Selasa, 17 Maret 2020

HUKUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN (BAB I)

BAB I     PENDAHULUAN



A.    Latar Belakang
Salah satu bentuk ketaatan manusia kepada Allah Swt adalah, bahwa dalam rangka penyaluran hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah didasarkan pada ikatan yang telah ditentukan-Nya, yaitu melalui lembaga perkawinan sebagai lembaga yang suci, sakral bagi umat Islam. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,[1] dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga yang (sakinah, mawaddah warahmah) merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga; Bahkan al-Qur’an memproklamasikan perkawinan sebagai suatu perjanjian (ikatan) yang paling suci, paling kokoh antara suami isteri,[2]   teguh dan kuat (mițaqan ghaliẓan).[3] Selain itu juga tujuan perkawinan, untuk menghindarkan diri dari perbuatan zina, penerus keturunan (anak) dan juga bertujuan ibadah.[4]

Negara RI adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijamin oleh Pasal 29 Undang-undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.


Perkawinan dalam Islam dikenal dengan istilah nikah atau tazwȋj,[5] secara harfiyah adalahbersenggama atau bercampur”. Lebih lanjut Jalaluddin Al-Mahalli [6] dalam kitabnya mengungkapkan:

وشرعا : عقد يتضمن اباحة وطئ بلفظ انكاح او تزويج
Secara syar’i nikah adalah: suatu akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan suami isteri (hubungan seksual) dengan menggunakan lafadz inkah”(menikahkan), atau lafadz “tazwȋj (mengawinkan).

Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga[7] serta Kompilasi Hukum Islam [8] termasuk produk hukum negara Indonesia yang mayoritas Islam ini, wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan mengetahui dan memahami Undang-undang tersebut, seluruh masyarakat seyogyanya untuk semakin menyadari hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan putusnya perkawinan serta akibatnya.

Menurut Khoiruddin Nasution, ada sejumlah ayat yang mengisyaratkan tujuan perkawinan, yang bila disimpulkan akan tampak minimal lima tujuan umum.[9] Penetapan tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan itu:
  1. Bertujuan untuk membangun keluarga sakinah;
  2. Bertujuan untuk regenerasi dan/atau pengembangbiakan manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi agama Islam;
  3. Bertujuan untuk pemenuhan biologis (seksual);
  4. Bertujuan nntuk menjaga kehormatan; 
  5. Bertujuan ibadah, yang dapat dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis.


Islam menegaskan bahwa perkawinan merupakan media untuk membentuk suatu keluarga yang tenteram dan penuh kasih sayang (sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ) berdasarkan nilai-nilai agama yang menuntut adanya interaksi saling asah, asih dan asuh diantara suami isteri. Hal ini dipertegas dalam QS. Ar-Rum (30): 21
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[10]

Maksud dan tujuan dari ayat tersebut adalah, bahwa salah satu tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ.[11] Dengan demikian, dari perkawinan itu, diharapkan dapat melestarikan proses historis keberadaan manusia dan peradabannya dalam kehidupan di dunia ini, yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai unit terkecil dari kehidupan sosial kemasyarakatan.[12]

Dibalik perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup kemungkinan apabila rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada kekerasan diantara kedua pihak. Apabila perselisihan, pertengkaran dan kekerasan tidak dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai puncaknya yang mengarah kepada perceraian dan atau bubarnya perkawinan semakin menjadi kenyataan; sebagai indikasi awal adanya persoalan hukum, diantaranya melihat kasus-kasus seperti:
  1. Kasus yang terjadi pada Siti Aisyah (40) guru honorer di Babatan Kecamatan Ketibung Lampung Selatan, menjadi korban brutal suaminya sendiri Rafik (41 tahun), sehingga mengalami 11 luka tusukan (7 di punggung, 2 di perut dan 2 di paha kanan) lantaran berpisah rumah karena alasan ekonomi, hal ini terjadi pada Rabu 4 Januari 2012 pukul 08.00.[13]
  2. Kasus kekerasan fisik: terjadi pada Mar (38) yang dipukuli suami sendiri dengan menggunakan linggis hingga babak belur. Akibat peristiwa itu, korban mengalami patah gigi, patah tulang dagu, memar di leher dan dada, dan pendarahan di gusi. Hal ini hanya dipicu karena isteri menolak disuruh minta uang kepada anaknya yang bekerja di Bogor.[14]



Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat muslim di bumi Indonesia, angka perceraian semakin meningkat dikarenakan banyak faktor yang menyebabkannya. Diantara faktor penyebab terjadinya perceraian ini adalah:
  1. Dikarenakan poligami yang tidak sehat;
  2. Krisis akhlak;
  3. Kawin paksa;
  4. Cemburu karena suami berselingkuh;
  5. Faktor ekonomi;
  6. Akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri.


Satu hal yang lebih mengherankan, bila angka perceraian di Provinsi Lampung didominasi atas permintaan isteri, atau khuluk [15] (cerai gugat).
Salah satu dampak yang timbul akibat perceraian ini, kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[16]
Secara umum terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban kejahatan. Salah satu jenis kejahatan dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap isteri. Media yang terbit di Lampung, melalui pemberitaannya, untuk kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sangat membantu mengungkap kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lampung, termasuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Contoh kasus perceraian di wilayah Lampung Barat dan Pesisir Barat pada 2012 meningkat dibanding 2011. Pada 2011 jumlah permohonan mencapai 363 kasus, 140 kasus di antaranya merupakan cerai gugat. Sementara pada tahun 2012, permohonan mencapai 401 kasus, dengan perincian: kasus cerai gugat (CG) yang sudah ditangani Pengadilan Agama Krui di Liwa berjumlah 144 kasus, dan cerai talak (CT) 58 kasus. Kasus perceraian yang lebih banyak ialah kasus cerai gugat, yaitu perempuan yang mengajukan cerai. Dari 401 permohonan cerai itu, selama 2012 yang berhasil divonis cerai mencapai 202 kasus, dengan perincian 144 cerai gugat dan 58 cerai talak..[17]
Contoh lain: di Pengadilan Agama Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur mencatat angka perceraian selama 2013 sebanyak 1.415 perkara. Dari jumlah itu sebanyak 300 perkara adalah perceraian dalam rumah tangga Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Metro Ros Amanah Rabu (15/1), mengatakan jumlah perkara yang ditangani selama 2013 sebanyak 1.415 sudah diputuskan sebanyak 1.400 perkara. Ros mengatakan angka perceraian di kalangan PNS cukup tinggi. “Pada bulan Desember 2013, ada 30 gugatan perceraian oleh PNS,” [18]
Di Pengadilan Agama Tanggamus, lebih mencengang-kan, khusus di bulan Oktober 2014 saja terdapat 58 rekap perkara yang diterima: 43 diantaranya perkara Cerai Gugat, 10 perkara cerai talak, dan 5 perkara lainnya.[19]
Mencermati paparan fakta-fakta pada latar belakang masalah di atas, bahwa problem cerai gugat dipandang laik untuk dilakukan penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada fenomena faktor-faktor penyebab Cerai Gugat yang dilakukan oleh isteri kepada suami di dalam keluarga yang berujung pada putusnya perkawinan di Provinsi Lampung, dan dampak serta solusinya terhadap suami, isteri, anak maupun harta bersama, melalui penulisan disertasi dengan judul: Faktor-faktor Penyebab Cerai Gugat, [20] dan Dampak serta Solusinya di Lampung.
B.     Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan, karenanya buku ini dibatasi hanya pada persoalan-persoalan: (1) pengertian dan  dasar hukum, (2) rukun dan syarat, (3) prinsip-prinsip perkawinan, (4) tujuan perkawinan, (4) hikmah perkawinan, (5) masalah larangan dan pembatalan perkwawinan, (6) wali dan saksi dalam perkawinan, (7) masalah  perceraian, (8) masalah perkawinan  muț’ah dan dilengkapi muț’ah ala Syi'ah

C.    Penelitian Terdahulu yang Relevan

Berdasarkan penelusuran dari hasil beberapa penelitian yang ada, relevansinya dengan penelitian yang akan diteliti, ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat, diantaranya:
1
  1. Penelitian yang dilakukan oleh DR.Charul Bariah, S.H., M.Hum bersama Dra. Zakiah, M.Pd dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Isteri Ramai-Ramai Gugat Cerai Suami di PA Stabat" telah mengambil sampel dalam penelitiannya di Pengadilan Agama Stabat. Dalam penelitian data-data didapat dari studi dokumen dan interview.  Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa: Setelah memperhatikan angka perceraian yang cukup tinggi dari 1071 perkara yang masuk tahun 2013, ternyata gugatan perceraian banyak atau sekitar 72,27 % dilakukan oleh isteri, karena tidak puas atas sikap dan perlakuan suaminya. [21]
  2. Penelitian yang dilakukan oleh Lina Nurhayanti, dengan judul “faktor yang mempengaruhi cerai gugat di PA Yogyakarta [22]. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi cerai gugat, karena tidak adanya tanggung jawab, tidak ada keharmonisan antara suami isteri, gangguan pihak ketiga (perselingkuhan dengan WIL/ wanita idaman lain), dan dengan pergeseran pola pikir masyarakat dulu dengan sekarang dalam memahami perceraian.
  3. Penelitian yang tidak kalah menariknya, oleh Drs. Daud Bahransyaf, MM, Peneliti Madya Bidang Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI [23]. Ia menjelaskan bahwa: Banyak faktor yang mendominasi perceraian pasangan suami istri (Pasutri), diantaranya didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi. Beberapa faktor lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), adanya pihak ketiga dalam kehidupan rumah tangga dan lainnya.
  4. Penelitian yang dilaksanakan oleh Anik Farida, dengan judul “menimbang dalil poligami” menegaskan bahwa dalam catatan dan atau laporan Pengadilan Agama (Pengadilan Tinggi Agama) di wilayah kota/kabupaten dan/atau daerah provinsi di bumi Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam (Bapak Nazaruddin Umar)[24]  bahwa kasus perceraian akibat poligami, mengalaalmi peningkatan yang signifikan dalam setiap tahunnya. Dapat dipahami bahwa poligami justru menjadi salah satu penyebab perceraian, bahkan lebih dari itu mengakibatkan isteri dan anak terlantar.[25]
  5. Penelitian yang dilaksanakan oleh Suyono dengan judul Faktor-faktor penyebab cerai gugat dan akibat hukumnya (Studi di Pengadilan Agama Metro Kelas I B) mengungkapkan, bahwa yang mempengaruhi cerai gugat di Kota Metro, sangat bervariasi, meskipun yang paling dominan adalah faktor ekonomi.[26]


