BAB III
WALI DAN SAKSI DALAM
PERKAWINAN
A.
Wali Dalam Perkawinan
Perwalian adalah berasal dari bahasa Arab Walȃyaḥ atau wilȃyaḥ
yaitu hak yang diberikan oleh syariʻat yang membuat si wali mengambil dan
melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan
dari orang yang diperwalikan. [1]
Menurut Amin Summa, perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut
dengan Al-walȃyaḥ atau al-wilȃyaḥ seperti kata addalȃlah
yang juga disebut addilȃlah. Secara etimologis mengandung beberapa arti
yaitu cinta (al-mahabbaḥ) dan pertolongan (an-naşraḥ) atau bisa
juga berarti kekuasaan atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni
orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu. [2]
Kamal Muchtar mengemukakan bahwa, yang dimaksud perwalian adalah
penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang.[3]
Dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang
khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan
harta bendanya. [4]
Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.[5] Sementara Abdur Rahman juga mengungkapkan
tentang wali, yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, dan yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[6]
Sedangkan Muhammad Jawad mengungkapkan bahwa perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syarʻi atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[7]
Sedangkan Muhammad Jawad mengungkapkan bahwa perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syarʻi atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[7]
Menurut Abdullah Kelib, wali dalam perkawinan adalah orang yang
bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya,
sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang
menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.[8] Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa ijab didalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali
semata-mata. Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan
tetap dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa
digantikan kedudukannya oleh wali hakim.
Berpijak dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud
wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad
pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu
melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan
keinginannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam
pernikahan.
B.
Naş Tentang Wali dan Saksi dalam
Perkawinan
Ada sejumlah naș Al-Qurȃn dan Sunnah dalam perkawinan. Naș Al-Qurȃn
adalah QS. Al-Baqaraḥ (2): 230, 231, 232, 235, 240, Ali ʻImrȃn (3): 159,
An-Nisȃ’ (4): 25, 34, At-Țalȃq (65): 2; Sementara sunnah Nabi Muhammad saw,
diantaranya: hadiś yang termaktub dalam Sunan Addȃruqutnĩ, bab ”Nikah”
dengan redaksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى
بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ
بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « لاَ نِكَاحَ
إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ»
[9]
“ Abu Żȃr Ahmad bin Muhammad bin Abi
Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad an-Nasȃiy dari
Muhammad bin Yazĩd bin Sinȃn dari ayahnya dari Hisyȃm bin ʻUrwaḥ dari ayahnya
dari ʻᾹisyaḥ: ʻᾹisyaḥ berkata bahwa
Rasūlullah saw bersabda “ Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil”.
Hadiś Rasulullah saw:[10]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا
الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ
وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Hadiś ini menekankan adanya wali dalam pernikahan. Meskipun dalam
al-Mudawwanaḥ tidak menegaskan keharusan wali dalam perkawinan; antara
kehadirannya dalam akad nikah atau cukup izinnya. Disatu sisi Imam Malik, menurut catatan Sahnūn
menyuruh memisahkan perkawinan tanpa wali, sebagaimana ditulis oleh khoiruddin
Nasution[11]
C.
Pandangan Ulama Mażhab tentang Wali
Hanafi
mengatakan bahwa wali adalah sunnaḥ hukumnya, olehkarenanya perkawinan tanpa
wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab
untuk menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak adalah boleh,[12]
Dasar hukum Hanafi membolehkan perkawinan tanpa wali adalah: QS. Al-Baqaraḥ
(2): 230,[13]
QS. Al-Baqaraḥ (2): 232,[14]
QS. Al-Baqaraḥ (2): 240.[15]
Akad dalam ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad
tersebut menjadi hak atau kekuasaan mereka. Olehkarennya
akad nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya
tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Dengan kata
lain Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya
dengan meniadakan campur tangan orang lain, dalam hal ini adalah campur tangan
seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis
inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi
wanita yang hendak menikah. [16]
Menurut
mażhab Syafiʻĭ wali merupakan masalah penting sekali dalam
pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat
bagi sahnya suatu nikah; dan pendapat mażhab Syafiʻi inilah yang umumnya dianut
oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Lebih tegas lagi menurut Syafiʻĭ,
kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran
wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah.[17]
Dasar keharusan wali, dan sekaligus larangan wali mempersulit menurut Syafiʻĭ,
adalah QS. Al-Baqaraḥ (2): 232, QS. An-Nisȃ’ (4): 25[18]
Adapun dasar hadiś yang mengharuskan wali dalam perkawinan, sekaligus larangan
wanita menikahkan dirinya sendiri, adalah hadiś Nabi riwayat Turmużi dari
ʻAisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”.[19]
Selain itu ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita,
jadi mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang
pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh
orang tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.
Menurut
mażhab Hanbalȋ, dalam al-Mughni, Ibnu Qudȃmaḥ dari mażhab Hanbalȋ
menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir
ketika melakukan akad nikah. Keharusan ini berdasarkan hadis nabi, bahwa dalam
perkawinan harus ada wali.[20]
Terhadap hadis yang dipegangi sejumlah ilmuan, bahwa yang dipentingkan dalam
perkawinan adalah izin wali, bukan kehadirannya. Oleh Ibnu Qudȃmaḥ menepis
dengan mengatakan, bahwa hadis yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang
berarti berlaku untuk semua, sementara hadis yang menyebut hanya butuh izin
adalah yang bersifat khusus. Alasan tambahan, larangan nikah tanpa wali
(perintah harus ada wali), bertujuan menghindari adanya kecenderungan dan
keinginan wanita kepada pria yang kadang kurang pertimbangan yang matang, maka
kehadiran wali diharapkan dapat menghindari kecenderungan tersebut, demikian
menurut Qudȃmaḥ yang dikutip oleh khoiruddin Nasution.[21]
D. Konsep
Perundang-undangan
Dalam
perundang-undangan Perkawinan Indonesia, wali nikah menjadi salah satu rukun
nikah, tanpa wali perkawinan tidak sah.[22]
Dalam KHI
diringkas hanya menjadi empat persyaratan bagi wali,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) “yang betindak sebagai wali nikah
ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni
muslim, Aqil dan baligh”. Sejalan dengan keharusan adanya wali, pada prinsipnya
wali nikah dalam perundang-undangan adalah wali nasab. Namun dalam
kondisi-kondisi tertentu posisi wali nikah dapat digantikan wali hakim (lihat
Pasal 22 KHI). Hal tersebut dimungkinkan
bilamana:
1) Tidak
ada wali nasab;
2) Tidak
mungkin menghadirkan wali nasab (karena tidak ada di tempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat);
3) Tidak
diketahui tempat tinggal wali nasab;
4) Wali
nasab Gaib (Seperti: sedang berihram haji atau umrah);
5) Wali
nasab menolak (aḍal/ enggan menikahkannya);[23]
E. Aspek
Psikologis dan Sosiologis
Bila
disorot dari sudut pandang Sosiologis dan psikologis, wanita mempunyai
kedudukan yang sama dengan pria, demikian juga dimata hukum. Namun kerendahan
serta kekurangan wanita itu sendiri membuat mereka terbatas dalam bertindak,
seperti halnya dalam perkawinan menurut agama Islam. Oleh
sebab itu untuk mengetahui dan mengerti kedudukan wanita, selain mempelajari
hukum dan peraturan yang berlaku kita juga harus mempelajari tentang kedudukan
wanita dalam masyarakat dan keluarga. [24]
Selain
perbedaan dari segi fisik maupun psikis antara mereka, wanita oleh keluarganya
dimisalkan sebagai perhiasaan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya, yang
nilainya sangat berharga, lebih berharga dari perhiasan dunia yang berbentuk
harta benda. Oleh karena itu untuk melepaskan seorang anak perempuannya menuju
suatu perkawinan, orang tua dalam hal ini adalah ayah ataupun wali lainnya yang
berhak merasa berkepentingan untuk menyerahkan anak perempuannya tersebut
dengan cara menjadi wali yang akan melakukan ijab dengan calon mempelai pria.
Pentingnya wali bagi wanita dalam akad nikah, selain karena merupakan perintah
agama juga disebabkan karena wanita adalah makhluk yang mulia, makhluk yang
memiliki beberapa hak yang telah disyariatkan oleh sang pencipta dan mempunyai
satu kedudukan yang dapat menjaga martabat, kemanusiaan dan kesuciannya, serta
merupakan wujud cinta kasih seorang ayah atau keluarganya kepada anak perempuannya
yang akan membina suatu rumah tangga. Bertitik tolak dari Firman Allah swt,
Hadiś Rasulullah dan realita yang ada dalam masyarakat seperti yang disebutkan
di atas maka disimpulkan bahwa kedudukan dan tugas wali nikah adalah sangat
penting artinya sekaligus mempunyai sifat menentukan didalam sah atau tidaknya
suatu akad nikah.
Akan halnya dapat dipetik dari hak ijbarnya wali mujbir, yang
berhak memaksa (ijbar) gadis dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan
laki-laki tanpa izin dari gadis yang bersangkutan, yang tentunya dengan pertimbangan dan syarat tertentu. Wali
mujbir hanya terdiri dan ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang
dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah
perwalianya. Keberadaan wali mujbir didalam hukum perkawinan Islam ialah atas
pertimbangan guna kebaikan gadis yang akan dikawinkan, karena seringkali
perempuan tidak pandai memilih jodohnya dengan tepat. Jika gadis dilepas untuk
memilih jodohnya sendiri, dirasakan akan mendatangkan kerugian pada gadis di
kemudian hari. Misalnya dari segi pemeliharaan jiwa keagamaanya dan lain
sebagainya. Oleh karena itu wali mujbir yang mengawinkan perempuan gadis di
bawah perwalian tanpa izin dari gadis yang bersangkutan disyaratkan:
1.
Laki-laki pilihan wali harus kufu
(seimbang) dengan gadis yang dikawinkan;
2.
Antara wali mujbir dan gadis tidak ada
permusuhan;
3.
Antara gadis dan laki-laki calon, suami
harus tidak ada permusuhan;
4.
Calon suami harus sanggup membayar mas
kawin dengan tunai;
5.
Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi
kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik dan tidak terbayang akan
berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.
Syarat-syarat
tersebut harus diperhatikan bilamana wali mujbir akan menggunakan hak ijbamya
sehingga prinsip suka rela para pihak dalam melangsungkan perkawinan tidak
terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka gadis yang
telah dikawinkan oleh walinya tanpa persetujuan dirinya terlebih dahulu maka ia
dapat meminta fasakh, minta dirusakkan nikahnya kepada hakim.
Di
dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama untuk
melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi seseorang yang
beragama Islam disebutkan bahwa, akad nikah dilakukan oleh wali atau diwakilkan
kepada PPN atau Pembantu PPN atau orang lain yang menurut PPN atau Pembantu PPN
dianggap memenuhi syarat.[25]
Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa waktu akad nikah, calon suami atau wali nikah
wajib menghadap PPN atau Pembantu PPN, dan dalam keadaan memaksa kehadirannya
dapat diwakilkan oleh orang lain yang dikuatkan dengan surat kuasa yang
disahkan PPN atau kepala perwakilan Republik Indonesia bila berada di luar
negeri.
Dengan
adanya pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun
1974 melalui PMA No.2 Tahun 1990 telah memberikan ketentuan tentang perlunya
wali nikah bagi calon mempelai wanita. Hal ini menjadi sangat penting karena
dengan secara tegas di dalam pasal tersebut di atas telah disebutkan bahwa wali
sendiri atau wakilnya (dalam keadaan memaksa) yang melaksanakan akad nikah bagi
mempelai wanita.
Kesemuannya
itu menunjukkan suatu persamaan dengan ketentuan yang terdapat dalam Hukum
Islam, yaitu bahwa wali adalah melaksanakan akad nikah bagi seorang wanita.
Persamaan dan peraturan perundangan ini dengan ketentuan yang ada dalam Hukum
Islam lebih jauh lagi ditunjukkan dari ketentuan mengenai perwakilan bagi wali
nikah, meskipun untuk mengakad nikahkan mempelai wanita pada dasarnya wali
nikah sendiri harus hadir, namun apabila dalam keadaan memaksa hal tersebut
dapat dimungkinkan untuk diwakili oleh orang lain. Maka dengan demikian
perwakilan dalam wali nikah juga didapati dalam peraturan ini. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka terdapat peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan
dari UU No.l Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan masalah wali nikah,
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 antara lain dalam Pasal 11
disebutkan bahwa setelah perkawianan usai,
maka kedua mempelai menandatangani akta nikah yang kemudian juga ditanda
tangani oleh PPN dan wali nikahnya atau yang mewakilmya. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Peraturan
Menteri Agama No.1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim dan Peraturan Menteri Agama
No.4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Luar Jawa Madura dinyatakan dicabut
dan tidak berlaku lagi.
Di dalam Pasal 2
PMA No.2 Tahun 1987:
1.
Bagi calon mempelai wanita yang akan
menikah di Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata
tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi
syarat, atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat
dilangsungkan dengan Wali Hakim.;
2.
Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana
tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita;
3.
Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan
adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan
menghadirkan wali calon mempelai wanita. [26]
Pasal 4
PMA No.2 Tahun 1987 menyebutkan:
(1) Kepala
KUA kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam
wilayahnya masing-masing untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (l) peraturan ini;
(2) Apabila
di wilayah kecamatan, Kepala KUA kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka
Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen (baca:
Kementerian) Agama Kabupaten/ Kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama
menunjuk wakil/Pembantu PPN untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam
wilayahnya. Dengan demikian menurut PMA
No.2 tahun 1987 apabila wali nasab tidak ada, tidak diketahui tempat
tinggalnya, sedang menjalankan hukumannya, gȃib, enggan untuk menikahkan, maka
yang ditunjuk sebagai wali hakim yaitu semua Kepala KUA Kecamatan masing-masing
diwilayahnya. Hal-hal tersebut di atas merupakan beberapa peraturan
perundang-undangan dari Undang-Undang Perkawinan yang berkenaan dengan wali
yang memberikan izin untuk melangsungkan suatu perkawinan sekaligus
menikahkan mempelai menurut ajaran agama Islam.
Kedudukan
wali sangat penting ini dapat dipahami karena sejak anak dalam kandungan hingga
dilahirkan dan dibesarkan sampai ia menjadi dewasa, adalah menjadi tugas dan
tanggungjawab bagi orang tua dan seorang anak banyak memerlukan pengorbanan
dari orang tuanya, karena anak adalah merupakan amanah dan titipan dari Allah.
Sehingga sudah sepatutnyalah apabila seorang anak yang sudah dewasa dan hendak
memasuki pintu gerbang kehidupan berumah tangga, haruslah mendapatkan izin dan
restu dari orang tuanya dan tidak begitu saja meninggalkan orang tuanya, oleh
karena itu pernyataan penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria, yang
diucapkan oleh ayah dalam kedudukannya sebagai wali nikah didalam pelaksanaan
acara ijab qabul, dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dari
orang tuanya, untuk memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil anak gadisnya
hingga menjadi dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga sendiri.
Dan dengan selesainya ijab qabul tersebut maka saat itu jugalah tugas orang tua
sudah beralih kepada suaminya. Jika kita dapat memahami keadaan tersebut di
atas, maka kita dapat pula menyimpulkan bahwa dengan dipenuhinya terlebih
dahulu syarat-syarat dan rukun perkawinan, sebelum perkawinan itu dilaksanakan,
yaitu khusus dalam hal adanya izin, adanya doa restu dan adanya kesediaan wali
calon mempelai wanita untuk melaksanakan ijab didalam akad nikahnya.
Kesemuanya
itu membawa dampak pengaruh psikologis yang berat untuk
berlangsungnya kebahagiaan didalam kehidupan rumah tangga yang bersangkutan.
Karena seperti yang kita ketahui semua bahwa sebelum manusia memasuki pergaulan
hidup dalam masyarakat luas, maka ia berada dalam lingkungan keluarga, dimana
kemudian terjadilah pertumbuhan dari masa kanak-kanak hingga menjadi dewasa,
didalam pertumbuhan tersebut baik anak laki-laki maupun anak perempuan, didalam
dirinya berkembang pada hubungan batin dengan keluarganya yang makin lama makin
menebal, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang anak adalah merupakan
pencerminan dari orang tua. Maka bagi gadis yang akan menikah membentuk rumah
tangga dengan calon suaminya, ia tidak melepaskan diri dari ikatan batin dengan
orang tuanya, ia membutuhkan dorongan batin untuk memulai kehidupan baru bagi
suami isteri, ia merasa memperoleh dorongan batin untuk memulai kehidupan baru
sebagai suami isteri, ia merasa memperoleh kekuatan batin untuk melepaskan
dengan orang tuanya, sekaligus memperoleh dorongan untuk membina rumah
tangganya. Begitu pula bagi pihak suami, ia merasa bahwa orang tua si gadis
telah menyerahkan si gadis kepadanya dengan penuh percaya, hal ini akan
menimbulkan rasa percaya diri sendiri dan rasa tanggungjawab yang besar untuk
bertindak sebagai suami yang bijaksana dan penuh pengertian. Hal-hal semacam
inilah yang merupakan pengaruh psikologis yang besar artinya untuk mendorong
terwujudnya rumah tangga yang kekal dan bahagia.
F. Saksi Nikah
Naș Al-Qurȃn, dalam QS.
At-Thalȃq (65): 2; menyintir masalah saksi dalam pernikahan.[27]
Dapat dipahami bahwa saksi dalam pernikahan merupakan suatu keharusan yang
menyebabkan sah tidaknya akad nikah. Meskipun demikian;
Imam
Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi
bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau
asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak dipandang sudah sah.
Senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah menyatakan bahwa
pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan
adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.[28] Pendapat ini diambil setidaknya
berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah
dalam al-Qurȃn memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi
tidak diperintahkan dalam pernikahan. [29] Oleh karena itu, apabila saksi bukan
merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam
pernikahan. Kedua, adanya hadiś yang memerintahkan untuk
memberitakan pernikahan. Hadiś tersebut adalah:
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ
قَالَ عَبْد
الله
وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ هَارُونَ قَالَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الله بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ عَامِرِ بْنِ
عَبْدِ الله بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
Adanya
perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari
perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat
sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat.
Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka
saksi tidak lagi diperlukan [30]
Pendapat Imam Malik yang dengan gamblang tidak mensyaratkan saksi dalam
pernikahan secara mutlak, namun mayoritas ulama Malikiyah justru berpegang pada
pendapat bahwa saksi merupakan syarat, hanya saja hakikat saksi bukan sebagai
syarat sah nikah, melainkan syarat agar diperbolehkan menggauli istri.[31] Dengan demikian, akad pernikahan
yang dilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini
berdasarkan pada beberapa hadiś yang telah secara jelas menyebutkan
disyaratkannya saksi dalam nikah. Diantara hadiśtersebut ialah:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ
عَدْلٍ,
الْبَغَايَا
اللَّاتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ dan لاَ بُدَّ فِى النِّكَاحِ مِنْ
أَرْبَعَةٍ الْوَلِىِّ وَالزَّوْجِ وَالشَّاهِدَيْنِ
“Tidaklah
dipandang sah nikahnya seseorang, tanpa persetujuan wali dan tanpa saksi yang
adil, Sia-sialah orang yang menikahkan dirinya tanpa jelas dan atau tanpa izin
dari walii.... Dan tidak boleh tidak (diharuskan) dalam pernikahan itu
dihadirkan empat orang: wali, Calon
Suami dan dua orang saksi”
Sayyid Sabiq berpendapat
bahwa, saksi diharuskan hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan
diberitakan saja.
[32]
Menurut
mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari
jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan adalah memperoleh
kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan hati-hati
dengan cara menghadirkan dua saksi.
Pendapat
di atas memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Menurut pendapat pertama,
apabila ada suatu pernikahan dengan dihadiri saksi, namun kedua belah pihak
sepakat meminta saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka, maka pernikahan
dianggap sah, meskipun makruh. Sedangkan menurut pendapat kedua, imam Malik,
pernikahan tersebut dianggap tidak sah. karena.[33]
Esensi dari pernikahan itu tidak mengharuskan saksi, melainkan keharusan untuk
diberitakan atau pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak.
Terkait
dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat
memberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi: (1) Islam, (2) Akil
balig, (3) Berakal, (4) Mendengar rangkaian kalimat akad dan memahaminya.
Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat
diterima persaksiannya.[34]
Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang
adil masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil.[35]
Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi.
Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa merupakan syarat
bagi saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadiś [36]
Terlepas
dari status adil maupun tidak, mażhab Syafiʻȋ dan Hambali menyatakan
bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian
seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. [37]
Pendapat ini berdasarkan pada hadiś nabi: ”أن لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا
في النكاح, ولا في الطلاق..
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang
laki-laki dan dua orang perempuan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari
persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta
benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda,
maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.[38]
Ketentuan KHI mengenai saksi termaktub dalam Pasal 24 yaitu: (1)
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaanakad nikah; (2) Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 KHI menentukan
syarat-syarat “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang
laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna
rungu atau tuli”. Dan merupakan suatu keharusan bagi wali untuk “hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada
waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”. [39]
G.
Kesimpulan
Perkembangan hukum di Indonesia
jelas mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang disesuaikan dengan kearifan
local bangsa Indonesia, khususnya dalam masalah perkawinan, (wali dan saksi).
Oleh karenanya, Berdasarkan
pemaparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Hanafi
memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan
meniadakan campur tangan orang lain, dalam hal ini adalah campur tangan seorang
wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah
yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita
yang hendak menikah;
2. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat
bahwa wali merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, pernikahan tanpa
adanya wali adalah tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka yang
menjadi walinya adalah hakim;
3. Keberadaan saksi menurut Imam
Malik bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan
atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak dipandang sudah
sah. Pendapat yang senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah
menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada
hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi. Pendapat ini menganalogikan
terhadap jual beli. Allah dalam al-Qur’an memerintahkan adanya saksi dalam jual
beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh karena itu,
apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih
tidak disyaratkan dalam pernikahan;
Selain
Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah, bahwa saksi merupakan suatu
keharusan, sama adakah ia hadir ditempat akad nikah ataupun cukup atas
persetujuan (izinnya) dari wali..
[1] Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Praktis: (Bandung:
Mizan, 2002), h. 56.
[2] Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta:
Raja Grafindo 2004), h. 134.
[3] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), h. 89.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-maʻarif,
1997), h. 11.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 90.
[6] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta:
Kencana, 2003), h. 165.
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta:
lentera, 2001), h. 345.
[8] Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT Tugu Muda
Indonesia, Semarang, 1990, h. 11
[9] Al-Imȃm Sahnūn, bin
Sȃʻĭd, al-Tanūkhȋ, Al-Mudawwanah al-Kubrȃ, (Beirūt, Dȃr Ṣȃdr, 1323.H),
III, h. 178. Lihat juga al-Maktabaḥ
Asy-Syȃmilaḥ, Sunan Addȃruqutnĩ,
no 3580
[10] Syamsyu Addin
As-Sarakhsĭ, Al- Mabsūt, (Beirȗt: Dȃr al-Maʻrȗfah, 1409/1989), V, h.149,
lihat Abū Dȃud, “Kitab an-Nikȃh”, hadiś no. 1784, nat-Tirmȋżȋ, “Kitab
an-Nikȃh”, hadiś no. 1021
[11] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, dilengkapi
Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, edisi revisi, ACAdeMIA, TAZZAFA, Yogyakarta, 2005, h. 70
[12] Ibid, h. 76-77.
“kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya, hingga Dia kawin dengan suami
yang lain….”
[14] ... xsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Zt £`ßgy_ºurør&
...
“…, Maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.. “
[15]t
...xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B ...
“…, Maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka…”
[16] Mohd Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, h. 218-220.
[17]
Muhammad Idris Asy- Syafiʻĭ, al-Um, edisi al-Muznȋ, (ttp, tt), V, h. 11,
juga, h. 19
[18] 4 £`èdqßsÅ3R$$sù
ÈbøÎ*Î/
£`ÎgÎ=÷dr&
“… karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka…, “
[19] Syamsyu Addin As-Sarakhsĭ, Al- Mabsūt,
V, Ibid, h.149,
[20] Abi
Muhammad ʻAbdllah bin Ahmad bin Qudȃmaḥ, Al-Mughni asy-Syarh al-Kabĭr,
edisi I (Beirȗt, Dȃr Al-Fikr, 1404/1984), VII, h.338
[21]
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan
1, Op Cit, h. 91
[22] KHI Pasal 14 “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a) Calon
Suami; b) Calon Isteri; c) Wali nikah; d) Dua orang saksi dan; e) Ijab dan
Kabul. Kemudian dipertegas lagi dalam KHI Pasal 19: “Wali nikah dalam
perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak untuk menikahkannya”. Karen kedudukannya yang sangat penting dan
menentukan, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah.
[23] KHI Pasal 23 ayat (1). Dalam hal wali aḍal atau enggan,
maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan
pengadilan Agama (PA) tentang wali tersebut (Pasal 23 ayat (2)).
[24] Sri
Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP3ES, Jakarta,
1989, h. 52.
[25] Pasal
21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990
[26] Pasal 2
Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
[27]
#sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkôr&ur ôurs 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 .....
27.Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.......
[28] M. Najib
al-Muti’i, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaḍab li al-Syairozi (Jeddah: Maktabah
al-Irșad, tt) h. 296. Lihat juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islȃmi
wa Adillatuhu, Juz IX (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2002) h. 6559
[29] Ayat-ayat pernikahan berikut tidak mencantumkan saksi,:
فانكحوا ما طاب لكم من النساء , وأنكحوا الأيامى منكم. .
[30] Lihat. Keterangan dalam al-Maktabaḥ asy-Syȃmilaḥ, Tuhfaḥ al-Ahwaḍi,
Bab Pernikahan Tanpa Saksi, juz
III, h. 131
[31]. Lihat dalam: Wahbah
Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Juz IX. Beirut: Dȃr al-Fikr.
2002, h. 6560
[32]Sayyid Sabiq,
Fiqh as-Sunnaḥ, Juz II, (Kairo: Dȃr al-fatah. 1995), h. 48.
[33] M. Najib
al-Muti’i, Al-Majmu’, Op Cit, h.
297
[34] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnaḥ, Juz II,
Op Cit, h. 50. Lihat juga dalam Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh
al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h.
6562 dan M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’, Op Cit, h. 296
[35] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh
al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h.
76
[36] Lihat keterangan selengkapnya dalam
al-Maktabaḥ Asy-Syȃmilaḥ, Faidh al-Qadir, Juz 6 h. 567. لاَ نِكاَحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ. .
[37] Sayyid Sabiq, Fiqh
as-Sunnaḥ, Juz II, Op Cit, h. 50; Lihat juga keterangan dalam al-Maktabaḥ
Asy-Syȃmilaḥ, Tuhfah al-Ahwaḍi, Bab Pernikahan Tanpa Saksi, juz
III, h. 131.
[38] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h. 75.
[39] KHI
Pasal 26.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar