, kecuali bila salah seorang dari istrinya yang berempat itu telah diceraikannya, dan habis pula masa iddahnya. Dengan begitu perempuan kelima itu haram dinikahinya dalam masa tertentu, yaitu selama salah seorang di antara istrinya yang empat itu belum diceraikan.


3)      Larangan karena Ikatan Perkawinan


Seorang perempuan yang sedang terikat dalam tali perkawinan, haram dikawini oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama suaminya masih hidup atau belum dicerai oleh suaminya. Setelah suami mati atau ia diceraikan oleh suaminya dan selesai masa iddahnya, barulah ia boleh dikawini oleh siapa saja,[67] sepanjang tidak ada larangan lain yang menentukannya.


Keharaman mengawini perempuan bersuami itu, sebagaimana diungkap-kan  dalam QS. An-Nisȃ’ (4): 24


“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan, [68] (tawanan perang) yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu”.

4)      Larangan karena Talak Tiga (bȃ’in kubro)

Perempuan yang ditalak tiga, haram menikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau wanita itu sudah kawin lagi dengan orang lain dan telah berhubungan kelamin, juga telah dicerai oleh suami terakhir itu, serta telah habis masa ‘iddahnya. Hadis Rasulullah yang terkait dengan ini, sebagai berikut:

وَزَادَ ابْنُ رُمْحٍ فِى رِوَا يَتِهِ وَكَانَ عَبْدُ  الله إِذَا سُئِلَ عَنْ ذَلِكَ قَالَ: لِأَ حَدِهِمْ أَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَ امْرَأَتَكَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنَّ رَسُوْلَ  الله صلى الله عليه وسلم آَمَرَنِى بِهَذَا ، وَاِنْ كُنْتَ طَلَّقْتَهَّا ثَلاَثًا فَقَدْ حَرُمَتْ عَلَيْكَ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَكَ وَعَصَيْتَ  الله فِيْمَا أَمَرَكَ مِنْ طَلَاقِ امْرَأَتِكَ. قَالَ مُسْلِمٌ : جَوَّدَ الَّليْثُ فِى قَوْلِهِ : تَطْلِيْقَةً وَاحِدَةٌ . [69]


“Ibnu Ruhm menambahkan dalam riwayatnya: apabila Abdullah di tanya tentang hal itu (seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang haiḑ), maka dia mengatakan kepada salah seorang dari mereka (yang bertanya), “jika kamu menceraikan istrimu dengan talak satu atau talak dua, maka sesungguhnya Rasulullah Saw memerintahkan hal ini kepadaku; tetapi jika kamu menceraikan istrimu dengan talak tiga, maka mantan istrimu itu telah haram bagimu sampai dia menikahi lelaki selain kamu, dan engkau telah bermaksiat kepada Allah terkait dengan apa yang di perintahkan-Nya kepadamu dalam hal menceraikan istrimu.”


5)      Larangan karena Ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram umrah maupun haji, tidak boleh dinikahi. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Usman bin Affan:


سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم لَا يَنْكِحُ الْمَحْرَمُ وَلَايُنْكِحَ وَلَايَخْطُبُ . رواه مسلم [70]


“Saya mendengar Uśman bin Affan berkata: Rasulullah Saw bersabda: Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang” (Diriwayatkan Muslim dari Ustman bin Affan).”


6)      Larangan Karena Musyrik (Beda Agama)


Yang dimaksud dengan beda agama disini adalah, perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya. Dalam istilah fiqh disebut kawin dengan orang kafir. [71] Keharaman laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik atau perempuan muslimah kawin dengan laki-laki musyrik terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): 221


“Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik, meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik, meskipun dia menarik hatimu". (QS. al-Baqarah (2): 221)

Ayat 221 QS. al-Baqarah tersebut, tidak menyebutkan beda agama, melainkan menyebut perempuan dan laki-laki musyrik. Sedangkan yang dimaksud perempuan musyrik menurut Abdul Rahman Ghozali,[72] adalah “yang menyembah selain Allah”. Karena itu wanita ahlu al-kitab (wanita Nasrani dan wanita Yahudi) boleh dinikahi, berdasarkan Firman Allah dalam QS.al-Mȃidah (5): 5

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang Ahli al Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal (pula) bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan[73] diantara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya perempuan piaraan (gundik)”.


Hadis Terkait dengan larangan menikah beda agama, adalah:


عن أبي هريرة رضى الله عنه قال عن النبى صلى الله عليه و سلم قال : تَنْكِحُ الْمَرْأَةُ لآَرْبَعٍ, لِمَا لِهَا, وَلِنَسَبِهَا , وَلِجَمَلِهَا , وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ (رواه البخاري في كتاب النكاح) .


“Dari Abi Hurairah r.a berkata, Rasulullah s.a.w bersabda: "wanita itu boleh dinikahi karena empat hal: 1) karena hartanya; 2) karena asal-usul (keturunan) nya; 3) karena kecantikannya; 4) karena agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang memeluk agama Islam, (jika tidak), akan binasalah kedua tangan-mu (HR. Bukhari, dalam ‘Kitab an-Nikah’)”

7)      Larangan karena waktu Iddah

Perempuan yang sedang dalam waktu iddah, baik ‘iddah cerai maupun. ‘iddah ditinggal mati, berdasarkan firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 228 dan 234.

“Dan para isteri yang diceraikan (wajib) menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. [74] Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka (merujuknya) dalam (masa) menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah/perbaikan….” (QS. Al-Baqarah (2): 228 dan 234).[75]

8)       Istri yang putus perkawinan karena li’an

Menurut bahasa li’an diambil dari kata la’ana artinya laknat (kutukan). Maksudnya adalah laknat atau kutukan Allah kepada suami-istri yang saling bermula’anah atau saling kutuk yang lima kali mengucapkan kesediaan dilaknat oleh Allah. [76] Bisa juga berarti menjauhkan atau al-țardu min al-khair yang berarti pengusiran dari kebaikan atau dikeluarkan dari kebaikan, bisa juga isimnya adalah al-la’nah, maka jama’nya adalah li’än, li’änät. [77]


Menurut istilah syara’ li’an berarti sumpah seorang suami dimuka hakim bahwa ia berkata benar tentang sesuatu yang dituduhkan kepada istrinya perihal perbuatan zina, dengan tidak mengemukakan saksi, kemudian keduanya bersumpah atas tuduhan tersebut. [78]  Atau dengan kata lain suami menuduh istrinya berzina, dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai persyaratan bahwa sang suami bersedia untuk menerima laknat Allah apabila ia berdusta atas tuduhannya.[79] Dalam redaksi yang berbeda, li’än ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. [80]


Mencermati, arti li’an di atas, dapat dipahami bahwa, li’an adalah suami isteri yang saling menyatakan bersedia dilaknati oleh Allah setelah masing-masing suami isteri mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang dikuatkan dengan sumpah masing-masingnya, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan zina, atau suami tidak mengakui anak yang dikandung/dilahirkan oleh isterinya sebagai anaknya sendiri, dan pihak isteri bersikeras pula menolak tuduhan suami sedang mereka tidak memiliki alat bukti yang diajukan kepada hakim.


Dasar hukum pengaturan Li’an ini termaktub pada firman Allah QS. An-Nŭr (24): 6-7  


“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian masing-masing orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang  yang berkata benar”. (QS. An-Nŭr (24): 6)


“Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta” (QS. An-Nŭr (24): 7). [81]


Terhadap tuduhan suami tersebut, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa istri bersedia untuk menerima laknat/marah dari Allah jika suaminya memang benar dalam tuduhannya.[82] Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah suatu perceraian antara suami istri tersebut dan keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.[83]


2.      Batalnya Perkawinan

 

Pada dasarnya suatu perkawinan dikatakan batal (dibatalkan) apabila perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat sesudah diajukan kepengadilan. Dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan agama mempelai. Jika menurut agamanya perkawinan itu sah maka pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.[84]


 Didalam Pasal 85 KUHPerdata berlaku asas pokok, bahwa tiada suatu perkawinan menjadi batal karena hukum. Pernyataan batal suatu perkawinan yang bertentangan dengan undang-undang disyaratkan adanya keputusan pengadilan, keputusan yang demikian hanya boleh dijatuhkan dalam hal-hal yang diatur oleh undang-undang dan atas gugatan orang-orang yang dinyatakan berwenang untuk itu. [85]


Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami istri sesudah dilangsungkan perkawinan, karena adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut Pasal 22 Undang-undang perkawinan: yang menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan, namun bila rukun yang tidak terpenuhi berarti pernikahannya yang tidak sah.[86] Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 atau berdasarkan KHI


Perkawinan dapat dibatalkan berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 Pasal 22, 24, 26 dan 27, serta berdasarkan KHI pasal 70 dan 71 sebagai berikut:


a.       Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22);


b.      Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 24);


c.       Ayat (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat   perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri (Pasal 26 ayat (1));


Ayat (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah (Pasal 26 ayat (2));


d.      Ayat (1): Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum (Pasal 27 ayat (1));


Ayat (2): Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri (Pasal 27 ayat (2));


Ayat (3): Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur (Pasal 27 ayat (2)); 


Dalam Perspektif KHI, ditegaskan pada Pasal 70 KHI: bahwa Perkawinan batal apabila:


a.       Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’I;


b.      Seseorang yang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya;


c.       Seseorang menikahi istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul  dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;


d.      Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Paal 8 UU No.1/1974, yaitu:


1)      berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;


2)      berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;


3)      berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ayah tiri;


4)      berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi/paman sesusuan;


5)      Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.


Ditegaskan juga pada Pasal 71 KHI bahwa, Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:


1)      Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;


2)      Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud; [87]


3)       Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lainnya;


4)      Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam Pasal 7 UU No. 1/1974; [88]


5)      Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;


6)      Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.


Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut Pasal 23 UU No. 1 /1974 dan Pasal 73 KHI, yaitu:


Pasal 23


Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:


a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;


b.      Suami atau isteri;


c.       Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;


d.      Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.


Selain permohonan pembatalan perkawinan itu, Pasal 74 KHI juga mengatur tatacara beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu keberlakuan pembatalan perkawinan dimaksud.


Pasal 74 KHI:


(1)        Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan;


(2)        Batasnya suatu perkawinan setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan;


Walaupun sudah terjadi pembatalan perkawinan, mengenai anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut telah diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU perkawinan dan dalam Pasal 75 dan 76 KHI, yaitu:


 


Pasal 75 KHI


Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:


1)      Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad;


2)      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;


3)      Pihak ketiga sepanjang mareka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.


Pasal 76 KHI;


Batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya.


 


H.    Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif


a.    Perspektif Hukum Islam


Islam telah mengatur sedemikian rupa secara lengkap tentang masalah kehidupan manusia. Aturan­aturan tentang kehidupan manusia tersebut mengacu pada al­Qur’an sebagai aturan yang Allah SWT turunkan atau berikan kepada manusia melalui rasul­Nya. Kemudian nabi saw memberikan penjelasan dan tafsiran mengenai ayat­ayat al­Qur’an tersebut secara lebih detail dan jelas, karena nabi saw adalah utusan Allah SWT. Segala bentuk perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang dilakukan oleh beliau saw menjadi sandaran hukum. Sehingga sumber utama kaum muslimin dalam menjalankan kehidupan ini yang utama adalah kedua hal tersebut (al­Qur’an dan sunnah).


Setiap masalah dan silang interaksi dengan manusia telah diatur di dalam kedua sumber hukum utama tersebut, termasuk di dalamnya adalah hukum tentang perkawinan. Amir Syarifudin (2007)[89] menjelaskan, hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan atau pernikahan disebut dengan fiqih munakahat. Mengamalkan hukum yang diatur dalam fiqih munakahat merupakan bentuk ibadah karena diambil dari sumber hukum Islam Al Qur’an dan hadits. Melanggar hukum ini berarti melanggar pedoman yang ditetapkan Allah SWT.


Ketataan dan ketundukan umat Islam terhadap syariat Islam adalah mutlak hukumnya. Selain sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan rasul­Nya, menjalankan syariat dalam Islam juga bernilai pahala sementara yang meninggalkan atau mengabaikannya berarti dosa. Umat Islam percaya bahwa hanya dengan menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan rasul­Nya tersebut, mereka akan mendapatkan ridho Allah, mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa. Sehingga konsep ketaatan dan ketundukan tentang segala bentuk aturan hidup mengacu kepada hal yang paling utama dan pertama yaitu syariat. Sementara aturan­aturan atau konsep­konsep yang mengatur kehidupannya selain dari itu dianggap sebagai peraturan yang tidak sepenuhnya wajib ditaati. Artinya, mereka menganggap bahwa agama adalah hukum pertama yang harus dijunjung tinggi daripada peraturan perundang­undangan yang hanya dibuat oleh manusia.


Inilah masalah yang sering dihadapi di Indonesia dengan penduduk yang masyoritas muslim. Sebagai umat Islam, ketundukan dan kepatuhan terhadap hukum­hukum Allah SWT dan Rasul­Nya adalah sebuah kemutlakan. Di sisi lain, mereka juga harus tunduk terhadap aturan­aturan Negara yang mengatur terutama tentang masalah­masalah peribadatan mengingat perkawinan sejatinya juga merupakan ibadah dalam Islam. Ketaatan kepada syariat sebagai sesuatu yang mutlak dan memiliki konsekuensi khusus: terhindar dari dosa dan mendapatkan pahala bagi pelakunya. Sehingga apabila agama menyatakan keabsahan suatu tindakan hukum, maka masyarakat tidak perlu mempermasalahkannya karena tidak terikat dengan dosa. Sementara aturan­aturan Negara hanya memiliki konsekuensi sosial dan administratif bagi masyarakat yang tidak melakukannya. Atas kondisi ini, tak heran bila Khoirul Hidayah kemudian menyatakan bahwa terdapat dualisme hukum di tengah masyarakat Indonesia[90]. Di sinilah pentingnya KHI untuk mengakomodir kedua permasalahan hukum yang seolah­olah tidak menemukan titik temu tersebut.


Dualisme hukum ini tidak hanya berkaitan dengan keabsahan perkawinan, namun juga tentang syarat usia perkawinan. Di dalam Islam, tidak terdapat aturan yang jelas pada usia berapa seseorang dapat menikah. Jadi, meskipun masih di usia anak­anak bahkan balita sekalipun, akad perkawinan tetap sah. Para ahli fiqih sepakat bahwa seorang bapak berhak menikahkan anaknya, baik laki­laki maupun perempuan yang masih kecil[91]. Pendapat ini juga sejalan dengan Imam Abu Hanifah. Menurutnya, pernikahan anak yang masih kecil atas izin walinya adalah sah[92].


Orang tua boleh menikahkan anaknya yang masih kecil dan  hukumnya sah. Akan tetapi, bila sudah dewasa perempuan memilikihak untuk menolak, melanjutkan atau memutuskan ikatan per­ kawinan tersebut. Hal ini merupakan salah satu hak­hak perempuan dalam Islam. Sebagaimana disebutkan oleh Asghar Ali bahwa pada saat menginjak usia dewasa (baligh), sang anak berhak untuk melanjutkan atau memutuskan ikatan perkawinan tersebut. Hal ini bersifat mutlak dan tidak ada seorang pun yang dapat mencampuri keputusannya itu, bahkan orang tua atau kerabat yang lainnya[93]. Khoiruddin Nasution menambahkan bahwa hak untuk menentukan meneruskan perkawinan atau tidak tersebut selama belum terjadi hubungan seksual antara keduanya[94].


Di sini Islam menunjukkan bahwa kedewasaan itu sangat diperhatikan. Dalam Islam, ukuran kedewasaan itu adalah baligh. Baligh adalah kondisi seseorang yang sudah cakap untuk dipikulkan kewajiban hukum kepadanya karena sudah mengerti mana yang baik dan buruk untuknya. Terkait perkawinan, Islam memberikan hak penuh kepada anak yang sudah baligh untuk melanjutkan atau memutuskan perkawinannya. Dalam Islam, seseorang yang belum dewasa tidak dianggap cakap untuk berbuat hukum. Sebaliknya, anak yang sudah dewasa sudah mampu mengerti kebaikan dan keburukan sehingga cakap untuk berbuat hukum. Jadi, kedewasaan berkaitan pula dengan kemampuan, yaitu kemampuan untuk memposisikan diri berdasarkan perannya dengan melakukan tindakan­tindakan yang seharusnya dilakukan.


Mengenai kemampuan ini, Rasulullah SAW bersabda terkait perkawinan:


“Dari  Abdullah  bin  Mas‟ud  r.a.:  sungguh  telah  berkata  Rasulullah SAW kepada kami: „wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu  yang  telah  mampu  melakukan  jima‟,  maka  menikahlah. Barangsiapa yang tidak mampu menikah hendaknya berpuasa, karena puasa dapat mengekang hawa nafsunya” (HR. Bukhari).


Dalam hadist tersebut ada kata ‘al ba’ah” sebagai kata penting yang berkaitan dengan pembahasan ini. Menurut pendapat yang pertama, kata tersebut memiliki makan etimologi, yaitu jima’ (maksudnya memiliki kemampuan berhubungan seksual). Sedangkan pendapat yang kedua mengartikan “al ba’ah” sebagai kemampuan ekonomi. Akan tetapi Imam Nawawi memiliki pendapat yang lebih masuk akal. Beliau berpendapat dengan menggabungkan dua pendapat di atas, yaitu bahwa seseorang yang telah mampu melakukan jima dan telah siap secara ekonomi, maka dia dianjurkan untuk menikah[95].


Menurut Ahmad Kosasih, hadits di atas menganjurkan para pemuda untuk menikah, yaitu bagi mereka yang telah sanggup melakukannya. Demikian ini adalah untuk menjaga mereka dari perlakuan seksual yang menyimpang. Dengan menjaga kesucian diri dengan menikah, mereka akan mendapatkan ketenangan jiwa yang sesungguhnya[96]. Kalau melihat pendapat Ahmad Kosasih tersebut, tampaknya kemampuan atau al ba’ah di atas artinya lebih dominan pada kemampuan melakukan hubungan secara seksual karena arahannya adalah untuk menjaga dari perilaku menyimpang atau maksiat.


Anjuran menikah bagi mereka yang sudah mampu dalam hadits di atas juga menjadi perdebatan di kalangan ahli fikih, apakah mereka yang sudah mampu secara seksual atau mampu secara ekonomi, meskipun banyak yang sependapat dengan Imam Nawawi bahwa artinya mampu kedua­duanya. Mengenai kapan waktu pelaksaannya pernikahan, Asghar Ali (1994) menegaskan bahwa di dalam al­Qur’an sendiri sebenarnya tidak terdapat konsep perkawinan anak­ anak. Al­Qur’an hanya menekankan bahwa perkawinan merupakan penyatuan laki­laki dan perempuan sebagai prokreasi dan hiburan di antara keduanya. Di sana tidak disebutkan perkawinan harus dilaksanakan dengan siapa dan kapan waktu pelaksanaannya[97]. Artinya, tidak ada patokan usia perkawinan yang menjadi dasar larangan anak­anak untuk dinikahkan.


Perkawinan untuk anak­anak atau usia yang masih kecil ini didasarkan pada kisah perkawinannya Siti Aisyah r.a dengan Rasulullah saw yang menurut pemahaman kita terjadi pada usia enam tahun. Padahal menurut Maulana Umar tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi pada saat Siti Aisyah berusia enam tahun. Maka dari itu, ia berusaha membuktikan pernikahan Siti Aisyah terjadi pada usianya yang menginjak 16 atau 17 tahun[98]. Meskipun, Muhammad al Amin mengutip pendapat Ibnu Syabramah, yaitu bahwa perkawinan Siti Aisyah r.a. di usia enam tahun tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum karena dikhususkan bagi Rasulullah SAW, sebagaimana beliau boleh menikahi perempuan lebih dari 4 orang[99]. Artinya, bila itu disandar­ kan kepada Rasulullah saw, ada hal­hal yang boleh dijadikan sandaran dan tidak dapat dijadikan ukuran.