Berdasarkan telaah pustaka hasil penelitian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa faktor penyebab terjadinya cerai gugat di masing-masing daerah tempat penelitian, sangat beraneka ragam; oleh karenanya, terinspirasi dari pemaparan hasil penelitian tersebut, dipandang perlu untuk mengkaji dan meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama kota/ kabupaten dalam wilayah Provinsi Lampung, sekaligus mengkaji dan menganalisis dampak yang timbul serta solusinya akibat cerai gugat tersebut, terhadap suami, isteri, anak maupun terhadap harta bersama.
Hasil penelitian dalam telaah pustaka tersebut, dimungkinkan untuk diambil sebagiannya, sebagai bahan literature dalam penelitian Disertasi ini. Disamping literature lain yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, baik dari kitab-kitab fikih, Peraturan Perundang-undangan seperti UU NO. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maupun yang lainnya; Oleh karenanya, Posisi penelitian ini diarahkan untuk membahas selain faktor-faktor penyebab cerai gugat di Lampung, juga akan diangkat bagaimana dampak yang timbul akibat perceraian tersebut, sekaligus bagaimana solusinya, baik terhadap suami, isteri, anak maupun terhadap harta bersama, selama membina rumah tangga bersama.

D.    Signifikansi Tulisan

Tulisan ini penting sebagai salah satu upaya menemukan konsep yang ada relevansinya dengan hubungan keluarga yang dibina oleh pasangan suami isteri dalam sebuah rumah tangga. Oleh karenanya, tulisan ini diharapkan dapat berguna untuk:
Menambah khazanah ilmiah dibidang hukum, baik yang berkaitan dengan hukum meteriel maupun hukum formil, lebih khusus lagi dalam hukum Islam; terutama dalam hal cerai gugat di Pengadilan Agama kota/ kabupaten di Provinsi Lampung;
Tulisan ini, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan bermanfaat serta menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi pembuat dan penegak hukum yang menjalankan undang-undang, serta para pihak yang berperkara, terutama bagi pasangan suami isteri yang berkehendak untuk bercerai.

E.     Kerangka Teori

Teori merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu penelitian, karena teori yang digunakan dalam penelitian, dapat dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti secara sistematis. Permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian (cerai gugat), dampak dan solusinya.
Untuk mendapatkan gambaran dalam penelitian ini, ada beberapa teori yang dipandang layak ditetapkan sebagai grand teori yang digunakan, antara lain:

  1. Teori Maqȃșid Syarȋ'ah.  Secara bahasa Maqȃșid Syarȋ'ah terdiri dari dua kata yaitu Maqȃșid dan Syarȋ'ah. Maqȃșid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqȃșid merupakan bentuk jama’ dari maqșŭd, yang berasal dari suku kata Qașada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqȃșid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[27] Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحضر الى الماء [28] artinya jalan menuju sumber air, dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[29] Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,“Sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia ini dan akhirat”[30]


Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa, tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[31] Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, yang menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif mȃ lȃ yustați’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).[32] Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut dalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan. Kelima misi (Maqȃșid al-Syarȋ'ah/ Maqȃșid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[33]
Dapat dipahami bahwa teori Maqȃșid al-Syarȋ'ah, dalam hukum Islam, sebagaimana disyari’atkan oleh Allah dengan tujuan utama: merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat.[34] Seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan atau (needs).[35]  Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, [36] yaitu:

a.       Ḓaruriyyat (primer);
Jenis maqȃșid ini merupakan kemestian (mutlak), dan landasan dalam menegakan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pengabaian terhadap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, menunaikan rukun Islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri, masing-masing merupakan salah  satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
Ḓaruriyyat (primer) ini mencakup semua hajat hidup yang bersifat pokok, kebutuhan dasar atau kebutuhan minimal yang harus dipenuhi manusia agar hidup layak. Jika tidak dipenuhi, kelangsungan hidup manusia akan terganggu; Kebutuhan primer yang paling utama terdiri dari 3, yaitu sandang, pangan, dan papan.[37]
Seirama dengan kebutuhan primer tersebut, Abraham Maslow menyebutnya dengan tingkat kebutuhan yang bersifat fisiologik[38]. Kebutuhan-kebutuhan itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Kebutuhan ini dinamakan juga kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) manusia bisa kehilangan kendali atas perilakunya sendiri, karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.[39] Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs). Selain itu, ada beberapa kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seiring perkembangan zaman, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll.
 
b.      Hajjiyyat (sekunder);
Jenis maqȃșid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, meng­hilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqȃșid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad muḑȃrabah, mużȃra’ah dan ba’i salȃm, serta berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
Kebutuhan Sekunder, disebut juga dengan kebutuhan kultural, artinya kebutuhan yang timbul sehubungan dengan meningkatnya peradaban manusia. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan oleh manusia setelah kebutuhan primer terpenuhi dengan baik. Dan kebutuhan sekunder bersifat menunjang kebutuhan primer.
Contoh: pakaian yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, tempat tinggal yang baik, dan sebagainya, yang pada prinsipnya kebutuhan ini tidak tergolong kebutuhan mewah (kebutuhan pelengkap).

c.       Tahsiniyyat (stabilitas sosial).
Aspek tahsiniyyat, maksudnya adalah melakukan sesuatu yang termasuk kebaikan dalam tradisi dan menjauhi perilaku buruk yang tercela menurut akal yang benar, contohnya terhimpun dalam kategori akhlak terpuji.[40] Ibnu Asyur berkata,”menurut saya ini adalah kemaslahatan yang memberi kesempurnaan dan keteraturan bagi kondisi manusia, sehingga mereka dapat hidup dengan aman, tentram serta tampak indah dalam pandangan orang lain”.[41] Jadi, ini adalah mașlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat ḑarurȋ, juga tidak sampai tingkat hajjiyah; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia.[42] Apabila aspek ini terganggu, maka kehidupan akan kacau, bahkan pola kehidupan makhluk berbudaya-pun bisa menjadi musnah bila tanpa stabilitas sosial. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian lebih terhadap aspek tahsiniyyat ini. Di dalam aspek tahsiniyyat itu mencakup hak dan kewajiban asasi manusia untuk memelihara lima jagat kehidupan, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[43] Untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan hukum-hukum tersebut, Islam menetapkan sejumlah aturan main, baik berupa perintah maupun larangan.
2  
22 Teori Mașlahah Mursalah; dalam perspektif linguistik, mașlahah bermakna diḑul mafsadat, berlawanan dengan kerusakan, dalam arti menertibkan pekerjaan dan menghantarkan kepada kebaikan. [44] Jadi, yang dimaksud dengan mașlahah adalah segala sesuatu yang menjadi hajat hidup, dibutuhkan dan menjadi kepentingan yang berguna dan mendatangkan kebaikan bagi seseorang manusia.[45]

Al Buthi mengatakan bahwa kata mașlahah sama dengan kata manfaat dari sisi wazan (timbangan) dan makna. Dan setiap apapun yang mengandung manfaat, berupa mendatangkan faedah dan kenikmatan atau berupa perlindungan seperti menjauhkan dari bahaya atau rasa sakit, semua itu pantas disebut dengan mașlahah [46]

Yusuf Hamid mengatakan bahwa kata mașlahah mutlak kembali kepada 2 hal: [47]
a.       Makna hakiki; Sebagaimana Al Buthi bahwa kata mașlahah sama dengan kata manfaat (dalam bahasa arab), dari sisi wazan (timbangan) dan makna, ini adalah makna hakiki;
b.      Makna Majȃzi; Secara majazi, berarti perbuatan yang mengandung kebaikan dan manfaat, maksudnya dalam konteks kausalitas. Seperti halnya perniagaan yang mengandung manfaat materi dan menuntut ilmu yang mengandung manfaat maknawi.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan al-Syatibi, menjadi Maqȃșid al-Syarȋ'ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafşilan), didasarkan pada suatu 'illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.[48]
Menurut syara', para Ushuliyyun membagi mașlahah mursalah (dilihat dari segi kandungannya) menjadi dua pengertian:
a.       Mașlahah ‘Ammah; Maslahat ini mengacu kepada tujuan pensyari’atan, yakni untuk kemaslahatan (bersifat umum), yang dimaksud disini adalah sesuatu yang membawa kenikmatan atau yang mengarah kepada kenikmatan (jiwa dan raga, duniawi dan ukhrawi), dalam hal ini lawan katanya adalah kerusakan (mafsadat);
b.      Maşlahat Khaşșah; yakni kemaslahatan yang bersifat khusus (bersifat pribadi), dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim menetapkan keputusan fasakh karena suaminya dinyatakan hilang. Menurut Kamaluddin Imam, sifat kekhususan dalam mașlahah ini bergantung kepada prakteknya, hakikatnya fasakh nikah dalam kondisi seperti ini adalah umum diantara istri yang suaminya hilang.[49]  
Pengertian pertama ini tidak jauh berbeda dengan pengertian mașlahah dari segi bahasa. Bila distmpulkan, mengandung arti sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindari keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara' dalam menetapkan hukum.[50] Meskipun diakui bahwa Maşlahah atau istişlah merupakan salah satu dari tertib sumber hukum yang kehujahannya masih diperselisihkan oleh ulama fiqh. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi'iyah[51] dan Hanafiah tidak mengakui mașlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum.[52]
Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at Islam (maqȃşid syarȋ`ah) adalah mendatangkan mașlahah dan menghindarkan bahaya, karena perceraian sangat dimungkinkan menimbulkan muḍarat kepada suami, istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka perceraian, oleh pemerintah dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadiś, atau maqȃşid al-syarȋ`ah berdasarkan kaidah fiqhiyah: [53]
تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة

“Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[54].

Diantara kaidah fikih yang juga bisa dijadikan dasar adalah: 
 دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadaḥ) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (mașlahaḥ). [55]

Menurut Abdul Manan, [56] ada beberapa faktor yang menjadi alat atau faktor pengubah hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan supremasi hukum.
Ada pula yang menjadikan mașlahaḥ mursalah sebagai landasan berpendapat. Teori ini mengajarkan bahwa: “Apa yang tidak diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al Hadiś dapat dibuat aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus menghindari muḍarat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan anak-anaknya,”[57] karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak mendatangkan muḍarat daripada manfaatnya.

33. Teori kebutuhan sebagaimana yang diungkap oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan digambarkan sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan.[58] Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tersebut dapat diaplikasikan kepada lima tingkat kebutuhan, sebagai berikut: [59]
a.       Pemenuhan kebutuhan “fisiologis” antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman;
b.      Pemenuhan kebutuhan “rasa aman” antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman;
c.       Pemenuhan kebutuhan “rasa memiliki dan kasih sayang antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi social;
d.      Pemenuhan kebutuhan akan “penghargaan”, dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap performance yang baik;
e.       Pemenuhan kebutuhan “aktualisasi diri” antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreativitas dan tantangan pekerjaan.
Maslow memberi hipotesis bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Kebutuhan yang belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi, seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis, maupun psikologis. Motivasi itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.[60]
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow di atas, sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqȃșid al-syarȋ’ah. Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia; satu hal yang luput dari perhatian Maslow, seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

44. Teori Kebijakan Penegakan Hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief [61] Bahwa nilai kepercayaan merupakan salah satu nilai atau kepentingan masyarakat yang perlu selalu dipelihara, ditegakkan dan dilindungi. Masyarakat yang aman, tertib dan damai diharapkan dapat dicapai apabila ada “saling kepercayaan” dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai kepercayaan inilah yang justeru menjalin hubungan harmonis kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya akan timbul kekacauan, ketidaktenteraman dan ketidakdamaian apabila nilai kepercayaan telah hilang, atau mengalami erosi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dapat dibayangkan, betapa kacau dan tidak tenteramnya kehidupan bermasyarakat, yang apabila masyarakat tidak lagi mempercayakan penyelesaian masalah-masalah mereka kepada aparat-aparat/ badan-badan penegak hukum, tetapi justeru mencari penyelesaian lain kepada orang-orang atau pihak ‘di luar hukum’ yang mereka percayai atau bahkan’main hakim sendiri’.[62]  Oleh karenanya masalah cerai gugat bagi yang beragama (Islam) hanya dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama.[63]
5.      Teori UU No.1 Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[64] Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti, guna mendapatkan kepastian hukum.
Ketika suatu perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) saja, maka akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara, dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi Negara. Oleh karenanya maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada, bila tidak tercatat.

a.      Perceraian
Perceraian dalam Islam dikenal dengan istilah talak,[65] semakna dengan kata talak itu, adalah al-irsȃl atau tarku, yang berarti melepaskan dan meninggalkan.[66] yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri. Talak bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah tangga, ketika tidak ada jalan keluar lagi; Sebagaimana  HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر قال قال رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) إن أبغض الحلال الى الله عز وجل الطلاق ـ (رواه أبو داود) [67]

“Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: Talak, adalah merupakan perkara halal yang paling dibenci oleh Allah". (HR Abu Daud, dan dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).
Secara yuridis, perceraian telah diatur dalam UU tentang perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa “putusnya suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan pengadilan”.[68]
Kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa putusnya perkawinan karena perceraian (cerai talak), adalah berbeda halnya dengan putusnya perkawinan karena (cerai gugat) atau karena kematian. Ditegaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.[69] Dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, hal ini dimaksudkan agar dapat membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal 38 undang-undang tersebut.

b.      Cerai Gugat dan Bentuknya
Cerai gugat, sebagaimana dikemukakan Sayyid Sabiq dalam bukunya: Fikih Sunnah mengungkapkan, bahwa dalam pelaksanaan-nya ada yang dengan tebusan atau iwȃḑ dan ada juga tidak, ada yang karena pelanggaran ta’lik talak, juga karena percekcokan yang terus menerus, dan ada juga karena hal yang lain. Oleh karena itu, bentuk-bentuk perceraian ini dibagi kepada:

1)      Khulu’
Khulu’ merupakan suatu bentuk dari putusnya perkawinan, namun khulu’ berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan karena talak. Hukum Islam telah memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’ sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan jalan talak.[70] Dalam khulu’ terdapat uang tebusan atau ganti rugi atau ‘iwad dan perceraian tersebut diminta oleh isteri kepada suami. Kata Khulu’ diambil dari ungkapan خلع الثوب  yang artinya, melepas baju. Karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 187
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ

Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah (2): 187)

Definisi khulu’ menurut syari’at adalah: berpisahnya suami dengan istrinya dengan tebusan harta (sebagai iwȃḑ) yang diberikan oleh istri kepada suaminya.[71] Definisi lain yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq adalah: Terjadinya perpisahan antara sepasang suami isteri dengan kerelaan dari keduanya dan dengan bayaran yang diserahkan isteri kepada suaminya.[72]  Sebagaimana disyari’atkan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 229

“jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya; itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang ẓalim”.
                               
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum disyari’atkannya khulu' dan penerimaan 'iwȃḑ. Maksudnya, adalah permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwȃḑ.

2)      Fasakh
Fasakh berarti putus atau batal,[73] hal ini terjadi dikarenakan sebab yang dikenakan dengan akad nikah (sah atau tidak sah) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad. Dapat dipahami bahwa fasakh adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di- sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung.[74] misalnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh disyari’atkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah atau hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan,[75]
Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah, misalnya:
a). Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami;
b)  Suami istri masih kecil, dan diadakan akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa dia berhak meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad, misalnya:
a)      Bila dari salah satu suami istri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtadannya belakangan;
b)      Fasakh nikah diperbolehkan bagi seorang istri yang mukallaf (baligh dan berakal) kepada suaminya yang kesulitan harta atau pekerjaan yang halal, sebesar nafkah wajib ukuran minimal yaitu satu mud atau kesulitan memberikan pakaian wajib ukuran minimal yaitu pakaian utama yang harus dimiliki. Oleh karena itu fasakh tidak bisa dilakukan lantaran suami tidak bisa membelikan lauk pauk, meskipun makan tidak terasa enak.[76]

            3)      Syiqȃq
Syiqȃq adalah perselisihan atau permusuhan yang berkepanjangan terjadi antara suami isteri, sehingga antara keduanya sering terjadi pertengkaran yang menjadikan keduanya tidak dapat dipertemukan (diselesaikan), dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.  Penyebab datangnya percekcokan dalam rumah tangga dapat berasal dari pihak laki-laki (suami), [77] juga dapat berasal dari pihak perempuan (isteri), [78] atau bisa juga berasal atau muncul dari kedua belah pihak. [79]  Jika tidak segera diatasi, akibat yang lebih buruk dan fatal dapat mengakibatkan tali perkawinan menjadi putus dan keluarga berantakan, tidak terkecuali anak-anak jika pasangan itu telah dikaruniai anak. Istilah Syiqaq dipahami dari al-Qur’an yang terdapat dalam (QS an-Nisȃ’ (4): 35)

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ الله بَيْنَهُمَا إِنَّ الله كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai (wali hakim) dari keluarga laki-laki, dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha teliti." [80]

            QS. an-Nisȃ’ Ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan cara-cara suami memberi pelajaran kepada istri yang melalaikan kewajibannya. Apabila cara dalam ayat 34 telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak, maka suami hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa syiqaq terjadi apabila antara suami isteri tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin, sehingga dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi perselisihan yang tiada akhir.
                              Menurut Imam Abu Hanifah, hakam dalah wakil, yakni orang yang mewakili pihak yang berselisih, baik dari pihak suami ataupun pihak istri. Hakam disini hanya bertugas mewakili pihak terkait untuk menyampaikan keinginan-keinginannya jika suami berkeinginan bercerai, hakam yang akan menyampaikannya. Demikian pula, jika hakam dari pihak istri berkeinginan berdamai, keinginan damai akan disampaikan kepada hakam pihak suami.
Secara etimologis, al-hukmu berarti al-man’u (yang mencegah) yakni yang mencegah dari kezaliman. [81] Sedang Ibrahim Anis sebagaimana disebutkan oleh Ali Trigiyatno, menjelaskan bahwa hakam sebagai orang yang dipilih untuk memutus perkara diantara dua orang yang berperkara. [82] Sedangkan at-tahkim berarti menjatuhkan hukum. Ar-Raghib menerangkan hakam pada asalnya berarti mencegah dengan sebenar-benarnya untuk memperbaiki.
            Hakam bisa disebut kuasa hukum atau pengacara atau advokat. Kuasa hukum adalah orang yang menerima tugas dari pihak yang berperkara untuk melakukan berbagai tindakan hukum, baik dengan cara kekeluargaan maupun melibatkan pihak kepolisian dan pengadilan.
Mencermati pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran betapa banyak faktor penyebab terjadinya perceraian, dan besarnya penderitaan yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban sebagai dampak akibat terjadinya perceraian; terutama sekali yang dirasakan oleh pihak perempuan terutama isteri dari pihak pelaku, karena selain penderitaan fisik, mereka juga mengalami penderitaan psikis yang amat berat.

               4)      Tata cara  Cerai Gugat
Sebagai gambaran sebab perceraian dan tata cara untuk mengajukan perceraian dalam lingkup Pengadilan Agama Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung, dapat diasumsikan lewat bagan/ konstruksi hukum penyelesaian gugatan perceraian sebagai berikut:









[1] Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang, Cet. I, 1993, h. 130
[3] QS. Al-Ahzȃb (33) : 7;  QS. An-Nisȃ’ (4): 21;  QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi Hukum Islam,  Pasal 2; dan Lihat juga, Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah  menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, Cet.1, Akademika Presindo, Jakarta, 2000, h. 14
[4]Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli Ghayah  al-Ikhtishar, Dar al-Kutub al-Islamy, tt, h. 48; Lihat, Khoiruddin nasution, Hukum Perkawinan 1,  ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005, h. 46-47.
[5] Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, juz III (Indonesia: Nur Asia, tt), h. 206.
[6] Ibid, h. 206
[7]Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,.
[8] Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Binbaga Islam, Kemenag RI tahun 2001
[9] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa, Yogyakarta, 2009, h. 223
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, PT. Tehazed, 2010, h. 572.
[11] Bab II Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam.
[12] Djamal Latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, h. 12.
[13] Harian Lampung Post, Kamis , 5 januari 2012, h. 22
[14] Harian  Lampung Post, Kamis, 02 Mei 2013, h. 07.
[15] Khuluk; adalah  perceraian  yang terjadi atas permintaan isteri, dengan memberikan tebusan (Iwaḑ) kepada dan  atas persetujuan suami.
[16] Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 1 ayat (1)
[18] http:// lampost.co/ berita/pns-di-metro-dan-lamtim-banyak-yang-bercerai, Akses 25 Oktober 2014
[20] Kata “Cerai Gugat” dengan mengutip istilah yang dikemukakan oleh Bhader Johan dan Sri Warjiyati, dalam bukunya Hukum Perdata Islam, Mandar Maju, Bandung, 1997, h. 33; Lihat Khoiruddin Nasution, dkk, dalam bukunya Hukum Perkawinan & Warisan di Dunia Muslim Modern, ACAdeMIA, Yogyakarta, 2012, h. 184; dan lihat: H.M.Damrah Khair dalam Laporan Hasil Penelitian Individu dengan judul Cerai di Kota Bandar Lampung, Studi Tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Klas IA Tanjungkarang 2008-2012; Lihat juga, F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, h. 114 Lebih lanjut, UU no 1/74 serta PP No.9/ 1975 tidak menamakan hal ini “cerai gugat” tetapi mengatakan bahwa perceraian ini dengan suatu gugatan. Kata “Gugatan Perceraian” sebagaimana termaktub dalam Pasal 40 UU No.I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan  Pasal 114 Inpres No. I Tahun 1991 tentang KHI, dimaksudkan adalah berlaku unutk suami atau isteri, hal ini dipertegas dalam Pasal 20 (1) PP No 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan, bahwa“ Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”. Pasal  114 KHI menegaskan, bahwa “Putusnya perkawian yang disebabkan karena perceraian, dapat terjadi karena ‘talak’ dan ‘gugatan perceraian’, namun di Peradilan, Gugatan Perceraian  yang diajukan oleh suami dikenal dengan sebutan cerai talak, sementara Gugatan Perceraian  yang diajukan oleh isteri lebih dikenal dengan istilah “Cerai Gugat”. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan  istilah “cerai gugat”.
[21] http:// www.pa- sungguminasa.go.id/ peraturan-dan-kebijakan/ 116-daftar-hasil-pene litian,  Akses 28 Okt 2014
[22] Lina Nurhayanti, Faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di PA Yogyakarta, Yogyakarta, 2010
[23]Daud Bahransyaf, Cerai Gugat Mendominasi Perceraian di Indonesia, Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Volume 33 Nomor 1 Maret 2009, Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), Yogyakarta;  dan Lihat: http:// daud bahransyaf. blogspot.com/ 2009/08/ intisari-cerai-gugat-di-indonesia.html, Akses, 28 Okt 2014.
[24] Anik Farida, Menimbang Dalil Poligami, antara teks, konteks, dan Praktek, balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Kementerian Agama, jakarta, 2008, h.111.
[25] Lihat, Leli Nurrohmah, Poligami Saatnya Melihat Realitas, dalam Jurnal Perempuan no.31, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
[26] Suyono, Faktor-faktor Penyebab Cerai Gugat dan Akibat Hukumnya (Studi pada Pengadilan Agama Metro Klas I B), Tesis, STAIN Metro, 2013, h. 186
[27] Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.
[28] Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansur al-Afriqi, (Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
[29] Fazlur Rahman, Islam, alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 140.
[30] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. (Kairo: Musthafa Muhammad, t,th),  jilid 2, h. 374.
[31] Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.t.), Jilid III h. 3; lihat juga Izzuddin Ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Bairut: Dar al-Jail, t.t), jilid II, h. 72; Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, h. 1017.
[32] Al- Syatiby, al-Muafaqat fi Ushul al- Syari’ah, Op Cit, h. 150. lebih lanjut tentang tujuan hukum Islam dapat dilihat dalam Fathi al-daraini, al-manahij al-Ushuliyyah fi Ijtihadi bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’, (Damsyik: Dar al-Kitab al-Hadist, 1975), h. 28; Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), h. 366; Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophiy, (Islamabad; Islamic Research Institute, 1977), h. 223.
[33] Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 20
[34] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.2, Penamadani, Jakarta, 2005, h. 19
[35] M. Fahim Khan, Shatibi’s Objectives of  Shari’ah and  Some Implications for Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed), Reading in Islamics Economic Thought. h. 193.
[36] Al-Syatibi, al-Muafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo: Musthafa Muhammad), jilid 2, h. 8
[37] James H.Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998), h.270-271.
[38] Abraham Maslow. 2006. On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset. h. 168
[39] Abraham Maslow. (2006), On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset,  h. 153
[40] Asy Syatibi, Al Muwafaqat fi Uşul Asy Syarȋ’ah, (Beirut: Dȃr Ibnu Affan, Cet 1, 1997 M/1417 H) Vol. 2. h. 22
[41]Muhammad Bin Thohir Ibnu Asyur, Maqasid Asy Syariah Al Islamiyah, (Kairo: Darus Salam, 2006 M/1427 H), h. 81
[42] Amir syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet 5, 2009 M) Vol. 2.. h. 350.
[43] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.2, Penamadani, Jakarta, 2005, h. 20
[44] Lihat Sayyid al-Khuri al-Syarnubi al-Banani, Aqrab al-Mawarid, Juz 1, Beirut: al-Suyu'iyyah, t.t, h. 565
[45] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, dari Sosial Ungkungan Asuransi Sehingga Ukhuwah, Bandung: Mizan, Juni 1994, h. 148.
[46]Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah fis Syariah Al Islamiyah, (Muassasah Risalah), h. 23; Lihat juga, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif ), h. 2479-2480
[47]Lihat, Yusuf Hamid Alim, Al Maqosid Al ‘Ammah Lissyariah Al Islamiyah, (Riyadh: Ma’had Ali Al Fikri Al Islami, Cet-2, 1994 M/1415 H) , h. 133-134
[48]Muhammad 'Iz ad-Din Abdul Aziz bin Abd as-Salam, Qawa'id al-Ahkamfl Mashalih al-Anam, Juz 1, t.t.p.,: al-lstiqomah, t.t., h. 12, didalam kitab ini dijelaskan pembagian mashalah kepada hakiki dan majazi, hakiki bermakna kelezatan/kenikmatan sementara majazi bermakna sebab-sebab adanya kenikmatan/kelezatan tersebut. Lihat pula Abd. Rahman bin Ahmad al-lji, Syarah al-'Adhl ala Mukhtashar al-Muntaha, Juz 2, ttp.,: al-Amiriyah, tt, h. 239
[49] Muhammad Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh Al Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at Al Jami’ah, h. 201-202
[50] Amir Syarifuddin, Ushui Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana llmu, 2011, h. 325. Bandingkan M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar llmu Fiqh, Jakarta: Buian Bintang, 1967, h. 186
[51] Moh. Mukri dalam bukunya Benarkah Imam Syafi'l Menolak Maslahah? Memberikan bukti bahwa meskipun kalangan ulama yang secara teoritis menolak konsep maslahah, ternyata pemikiran fikihnya membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu menggunakan perttmbangan-pertimbangan maslahah dalam bidang ijtihad mereka. Ulama Syafi'iyah misalnya memandang boleh membedah perut seorang ibu yang sudah meninggal dengan tujuan mengeluarkan janin yang ada di dalamnya, apabila diduga kuat bahwa janin itu akan keluar dalam keadaan hidup, meskipun menurut syara' terdapat larangan mengganggu mayat. Bahkan ada ulama Syafi'iyah, sebagaimana beliau mengutip pendapat Yusuf Qardawi, yang memandang wajib melakukan pembedahan mayat dalam keadaan demikian karena hal itu merupakan upaya menyelamatkan orang hidup dengan menghilangkan bagian dari mayat seseorang. Li hat Moh. Mukri, Benarkah Imam Syafi'l Menolak Maslahah?, Yogyakarta: Pesantren Nawaesea Press, 2010, h. 9-10
                [52] Satria Effendi, M. Zein, Ushul fiqh, Jakarta: Kecana, 2009, h. 150-151. Lihat pula Chaerul Umam, Ushul Fiqih 1, Bandung: Pustaka Setia, 2000, h. 141
[53] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG Pas, h. 22.
[54] Menurut Syamsul Anwar, mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1) Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`i tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan syar`inya.
[55] Jalaluddin as-Suyuți, al-Asybah wa an-Naẓāir, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), h. 176.
[56] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.
[57] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.
[58] Jess; Gregory J. Feist (2010). Teori Kepribadian: Theories of Personality. Salemba Humanika. h. 331.
[59] James H. Donnelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998). h. 274
[60] James H. Donnelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill, 1998). h. 268
[61]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, bandung, 1998, h. 6
[62]Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, bandung, 1998, h. 6
[63] Pasal 39 UU No.I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan  Pasal 115 Inpres No. I Tahun 1991 tentang KHI,
[64]  UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, Pasal 2 ayat (1) dan (2)
[65] QS.At-Talaq (65): 1-7; QS. Al-Baqarah (2): 229; QS. An-Nisa’ (4): 21
[66] Said Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam,  Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin, Ciputat, Lembaga penelitian UIN, Jakarta,  2008
[67] Abu Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah, Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam  tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, h.158
[68] Pasal 38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[69] Lihat Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[70] Abdul Rahman Ghozali.Fiqh Munakahat. (Jakarta:Prenada Media Grup. 2003) h. 220
[71] Lihat, Fiqhus Sunnah (II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297), Terj. Al-Wajiz (hal. 637), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/422).
[72] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 3, h. 340
[73] H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Raja Grapindo, 2009, h. 195; lihat juga, Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat 2, Pustaka Setia, Bandung, h. 73
[74] Beni Ahmad Saebani, Fikih Munakahat, ( Bandung: Pustaka Setia, 2001 ) h. 105
[75] Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Bogor: Kencana, 2003 ) h. 142-143
[76] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam dan Kontemporer, (Kencana, Jakarta. 2004) h. 152
[77] Periksa QS an-Nisa' (4) ayat 128.
[78] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 34.
[79] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 35.
[80] Dirjen Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, 109
[81] Ibnu Faris, Al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1415/ 1994),  h.  277
[82] Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasith, Cet. II, (T.Tp.: T.Np, 1972), Juz I, hlm. 190; Lihat Ali Trigiyatno, Penyelesaian problema Syiqaq Menurut Hukum  Islam, http://ali3g. blogspot. com/2010/10/ penyelesaian-problematika-syiqaq.html, Akses 19 Nop 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar