BAB
V
NIKAH
MUȚ’AH
A.
Pengertian Nikah Muț’ah
Yang
dimaksud nikah muț’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita
dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta,
makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan
sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan tanpa warisan. [1]
Bentuk
pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali
atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas
waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak
lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar
kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan
tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid
bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan
sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), serta tidak ada nasab
kecuali jika disyaratkan. [2]
Kata nikah dalam bahasa arab yang berarti menghimpun atau
mengumpulkan[3],
secara umum pengertian nikah (diluar definisi yang dikemukakan oleh ulama
fiqih) adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri
dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untuk menghasilkan
keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia di atas bumi,[4]
yang karenanya hubungan badan menjadi halal; [5] Sedangkan dalam undang-undang No. 1 Tahun
1974, tidak disebutkan istilah nikah tapi perkawinan, yang berarti; ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita.
Disebutkan
dalam QS. ar-Rum (30): 21;[6]
dalam hal ini tujuan perkawinan dimaksudkan agar tercipatanya kehidupan
keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Begitu juga,
disebutkan dalam QS. an-Nahl (16): 72, [7]
QS. an-Nisȃ’ (4): 1, 9; untuk tujuan regenerasi dan/atau pengembangbiakan
manusia (reproduksi).[8]
Dengan tercapainya tujuan reproduksi, maka tujuan memenuhi kebutuhan
biologis, sebagaimana difirmankan dalam QS.al-Ma’ȃrij (70): 29-31, QS.
al-Baqarah (2): 187, 223 dan QS. an-Nur (24): 33, akan dengan sendirinya
tercapai, sekaligus terciptanya ketenangan dan cinta kasih dalam kehidupan
keluarga.
Ketika menafsirkan QS. an-Nisȃ` (4):
24
"Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami,
kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki[9]
sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan
yang demikian itu, [10]jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya
bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari
mereka, berikanlah kepada mereka mas kawinnya (maharnya) kepada mereka, sebagai
suatu kewajiban; tetapi tiadalah mengapa jika ternyata diantara kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan (ditetapkan) mahar itu.[11]
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Al-Khazin (salah seorang Mufassir Sunni) menjelaskan
definisi nikah mut’ah, “dan menurut sebagian kaum (ulama), yang dimaksud
dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah, yaitu
seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan
memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita
itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talak (cerai), dan ia (wanita itu)
harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan
kesuciannya, dan tidak adanya janin dalam kandungannya), serta tidak ada hak
waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian
diharamkan oleh Rasulullah saw.” [12].
B. Disyari’atkannya
Nikah Muț’ah
Telah
disepakati bahwa nikah muț’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti
juga halnya dengan nikah ḑa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari
berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat, bahwa nikah muț’ah
telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat
digolongkan hal ḑaruriyat minaddin (yang gamblang dalam agama).
Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah muț’ah. Hanya
saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan
atau tidak?
Al-Maziri
seperti dikutip an-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah muț’ah
adalah boleh hukumnya di awal Islam….” [13]
namun oleh Nabi Saw pada akhirnya dilarang.
Ibnu
Hajar mendefinisikan nikah muț’ah, “ialah menikahi wanita sampai waktu
tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari
kata-kata Bukhari bahwa ia sebelumnya mubah, boleh dan sesungguhnya larangan
itu terjadi pada akhir urusan.” [14]
Al-Syaukȃni
juga menegaskan bahwa nikah muț’ah adalah pernah diperbolehkan
dan disyari’atkan dalam Islam, kemudian katanya dilarang oleh Nabi Saw, ia
berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini
ialah nikah muț’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini
dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair
dengan tambahan إلَى
أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [15]
Ibnu
Kaśir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah muț’ah,
dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah muț’ah itu ditetapkan
dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan….”
[16]
C.
Nikah Muț`ah antara Boleh dan
Tidak
1.
Dasar dibolehkannya Nikah Muț`ah
Nikah
muț’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian
datang naș-naș yang melarang hingga hari Kiamat.
Diantara hadiś yang menyebutkan
dibolehkannya nikah muț’ah pada awal Islam ialah:
عن علي إبن أبي طالب رضي الله عنه قا
ل إن النبي ص نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر لأ حلية زمن خيبر
"Dari Ali
bin Abi Thalib R.a berkata: ''Sesung-guhnya Rasulullah melarang nikah muț’ah dan
memakan daging khimar jinak pada waktu perang Khaibar”. [17]
عَن الرَّبيْع بن سَبْرَة عَنْ
أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم
فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ ,
وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya
R.a, bahwasanya ia bersama Rasulullah Saw, lalu beliau bersabda: “Wahai,
sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan muț’ah
dengan wanita. Sesungguhnya Allah Swt telah mengharamkannya hingga hari Kiamat.
Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka, maka biarkanlah! Jangan ambil
sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[18]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ
حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk muț’ah pada masa penaklukan
kota Makkah, ketika kami memasuki Makkah. Belum kami keluar, beliau Nabi Saw
telah mengharamkannya atas kami”. [19]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى
الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي
اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
“Dari Salamah bin Akwa` R.a, ia
berkata: “Rasulullah Saw telah memberikan keringanan dalam muț’ah selama
tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian
beliau melarang kami”.[20]
2.
Dasar diharamkannya Nikah Muț’ah
Nikah muț’ah telah diharamkan
oleh Islam dengan dalil Kitab (al-Qur`an), Sunnah, Ijma’, dan secara akal (qiyas).
a. Berdasarkan QS.Al-Ma`ȃrij (70):
29-31:
“dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki,[21]
Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang
di luar itu,[22] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas”.
(QS.Al-Ma`ȃrij (70): 29-31)
Ayat ini menerangkan bahwa, sebab
disahkannya berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah Ṣahih dan
perbudakan. Sedangkan wanita muț’ah, bukanlah istri dan bukan pula
budak. [23]
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak
mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan
menikahi perempuan) yang beriman, dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah
mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah sebagian dari yang lain,[24]
karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin
yang pantas (patut), karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara
diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain
sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi
mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka (hukuman) bagi mereka
setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka yang tidak bersuami.
(Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut
terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu
bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.)QS,
An-Nisȃ’ (4): 25)
Ada dua alasan yang dapat dipetik
dari ayat ini:
Pertama, jika nikah muț’ah
diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang
yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi hamba sahaya atau
bersabar untuk tidak menikah.[25]
Kedua, ayat ini merupakan larangan
terhadap nikah muț’ah, karena Allah Swt berfirman “karena itu nikahilah
mereka dengan seizin tuan mereka”. Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin
orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyari’atkan, yaitu dengan
wali dan dua orang saksi. Adapun nikah muț’ah, tidak mensyari’atkan
demikian.[26]
b. Dalil dari Sunnah
Semua riwayat yang telah dipaparkan
di atas, dapat dipahami merupakan dalil haramnya nikah muț’ah.
Dalil-dalil
dari hadis yang mengharamkannya-pun jelas dan sahih lagi, sehingga tidak ada
alasan bagi kita saat ini untuk menghalalkannya.
c. Dalil Ijma`
Para
ulama ahlussunnah menyebutkan, bahwa seluruh umat Islam telah sampai
pada posisi ijma' tentang pengharamannya. Para ulama telah sepakat
menyatakan bahwa dalil yang pernah menghalalkan nikah muț’ah itu telah dimansukhkan
sendiri oleh Rasulullah. Tidak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang
menghalalkannya kecuali oleh ulama syi`ah sendiri. Diantara
pernyataan tersebut adalah:
1) Perkataan Ibnul ‘Arabi rahimahullah,
sebagaimana Al Qurțubi berkata, “Telah berkata Ibnul ‘Arabi, ‘Adapun muț’ah,
maka ia termasuk salah satu keunikan syari’ah; karena muț’ah diperbolehkan pada awal Islam, kemudian
diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian
diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan muț’ah -dalam
hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh
(penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil’.” [27]
2) Imam Thahawi berkata,”Umar telah
melarang muț’ah dihadapan para
sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini
menunjukan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga
bukti Ijma’ mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut
telah dihapus.[28]
3) Qaḑi Iyaḑ berkata,”Telah terjadi
Ijma’ dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafiḑah
(kelompok Syi’ah)”. [29]
4) Disebutkan oleh al Khattabi:
“Pengharaman muț’ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma'
kaum Muslmin), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [30]
d.
Alasan
dari Akal dan Qiyas [31]
1) Sesungguhnya nikah muț’ah
tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah
dari țalak, iddah dan waris, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak
sah lainnya.
2) ‘Umar telah mengumumkan
pengharamannya dihadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui
oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika
pendapat ‘Umar tersebut salah.
3) Haramnya nikah muț’ah,
dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Antara lain:
a) Bercampurnya nasab, karena
wanita yang telah dimut’ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan
begitu seterusnya.
b) Disia-siakannya anak hasil muț’ah
tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c) Wanita dijadikan seperti barang
murahan, pindah dari tangan ke-tangan yang lain, dan sebagainya.
e.
Pendapat
Para Ulama
Berdasarkan hadiś-hadiś tersebut di
atas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
1) Mażhab Hanafi; Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat
490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuț (V/152) mengatakan: “Nikah muț’ah ini
bațil menurut maẓhab kami. Demikian pula Imam Ala al-Din al-Kasani (wafat 587
H) dalam kitabnya Bada’i al-Sanȃ’i fȋ Tartib al-Syarȃ’i
(II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah muț’ah”.
2) Mażhab Maliki; Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
mengatakan, “hadiś-hadiś yang mengharamkan nikah muț’ah mencapai
peringkat mutawatir” [32]
Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) mengatakan, “Apabila seorang
lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”[33]
3) Mażhab Syafi’; Imam Syafi’i (wafat 204 H) dalam
kitabnya al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah muț’ah yang dilarang
itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan,
aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.” Sementara itu
Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya al-Majmu’ (XVII/356)
mengatakan, “Nikah muț’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu
pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila
dibatasi dengan waktu.”[34]
4) Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
dalam Al-Mughni mengatakan, “Nikah muț’ah ini adalah nikah yang batil.”[35]
Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang
menegaskan bahwa nikah muț’ah adalah haram.
Masih banyak lagi kesesatan dan
penyimpangan Syi’ah. Kami ingatkan kepada kaum muslimin agar waspada terhadap
ajakan para propagandis Syi’ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama “Wajib
mengikuti maẓhab Ahlul Bait”, sementara pada hakikatnya Ahlul Bait
berlepas diri dari mereka, itulah manipulasi mereka. Semoga Allah selalu
membimbing kita kejalan yang lurus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai
dengan pemahaman Salafus Ṣalih.
D.
Kajian Psikologis, Sosiologis dan Filosofis
Al-Baihaqi
berkata dari Ja'far bin Muhammad bahwa beliau ditanya tentang nikah muț’ah dan jawabannya
adalah bahwa nikah muț’ah itu adalah zina itu sendiri.
Selain
itu nikah muț’ah sama sekali
tidak sejalan dengan tujuan dari pernikahan secara umum, karena tujuannya bukan
membangun rumah tangga sakinah. Sebaliknya tujuannya semata-mata
mengumbar hawa nafsu dengan imbalan uang. Merendahkan harkat perempuan karena
perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka. Berpeluang
disalahgunakan dan hanya sebagai pelampiasan hawa nafsu.
Apalagi
bila dikaitkan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk mendapatkan keturunan yang Ṣalih
dan Ṣalihah. Semua itu jelas tidak akan tercapai lantararan nikah muț’ah memang tidak
pernah bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Tetapi untuk kenikmatan seksual
sesaat. Tidak pernah terbersit untuk nantinya punya keturunan dari sebuah nikah
muț’ah. Bahkan ketika
dahulu sempat dihalalkan di masa Nabi yang kemudian segera diharamkan, para
şahabat-pun tidak pernah berniat membentuk rumah tangga dari nikah muț’ah itu.
Ungkapan
bahwa nikah muț’ah itu adalah
zina dibenarkan oleh Ibnu Umar. Dan sebagai sebuah kemungkaran, pelaku nikah muț’ah diancam dengan
hukum rajam, karena tidak ada bedanya dengan zina. Ibnu Umar telah berkata
bahwa Rasulullah memberi izin untuk nikah muț’ah selama tiga
hari, lalu beliau mengharamkannya.[36]
Lebih lanjut tentang pelaku nikah muț’ah ini, fuqaha dari kalangan sahabat Umar berkata,
"Demi Allah, takkan kutemui seorang pun yang menikah muț’ah padahal dia muhșan
kecuali aku merajamnya."[37]
Nikah
muț’ah identik dengan
penyakit kelamin yang memalukan. Dampak negatif dari nikah muț’ah ini seperti
yang banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis,
raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada
hakikatnya nikah muț’ah itu memang
zina. Sungguh amat memalukan ada wanita yang rapi berjilbab, menutup aurat dan
mengesankan dirinya sebagai wanita baik-baik, tetapi datang ke-dokter spesialis
gara-gara terkena penyakit khas para pelacur. Na`ŭzu billȃhi min ẓȃlik!
Mereka
yang menghalalkan muț’ah, tidak rela anak wanitanya dinikahi secara muț’ah. Ini adalah
dalil bahwa nikah muț’ah itu bertentangan dengan fitrah manusia.
Seandainya orang-orang yang menghalalkan nikah muț’ah itu punya anak
wanita yang disayanginya, dipelihara dengan kasih sayang, dibesarkan dan
diberikan pendidikan serta rizki yang cukup, lalu setelah besar hanya dijadikan
piala bergilir oleh laki-laki manapun yang mau membayarnya, dengan beberapa
uang receh, tentu saja hatinya menjerit untuk menolak nikah muț’ah.
Sungguh
aneh melihat ada orang tua yang rela anak perempuannya disetubuhi hanya
berdasarkan kesepakatan kontrak dan menerima bayaran dari jasa kenikmatan.
Sungguh nikah muț’ah tidak ada
bedanya dengan pelacuran yang dilegalkan.
Adapun
hikmah atau rahasia dibolehkannya kawin muț’ah waktu itu, ialah karena
masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan
dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliyah kepada Islam. Sedang
perzinaan di masa jahiliyah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di
mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk
pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan
yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang
lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu
perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.
Nikah muț’ah
yang dibolehkan diawal Islam[38]
jauh berbeda dengan nikah muț’ah menurut Syi'ah. Nikah Mut'ah Dalam
Ajaran Syi'ah dan kesan Negatifnya adalah kawin yang dilakukan
berdasarkan mahar tertentu. Masa berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu
hari, satu minggu, satu bulan dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di
kedua belah pihak tergantung kesanggupan membayarnya.
Nikah
muț’ah dalam sekte syi'ah memiliki lima syarat, yaitu:
- Calon
Istri
- Calon Suami
- Mahar
- Batas Waktu
- Ijab Kabul.
Nikah
muț’ah ini tidak perlu wali dan tidak perlu saksi dan tidak ada hak
waris-mewarisi.[39] Kalau
ada anak yang lahir akibat muț’ah ini adalah menjadi tanggung jawab
ibunya, karena faraj ibunya waktu melakukan nikah muț’ah tadinya
sudah dibayar.
Di
dalam al Furu’ Minal Kafi 5/455 karya al-Kulaini, dia menyatakan bahwa
Ja’far Ash-Shadiq pernah ditanya seseorang: "Apa yang aku katakan kepada
dia (wanita yang akan dinikahi) bila aku telah berduaan dengannya?" Maka
beliau menjawab: "Engkau katakan: Aku menikahimu secara muț’ah
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, namun engkau tidak mendapatkan
warisan dariku dan tidak pula memberikan warisan apapun kepadaku selama sehari
atau setahun dengan upah senilai dirham demikian dan demikian." Engkau
sebutkan jumlah upah yang telah disepakati baik sedikit maupun banyak.” Apabila
wanita tersebut mengatakan: “Ya” berarti dia telah riḑa dan halal bagi
si pria untuk menggaulinya.[40]
Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Tidak apa-apa menikahi seorang wanita yang masih
perawan bila dia riḑa walaupun tanpa izin kedua orang tuanya.”[41]
E. Dampak Negative Nikah Muț’ah
Ala Syi'ah
Diantara
dampak negative nikah muț’ah ala syi’ah dapat diketahui sebagai berikut:
1. Banyak didapati kasusnya adalah,
beredarnya penyakit kelamin semacam sphilis, raja singa dan sejenisnya
di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah muț’ah
itu memang zina;
2. "Merusak garis nasab
manusia”. Dalam nikah muț’ah, suami tidak bisa menceraikan istri sebelum
masa kontrak selesai, namun ia (laki-laki) bisa menghadiahkan waktu muț’ahnya
kepada laki-laki lain tanpa persetujuan istri;
3. Berpeluang disalahgunakan dan hanya
sebagai pelampiasan hawa nafsu seksual belaka;
4. Merendahkan harkat perempuan, karena
perempuan dipandang sebagai obyek seksual kaum pria belaka.[42]
Ada
beberapa perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir al-Muhammady dalam Tahrimul
Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah
bukanlah istri atau budak yang dimiliki.
Perbedaan tersebut adalah:
- Wanita yang dimut’ah adalah
wanita sewaan;
- Tidak ada waris-mewarisi di
antara pasangan muț’ah, sedangkan nikah sunni menimbulkan
pewarisan antara keduanya;
- Boleh muț’ah lebih dari
4 wanita bahkan (tidak terhitung/ribuan), artinya nikah muț’ah
tidak membatasi jumlah istri, sedangkan nikah sunni dibatasi dengan
jumlah istri hingga maksimal 4 orang;
- Muț’ah selesai (jika habis
masa/kontraknya) tanpa ada perceraian; dengan kata lain, bahwa muț’ah
dibatasi oleh waktu, sedangkan nikah sunni tidak dibatasi oleh
waktu;
- Pasangan muț’ah boleh
kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah
diselingi pasangan lain ataupun tidak;
- Boleh muț’ah dengan
wanita musyrik;
- ‘Iddah muț’ah sama
dengan ‘iddah wanita sewaan;
- Wanita yang di-muț’ah
mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya;
- Orang yang muț’ah tidak
dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhșan);
- Boleh muț’ah dengan
wanita yang memiliki suami;
- Boleh muț’ah dengan
pelacur;
- Boleh muț’ah dengan
gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi
aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui);
- Tidak ada li’an dalam muț’ah;
- Tidak ada Ẓihar dalam muț’ah;
- Tidak ada ila’ dalam muț’ah;
- Tidak ada nafkah bagi wanita
yang di-muț’ah (tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada
istri), nikah sunni mewajibkan suami memberikan nafkah kepada
istri.
- Tidak ada tempat tinggal bagi
wanita dalam muț’ah ;
- Boleh
mensyaratkan dalam muț’ah untuk tidak melakukan jima’,
calon istri dalam muț’ah bisa mensyaratkan dalam akadnya untuk
tidak sampai ke tidur, sedangkan
dalam nikah sunni tidak boleh mensyaratkan demikian;
- Boleh melakukan ‘azl dalam
muț’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah;
- Tidak ada khulu’ dalam muț’ah;
- Boleh muț’ah dengan
saudari istri sendiri (ipar) [43]
- Nikah muț’ah berakhir
dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh,
sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia;
23. Nikah muț’ah dapat
dilaksanakan tanpa wali dan saksi, sedangkan nikah sunni harus
dilaksanakan dengan wali dan saksi;
Banyaknya
perbedaan antara wanita yang di-mut’ah dengan wanita yang dinikahi atau
budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang di-mut’ah bukanlah
istri atau budak, sehingga muț’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan
orang yang melakukannya termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat
tersebut di atas diturunkan (ketika Rasulullah Saw hidup) [44]
maka menjadi haram hukum mut’ah.[45]
F. Bentuk Ijab Qabul Nikah Mut’ah
Bentuk ijab qabul nikah mut’ah
ini dilakukan dengan cara: Calon Wanita Mengucapkan Ijab:
متّعتك
نفسى فى المدّة المعلومة على المهر المعلوم
(Matta’tuka nafsiy fi al-muddati
al-ma’lūmaḥ `ala al-mahri al-ma’lumi) artinya: saya mut’ahkan diri saya
dengan anda dengan jangka waktu yg diketahui (disepakati ) dan mahar yg
diketahui (disepakati),
Bila
calon wanita selesai mengucapkan Ijab maka calon lelaki dengan
segera mengucapkan Qabul yaitu dengan kata قبلت (Qabiltu) Artinya “saya terima”,
dengan selesainya ucapan ijab qabul maka sahlah kedua calon itu menjadi
suami istri dan calon lelaki wajib memberikan maharnya dengan segera. Group ini
dibentuk pada tanggal 5 Mei 2010, dan telah dilike oleh 827 orang sampai
hari ini. Pada kolom perkenalannya tertulis “Nikah mut’ah dalam Islam
dapat menyelesaikan masalah hubungan antar pria dan wanita yang ingin berniat
menjauhi dosa besar yaitu berzina. dst……..” Na’uẓubillah min ẓȃlik…..
Padahal
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah
mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang
memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikit pun dari apa yang telah kamu
berikan kepada mereka” (HR. Muslim). [46]
Hadiś
ini juga merupakan salah satu dalil pertimbangan Majelis Ulama Indonesia untuk
menetapkan bahwa nikah mut’ah hukumnya haram, fatwa ini
ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 1997. [47]
KH. Ma’ruf
Amin (Ketua MUI Pusat) menyimpulkan bahwa Fatwa MUI Jatim dan Sampang tentang
Syi’ah sudah pada tempatnya dan sesuai aturan. Tak lama berselang, Jalaludin
Rakhmat, tokoh Syi’ah yang juga Ketua Dewan Syura IJABI dalam artikelnya “Menyikapi
Fatwa tentang Fatwa” di Republika [48]
menggugat KH. Ma’ruf Amin dan Fatwa MUI Jatim.
Inti gugatannya:
Pertama, fatwa yang salah, sama seperti obat
yang salah diberikan kepada pasien, alih-alih menyembuhkan, ia justru bisa
membunuh. Lebih jauh Jalal menyebut Fatwa MUI Sampang ikut serta membunuh
muslim di Sampang dan Fatwa MUI Jatim juga menjadi dasar bagi Pengadilan Tinggi
Jawa Timur untuk memberi tambahan hukuman 2 tahun penjara kepada Tajul
Muluk.
Kedua, menurut Jalal, Fatwa MUI Jatim dan
KH. Ma’ruf Amin mengabaikan dan tidak membaca keputusan Konferensi Islam
Internasional di Jordania 4-6 Juli 2005 yang melahirkan Risalah Amman yang
poinnya menegaskan bahwa pengikut dua mazhab Syi’ah (Ja’fari dan Zaidi) adalah
Muslim sebagaimana pengikut empat mazhab Sunni (Hanafi,
Maliki, Syafi`i dan Hanbali) dan tidak boleh mengkafirkannya.
Menjawab gugatan pertama, fatwa
resmi yang dikeluarkan oleh lembaga ulama seperti MUI, terutama menyangkut
akidah dan paham agama, adalah dalam rangka meluruskan pemahaman dan
membentengi akidah umat.
MUI sangat peka terhadap
penyimpangan agama dan akan segera menghadapinya dengan serius dan
sungguh-sungguh, “Penetapan fatwa (MUI” bersifat responsif, proaktif,
dan antisipatif.” (Himpunan Fatwa MUI: 5) dan “Setiap usaha pendangkalan
agama dan penyalahgunaan dalil-dalil adalah merusak kemurnian dan kemantapan
hidup beragama. Oleh karena itu, MUI bertekad menanganinya secara serius dan
terus menerus.”[49] Fatwa
MUI berdasarkan dalil-dalil yang jelas untuk mendapatkan kebenaran dan
kemurnian agama, “Fatwa MUI berdasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, serta
dalil lain yang dianggap mu’tabar.” (Himpunan Fatwa MUI: 5), dan “MUI
berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan secara umum,
terutama masalah hukum (fikih) dan masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan
kemurnian keimanan umat Islam Indonesia” (Himpunan Fatwa MUI: 7). Jelasnya,
Fatwa tidak pernah dirumuskan untuk menciptakan permusuhan dan apalagi
pembunuhan. Fakta ini sangat gamblang untuk direnungkan.
G.
Mengabaikan Akar Masalah
Jalaludin Rakhmat dalam artikelnya
sama sekali tidak menyebutkan akar masalah yang memicu keluarnya Fatwa MUI
Jatim, yang didahului sebelumnya oleh MUI Sampang tentang ajaran Syi`ah yang
dibawa oleh Tajul Muluk di Sampang.
Dalam konsideran Fatwa MUI Sampang
disebutkan bahwa Tajul Muluk telah menyebarkan ajaran-ajaran yang
terindikasi menyimpang dari ajaran Islam sebagai berikut:
1. Mengimani imam yang 12 dan
menganggap perkataan mereka sebagai wahyu;
2. Al-Quran yang ada saat ini dianggap
sudah tidak orisinil;
3. Melaknat sahabat Nabi Muhammad, Abu
Bakar, Umar dan Usman;
4. Ṣalat Jum’at tidak wajib;
5. Haji tidak wajib ke Makkah cukup ke
Karbala;
6. Nikah mut’ah dianggap
sunnah;
7. Hanya taat kepada imam yang 12 dan
memusuhi musuh-musuhnya imam yang 12;
8. Shalat hanya dilakukan tiga
waktu;
9. ‘Aurat yang wajib ditutup hanya alat
vital saja;
10. Salat Tarawih, Ḓuha dan Puasa
‘Asyura haram.[50]
Sebelum keluar fatwa MUI Sampang
yang dikukuhkan oleh fatwa MUI Jatim, para ulama Sampang dan Madura terlebih
dahulu mengumpulkan para saksi, warga yang pernah mengikuti pengajian-pengajian
Tajul Muluk. dari pengakuan para saksi warga, terkumpul 29 poin ajaran yang ditanyakan warga
kepada ulama dan dianggap menyimpang. (temuan 50 Ulama Madura, ada 22 poin
ajaran yang menyimpang).[51]
Dalam
dokumen “Dakwaan Kesesatan yang dituduhkan kepada Tajul Muluk Ma’mun” terungkap
beberapa ajaran krusial misalnya:
1.
Mereka menganggap bahwa Kitab Suci Al-Qur’an yang ada pada
tangan Muslimin se-alam dunia tidak murni diturunkan Allah, akan tetapi sudah
terdapat penambahan, pengurangan dan perubahan dalam susunan ayat-ayatnya
(no.4);
2.
Mereka menganggap bahwa semua ummat Islam -selain kaum
Syi’ah- mulai dari para Ṣahabat Nabi hingga hari qiamat, termasuk didalamnya tiga Khalifah Nabi (Abu
Bakar, Umar, Usman) dan imam empat Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’ie, Ahmad)
termasuk pula Bujuk Batu Ampar adalah orang-orang pendusta, dan beraqidah
dengan aqidah bodoh lagi murtad karena membenarkan tiga Khalifah tersebut di
dalam merebut kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (no.5). [52]
Tidak hanya Tajul Muluk, Jalaludin Rakhmat sendiri terbukti banyak sekali
melecehkan para Sahabat Nabi. Berikut ini adalah sebagian daftar pelecehan
Jalaludin Rakhmat terhadap para sahabat utama Nabi Muhammad Saw yang
menjelek-jelekan, melaknat dan bahkan mengkafirkan mereka.
Di dalam buku-buku yang diedit atau
ditulisnya sendiri (oleh: Jalaluddin Rakhmat) ditemukan antara lain; “Syiah
melaknat orang yang dilaknat Fatimah”.[53]
Dan yang dilaknat Fatimah adalah Abu Bakar dan Umar.[54]
Para sahabat suka membantah perintah Nabi Muhammad.[55]
“Para Sahabat Merobah-robah Agama” [56]Para
Sahabat Murtad. [57] Uśman
tidak menikahi dua putri Nabi Saw, tapi dua wanita lain. [58]
Dia jelas membenci julukan Dzu-Nuraini (pemilik dua cahaya)
karena Uśman bin Affan menikah dengan dua puteri Rasulullah Saw. Julukan itu
kata Jalal, harus kita hapus (mansukh)! [59]
Tragedi Karbala merupakan gabungan dari pengkhianatan sahabat dan kelaliman
musuh (Bani Umayyah). [60]
Tentu saja, berbagai tulisan yang
bernada melecehkan, menghujat dan mendiskreditkan para sahabat utama Nabi
seperti di atas tidak bisa dikatakan tidak sesat! Namun sungguh aneh, para
penyokong dan pendakwah Syi`ah seperti Jalaludin Rakhmat dan Haidar Bagir
selalu meminta kaum Sunni kedepankan akhlak dan mengangkat persatuan ummat
dihadapan ajaran-ajaran yang menyinggung akidah dan perasaan Sunni.
Dalam artikelnya berjudul ‘Wa’tașimŭ
bi Hablillȃhi Jamȋ’an’,[61]
Haidar Bagir menyintir perkataan Imam At-Thahawi dalam ‘Al-‘Aqidah
Al-Thahawiyah’ bahwa, “Kita tidak menisbatkan kekafiran, kemusyrikan
dan kemunafikan kepada seseorang selama tidak tampak dari mereka sesuatu yang
menunjukkan hal-hal demikian itu. Dan sebagai gantinya, kita menyerahkan semua
yang tidak tampak itu kepada Allah, kita hanya menghukum berdasar yang tampak
saja.”
Tampaknya ia sedang meminta kaum Sunni
untuk tidak menghukumi kafir dan seterusnya kepada Syi`ah. Padahal dalam kitab
yang sama, jika mau jujur, Imam At-Thahawi sangat keras menghukumi orang yang
berani lancang menghujat para sahabat Nabi berdasarkan kaidah “Kita hanya
menghukum berdasar yang tampak saja”.
Beliau menulis, “Kita mencintai para
sahabat Rasulullah Saw dan tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang
mereka, kita juga tidak berlepas diri dari mereka. Kita membenci orang yang
membenci mereka (para sahabat) dan yang menyebut mereka tidak baik. Kita tidak
menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah agama, iman
dan ihsan. Membenci mereka adalah kekafiran, kemunafikan dan sikap melampaui
batas (țughyȃn).” [62]
H.
Kontroversi Risalah Amman
Gugatan
Jalaludin kedua adalah masalah Deklarasi Amman. Seperti disebutkan Jalaludin
Rakhmat, sebenarnya bukanlah Ijma’ Ulama dalam pengertian yang
fixed dalam ushul fikih. Risalah Amman, juga deklarasi Makkah dan Bogor lebih
bersifat politis. Ia dipicu oleh konflik Sunni-Syi’ah di Iraq, pasca tumbangnya
Saddam Husain tahun 2003 yang digulingkan oleh AS dan Sekutu yang berkolaborasi
dengan kaum Syi`ah Iraq dengan kompensasi politik yang menguntungkan posisi
Syi`ah di Iraq pasca Saddam.
Tak
pelak terjadi eskalasi kekerasan antara Sunni-Syi’ah, dimana Sunni
menuding Syi`ah menyerahkan kedaulatan Iraq kepada Amerika dengan keuntungan
politik tertentu, telah membantai ribuan kaum Sunni Iraq dan merampas
tanah-tanah wakaf Ahlus Sunnah di Iraq.
Dalam
rangka merespons konflik sektarian yang berdarah itu, maka terjadilah
upaya-upaya mediasi dunia Islam seperti pertemuan Amman, Makkah dan Bogor.
Bukti bahwa Risalah Amman 2005 itu sekedar basa-basi politis (bukan
fatwa keagamaan) dan tidak mengikat seluruh ulama yang hadir, adalah fakta
Prof. Dr. Yusuf Al-Qarḑawi yang ikut tercantum namanya (diundang dan
menandatangani Risalah Amman) ternyata merilis tiga fatwa tentang Syi`ah
Imamiyah 12 didalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang
terbit pada tahun 2009.
Dalam fatwanya, beliau membongkar
kesesatan Syi`ah Imamiyah 12 dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah
antara Ahlus Sunnah dan Syi`ah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya
tentang pendekatan (Taqrib) sunni-syiah pasca Muktamar Doha-Qatar
tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak
dari fatwa Syeikh Al-Qarḑawi (2009) bahwa kaum Syi`ah masih dikategorikan
Muslim (seperti yang dinyatakan oleh Risalah Amman), tapi itu tidak berarti
golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalam
hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qarḑawi. Tentu
saja Syeikh Al-Qarḑawi lebih alim dan mumpuni daripada Jalaludin Rakhmat,
sehingga mampu membedakan mana kekufuran dan kesesatan. Sehingga wajar para
ulama MUI Jatim dan KH. Ma’ruf Amin juga merasa tak perlu menengok Risalah
Amman yang terbukti bukan Ijma Ulama itu.
Ada
baiknya kita mengaca kepada sikap institusi Al-Azhar Mesir dalam menyikapi
dakwah Syi`ah. Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan
seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar
menolak keras penyebaran ajaran syi`ah di negeri-negeri Ahlus Sunnah,
karena akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas, memecah
belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu
perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.[63]
I. Kesimpulan
1. Muț’ah berarti bersenang-senang atau
menikmati. Istilah muț’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang
wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu,
pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan
tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa
adanya saling mewarisi antara keduanya.
2.
Eksistensi hukum nikah muț’ah ada dua pandangan. Pertama; memandang boleh sejauh dibutuhkan dan dalam
situasi darurat atau terpaksa, artinya bukan halal secara mutlak. Kedua, nikah muț’ah pernah dibolehkan sebelum perang Khaibar dan
ketika Fathu Makkah; setelah itu Rasulullah Saw melarang untuk seterusnya
hingga kiamat. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang
mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Makkah.
3.
Nikah muț’ah yang dibolehkan diawal Islam jauh
berbeda dengan nikah muț’ah menurut Syi'ah. Nikah
muț’ah dalam ajaran Syi'ah dan kesan
negatifnya adalah kawin yang dilakukan berdasarkan mahar tertentu. Masa
berlakunya bisa setengah jam, bisa satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan
dan seterusnya, sesuai dengan akad perjanjian di kedua belah pihak tergantung
kesanggupan membayarnya.
[1] Jami’
Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan lihat
juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan’ani, Darul Kutub
Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46)
[2] ash Shan’ani, Subulus Salam, Loc
Cit.
[3] Abi Zakariya al Anshari, Fathul Wahhab, Syarah minhajut tulhab,
Syirkah Izamatuddin, juz II, tt, h. 30 .
[4] Esiklopedi Hukum Islam (editor:
Abdul Aziz Dahlan), PT. Ichtiar Baru Van Hove, jilid 4, Jakarta. cet. I,
1966, h. 1329.
[5] Syaikh
Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, penerjmh. M. Abdul Ghoffar, E.M, Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta, 2004, h. 3 ; Lihat, M. Quraisy Syihab, Wawasan
al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i,atas Pelbagai Persoalan Umat, cet.k6, Mizan,
Bandung, 1997, h. 191
[6] Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. ar-Rum (30):
21)
[7] Allah
menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu
rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS. an-Nahl (16): 72)
[8] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga)
Islam Indonesia, Op. Cit, 226; Lihat juga: Khoiruddin Nasution, Hukum
Perkawinan 1, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2004, h. 40.
[9] Maksudnya:
perempuan-perempuan yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya.
[10] Ialah:
selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam QS. An Nisa' ayat 23 dan 24.
[11] Bisa jadi untuk menambah, mengurangi
atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan.
[12] Tafsir
Khazin (Lubab at-Ta’wiil).1, 506.
[13] Sahih
Muslim dengan syarah al-Nawawi. 9179, Bab Nikah al-Mut’ah.
[14] Fathu
al-Bȃri.19, 200, Kitabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah
al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada
akhirnya).
[15] Tafsir Fathu al-Qadir.1, 449.
[16] Tafsir
Ibnu Katsir.1,
474.
[17] HR.
Bukhari , 5115, dan HR. Muslim, 1407.
[18] HR Muslim,
9/159, (1406), HR. Ahmad
3/404, HR. Thabrani dalam Al-Kabir, 6536, HR. Baihaqi 7/202, HR. Ad-Darimi 2/140
[19] HR Muslim, 9/159, (1406).
[20] HR Muslim, 9/157, (1405). dan HR.Muslim 1023
[21] Maksudnya: hamba sahaya (budak-budak) belian yang didapat dalam
peperangan dengan orang kafir. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
perempuan-perempuan yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin
yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang
diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini.
[22] Maksudnya: seperti zina, homo seksual, lesbian dan sebagainya.
[23] Mahmud Syukri
al Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ariah, h. 228.
[24] Maksudnya: orang merdeka dan budak yang dikawininya itu adalah
sama-sama keturunan Adam dan Hawa dan
sama-sama beriman.
[25] Mahmud
Syukri al Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ariah, Loc Cit
[26] al Qurthubi, Jami’
Ahkamil Qur`an, (5/130).
[27] al Qurthubi, Jami’
Ahkamil Qur`an, Dar Syi’ib (5/130-131).
[28] Syarh Ma’anil
Atsar (3/27).
[29] Ibnu Hajar Fathul
Bari, (9/173).
[30]
Khattabi, Aunul Ma’bud, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[31] lihat Muhammad
Malullah, asy Syi’ah wal Mut’ah, Maktabah Ibnu Taimiyah, h..19; Mahmud
Syukri al-Alusi, Mukhtashar Itsna Asy’ari`ah, h. 227-228 dan Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah, (II, h. 130-131).
[32] Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334).
[33] Imam
Malik bin Anas, Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130)
[34] Imam
Nawawi, Al-Majmu’ (XVII/356)
[35] Imam
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (X/46)
[36] Lihat; HR
Muslim, 9/157, (1405). dan HR.Muslim 1023; dan lihat juga,Tafsir Khazin (Lubab at-Ta’wȋl).1, 506.
[37] lihat Muhammad Malullah, asy Syi’ah wal
Mut’ah, Maktabah Ibnu Taimiyah, h..19
[38] al Qurthubi, Jami’
Ahkamil Qur`an, Dar Syi’ib (5/130-131).
[39] al Qurthubi, Jami’
Ahkamil Qur`an, (5/130).
[40] Al-Mut’ah
Wa Atsaruha Fil-Ishlahil Ijtima’I, h.
28-29 dan 31
[41]
Tahdzibul Ahkam 7/254.
[43] http.//Nanang Soehendar.blogspot.com/, Nikah Mut`ah, diposkan Selasa, 17 Januari 2012, Akses 20 Desember 2013
[44] Lihat;
QS.Al-Ma`ȃrij (70): 29-31; Lihat, Mahmud Syukri al Alusi, Mukhtashar Itsna
Asy’ariah, h. 228.
[45] HR Muslim, 9/159,
(1406).
[46] HR Muslim,
9/159, (1406); HR. Ahmad
3/404; HR. Thabrani dalam Al-Kabir, 6536; HR. Baihaqi 7/202; HR. Ad-Darimi 2/140
[47] Lihat Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Penerbit Erlangga, h.379.
[48] Harian Republika
(10/11/2012)
[49] Fatwa MUI, 1
Juni 1980, dalam Himpunan Fatwa MUI: 42.
[50] Fatwa MUI
Sampang, tanggal 8 shafar 1433/ 1 Januari 2012.
[51] http://www.hidayatullah.com/ read/ 20495/03/01/2012.
[52] lihat Dokumen
Fatwa MUI Jatim dan Sampang tentang Ajaran Tajul Muluk di Sampang,
tanggal: 8 shafar 1433/ 1 Januari 2012.
[53] Emilia Renita
AZ, dalam “40 Masalah Syiah”. Bandung: IJABI. Cet ke 2. 2009. h.
90.
[54] Jalaluddin
Rakhmat , “Meraih Cinta Ilahi”, Depok: Pustaka IIMaN, 2008. h. 404-405.
[55] Jalaluddin
Rakhmat dalam “Sahabat Dalam Timbangan Al-Quran, Sunnah dan Ilmu Pengetahuan”,
PPs UIN Alauddin, 2009. h. 7.
[56] Jalaluddin dalam artikel di Buletin at-Tanwir,
Yayasan Muțahhari, Edisi Khusus No. 298. 10 Muharram 1431 H. h. 3.
[57] Ibid. h. 4.
[58] Jalaluddin
Rakhmat, dalam “Al Mushthafa (Manusia Pilihan yang Disucikan)”, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2008, h.164.
[59] Ibid, h.165-166.
[60] Jalaluddin
Rakhmat dalam “Meraih Cinta Ilahi”, Op Cit, h.493.
[61] Harian Republika 02
Nopember 2012.
[62] Ibnu Abi
Al-‘Izz , Al-‘Aqidah Al-Thahawiyah dan Syarahnya, tt, h. 689.
[63] Penulis
adalah Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI Red: Cholis Akbar/ hidayatullah.com, Rabu, 14
November 2012
Golden Nugget - Casino & Resort
BalasHapusGolden Nugget, Las Vegas (NV). Directions · 광주광역 출장마사지 (702) 770-6711. Call Now · Full menu · More Info. Hours, Accepts Credit Cards, Wi-Fi, PokéStop, 출장안마 PokéStop Rating: 2 · 천안 출장안마 8 reviews · Price range: $$ (Based on 구미 출장마사지 Average Nightly Rates for a 이천 출장안마 Standard Room from our Partners)Which popular attractions are close to Golden Nugget?What are some of the property amenities at Golden Nugget?