Dalam kajian dan pekembangan hukum tentang pernikahan, usia menjadi pertimbangan penting dalam pembentukan keluarga yang kekal dan bahagia. Orang dewasa memiliki kematangan untuk dapat memikul tanggungjawab sebagai suami dan istri, baik secara biologis untuk keperluan melahirkan keturunan maupun secara psikis­sosial untuk hubungan rumah tangga suami­istri dan kemasyarakatan. Masalahnya adalah belum ada kejelasan definisi dewasa yang dianggap mampu mewakili sekian indikator karakteristik individual untuk menjalani masa berkeluarga. Secara biologis, seseorang dikatakan dewasa jika sudah mimpi bagi laki­laki, dan telah haid bagi perempuan. Namun, tanda­tanda dewasa atau baligh tersebut tidak menjamin adanya kemampuan seseorang dalam berpikir dan bersikap dewasa.


Masalah kedewasaan ini tidak disinggung secara jelas dalam Islam, sehingga dalam perkembangannya banyak yang kemudian menjadikan faktor kedewasaan sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan. Ramulyo[100] misalnya, secara tegas mensyaratkan calon mempelai haruslah berakal dan baligh, yaitu mampu mempertanggungjawabkan suatu perbuatan dan mampu memerankan dirinya sebagai suami atau istri. Menurutnya, seorang laki­laki sudah dikatakan dewasa pada usia 25 tahun, sedangkan perempuan usia 20 tahun, atau minimal 18 tahun. Namun, usia nikah ini bukanlah batasan yang mutlak karena kedewasaan seseorang itu tergantung dari individu masing­masing dengan melihat pada kondisi fisik dan psikisnya.


Sulitnya menentukan ukuran dan batasan kedewasan sebagai syarat penting dalam pernikahan tampaknya menjadikan Islam tidak sepenuhnya secara jelas mengatur masalah tersebut. Islam hanya menandakan seorang dikatakan dewasa bila sudah baligh, dengan ketentuan mimpi basah untuk laki­laki dan haid untuk perempuan. Akan tetapi, indokator tersebut tidak menjamin seseorang sudah  dewasa secara psikis sehingga cakap dan mampu memikul tanggung­ jawab suami­istri. Meski demikian, Soemiyati[101] mengatakan bahwa umur tetap menjadi penentu kedewasaan seseorang. Menurutnya, untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, suami istri harus sudah matang jiwa dan raganya.


Jika mengacu pada pendapat Soemiyati tersebut, kematangan jiwa dan raga menjadi aspek penting dalam perkawinan. Meskipun ukuran standar berapa usia yang cakap untuk dapat dikatakan dewasa masih dalam perdebatan, usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki­laki dalam ketentuan UU No. Tahun 1974 belum dapat dikatakan memiliki kematangan jiwa dan raganya. Kalaupun ada anak di usia tersebut sudah mampu berpikir dewasa karena faktor lingkungan, dalam arti mampu dari aspek kejiwaan, tetapi secara biologis (jasmani), dia tetap anak­anak. Hal ini sangat berbahaya bagi perempuan, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan reproduksinya.


Melerai perdebatan tersebut, kita dapat kembali mengacu pada hadits Nabi saw di atas, mengingat hadits adalah tafsir pertama tentang al­Qur’an yang kebenarannya langsung dari Nabi saw sebagai utusan Allah SWT. Dalam hadits tersebut ‘al ba’ah’ berarti adalah kemampuan untuk menikah, sehingga pendapat Imam Nawawi yang paling rasional dan diterima di sini, yaitu mampu secara biologis dan mampu secara psikis atau mampu jiwa dan raga. Sehingga umur tidak lagi menjadi bahan yang diperdebatkan sebagai patokannya, melainkan kemampuan jiwa dan raganya. Islam menjadikan patokan itu menjadi lebih luas dan dapat diterima dengan mudah.


b.    Perspektif Hukum Positif


Dalam hukum positif, peraturan mengenai usia perkawinan akan terkait dan mempertimbangkan beberapa undang­undang atau aturan dalam pemerintah. Karena menikah terkait dengan tangung­ jawab yang harus diemban oleh masing­masing pasangan. Di dalam pernikahan, ada hak tanggungjawab di antara keduanya, karena itu penentuan usia perkawinan menyinggung beberapa ketentuan sebagai pertimbangan.


1.    UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Sumber pertama dalam hukum positif adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia yang menetapkan bahwa seseorang hanya boleh menikah pada usia 21 tahun, baik laki­laki maupun perempuan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) Undang­undang ini, yaitu:

Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua[102].

Kemudian pada Pasal 6 ayat (2) UU ini mengindikasikan adanya peluang bagi calon mempelai yang hendak menikah di bawah umur 21 tahun, tetapi harus dengan izin orang tua. Selain syarat perizinan dari orang tua, Undang­undang Perkawinan membatasi usia minimal perkawinan, yaitu 16 tahun (DPR sudah merevisi menjadi 19 tahun) bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 berikut:


Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun[103].

UU tersebut memberikan batas minimum usia pernikahan yang harus dilalui oleh pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan. Namun, bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan di bawah batasan minimal usia nikah tersebut, maka harus mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Selanjutnya Pengadilan akan memproses permohonan tersebut dengan memperhatikan pertimbangan­ pertimbangannya. Sejumlah alasan menjadi bahan pertimbangan penting pengadilan dalam mengambil keputusannya mengingat mereka yang hendak menikah masih terlalu dini dan belum ada kesiapan fisik dan psikis. Terkait dispensasi perkawinan ini, selanjutnya juga diatur dalam Pasal 7 ayat (2), berbunyi:


Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita[104].

Dari paparan di atas, kita melihat perbedaan yang begitu tajam antara hukum Islam (fikih) dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Hukum Islam sebagai hukum yang datangnya dari Tuhan lebih ditaati oleh masyarakat daripada hukum Negara. Hal ini karena hukum Islam memiliki efek di dunia dan lebih­lebih di akhirat sebagai konsekuensinya. Saat terjadi pelanggaran terhadap hukum Islam, pelaku akan dikenakan hukuman di dunia berupa ketidakberkahan dan akan disiksa di akhirat. Sedangkan hukum Negara sifatnya hanya keduniawian saja, sehingga masyarakat menganggapnya sebagai aturan yang konsekuensinya tidak terlalu berat.


Perbedaan aturan mengenai batasan minimal usia per­ kawinan antara hukum Islam dan hukum Negara ini tidak lantas membuat keduanya terlibat konflik di masyarakat. Amir Syarifudin berpendapat bahwa perbedaan kedua hukum yang sama­sama diakui di Indonesia tersebut tidak lantas menjadikan salah satu dari keduanya pincang. Akan tetapi, UU Perkawinan sebagai peraturan yang baru dilahirkan daripada fiqih munakahat, tidak pernah menyimpang dari hukum Islam. Apabila terdapat ketidaksamaan aturan, yaitu UU Perkawinan mengatur sesuatu yang tidak diatur di dalam fiqih, maka itu tidak lain ialah untuk kemashlahatan bersama. Contoh dalam hal ini ialah masalah batasan minimal usia perkawinan[105]. Usia perkawinan dalam UU memang dibatasi dan dalam Islam tidak ada batasan, namun ada dispensasi pernikahan yang dapat ditempuh bila ada yang ingin menikah dibawah usia minimal tersebut.


2.    Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)


Batasan usia dalam perkawinan juga disinggung dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang intinya juga tidak berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Batasan usia perkawinan ini dijelaskan dalam KHI pasal 15 sebagai berikut:


(Ayat 1) Untuk keselamatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

(Ayat 2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974[106].

Dalam KHI, usia perkawinan dibatasi karena untuk menjaga keselamatan keluarga dan rumah tangga agar terwujud keluarga yang kekal dan bahagia. Menurut KHI, laki­laki di bawah umur 19 tahun dan perempuan di bawah umur 16 tahun dinilai belum cakap dalam membina kehidupan berumah tangga. Hal ini mengingat, membina mahligai rumah tangga membutuhkan kedewasaan, kecakapan dan kemampuan secara fisik maupun piskis untuk menerima tanggungjawab sebagai suami istri.


Hal ini juga disinggung oleh Hilman Hadikusuma (2007)[107], menurutnya usia perkawinan perlu dibatasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak­anak yang masih asyik dengan dunia bermainnya. Jadi, agar dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka calon mempelai laki­laki dan perempuan harus benar­benar telah siap jiwa dan raganya, serta mampu berpikir dan bersikap dewasa. Membatasi usia perkawinan ini juga untuk menghindari terjadinya perceraian dini, supaya melahirkan keturunan yang baik dan sehat, dan tidak mempercepat pertambahan penduduk.


Melihat sejumlah alasan mengapa usia perkawinan perlu dibatasi di atas, tampaknya melihat efek sosial­biologis dari seorang bila dilakukan tanpa melihat kecakapan dan kedewasaan usia. Secara sosial, batasan usia perkawinan untuk menghindari kurang dewasanya berpikir sehingga rentan terjadi perceraian dan pertambahan penduduk yang begitu cepat. Secara biologis, batasan usia perkawinan menjadikan seseorang terhindar dari lahirnya keturunan yang tidak sehat karena belum matang secara bilogis dan kesehatan reproduksi.


3.    UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM)


Perkawinan melahirkan sebuah keluarga baru dalam ikatan yang suci dan diakui oleh Negara. Di dalam keluarga, lahir pulalah tanggungjawab masing­masing suami dan istri menurut agama maupun Negara. Di dalam tanggungjawab itu, ada hak dan kewajiban di antaranya keduanya. Oleh karena itu, saat seseorang melakukan perkawinan, lebih­lebih di bawah usia yang telah ditetapkan, maka seseorang akan bersinggungan dengan hak asasinya yang diatur dalam undang­undang. Menurut Muladi (2005)[108], pada prinsipnya hak adalah sesuatu yang dapat dituntut secara sah oleh pemegang hak apabila tidak dipenuhi atau diingkari.


Definisi hak asasi manusia secara lengkap terdapat di dalam Ketentuan Umum UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, di antaranya ialah:

Pasal 1


Ayat 1


Hak asasi manusia dalam perspektif UU No. 39 Tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah­Nya yang dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.


Pasal 1


Ayat 3


Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecahan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembelaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status  ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau  penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau peng­ gunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.


Pasal 1


Ayat 5


Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.


Pasal 1


Ayat 6


Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang­undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.


Pada dasarnya, menikah adalah kebutuhan dasar setiap manusia, baik laki­laki maupun perempuan. Sebagai kebutuhan dasar, maka orang lain tidak dapat menghalangi kehendak menikah  seseorang, selama tidak terdapat pelanggaran­pelanggaran hukum. Terkait hal tersebut, pada Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan:


Ayat 1


Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.


Ayat 2


Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami atau calon istri yang ber­ sangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan per­ undang­undangan.


 


Di sinilah pentingnya menyinggung UU tentang HAM ini dalam perkawinan karena perempuan dan anak­anak seringkali menjadi korban pelanggaran HAM. Banyak kasus pelanggaran yang dialami oleh kaum perempuan dan anak­anak sebagai kaum yang lemah seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, ekspolitasi sampai pada trafiking. Karena itulah, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia kemudian mengatur secara tersendiri hak asasi wanita dan hak asasi anak, yaitu yang dicantumkan pada bagian kesembilan untuk hak wanita dan bagian kesepuluh untuk hak anak. Bidang pendidikan, kesehatan reproduksi wanita dan pernikahan diatur dalam Pasal 48 dan 49 sebagai berikut:


 


Pasal 48


Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan peng­ ajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.


Pasal 49


        Ayat 2


Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal­hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi repro­ duksi wanita.


Ayat 3


Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.


Quraish Shihab (1992)[109], menambahkan bahwa untuk hak­ hak yang setara antara laki­laki dan perempuan, terutama dalam tiga bidang, yaitu dalam bidang politik, pemilihan profesi, serta hak dan kewajiban dalam belajar. Dalam kaitannya tentang batas menimal usia perkawinan di dalam UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maka menjadikan hak dan kewajiban perempuan untuk belajar mengarungi rumah tangga. Di dalam UU tersebut disebutkan bahwa batas minimal bagi perempuan untuk menikah ialah umur 16, sebagai batasan seorang anak menempuh jenjang pendidikan Sembilan tahun atau pendidikan tingkat menegah. Adapun anak laki­laki dalam hal pelaksanaan perkawinan masih mendapatkan peluang belajar sampai usia 19 tahun atau jenjang pendidikan tingkat atas.


Melihat perbedaan mengenai batasan tersebut, maka dalam perspektif HAM menyayangkan perempuan memiliki hak yang lebih sedikit dalam belajar daripada laki­laki. Dalam rumah tangga, laki­laki memang memiliki tanggungjawab besar untuk dapat memberi nafkah istri dan anak­anaknya, sehingga membutuhkan masa dan jenjang pendidikan yang lebih lama daripada perempuan. Pendidikan yang lebih lama akan membuat seorang lebih banyak memiliki peluang dan kemampuan untuk dapat mengemban tanggungjawab tersebut. Akan tetapi, istri adalah calon ibu bagi anak­anak yang merupakan generasi penerus bangsa. Ibu adalah sekolah non formal pertama bagi anak­anaknya. Ia memiliki peranan besar bagi pembentukan generasi dan sumber daya manusia yang berkualitas.


Secara simbolis, ibu mengacu pada pemeliharaan dan perlin­ dungan sehingga anak­anak yang dikandung dan dilahirkan menjadi penegak agama Allah[110]. Pertanyaannya, bagaimana mungkin simbol ibu tersebut dapat dijalankan dengan baik apabila seorang ibu memiliki pengetahuan yang rendah daripada suami?. Oleh karena itu, Khoiruddin Nasution (2002)[111] mengatakan bahwa untuk menguatkan dasar perubahan sosial, maka harus melakukan pembaharuan­pembaharuan dengan dasarnya ialah pendidikan dan kesempatan bekerja bagi kaum perempuan.


Ibu adalah sekolah pertama bagi anak­anak generasi sebuah keluarga untuk menciptakan suatu perubahan sosial. Dengan pendidikan yang diberikan seorang ibu di dalam rumah tangga, anak­anak dapat dididik menjadi pribadi yang memiliki karakter­ karakter yang diperlukan untuk melakukan perubahan sosial. Ibu yang mampu memainkan peran sebagai sekolah pertama bagi anak­anaknya adalah ibu yang sadar dan mengerti tentang pentingnya sebuah pendidikan bagi anak­anaknya. Tentu ibu seperti ini adalah mereka yang memiliki pengetahuan lebih tentang pendidikan atau setidaknya memiliki pendidikan lebih baik. Karenanya, perempuan sebagai seorang calon ibu dalam perkawinannya semestinya minimal memiliki hak yang sama dengan laki­laki dalam konteks batasan usia perkawinan.


Dalam batasan minimum usia perkawinan, perempuan memiliki hak­hak sebagai seorang anak, di antaranya ialah hak mendapatkan perawatan, pembimbingan, pendidikan, per­ lindungan, menikmati masa kanak­kanaknya secara wajar dan sebagainya. Hak­hak tersebut di antaranya disebutkan dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pasal­pasal berikut ini:


 


Pasal 55


Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelek­ tualitasnya dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.


Pasal 57


Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan.


Pasal 60


Ayat 1


Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.


Ayat 2


Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai­nilai kesusilaan dan kepatutan.


Pasal 61


Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengem­ bangan dirinya.


Pasal 64


Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pen­ didikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.


 


Dalam Islam, hak­hak asasi manusia juga dimuliakan dengan prinsip dasar bahwa manusia mempunyai hak­hak. Hak­hak dasar dalam Islam seringkali dalam beberapa hal mensyaratkan pemenuhan kewajiban terlebih dahulu sehingga lahirlah hak. Misalnya, dalam kebutuhan dasar, tubuh manusia memiliki hak­hak untuk dipenuhi seperti makan, pakain dan tempat untuk tinggal sehingga ia wajib melakukan usaha untuk memenuhi hak­hak tersebut. Hanya saja, terkait pemenuhan hak­hak ini, Islam tampaknya berhati­hati dalam pemenuhannya. Artinya, hak­hak tersebut memiliki batasan­batasan dengan hak­hak orang lain juga. Pemenuhan atas hak kebutuhan hidupnya misalnya, terbatasi oleh kepentingan­kepentingan orang lain. Karena itulah, dalam Islam terdapat ikatan­ikatan sosial yang berhubungan dengan hak dan kewajiban pribadi terhadap orang lain dengan ibadah sosial. Misalnya, kerja sama, tolong menolong, dan ibadah­ibadah lainnya yang bersifat sosial.


Menurut Sidney Hook dkk, Hak Asasi Manusia dalam Islam (1987)[112], prinsip hukum Islam semacam ini lebih memilih kerugian yang kecil untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih besar, serta mengorbankan sedikit keberuntungan untuk menghindari bahaya yang lebih besar. Lebih lanjut, Hook menilai bahwa dalam hukum Islam dikenal dua hal yang berkaitan erat dengan aspek kehidupan, yaitu hak dan kewajiban. Pada umumnya, hukum Islam mengajarkan empat macam hak dan kewajiban bagi setiap manusia, yaitu[113]:


§  Hak Tuhan yang wajib dipenuhi manusia. Hak­hak Tuhan yang wajib dipenuhi oleh manusia ialah diimani sebagai Tuhan Yang Esa, diikuti petunjuk­petunjukNya, ditaati dengan sesungguhnya dan disembah dengan penuh keyakinan.


§  Hak manusia atas dirinya sendiri. Seorang manusia mempunyai hak­hak yang harus dipenuhi oleh dirinya sendiri. Hak­hak pribadi seseorang ini erat kaitannya dengan keadilan terhadap diri sendiri. Makna adil dalam hal ini ialah menjaga diri dari berbuat dzalim terhadap diri sendiri. Apa saja yang menjadi larangan syara“ pasti mengandung bahaya yang tidak baik bagi diri seseorang tersebut. Sebaliknya, perintah­perintah syara“ pasti mengandung manfaat bagi pelakunya.


§  Hak orang lain atas diri seseorang. Setiap orang mampunyai kepentingan sendiri­sendiri dan berbedabeda. Harus ada keseimbangan antara hak individu dengan hak orang lain. Adapun yang menjadi cita­cita syari“at ialah terbentuknya masyarakat yang saling menghargai, tolong menolong, dan bekerja sama dalam membangun hubungan sosial demi mewujudkan kesejah ­teraan bersama. Tidak ada sikap individualistik dalam hal ini.


§  Hak semua makhluk. Segala sesuatu yang diciptakan Allah untuk manusia di dunia ini bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi, kebebasan tersebut tetap ada batasannya, yaitu terbatas pada hak­hak fasilitas­fasilitas tersebut yang harus dihargai dan dipenuhi oleh manusia yang memanfaatkannya. Di antara hak ­hak itu ialah tidak disia­siakan untuk hal­hal yang tidak perlu, tidak disakiti atau dirusak, atau dibiarkan dalam keadaan terancam.


Sedangkan K. Brohi menggolongkan hak­hak asasi manusia menjadi beberapa bagian, yaitu[114]:


§  Hak hidup dan hak milik


§  Hak berpendapat dan mengeluarkan pernyataan


§  Hak untuk menegakkan amar ma“ruf nahi munkar


§  Hak berkeyakinan dan berag  ama


§  Hak persamaan


Terkait menikah dan berkuarga, Kosasih kemudian memasukkan hak asasi tersebut ke dalam hak hidup dan hak milik. Menurutnya, kedua hal tersebut adalah naluri setiap manusia yang normal. Menikah bukan hanya sebagai wadah pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga wadah untuk mendapatkan ketenangan batin. Oleh sebab itu, setiap orang berhak mendapatkan ketenangan ter­ sebut[115]. Artinya, ketenangan hidup merupakan hak setiap orang. Hal­hal yang berkaitan dengan cara mendapatkan ketenangan hidup mesti menjadi hak asasi manusia yang harus dihargai dan dipenuhi. Dalam hal ini, ketenangan hidup dapat diraih salah satunya dengan melakukan perkawinan dan membentuk keluarga yang bahagia.


I.       Salinan PERMA Nomor 5 Tahun 2019


_______________________________



[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Rajawali Pres, Jakarta, 2013, h. 6


                [2]. Hafizh Dasuki, “dkk”, Ensiklopedi Islam, Cetakan Pertama, Jilid 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, h. 32


[3] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, penerjmh. M. Abdul Ghoffar, E.M, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2004, h. 3; Lihat, M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i,atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.k6, Mizan, Bandung, 1997, h. 191 


[4].Fathul Mu’in Bisarkhi Qurrotul ‘Ain, Bilma’na ‘Ala Fesanteren, h. 97-98


                [5].Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid II, Dar Al-Fikr, Beirut Lebanon, h. 1


[6] M. Quraisy Syihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i,atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.k6, Mizan, Bandung, 1997, h. 191 


                [7] Muhammad Bagir Al-Habsy, Fiqih Praktis Menurut Al-qur’an , As-sunnah, dan Pendapat Para Ulama, Mizan, Bandung, Cetakan Pertama, 2002, h. 210


[8] Abu Bakar bin Muhammad Al Husaini, Kifayah al-Akhyar, h.  460


[9]Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Ala Madzahibi Al-Arba’ah, Darul Hadis  Al-Qahira, Juz 4, h. 7


[10] Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Rajawali Pres, Jakarta, 2013, h. 7


[11] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 4, Pustaka Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, h. 1329


[12] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ibid, h. 1329


[13] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Ibid, h. 1329


[14] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, (Kairo: Daar al-Hadis, 1425 H/2004 M), juz IX, h. 113.


[15] Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, h. 105


[16] Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam, Pasal 3.


[17] Hilman Hadikusuma, Hukum  Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1977, h. 70


[18] Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010,  h. 99


[19] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin


[20]Mushtofa Muhammad Imarah, Jawahiru Al-Bukhari, Al-Hidayah, Surabaya, 1371, h. 422.


[21]Zainuddin Hamidy, dkk, Shahih Bukhari, Terjemahan Hadis Shahih Bukhari, Jilid IV, Widjaya, Jakarta, h. 8


[22] Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah Syamilah, h. 486


[23] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, tth), h. 593


[24] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak),(Jakarta: Amzah, 2009) h. 45


[25] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid II, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 47


[26] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 91-93


[27]Sayyid Sabiq,  Fikih Sunnah 6,  PT. Alma’arif, Bandung, 1980,  h. 22-25.


[28] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010) h. 21


[29]Abdul hamid Hakim, Mabȃdi’ Awwaliyah, juz I, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, h. 9.; Lihat Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 45-46


[30]Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 46


[31] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I, ACAdeMIA, Yogyakarta, 2005, h. 29


[32] Muhammad bin Ahmad bin Juzaiy al-Maliki, Qawȃnin al-Ahkȃm al-Syar’iyah, Beirut, Dȃr al-‘ilm li al-Malȃyȋn, 1974, h. 219


[33] Abi Zakariya Yahya al-Nawawi, edisi Syaikh ‘Adil Ahmad Abd al-Maujud, Rauḑah at-Țȃlibȋn, cat.I, Beirut, Dȃr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1412/1992, h. 382-400; lihat, Zainuddin bin ‘Abd al-‘Aziz al-Malibȃri, Fathu al-Mu’in bi Syarh Qurratu al-‘Ain (Cirebon, al-Maktabah al-Mişrȋyah, t.t, h. 99


[34] Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 48-49


[35] Abi Muhammad bin Ahmad bin Qudamah. Al-Mughni, cet.1, Beirut, Dȃr al-Fikr, 1404/1984, VII, h. 337-342


[36]Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawnan 1, ACAdeMIA,  Yogyakarta, 2005, h. 56


[37] Penjelasan Umum UU no 1 tahun 1974, butir 4.a


[38] Ibid, butir 4.b.


[39] Ibid, , butir 4.c


[40] Ibid, butir 4.d


[41] Ibid, butir 4.e


[42] Ibid, butir 4.f


[43] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009, h. 223


[44] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan …, Ibid,  h. 223-228


[45] Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. Lihat, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010,  h. 573


[46] Dan Allah menjadikan bagi kamu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapa  mereka beriman kepada yang batil dan  mengingkari nikmat Allah ?". Lihat, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010,  h. 374


[47] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, Op. Cit, h. 226; Lihat juga: Khoiruddin Nasution, Hukum perkawinan 1, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2004, h. 40.


[48] ó OçFö7Å¡yssùr&  $yJ¯Rr& öNä3»oYø)n=yz $ZWt7tã öNä3¯Rr&ur $uZøŠs9Î) Ÿw tbqãèy_öè? ÇÊÊÎÈ  


“Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (QS. al-Mu’minum (23): 115).


[49]  $tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ  


“ dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.


[50] Imam Abi Husain Muslim bin al-Hajj al-Qusyairi an-Naisaburi, Ṣahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub al-Alamiyah, tth), h. 593


[51] Abu as-Sa’ȃdȃt ibn Aśir, Jȃmi’u al-Uśul min Ahȃdȋś ar-Rasŭl, Juz I, Multaqa ahlu al- hadis,  h. 84; Lihat,  Jalaluddin as-Suyuți, Jamȋ’u  al-Hadis, al-Mausu’ah al-arabiyah,


[52] UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 1.


[53] Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 3.


[54] ô  `ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômu‘ur 4 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ  


[55] Syaikh Kamil Muhammad  ‘uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:pustaka al-kautsar, 1998)  h. 378


[56] Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh  (Falsafah dan Hikmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo dan Sobahus Surur, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 256-258;  Lihat, Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 65-68.


[57] Ahmad Rafi Baihaqi, Membangun Syurga Rumah Tangga, (Surabaya:Gita Media Press, 2006) h. 10-12


[58] Slamet Abidin, dan  H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999)


[59] M. Bukhori, Hubungan Seks Menurut  Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1994), h. 7-10


[60]Yang dimaksud dengan ibu di awal ayat ini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak-anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke-bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur Ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Lihat,  Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, h. 106


[61] Zakiah Daradjat (et al), Ilmu Fiqh, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf, 1995, jilid 2, h. 65; Lihat, Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 105;  lihat pula, Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid  wa Nihayah al-Muqtaşid, Beirut, Dȃr al- Fikr, tt, juz.2, h. 24; Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut, Dȃr al-Fikr, 1983), cet.4, jilid 2, h. 62.


[62] Maksud ibu di awal ayat ini ialah, ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak-anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut Jumhur Ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Lhat,  Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, 106


[63] Pasal 39 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam


[64] Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), h. 53.


[65] Hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadis 5, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2003), h.73; Lihat, Al Bukhary 52, h.7; Muslim 17, h. 1; Al Lu-lu-u wal Marjȃn 2, h.114; Ahmad Multazam, Batalnya Perkawinan dan Larangan Pernikahan, Blogspot.Com/2013/12/Batalnya-Perkawinan-Dan-Larangan.Html, Akses, 06 Feb 2015


 


[66] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam - Syarah Bulughul Marȃm, (Jakarta: Dȃrus Sunnah Press, 2013), h. 992.


[67] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 125-128


[68] Hamba sahaya dan perbudakan yang dimiliki dalam pengertian ini, yang suaminya tidak ikut tertawan  bersama-samanya, seiring dengan  perkembangan  zaman, pada saat sekarang ini sudah tidak ada.


[69] Imam An-Nawȃwi, Ṣahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 176


[70] Imam An-Nawȃwi, Ṣahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 544


[71] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009) , h. 133


[72] Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 114


[73] Ada yang mengatakan perempuan-perempuan yang merdeka; Lihat, Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, 143


[74] Quru' adalah  jama’ dari qar’u, yang berarti  suci atau  haiḑ


[75] Lihat, QS. An-Nisȃ (4): 34


[76] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000,  h. 182


[77] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufaşşal fȋe ahkȃmi al-mar`ah wa al-bait al-muslim fȋ al-Syari’ah al-islamiỹah, Jilid VIII: Muassasah Risalah Beirut, h. 320-321


[78] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000,  h. 182; Lihat, Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 238-239


[79]http:// mbainayah.blogspot.com /2014/11/ fasakh-lian-ila- dan-dzihar.html, Akses 18 feb 2015


[80] Abdul Karim Zaidan, Al-Mufaşşal fȋe ahkȃmi al-mar`ah wa al-bait al-muslim fȋ al-Syari’ah al-islamiỹah, Jilid VIII: Muassasah Risalah Beirut, h. 320-321


[81] Dimaksud dengan ayat 6 -7 QS. An-Nŭr tersebut ialah: orang yan g menuduh berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa dia adalah benar dalam  tuduhannya itu. Kemudian dia bersumpah sekali lagi, bahwa dia akan kena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan  li’an.


[82] Lihat, (QS. An-Nŭr (24): 8-9)


[83] Abdul Rahman  Ghozali, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2010, h. 238-240


[84]Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan di Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), h. 83


[85]Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta, Kencana: 2010), cet.ke-2, h.123


[86] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 40


[87] Mafqud; dimaksud dengan mafqud disini adalah suami yang menghilang tanpa kabar berita apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.


[88] Pasal 7 UU no 1 tahun 1974, ayat (1) menetapkan bahwa: perkawinan hanya diizinkan, jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah  mencapai 16 (enam belas) tahun;  ayat (2): dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun  pihak wanita.


[89] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan Cet. 2 (Jakarta: Kencana; 2007), hlm. 5.


[90] Khoirul Hidayah, Dualisme Hukum Perkawinan di Indonesia (Analisis Sosiologi Hukum Terhadap Praktek Nikah Sirri. Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 8, No. 1, Mei 2008, hlm. 89.


[91] Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Qurthuby al Andalusy, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid Juz II (Surabaya: Hidayah; TT), hlm. 5.


[92] Abu Abdillah Muhammad bin Abdurrahman al Dimasyqi al Utsmani al Syafi“i, Rahmah al Ummah fi Ikhtilaf al Aimmah (Surabaya: Hidayah; TT), hlm. 27.


[93] Asghar  Ali  Engineer,  Hak-hak  Perempuan  dalam  Islam.  diterjemahkan  oleh  Farid Wajidi dan Cici Farikha Assegaf, Cet 1 (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya; 1994), hlm. 94.


[94] Khoiruddin  Nasution,  Fazlur  Rahman  tentang  Wanita  (Yogyakarta:  Tazzafa;  2002), hlm. 229.


[95] Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani, Fathul Bari bi Syarhi Shahih al Bukhary Juz 9 (Beirut: Dar al Ma“rifah: TT), hlm. 108.


[96] Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam: Menyingkap Persamaan dan Perbedaan antara Islam dan Barat (Jakarta: Salemba diniyah; 2003), hlm. 88.


[97] 44 Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam…, hlm. 156.


[98] 45 Maulana Ahmad Usmani, Fiqh Al Qur“an Jilid I (Karachi: 1980), hlm. 533.


[99] 46 Muhammad al Amin bin Abdullah al Harary al Syafi”i, al Kaukab al Wahhaj wa Raudh al Bahhaj fi Syarhi Shahihi Muslim bin al Hajjaj, Jilid 15 (Jeddah: Dar al Minhaj; 2009), hlm. 260.


[100] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam…, hlm. 51.


[101] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam.., hlm. 30.


[102] Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 1.


[103] Ibid.


[104] Ibid.


[105] 52 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia… hlm. 29.


[106] 53 Instruksi Presiden Tahun 1991 Nomor 1


[107] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama (Bandung: Mandar Maju; 2007), hlm. 48.


[108] Muladi,  Hak  Asasi  Manusia:  Hakekat,  Konsep  dan  Implikasinya  dalam  Perspektif Hukum dan Masyarakat Cet. 1 (Bandung: Refika Aditama; 2005), hlm. 228.


[109] 56 M. Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur”an (Bandung: Mizan; 1992), hlm. 275-279.


[110] Lynn  Wilcox,  “Women  and  the  Holy  Quran:  A  Sufi  Perspective”,  diterjemahkan DICTIA, Wanita dan Al Qur”an dalam Perspektif Sufi (Bandung: Pustaka Hidayah; 2001), hlm 139.


[111] Khoiruddin  Nasution,  Fazlur  Rahman  tentang  Wanita  (Yogyakarta:  Tazzafa;  2002), hlm. 230.


[112] Sidney  Hook  dkk,  Hak  Asasi  Manusia  dalam  Islam  Cet.  1,  dierjemahkan  Harun Nasution dan Bahtiar Effendy (Jakarta: Pustaka Firdaus; 1987), hlm. 171.


[113] Ibid, hlm. 173-190.


[114] 61 Ibid, hlm. 65-69.


[115] 62 Ahmad Kosasih, HAM dalam Perspektif Islam, hlm. 86-87.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar