Selasa, 17 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB III)

BAB III
WALI DAN SAKSI DALAM PERKAWINAN



A.    Wali Dalam Perkawinan

Perwalian adalah berasal dari bahasa Arab Walȃyaḥ atau wilȃyaḥ yaitu hak yang diberikan oleh syariʻat yang membuat si wali mengambil dan melakukan sesuatu, kalau perlu secara paksa diluar kerelaan dan persetujuan dari orang yang diperwalikan. [1]
Menurut Amin Summa, perwalian dalam literatur fiqh Islam disebut dengan Al-walȃyaḥ atau al-wilȃyaḥ seperti kata addalȃlah yang juga disebut addilȃlah. Secara etimologis mengandung beberapa arti yaitu cinta (al-mahabbaḥ) dan pertolongan (an-naşraḥ) atau bisa juga berarti kekuasaan atau otoritas. Seperti dalam ungkapan al-wali yakni orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengurus sesuatu. [2]
Kamal Muchtar mengemukakan bahwa, yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.[3] Dalam Fiqh Sunnah dijelaskan bahwa wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, wali ada yang khusus dan ada yang umum. Wali khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya. [4] Menurut Syarifuddin yang dimaksud dengan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.[5]  Sementara Abdur Rahman juga mengungkapkan tentang wali, yaitu pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, dan yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[6]
Sedangkan Muhammad Jawad mengungkapkan bahwa perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang Syarʻi atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[7]

Menurut Abdullah Kelib, wali dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria.[8]  Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab didalam perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata. Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa digantikan kedudukannya oleh wali hakim.
Berpijak dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud wali nikah adalah orang yang mewakili perempuan dalam hal melakukan akad pernikahan, karena ada anggapan bahwa perempuan tersebut tidak mampu melaksanakan akadnya sendiri karena dipandang kurang cakap dalam mengungkapkan keinginannya sehingga dibutuhkan seorang wali untuk melakukan akad nikah dalam pernikahan.

B.     Naş Tentang Wali dan Saksi dalam Perkawinan

Ada sejumlah naș Al-Qurȃn dan Sunnah dalam perkawinan. Naș Al-Qurȃn adalah QS. Al-Baqaraḥ (2): 230, 231, 232, 235, 240, Ali ʻImrȃn (3): 159, An-Nisȃ’ (4): 25, 34, At-Țalȃq (65): 2; Sementara sunnah Nabi Muhammad saw, diantaranya: hadiś yang termaktub dalam Sunan Addȃruqutnĩ, bab ”Nikah” dengan redaksi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ» [9]
“ Abu Żȃr Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad an-Nasȃiy dari Muhammad bin Yazĩd bin Sinȃn dari ayahnya dari Hisyȃm bin ʻUrwaḥ dari ayahnya dari ʻᾹisyaḥ: ʻᾹisyaḥ  berkata bahwa Rasūlullah saw bersabda “ Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil”.
Hadiś Rasulullah saw:[10]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Hadiś ini menekankan adanya wali dalam pernikahan. Meskipun dalam al-Mudawwanaḥ tidak menegaskan keharusan wali dalam perkawinan; antara kehadirannya dalam akad nikah atau cukup izinnya. Disatu sisi Imam Malik, menurut catatan Sahnūn menyuruh memisahkan perkawinan tanpa wali, sebagaimana ditulis oleh khoiruddin Nasution[11] 

C.    Pandangan Ulama Mażhab tentang Wali

Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnaḥ hukumnya, olehkarenanya perkawinan tanpa wali (menikahkan diri sendiri), atau meminta orang lain di luar wali nasab untuk menikahkan gadis atau janda, sekufu atau tidak adalah boleh,[12] Dasar hukum Hanafi membolehkan perkawinan tanpa wali adalah: QS. Al-Baqaraḥ (2): 230,[13] QS. Al-Baqaraḥ (2): 232,[14] QS. Al-Baqaraḥ (2):  240.[15] Akad dalam ayat ini disandarkan kepada wanita (hunna), yang berarti akad tersebut menjadi hak atau kekuasaan mereka. Olehkarennya akad nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala sesuatu yang dikerjakannya tanpa menggantungkannya kepada wali atau izinnya adalah sah. Dengan kata lain Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain, dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak menikah. [16]

Menurut mażhab Syafiʻĭ wali merupakan masalah penting sekali dalam pembahasan nikah karena tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat bagi sahnya suatu nikah; dan pendapat mażhab Syafiʻi inilah yang umumnya dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Lebih tegas lagi menurut Syafiʻĭ, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah, yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak sah.[17] Dasar keharusan wali, dan sekaligus larangan wali mempersulit menurut Syafiʻĭ, adalah QS. Al-Baqaraḥ (2): 232, QS. An-Nisȃ’ (4): 25[18] Adapun dasar hadiś yang mengharuskan wali dalam perkawinan, sekaligus larangan wanita menikahkan dirinya sendiri, adalah hadiś Nabi riwayat Turmużi dari ʻAisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi mengatakan nikahnya batal)”.[19] Selain itu ijab menurut lazimya dalam suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi mempelai wanitalah yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang pria. Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili oleh orang tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali nikahnya.
Menurut mażhab Hanbalȋ, dalam al-Mughni, Ibnu Qudȃmaḥ dari mażhab Hanbalȋ menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Keharusan ini berdasarkan hadis nabi, bahwa dalam perkawinan harus ada wali.[20] Terhadap hadis yang dipegangi sejumlah ilmuan, bahwa yang dipentingkan dalam perkawinan adalah izin wali, bukan kehadirannya. Oleh Ibnu Qudȃmaḥ menepis dengan mengatakan, bahwa hadis yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua, sementara hadis yang menyebut hanya butuh izin adalah yang bersifat khusus. Alasan tambahan, larangan nikah tanpa wali (perintah harus ada wali), bertujuan menghindari adanya kecenderungan dan keinginan wanita kepada pria yang kadang kurang pertimbangan yang matang, maka kehadiran wali diharapkan dapat menghindari kecenderungan tersebut, demikian menurut Qudȃmaḥ yang dikutip oleh khoiruddin Nasution.[21]

D.     Konsep Perundang-undangan

Dalam perundang-undangan Perkawinan Indonesia, wali nikah menjadi salah satu rukun nikah, tanpa wali perkawinan tidak sah.[22] Dalam KHI diringkas hanya menjadi empat persyaratan bagi wali, sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) “yang betindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, Aqil dan baligh”. Sejalan dengan keharusan adanya wali, pada prinsipnya wali nikah dalam perundang-undangan adalah wali nasab. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu posisi wali nikah dapat digantikan wali hakim (lihat Pasal 22 KHI). Hal tersebut dimungkinkan bilamana:

1)      Tidak ada wali nasab;
2)      Tidak mungkin menghadirkan wali nasab (karena tidak ada di tempat, tetapi tidak memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat);
3)      Tidak diketahui tempat tinggal wali nasab;
4)      Wali nasab Gaib (Seperti: sedang berihram haji atau umrah);
5)      Wali nasab menolak (aḍal/ enggan menikahkannya);[23]

E.     Aspek Psikologis dan Sosiologis

Bila disorot dari sudut pandang Sosiologis dan psikologis, wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria, demikian juga dimata hukum. Namun kerendahan serta kekurangan wanita itu sendiri membuat mereka terbatas dalam bertindak, seperti halnya dalam perkawinan menurut agama Islam. Oleh sebab itu untuk mengetahui dan mengerti kedudukan wanita, selain mempelajari hukum dan peraturan yang berlaku kita juga harus mempelajari tentang kedudukan wanita dalam masyarakat dan keluarga. [24]

Selain perbedaan dari segi fisik maupun psikis antara mereka, wanita oleh keluarganya dimisalkan sebagai perhiasaan yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya, yang nilainya sangat berharga, lebih berharga dari perhiasan dunia yang berbentuk harta benda. Oleh karena itu untuk melepaskan seorang anak perempuannya menuju suatu perkawinan, orang tua dalam hal ini adalah ayah ataupun wali lainnya yang berhak merasa berkepentingan untuk menyerahkan anak perempuannya tersebut dengan cara menjadi wali yang akan melakukan ijab dengan calon mempelai pria. Pentingnya wali bagi wanita dalam akad nikah, selain karena merupakan perintah agama juga disebabkan karena wanita adalah makhluk yang mulia, makhluk yang memiliki beberapa hak yang telah disyariatkan oleh sang pencipta dan mempunyai satu kedudukan yang dapat menjaga martabat, kemanusiaan dan kesuciannya, serta merupakan wujud cinta kasih seorang ayah atau keluarganya kepada anak perempuannya yang akan membina suatu rumah tangga. Bertitik tolak dari Firman Allah swt, Hadiś Rasulullah dan realita yang ada dalam masyarakat seperti yang disebutkan di atas maka disimpulkan bahwa kedudukan dan tugas wali nikah adalah sangat penting artinya sekaligus mempunyai sifat menentukan didalam sah atau tidaknya suatu akad nikah.
Akan halnya dapat dipetik dari hak ijbarnya wali mujbir, yang berhak memaksa (ijbar) gadis dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin dari gadis yang bersangkutan, yang tentunya dengan pertimbangan dan syarat tertentu. Wali mujbir hanya terdiri dan ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwalianya. Keberadaan wali mujbir didalam hukum perkawinan Islam ialah atas pertimbangan guna kebaikan gadis yang akan dikawinkan, karena seringkali perempuan tidak pandai memilih jodohnya dengan tepat. Jika gadis dilepas untuk memilih jodohnya sendiri, dirasakan akan mendatangkan kerugian pada gadis di kemudian hari. Misalnya dari segi pemeliharaan jiwa keagamaanya dan lain sebagainya. Oleh karena itu wali mujbir yang mengawinkan perempuan gadis di bawah perwalian tanpa izin dari gadis yang bersangkutan disyaratkan:
1.      Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang dikawinkan;
2.      Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan;
3.      Antara gadis dan laki-laki calon, suami harus tidak ada permusuhan;
4.      Calon suami harus sanggup membayar mas kawin dengan tunai;
5.      Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya terhadap istri dengan baik dan tidak terbayang akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaraan istri.

Syarat-syarat tersebut harus diperhatikan bilamana wali mujbir akan menggunakan hak ijbamya sehingga prinsip suka rela para pihak dalam melangsungkan perkawinan tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka gadis yang telah dikawinkan oleh walinya tanpa persetujuan dirinya terlebih dahulu maka ia dapat meminta fasakh, minta dirusakkan nikahnya kepada hakim.
Di dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan perkawinan bagi seseorang yang beragama Islam disebutkan bahwa, akad nikah dilakukan oleh wali atau diwakilkan kepada PPN atau Pembantu PPN atau orang lain yang menurut PPN atau Pembantu PPN dianggap memenuhi syarat.[25] Dalam Pasal 23 disebutkan bahwa waktu akad nikah, calon suami atau wali nikah wajib menghadap PPN atau Pembantu PPN, dan dalam keadaan memaksa kehadirannya dapat diwakilkan oleh orang lain yang dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan PPN atau kepala perwakilan Republik Indonesia bila berada di luar negeri.
Dengan adanya pasal-pasal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 melalui PMA No.2 Tahun 1990 telah memberikan ketentuan tentang perlunya wali nikah bagi calon mempelai wanita. Hal ini menjadi sangat penting karena dengan secara tegas di dalam pasal tersebut di atas telah disebutkan bahwa wali sendiri atau wakilnya (dalam keadaan memaksa) yang melaksanakan akad nikah bagi mempelai wanita.
Kesemuannya itu menunjukkan suatu persamaan dengan ketentuan yang terdapat dalam Hukum Islam, yaitu bahwa wali adalah melaksanakan akad nikah bagi seorang wanita. Persamaan dan peraturan perundangan ini dengan ketentuan yang ada dalam Hukum Islam lebih jauh lagi ditunjukkan dari ketentuan mengenai perwakilan bagi wali nikah, meskipun untuk mengakad nikahkan mempelai wanita pada dasarnya wali nikah sendiri harus hadir, namun apabila dalam keadaan memaksa hal tersebut dapat dimungkinkan untuk diwakili oleh orang lain. Maka dengan demikian perwakilan dalam wali nikah juga didapati dalam peraturan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat peraturan lain sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No.l Tahun 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan masalah wali nikah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 antara lain dalam Pasal 11 disebutkan bahwa setelah perkawianan usai, maka kedua mempelai menandatangani akta nikah yang kemudian juga ditanda tangani oleh PPN dan wali nikahnya atau yang mewakilmya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim dan Peraturan Menteri Agama No.4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Luar Jawa Madura dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Di dalam Pasal 2 PMA No.2 Tahun 1987:
1.      Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.;
2.      Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita;
3.      Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita. [26]

Pasal 4 PMA No.2 Tahun 1987 menyebutkan:
(1)    Kepala KUA kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya masing-masing untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ayat (l) peraturan ini;
(2)    Apabila di wilayah kecamatan, Kepala KUA kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen (baca: Kementerian) Agama Kabupaten/ Kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu PPN untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya. Dengan demikian menurut PMA   No.2 tahun 1987 apabila wali nasab tidak ada, tidak diketahui tempat tinggalnya, sedang menjalankan hukumannya, gȃib, enggan untuk menikahkan, maka yang ditunjuk sebagai wali hakim yaitu semua Kepala KUA Kecamatan masing-masing diwilayahnya. Hal-hal tersebut di atas merupakan beberapa peraturan perundang-undangan dari Undang-Undang Perkawinan yang berkenaan dengan wali yang memberikan izin untuk melangsungkan suatu perkawinan sekaligus menikahkan mempelai menurut ajaran agama Islam.

Kedudukan wali sangat penting ini dapat dipahami karena sejak anak dalam kandungan hingga dilahirkan dan dibesarkan sampai ia menjadi dewasa, adalah menjadi tugas dan tanggungjawab bagi orang tua dan seorang anak banyak memerlukan pengorbanan dari orang tuanya, karena anak adalah merupakan amanah dan titipan dari Allah. Sehingga sudah sepatutnyalah apabila seorang anak yang sudah dewasa dan hendak memasuki pintu gerbang kehidupan berumah tangga, haruslah mendapatkan izin dan restu dari orang tuanya dan tidak begitu saja meninggalkan orang tuanya, oleh karena itu pernyataan penyerahan mempelai wanita kepada mempelai pria, yang diucapkan oleh ayah dalam kedudukannya sebagai wali nikah didalam pelaksanaan acara ijab qabul, dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dari orang tuanya, untuk memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil anak gadisnya hingga menjadi dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga sendiri. Dan dengan selesainya ijab qabul tersebut maka saat itu jugalah tugas orang tua sudah beralih kepada suaminya. Jika kita dapat memahami keadaan tersebut di atas, maka kita dapat pula menyimpulkan bahwa dengan dipenuhinya terlebih dahulu syarat-syarat dan rukun perkawinan, sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yaitu khusus dalam hal adanya izin, adanya doa restu dan adanya kesediaan wali calon mempelai wanita untuk melaksanakan ijab didalam akad nikahnya.
Kesemuanya itu membawa dampak pengaruh psikologis yang berat untuk berlangsungnya kebahagiaan didalam kehidupan rumah tangga yang bersangkutan. Karena seperti yang kita ketahui semua bahwa sebelum manusia memasuki pergaulan hidup dalam masyarakat luas, maka ia berada dalam lingkungan keluarga, dimana kemudian terjadilah pertumbuhan dari masa kanak-kanak hingga menjadi dewasa, didalam pertumbuhan tersebut baik anak laki-laki maupun anak perempuan, didalam dirinya berkembang pada hubungan batin dengan keluarganya yang makin lama makin menebal, sehingga dapat dikatakan bahwa seorang anak adalah merupakan pencerminan dari orang tua. Maka bagi gadis yang akan menikah membentuk rumah tangga dengan calon suaminya, ia tidak melepaskan diri dari ikatan batin dengan orang tuanya, ia membutuhkan dorongan batin untuk memulai kehidupan baru bagi suami isteri, ia merasa memperoleh dorongan batin untuk memulai kehidupan baru sebagai suami isteri, ia merasa memperoleh kekuatan batin untuk melepaskan dengan orang tuanya, sekaligus memperoleh dorongan untuk membina rumah tangganya. Begitu pula bagi pihak suami, ia merasa bahwa orang tua si gadis telah menyerahkan si gadis kepadanya dengan penuh percaya, hal ini akan menimbulkan rasa percaya diri sendiri dan rasa tanggungjawab yang besar untuk bertindak sebagai suami yang bijaksana dan penuh pengertian. Hal-hal semacam inilah yang merupakan pengaruh psikologis yang besar artinya untuk mendorong terwujudnya rumah tangga yang kekal dan bahagia.

F.     Saksi Nikah
Naș Al-Qurȃn, dalam QS. At-Thalȃq (65): 2; menyintir masalah saksi dalam pernikahan.[27] Dapat dipahami bahwa saksi dalam pernikahan merupakan suatu keharusan yang menyebabkan sah tidaknya akad nikah. Meskipun demikian;
Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak dipandang sudah sah. Senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi.[28] Pendapat ini diambil setidaknya berdasarkan dua hal. Pertama, analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Qurȃn memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. [29] Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan. Kedua, adanya hadiś yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan. Hadiś tersebut adalah:
حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ قَالَ عَبْد الله  وَسَمِعْتُهُ أَنَا مِنْ هَارُونَ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الله بْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الله بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ الله بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan  [30]
Pendapat Imam Malik yang dengan gamblang tidak mensyaratkan saksi dalam pernikahan secara mutlak, namun mayoritas ulama Malikiyah justru berpegang pada pendapat bahwa saksi merupakan syarat, hanya saja hakikat saksi bukan sebagai syarat sah nikah, melainkan syarat agar diperbolehkan menggauli istri.[31] Dengan demikian, akad pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa hadiś yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi dalam nikah. Diantara hadiśtersebut ialah:
 لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ, الْبَغَايَا اللَّاتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ dan لاَ بُدَّ فِى النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ الْوَلِىِّ وَالزَّوْجِ وَالشَّاهِدَيْنِ
“Tidaklah dipandang sah nikahnya seseorang, tanpa persetujuan wali dan tanpa saksi yang adil, Sia-sialah orang yang menikahkan dirinya tanpa jelas dan atau tanpa izin dari walii.... Dan tidak boleh tidak (diharuskan) dalam pernikahan itu dihadirkan empat  orang: wali, Calon Suami dan dua orang saksi”
Sayyid Sabiq berpendapat bahwa, saksi diharuskan hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan diberitakan saja. [32] Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan adalah memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.
Pendapat di atas memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Menurut pendapat pertama, apabila ada suatu pernikahan dengan dihadiri saksi, namun kedua belah pihak sepakat meminta saksi untuk merahasiakan pernikahan mereka, maka pernikahan dianggap sah, meskipun makruh. Sedangkan menurut pendapat kedua, imam Malik, pernikahan tersebut dianggap tidak sah. karena.[33] Esensi dari pernikahan itu tidak mengharuskan saksi, melainkan keharusan untuk diberitakan atau pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak.
Terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat memberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi: (1) Islam, (2) Akil balig, (3) Berakal, (4) Mendengar rangkaian kalimat akad dan memahaminya. Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat diterima persaksiannya.[34] Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang adil masih menjadi perdebatan dikalangan ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil.[35] Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah. Sebaliknya, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa merupakan syarat bagi saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadiś [36]
Terlepas dari status adil maupun tidak, mażhab Syafiʻȋ dan Hambali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. [37] Pendapat ini berdasarkan pada hadiś nabi: ”أن لا يجوز شهادة النساء في الحدود, ولا في النكاح, ولا في الطلاق.. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan.[38]
Ketentuan KHI mengenai saksi termaktub dalam Pasal 24 yaitu: (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaanakad nikah; (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 KHI menentukan syarat-syarat “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Dan merupakan suatu keharusan bagi wali untuk “hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”. [39]


G.  Kesimpulan
Perkembangan hukum di Indonesia jelas mengacu kepada nilai-nilai ajaran Islam yang disesuaikan dengan kearifan local bangsa Indonesia, khususnya dalam masalah perkawinan, (wali dan saksi). Oleh karenanya, Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hanafi memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya dengan meniadakan campur tangan orang lain, dalam hal ini adalah campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan. Pertimbangan rasional logis inilah yang membuat Hanafi mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak menikah;
2.      Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya wali adalah tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka yang menjadi walinya adalah hakim;
3.      Keberadaan saksi menurut Imam Malik bukan merupakan suatu keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak dipandang sudah sah. Pendapat yang senada dengan Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi. Pendapat ini menganalogikan terhadap jual beli. Allah dalam al-Qur’an memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan;
Selain Imam Malik, Abu Țaur dan mażhab Syiʻah, bahwa saksi merupakan suatu keharusan, sama adakah ia hadir ditempat akad nikah ataupun cukup atas persetujuan (izinnya) dari wali..







[1] Muhammad Bagir al-Habsy, Fiqh Praktis: (Bandung: Mizan, 2002), h. 56.
[2] Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo 2004), h. 134.
[3] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 89.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7 (Bandung: Al-maʻarif, 1997), h. 11.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih (Jakarta: Kencana, 2003), h.  90.
[6] Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 165.
[7] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: lentera, 2001), h. 345.
[8] Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, h.  11
[9] Al-Imȃm Sahnūn, bin Sȃʻĭd, al-Tanūkhȋ, Al-Mudawwanah al-Kubrȃ, (Beirūt, Dȃr Ṣȃdr, 1323.H), III,  h. 178. Lihat juga al-Maktabaḥ Asy-Syȃmilaḥ, Sunan Addȃruqutnĩ,  no 3580
[10] Syamsyu Addin As-Sarakhsĭ, Al- Mabsūt, (Beirȗt: Dȃr al-Maʻrȗfah, 1409/1989), V, h.149, lihat Abū Dȃud, “Kitab an-Nikȃh”, hadiś no. 1784, nat-Tirmȋżȋ, “Kitab an-Nikȃh”, hadiś no. 1021
[11] Khoiruddin Nasution,  Hukum Perkawinan 1, dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim Kontemporer, edisi revisi,  ACAdeMIA, TAZZAFA, Yogyakarta, 2005, h. 70
[12] Ibid, h. 76-77.
bÎ*sù[13]  $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî......
“kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya,  hingga Dia kawin dengan suami yang lain….”
[14]   ... Ÿxsù £`èdqè=àÒ÷ès? br& z`ósÅ3Ztƒ £`ßgy_ºurør&  ...
“…, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya..
[15]t ...Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B ...
“…, Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang  ma'ruf terhadap diri mereka…”
[16] Mohd  Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, h. 218-220.
[17] Muhammad Idris Asy- Syafiʻĭ, al-Um, edisi al-Muznȋ, (ttp, tt), V, h. 11, juga, h. 19
[18]  4 £`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøŒÎ*Î/ £`ÎgÎ=÷dr&
“… karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka…, “
[19] Syamsyu Addin As-Sarakhsĭ, Al- Mabsūt, V, Ibid, h.149,
[20] Abi Muhammad ʻAbdllah bin Ahmad bin Qudȃmaḥ, Al-Mughni asy-Syarh al-Kabĭr, edisi I (Beirȗt, Dȃr Al-Fikr, 1404/1984), VII, h.338
[21] Khoiruddin Nasution,  Hukum Perkawinan 1, Op Cit, h. 91
[22] KHI Pasal 14 “Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a) Calon Suami; b) Calon Isteri; c) Wali nikah; d) Dua orang saksi dan; e) Ijab dan Kabul. Kemudian dipertegas lagi dalam KHI Pasal 19: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”. Karen kedudukannya yang sangat penting dan menentukan, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah.
[23] KHI Pasal 23 ayat (1). Dalam hal wali aḍal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama (PA) tentang wali tersebut (Pasal 23 ayat (2)).
[24] Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 1989, h. 52.
[25] Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1 Tahun 1990
[26] Pasal 2 Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim
[27] #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJŠÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 .....  
27.Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.......
[28] M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’ Syarh al-Muhaḍab li al-Syairozi (Jeddah: Maktabah al-Irșad, tt) h. 296. Lihat juga dalam Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islȃmi wa Adillatuhu, Juz IX (Beirut: Dȃr al-Fikr, 2002) h.  6559
[29] Ayat-ayat pernikahan berikut tidak mencantumkan saksi,:
 فانكحوا ما طاب لكم من النساء ,  وأنكحوا الأيامى منكم. .
[30] Lihat. Keterangan dalam al-Maktabaḥ asy-Syȃmilaḥ, Tuhfaḥ al-Ahwaḍi, Bab Pernikahan Tanpa Saksi,  juz III,  h. 131
[31]. Lihat dalam: Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Juz IX. Beirut: Dȃr al-Fikr. 2002, h. 6560
[32]Sayyid Sabiq,  Fiqh as-Sunnaḥ, Juz II, (Kairo: Dȃr al-fatah. 1995), h. 48.
[33] M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’, Op Cit,  h. 297
[34] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnaḥ, Juz II, Op Cit, h. 50. Lihat juga dalam Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h. 6562 dan M. Najib al-Muti’i, Al-Majmu’, Op Cit,  h. 296
[35] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h. 76
[36] Lihat keterangan selengkapnya dalam al-Maktabaḥ Asy-Syȃmilaḥ, Faidh al-Qadir, Juz 6 h. 567. لاَ نِكاَحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ. .
[37] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnaḥ, Juz II, Op Cit, h. 50; Lihat juga keterangan dalam al-Maktabaḥ Asy-Syȃmilaḥ, Tuhfah al-Ahwaḍi, Bab Pernikahan Tanpa Saksi, juz III,  h. 131.
[38] Wahbah Az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islȃmĩ wa Adillatuh. Op Cit, h. 75.
[39] KHI Pasal 26.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar