BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu
bentuk ketaatan manusia kepada Allah Swt adalah, bahwa dalam rangka penyaluran
hasrat seksual antara laki-laki dan perempuan haruslah didasarkan pada ikatan
yang telah ditentukan-Nya, yaitu melalui lembaga perkawinan sebagai lembaga
yang suci, sakral bagi umat Islam. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa,[1] dan terciptanya kerukunan dalam rumah tangga
yang (sakinah, mawaddah warahmah) merupakan dambaan setiap orang dalam
rumah tangga; Bahkan al-Qur’an memproklamasikan perkawinan sebagai suatu
perjanjian (ikatan) yang paling suci, paling kokoh antara suami isteri,[2] teguh dan kuat (mițaqan ghaliẓan).[3] Selain itu juga tujuan perkawinan, untuk
menghindarkan diri dari perbuatan zina, penerus keturunan (anak) dan juga
bertujuan ibadah.[4]
Negara RI
adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijamin oleh Pasal 29
Undang-undang Dasar Tahun 1945. Oleh karenanya setiap orang dalam lingkup rumah
tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Untuk
mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang
dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian
diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Perkawinan dalam Islam dikenal dengan istilah nikah atau tazwȋj,[5] secara harfiyah adalah“bersenggama
atau bercampur”. Lebih lanjut Jalaluddin Al-Mahalli [6] dalam kitabnya mengungkapkan:
وشرعا : عقد يتضمن
اباحة وطئ بلفظ انكاح او تزويج
Secara syar’i nikah
adalah: “suatu akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan hubungan
suami isteri (hubungan seksual) dengan menggunakan lafadz “inkah”(menikahkan),
atau lafadz “tazwȋj” (mengawinkan).
Undang-undang No.1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan Undang-undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga[7] serta Kompilasi Hukum Islam [8] termasuk produk hukum negara Indonesia yang
mayoritas Islam ini, wajib diketahui dan dipahami oleh seluruh masyarakat. Dengan
mengetahui dan memahami Undang-undang tersebut, seluruh masyarakat seyogyanya untuk semakin
menyadari hak dan kewajibannya dalam perkawinan dan putusnya perkawinan serta
akibatnya.
Menurut Khoiruddin Nasution, ada sejumlah ayat
yang mengisyaratkan tujuan perkawinan, yang bila disimpulkan akan tampak
minimal lima tujuan umum.[9] Penetapan
tujuan perkawinan didasarkan pada pemahaman sejumlah nas, ayat al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Saw. Sejumlah nas yang berbicara sekitar tujuan perkawinan itu:
- Bertujuan untuk membangun keluarga sakinah;
- Bertujuan untuk regenerasi dan/atau pengembangbiakan
manusia (reproduksi), dan secara tidak langsung sebagai jaminan eksistensi
agama Islam;
- Bertujuan untuk pemenuhan biologis
(seksual);
- Bertujuan nntuk menjaga kehormatan;
- Bertujuan ibadah, yang dapat dipahami secara implisit dari sejumlah ayat al-Quran dan secara eksplisit disebutkan dalam hadis.
Islam menegaskan bahwa perkawinan merupakan media untuk membentuk suatu
keluarga yang tenteram dan penuh kasih sayang (sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ)
berdasarkan nilai-nilai agama yang menuntut adanya interaksi saling asah, asih
dan asuh diantara suami isteri. Hal ini dipertegas dalam QS. Ar-Rum (30): 21
“Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.[10]
Maksud dan
tujuan dari ayat tersebut adalah, bahwa salah satu tujuan perkawinan menurut
hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinaḥ mawaddaḥ wa rahmaḥ.[11] Dengan demikian, dari perkawinan itu, diharapkan dapat
melestarikan proses historis keberadaan manusia dan peradabannya dalam
kehidupan di dunia ini, yang pada akhirnya akan melahirkan keluarga sebagai
unit terkecil dari kehidupan sosial kemasyarakatan.[12]
Dibalik perkawinan yang diharapkan kekal dan abadi itu, tidaklah menutup
kemungkinan apabila rumah tangga tersebut terjadi disharmonis, karenanya
dimungkinkan terjadinya perselisihan, pertengkaran dan bahkan menjurus pada
kekerasan diantara kedua pihak. Apabila perselisihan, pertengkaran dan
kekerasan tidak dapat diatasi, maka kondisi rumah tangga akan mencapai
puncaknya yang mengarah kepada perceraian dan atau bubarnya perkawinan semakin
menjadi kenyataan; sebagai indikasi awal adanya persoalan hukum, diantaranya
melihat kasus-kasus seperti:
- Kasus yang terjadi pada Siti Aisyah (40) guru
honorer di Babatan Kecamatan Ketibung Lampung Selatan, menjadi korban brutal
suaminya sendiri Rafik (41 tahun), sehingga mengalami 11 luka tusukan (7 di
punggung, 2 di perut dan 2 di paha kanan) lantaran berpisah rumah karena alasan
ekonomi, hal ini terjadi pada Rabu 4 Januari 2012 pukul 08.00.[13]
- Kasus kekerasan
fisik: terjadi pada Mar (38) yang dipukuli suami sendiri dengan menggunakan
linggis hingga babak belur. Akibat peristiwa itu, korban mengalami patah gigi,
patah tulang dagu, memar di leher dan dada, dan pendarahan di gusi. Hal ini
hanya dipicu karena isteri menolak disuruh minta uang kepada anaknya yang
bekerja di Bogor.[14]
Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat muslim di bumi Indonesia, angka perceraian semakin meningkat dikarenakan banyak faktor yang
menyebabkannya. Diantara faktor penyebab terjadinya perceraian ini adalah:
- Dikarenakan poligami yang tidak sehat;
- Krisis akhlak;
- Kawin paksa;
- Cemburu karena suami berselingkuh;
- Faktor ekonomi;
- Akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri.
Satu hal yang lebih mengherankan, bila angka perceraian di Provinsi
Lampung didominasi atas permintaan isteri, atau khuluk [15]
(cerai gugat).
Salah satu
dampak yang timbul akibat perceraian ini,
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[16]
Secara umum
terjadinya kejahatan sangat merugikan masyarakat, khususnya korban kejahatan.
Salah satu jenis kejahatan dalam rumah tangga adalah kekerasan
terhadap isteri. Media yang terbit di Lampung, melalui pemberitaannya, untuk
kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sangat membantu mengungkap kasus
kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di lampung, termasuk tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
Contoh
kasus perceraian di wilayah Lampung Barat dan Pesisir Barat pada 2012 meningkat
dibanding 2011. Pada 2011 jumlah permohonan mencapai 363 kasus, 140 kasus di
antaranya merupakan cerai gugat. Sementara pada tahun 2012, permohonan mencapai
401 kasus, dengan perincian: kasus cerai gugat (CG) yang sudah ditangani
Pengadilan Agama Krui di Liwa berjumlah 144 kasus, dan cerai talak (CT) 58
kasus. Kasus perceraian yang lebih banyak ialah kasus cerai gugat, yaitu
perempuan yang mengajukan cerai. Dari 401 permohonan cerai itu, selama 2012
yang berhasil divonis cerai mencapai 202 kasus, dengan perincian 144 cerai
gugat dan 58 cerai talak..[17]
Contoh
lain: di Pengadilan Agama Kota Metro dan Kabupaten Lampung Timur mencatat angka
perceraian selama 2013 sebanyak 1.415 perkara. Dari jumlah itu sebanyak 300
perkara adalah perceraian dalam rumah tangga Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Panitera
Muda Pengadilan Agama Kota Metro Ros Amanah Rabu (15/1), mengatakan jumlah
perkara yang ditangani selama 2013 sebanyak 1.415 sudah diputuskan sebanyak
1.400 perkara. Ros mengatakan angka perceraian di kalangan PNS cukup tinggi.
“Pada bulan Desember 2013, ada 30 gugatan perceraian oleh PNS,” [18]
Di
Pengadilan Agama Tanggamus, lebih mencengang-kan, khusus di bulan Oktober 2014
saja terdapat 58 rekap perkara yang diterima: 43 diantaranya perkara Cerai
Gugat, 10 perkara cerai talak, dan 5 perkara lainnya.[19]
Mencermati paparan fakta-fakta pada latar belakang masalah di atas,
bahwa problem cerai gugat dipandang laik untuk dilakukan penelitian. Oleh
karena itu, penelitian ini
difokuskan pada fenomena faktor-faktor penyebab Cerai Gugat yang dilakukan oleh isteri kepada suami di dalam keluarga
yang berujung pada putusnya perkawinan di
Provinsi Lampung, dan dampak serta solusinya terhadap suami, isteri, anak maupun harta bersama,
melalui penulisan disertasi dengan judul: Faktor-faktor Penyebab Cerai
Gugat, [20]
dan Dampak serta Solusinya di Lampung.
B.
Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak menyimpang dari pokok
permasalahan, karenanya buku ini dibatasi hanya pada persoalan-persoalan: (1) pengertian dan
dasar hukum, (2) rukun dan syarat, (3) prinsip-prinsip perkawinan, (4)
tujuan perkawinan, (4) hikmah perkawinan, (5) masalah larangan dan pembatalan
perkwawinan, (6) wali dan saksi dalam perkawinan, (7) masalah perceraian, (8) masalah perkawinan muț’ah dan dilengkapi
muț’ah ala Syi'ah
C.
Penelitian
Terdahulu yang Relevan
Berdasarkan penelusuran dari hasil
beberapa penelitian yang ada, relevansinya dengan penelitian yang akan
diteliti, ditemukan permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab
terjadinya cerai gugat, diantaranya:
1
- Penelitian yang dilakukan oleh DR.Charul Bariah, S.H., M.Hum bersama Dra. Zakiah, M.Pd dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Isteri Ramai-Ramai Gugat Cerai Suami di PA Stabat" telah mengambil sampel dalam penelitiannya di Pengadilan Agama Stabat. Dalam penelitian data-data didapat dari studi dokumen dan interview. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa: Setelah memperhatikan angka perceraian yang cukup tinggi dari 1071 perkara yang masuk tahun 2013, ternyata gugatan perceraian banyak atau sekitar 72,27 % dilakukan oleh isteri, karena tidak puas atas sikap dan perlakuan suaminya. [21]
- Penelitian yang dilakukan oleh Lina Nurhayanti, dengan judul “faktor yang mempengaruhi cerai gugat di PA Yogyakarta [22]. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi cerai gugat, karena tidak adanya tanggung jawab, tidak ada keharmonisan antara suami isteri, gangguan pihak ketiga (perselingkuhan dengan WIL/ wanita idaman lain), dan dengan pergeseran pola pikir masyarakat dulu dengan sekarang dalam memahami perceraian.
- Penelitian yang tidak kalah menariknya, oleh Drs. Daud Bahransyaf, MM, Peneliti Madya Bidang Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI [23]. Ia menjelaskan bahwa: Banyak faktor yang mendominasi perceraian pasangan suami istri (Pasutri), diantaranya didominasi oleh faktor kesulitan ekonomi. Beberapa faktor lainnya seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), adanya pihak ketiga dalam kehidupan rumah tangga dan lainnya.
- Penelitian yang dilaksanakan oleh Anik Farida,
dengan judul “menimbang dalil poligami” menegaskan bahwa dalam catatan dan atau
laporan Pengadilan Agama (Pengadilan Tinggi Agama) di wilayah kota/kabupaten
dan/atau daerah provinsi di bumi Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Dirjen
Bimas Islam (Bapak Nazaruddin Umar)[24] bahwa kasus perceraian akibat poligami,
mengalaalmi peningkatan yang signifikan dalam setiap tahunnya. Dapat dipahami
bahwa poligami justru menjadi salah satu penyebab perceraian, bahkan lebih dari
itu mengakibatkan isteri dan anak terlantar.[25]
- Penelitian yang dilaksanakan oleh Suyono
dengan judul Faktor-faktor penyebab cerai gugat dan akibat hukumnya (Studi di
Pengadilan Agama Metro Kelas I B) mengungkapkan, bahwa yang mempengaruhi cerai
gugat di Kota Metro, sangat bervariasi, meskipun yang paling dominan adalah
faktor ekonomi.[26]
Berdasarkan telaah pustaka hasil
penelitian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa faktor penyebab terjadinya
cerai gugat di masing-masing daerah tempat penelitian, sangat beraneka ragam;
oleh karenanya, terinspirasi dari pemaparan hasil penelitian tersebut,
dipandang perlu untuk mengkaji dan meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya
cerai gugat di Pengadilan Agama kota/ kabupaten dalam wilayah Provinsi Lampung,
sekaligus mengkaji dan menganalisis dampak yang timbul serta solusinya akibat cerai gugat
tersebut, terhadap suami, isteri, anak maupun terhadap harta bersama.
Hasil
penelitian dalam telaah pustaka tersebut, dimungkinkan untuk diambil
sebagiannya, sebagai bahan literature dalam penelitian Disertasi ini.
Disamping literature lain yang ada relevansinya dengan masalah
yang diteliti, baik dari kitab-kitab fikih, Peraturan Perundang-undangan
seperti UU NO. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, maupun yang lainnya;
Oleh karenanya, Posisi penelitian ini diarahkan untuk membahas selain faktor-faktor
penyebab cerai gugat di Lampung, juga akan diangkat bagaimana dampak yang
timbul akibat perceraian tersebut, sekaligus bagaimana solusinya, baik terhadap
suami, isteri, anak maupun terhadap harta bersama, selama membina rumah tangga
bersama.
D. Signifikansi Tulisan
Tulisan ini penting sebagai salah satu upaya menemukan konsep yang ada
relevansinya dengan hubungan keluarga yang dibina oleh pasangan suami isteri
dalam sebuah rumah tangga. Oleh karenanya, tulisan ini diharapkan dapat berguna
untuk:
Menambah khazanah ilmiah
dibidang hukum, baik yang berkaitan dengan hukum meteriel maupun hukum formil,
lebih khusus lagi dalam hukum Islam; terutama dalam hal cerai gugat di
Pengadilan Agama kota/ kabupaten di Provinsi Lampung;
Tulisan ini, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan bermanfaat serta
menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi pembuat dan penegak hukum yang
menjalankan undang-undang, serta para pihak yang berperkara, terutama bagi
pasangan suami isteri yang berkehendak untuk bercerai.
E. Kerangka Teori
Teori merupakan salah satu bagian yang memegang peranan penting dalam suatu
penelitian, karena teori yang digunakan dalam penelitian, dapat dijadikan
sebagai dasar untuk menjelaskan dan menganalisis permasalahan yang diteliti
secara sistematis. Permasalahan dalam penelitian ini berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian (cerai gugat), dampak dan solusinya.
Untuk mendapatkan gambaran dalam
penelitian ini, ada beberapa teori yang dipandang layak ditetapkan sebagai grand
teori yang digunakan, antara lain:
- Teori Maqȃșid
Syarȋ'ah. Secara bahasa Maqȃșid Syarȋ'ah terdiri dari dua kata yaitu Maqȃșid dan Syarȋ'ah. Maqȃșid berarti
kesengajaan atau tujuan. Maqȃșid merupakan
bentuk jama’ dari maqșŭd, yang berasal
dari suku kata Qașada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqȃșid berarti hal-hal yang dikehendaki dan
dimaksudkan.[27]
Sedangkan Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحضر
الى الماء [28] artinya jalan
menuju sumber air, dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[29]
Menurut istilah, Al-Syatibi menyatakan,“Sesungguhnya syari’ah bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia ini dan akhirat”[30]
Ibnu
Qayyim menjelaskan bahwa, tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[31]
Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, yang menegaskan bahwa semua
kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemaslahatan hamba. Tak
satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama juga dengan taklif mȃ lȃ yustați’ (membebankan sesuatu yang
tidak dapat dilaksanakan).[32]
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dunia dan akhirat itulah, maka para
ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut dalam lima misi, semua
misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemaslahatan.
Kelima misi (Maqȃșid
al-Syarȋ'ah/ Maqȃșid al-Khamsah) dimaksud
adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.[33]
Dapat dipahami bahwa teori Maqȃșid
al-Syarȋ'ah, dalam hukum Islam, sebagaimana disyari’atkan
oleh Allah dengan tujuan utama: merealisasikan dan melindungi kemaslahatan
umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat.[34]
Seluruh
aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut
sebagai kebutuhan atau (needs).[35] Kemaslahatan
yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek
kepentingan manusia, yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek, [36]
yaitu:
a.
Ḓaruriyyat (primer);
Jenis
maqȃșid ini merupakan
kemestian (mutlak), dan landasan dalam menegakan kesejahteraan manusia di dunia
dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan
manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Pengabaian terhadap
kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan kerusakan di muka bumi serta
kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi
kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari
berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, menunaikan rukun Islam,
pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri, masing-masing
merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi
agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
Ḓaruriyyat (primer) ini
mencakup semua hajat hidup yang bersifat pokok, kebutuhan dasar atau kebutuhan
minimal yang harus dipenuhi manusia agar hidup layak. Jika tidak dipenuhi,
kelangsungan hidup manusia akan terganggu; Kebutuhan primer yang paling utama
terdiri dari 3, yaitu sandang, pangan, dan papan.[37]
Seirama dengan kebutuhan primer tersebut, Abraham Maslow
menyebutnya dengan tingkat kebutuhan yang bersifat fisiologik[38].
Kebutuhan-kebutuhan
itu seperti kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan
oksigen. Kebutuhan ini dinamakan juga
kebutuhan dasar (basic needs) yang jika tidak dipenuhi dalam keadaan
yang sangat ekstrim (misalnya kelaparan) manusia bisa kehilangan kendali atas
perilakunya sendiri, karena seluruh kapasitas manusia tersebut dikerahkan dan
dipusatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.[39]
Sebaliknya, jika kebutuhan dasar ini relatif sudah tercukupi, muncullah
kebutuhan yang lebih tinggi yaitu kebutuhan akan rasa aman (safety needs).
Selain
itu, ada beberapa kebutuhan pokok yang harus dipenuhi seiring perkembangan
zaman, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan dll.
b.
Hajjiyyat (sekunder);
Jenis maqȃșid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan,
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap
lima unsur pokok kehidupan manusia. Contoh jenis maqȃșid ini antara lain mencakup kebolehan untuk
melaksanakan akad muḑȃrabah, mużȃra’ah dan ba’i salȃm, serta
berbagai aktivitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan atau
menghilangkan kesulitan manusia di dunia.
Kebutuhan Sekunder,
disebut juga dengan kebutuhan kultural, artinya kebutuhan yang timbul
sehubungan dengan meningkatnya peradaban manusia. Kebutuhan sekunder
adalah kebutuhan yang diperlukan oleh manusia setelah kebutuhan primer
terpenuhi dengan baik. Dan kebutuhan sekunder bersifat menunjang
kebutuhan primer.
Contoh: pakaian
yang baik, makanan dan minuman yang bergizi, tempat tinggal yang baik, dan sebagainya,
yang pada prinsipnya kebutuhan ini tidak tergolong kebutuhan mewah (kebutuhan
pelengkap).
c.
Tahsiniyyat (stabilitas sosial).
Aspek tahsiniyyat, maksudnya
adalah melakukan sesuatu yang termasuk kebaikan dalam tradisi dan menjauhi
perilaku buruk yang tercela menurut akal yang benar, contohnya terhimpun dalam
kategori akhlak terpuji.[40]
Ibnu Asyur berkata,”menurut saya ini adalah kemaslahatan yang memberi
kesempurnaan dan keteraturan bagi kondisi manusia, sehingga mereka dapat hidup
dengan aman, tentram serta tampak indah dalam pandangan orang lain”.[41]
Jadi, ini adalah mașlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak
sampai tingkat ḑarurȋ, juga tidak sampai tingkat hajjiyah; namun
kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan
keindahan bagi hidup manusia.[42] Apabila aspek ini terganggu, maka kehidupan akan kacau, bahkan
pola kehidupan makhluk berbudaya-pun bisa menjadi musnah bila tanpa stabilitas
sosial. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian lebih terhadap aspek tahsiniyyat
ini. Di dalam aspek tahsiniyyat itu mencakup hak dan kewajiban asasi
manusia untuk memelihara lima jagat kehidupan, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta.[43]
Untuk menjamin, melindungi dan menjaga kemaslahatan hukum-hukum tersebut, Islam
menetapkan sejumlah aturan main, baik berupa perintah maupun larangan.
2
22 Teori Mașlahah Mursalah; dalam perspektif linguistik,
mașlahah bermakna diḑul
mafsadat, berlawanan
dengan kerusakan, dalam arti menertibkan pekerjaan dan menghantarkan
kepada kebaikan. [44] Jadi, yang dimaksud dengan mașlahah adalah
segala sesuatu yang menjadi hajat hidup, dibutuhkan dan menjadi kepentingan
yang berguna dan mendatangkan kebaikan bagi seseorang manusia.[45]
Al Buthi mengatakan bahwa kata mașlahah
sama dengan kata manfaat dari sisi wazan (timbangan) dan makna. Dan
setiap apapun yang mengandung manfaat, berupa mendatangkan faedah dan
kenikmatan atau berupa perlindungan seperti menjauhkan dari bahaya atau rasa
sakit, semua itu pantas disebut dengan mașlahah [46]
Yusuf Hamid mengatakan bahwa kata mașlahah
mutlak kembali kepada 2 hal: [47]
a.
Makna hakiki;
Sebagaimana Al Buthi bahwa kata mașlahah sama dengan kata manfaat (dalam
bahasa arab), dari sisi wazan (timbangan) dan makna, ini adalah makna hakiki;
b.
Makna Majȃzi;
Secara majazi, berarti perbuatan yang mengandung kebaikan dan manfaat,
maksudnya dalam konteks kausalitas. Seperti halnya perniagaan yang
mengandung manfaat materi dan menuntut ilmu yang mengandung manfaat maknawi.
Kemaslahatan inilah, dalam pandangan al-Syatibi, menjadi Maqȃșid al-Syarȋ'ah. Dengan kata lain, penetapan syari’at, baik
secara keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafşilan), didasarkan
pada suatu 'illat (motif
penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.[48]
Menurut
syara', para Ushuliyyun membagi mașlahah mursalah (dilihat dari segi
kandungannya) menjadi dua pengertian:
a.
Mașlahah
‘Ammah; Maslahat ini mengacu kepada
tujuan pensyari’atan, yakni untuk kemaslahatan (bersifat umum), yang
dimaksud disini adalah sesuatu yang membawa kenikmatan atau yang mengarah
kepada kenikmatan (jiwa dan raga, duniawi dan ukhrawi), dalam hal ini
lawan katanya adalah kerusakan (mafsadat);
b. Maşlahat Khaşșah; yakni kemaslahatan yang bersifat khusus (bersifat
pribadi), dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan bagi seorang istri agar hakim menetapkan keputusan fasakh
karena suaminya dinyatakan hilang. Menurut Kamaluddin Imam, sifat kekhususan
dalam mașlahah ini bergantung kepada prakteknya, hakikatnya fasakh
nikah dalam kondisi seperti ini adalah umum diantara istri yang suaminya
hilang.[49]
Pengertian pertama ini tidak jauh berbeda dengan
pengertian mașlahah dari segi bahasa. Bila distmpulkan, mengandung arti sesuatu yang dipandang baik
oleh akal sehat karena mendatangkan
kebaikan dan menghindari keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan
tujuan syara' dalam menetapkan hukum.[50]
Meskipun diakui bahwa Maşlahah atau istişlah merupakan salah satu dari
tertib sumber hukum yang kehujahannya masih diperselisihkan oleh ulama
fiqh. Kalangan Zahiriyah, sebagian dari kalangan Syafi'iyah[51] dan Hanafiah tidak mengakui mașlahah mursalah
sebagai landasan pembentukan hukum.[52]
Menurut hukum Islam, bahwa tujuan syari’at
Islam (maqȃşid syarȋ`ah) adalah mendatangkan mașlahah dan
menghindarkan bahaya, karena perceraian sangat dimungkinkan menimbulkan muḍarat
kepada suami, istri, anak, dan harta bersama (gono gini), maka perceraian, oleh
pemerintah dapat dipandang sebagai masalah ḍarurat karena tidak
disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Al-Hadiś. Hukum yang diterapkan
berdasarkan ijtihad ini dapat berubah sesuai kondisi, selama perubahan
hukum itu untuk kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan
Hadiś, atau maqȃşid al-syarȋ`ah berdasarkan kaidah fiqhiyah: [53]
تغيرالاحكام بتغيرالاحوال والأزمنة
“Hukum dapat berubah disebabkan perubahan keadaan dan zaman”[54].
Diantara kaidah fikih yang juga bisa dijadikan dasar
adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ
جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
“Menolak keburukan (mafsadaḥ) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (mașlahaḥ)”. [55]
Menurut Abdul Manan, [56] ada beberapa faktor yang menjadi alat atau faktor pengubah
hukum, yaitu faktor arus globalisasi, faktor sosial budaya, faktor
politik, faktor ekonomi, faktor iptek, pendidikan, hukum, dan
supremasi hukum.
Ada pula yang menjadikan mașlahaḥ mursalah sebagai
landasan berpendapat. Teori ini mengajarkan bahwa: “Apa yang tidak
diperintahkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Al Hadiś dapat dibuat
aturan yang mengharuskan berdasarkan kemaslahatan dan sekaligus
menghindari muḍarat. Berdasarkan cara berfikir ini, pencatatan
perkawinan dapat diwajibkan demi menjaga kemaslahatan suami, istri, dan
anak-anaknya,”[57]
karena dinilai bahwa perkawinan yang tidak tercatat lebih banyak mendatangkan muḍarat
daripada manfaatnya.
33. Teori kebutuhan
sebagaimana yang diungkap oleh Abraham Maslow. Menurut Maslow, kebutuhan
digambarkan sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan
tingkat kebutuhan.[58]
Kebutuhan-kebutuhan
yang dikemukakan oleh Maslow tersebut dapat diaplikasikan kepada lima
tingkat kebutuhan, sebagai berikut: [59]
a.
Pemenuhan kebutuhan “fisiologis” antara
lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil
dan lingkungan kerja yang nyaman;
b.
Pemenuhan kebutuhan “rasa aman” antara lain
dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan
lingkungan kerja yang aman;
c.
Pemenuhan kebutuhan “rasa memiliki dan kasih sayang”
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas
kelompok dan kesempatan berinteraksi social;
d.
Pemenuhan kebutuhan akan “penghargaan”, dapat
diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi
aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap performance
yang baik;
e.
Pemenuhan kebutuhan “aktualisasi diri”
antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreativitas
dan tantangan pekerjaan.
Maslow memberi hipotesis
bahwa setelah individu memuaskan kebutuhan pada tingkat paling bawah, individu
akan memuaskan kebutuhan pada tingkat yang berikutnya. Jika pada tingkat
tertinggi tetapi kebutuhan dasar tidak terpuaskan, maka individu dapat
kembali pada tingkat kebutuhan yang sebelumnya. Kebutuhan yang
belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi,
seorang individu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu
kekurangan dalam dirinya, baik secara psikis, maupun psikologis. Motivasi
itu sendiri meliputi usaha, ketekunan dan tujuan.[60]
Bila
ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow
di atas, sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqȃșid al-syarȋ’ah.
Bahkan, konsep yang telah dikemukakan oleh Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif
yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama
dalam elemen kebutuhan dasar manusia; satu hal yang luput dari perhatian
Maslow, seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah
manusia dan menjadi faktor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di
dunia ini.
Dalam
perspektif Islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan
bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan
di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi
untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu
akan meningkatkan produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan.
44. Teori Kebijakan
Penegakan Hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief [61]
Bahwa nilai kepercayaan merupakan salah satu nilai atau kepentingan masyarakat
yang perlu selalu dipelihara, ditegakkan dan dilindungi. Masyarakat yang aman,
tertib dan damai diharapkan dapat dicapai apabila ada “saling kepercayaan”
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai kepercayaan inilah yang justeru menjalin
hubungan harmonis kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebaliknya akan timbul
kekacauan, ketidaktenteraman dan ketidakdamaian apabila nilai kepercayaan telah
hilang, atau mengalami erosi dalam kehidupan bermasyarakat.
Dapat
dibayangkan, betapa kacau dan tidak tenteramnya kehidupan bermasyarakat, yang
apabila masyarakat tidak lagi mempercayakan penyelesaian masalah-masalah mereka
kepada aparat-aparat/ badan-badan penegak hukum, tetapi justeru mencari
penyelesaian lain kepada orang-orang atau pihak ‘di luar hukum’ yang mereka
percayai atau bahkan’main hakim sendiri’.[62] Oleh karenanya masalah cerai gugat bagi yang
beragama (Islam) hanya dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama.[63]
5.
Teori UU No.1
Tahun 1974
Undang-undang Perkawinan menyatakan
bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu” dan “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.[64]
Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal tersebut, dengan
kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti, guna mendapatkan
kepastian hukum.
Ketika suatu
perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas Pasal 2 ayat (1) saja, maka
akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka
pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara,
dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena
perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi
Negara. Oleh karenanya maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi
selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada, bila tidak
tercatat.
a.
Perceraian
Perceraian dalam Islam dikenal
dengan istilah talak,[65]
semakna dengan kata talak itu, adalah al-irsȃl atau tarku, yang
berarti melepaskan dan meninggalkan.[66]
yaitu melepaskan tali perkawinan mengakhiri hubungan suami isteri. Talak
bukanlah sebuah larangan, namun sebagai pintu terakhir dari rumah tangga,
ketika tidak ada jalan keluar lagi; Sebagaimana
HR. Abu Daud dari Ibnu Umar:
عن ابن عمر قال قال رسول الله ( صلى الله
عليه وسلم ) إن أبغض الحلال الى الله عز وجل الطلاق ـ (رواه أبو داود) [67]
“Dari Ibnu Umar, Rasulullah
Saw bersabda: Talak, adalah merupakan perkara halal yang paling dibenci oleh
Allah". (HR Abu Daud, dan dinyatakan şaheh oleh al-Hakim).
Secara yuridis, perceraian
telah diatur dalam UU tentang perkawinan. Didalamnya dijelaskan bahwa “putusnya
suatu perkawinan dapat terjadi karena adanya kematian, perceraian, dan putusan
pengadilan”.[68]
Kenyataan di atas, dapat
dipahami bahwa putusnya perkawinan karena perceraian (cerai talak), adalah
berbeda halnya dengan putusnya perkawinan karena (cerai gugat) atau karena
kematian. Ditegaskan dalam Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.[69] Dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
menggunakan istilah cerai talak dan cerai gugat, hal ini dimaksudkan agar dapat
membedakan pengertian yang dimaksud oleh huruf c pada Pasal 38 undang-undang
tersebut.
b.
Cerai Gugat dan
Bentuknya
Cerai gugat, sebagaimana dikemukakan
Sayyid Sabiq dalam bukunya: Fikih Sunnah mengungkapkan, bahwa dalam
pelaksanaan-nya ada yang dengan tebusan atau iwȃḑ dan ada juga tidak,
ada yang karena pelanggaran ta’lik talak, juga karena percekcokan yang
terus menerus, dan ada juga karena hal yang lain. Oleh karena itu,
bentuk-bentuk perceraian ini dibagi kepada:
1)
Khulu’
Khulu’ merupakan suatu bentuk dari putusnya perkawinan, namun khulu’
berbeda dengan bentuk lain dari putusnya perkawinan karena talak. Hukum Islam
telah memberi jalan kepada istri yang menghendaki perceraian dengan mengajukan khulu’
sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan
istrinya dengan jalan talak.[70] Dalam khulu’ terdapat uang
tebusan atau ganti rugi atau ‘iwad dan perceraian tersebut diminta oleh
isteri kepada suami. Kata Khulu’ diambil dari ungkapan خلع الثوب yang
artinya, melepas baju. Karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2): 187
… هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ …
…“Mereka
itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS.
Al-Baqarah (2): 187)
Definisi khulu’ menurut syari’at adalah: berpisahnya suami dengan istrinya dengan tebusan harta (sebagai iwȃḑ) yang diberikan oleh istri kepada suaminya.[71] Definisi lain yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq adalah: Terjadinya perpisahan antara sepasang suami isteri dengan kerelaan dari keduanya dan dengan bayaran yang diserahkan isteri kepada suaminya.[72] Sebagaimana disyari’atkan dalam firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 229
“jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya; itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang ẓalim”.
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum
disyari’atkannya khulu' dan penerimaan 'iwȃḑ. Maksudnya, adalah
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwȃḑ.
2)
Fasakh
Fasakh berarti putus atau batal,[73]
hal ini terjadi dikarenakan sebab yang dikenakan dengan akad nikah (sah atau
tidak sah) atau dengan sebab yang datang setelah berlakunya akad. Dapat
dipahami bahwa fasakh
adalah rusak atau putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak
suami-istri di- sebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad berlangsung.[74]
misalnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain
tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh
disyari’atkan dalam rangka menolak kemudaratan dan diperbolehkan bagi
seorang istri yang sudah mukallaf atau baligh dan berakal.
Fasakh bisa terjadi
karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsungnya akad nikah atau
hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan,[75]
Fasakh (batalnya
perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah,
misalnya:
a). Setelah
akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau
saudara sesusuan pihak suami;
b) Suami istri masih kecil, dan diadakan akad
nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa dia berhak
meneruskan ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti
ini disebut khiyar baligh. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami
istri, maka hal ini disebut fasakh baligh.
Fasakh karena hal-hal
yang datang setelah akad, misalnya:
a)
Bila dari salah satu suami istri murtad
atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya
batal (fasakh) karena kemurtadannya belakangan;
b)
Fasakh nikah diperbolehkan bagi seorang istri yang mukallaf (baligh
dan berakal) kepada suaminya yang kesulitan harta atau pekerjaan yang halal,
sebesar nafkah wajib ukuran minimal yaitu satu mud atau kesulitan
memberikan pakaian wajib ukuran minimal yaitu pakaian utama yang harus
dimiliki. Oleh karena itu fasakh tidak bisa dilakukan lantaran suami
tidak bisa membelikan lauk pauk, meskipun makan tidak terasa enak.[76]
3)
Syiqȃq
Syiqȃq adalah perselisihan atau permusuhan yang berkepanjangan terjadi
antara suami isteri, sehingga antara keduanya sering terjadi pertengkaran yang
menjadikan keduanya tidak dapat dipertemukan (diselesaikan), dan kedua belah
pihak tidak dapat mengatasinya. Penyebab
datangnya percekcokan dalam rumah tangga dapat berasal dari pihak laki-laki
(suami), [77]
juga dapat berasal dari pihak perempuan (isteri), [78]
atau bisa juga berasal atau muncul dari kedua belah pihak. [79] Jika tidak segera diatasi, akibat yang lebih buruk
dan fatal dapat mengakibatkan tali perkawinan menjadi putus dan keluarga
berantakan, tidak terkecuali anak-anak jika pasangan itu telah dikaruniai anak.
Istilah Syiqaq dipahami dari
al-Qur’an yang terdapat dalam (QS an-Nisȃ’ (4): 35)
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا
فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا
إِصْلاحًا يُوَفِّقِ الله بَيْنَهُمَا إِنَّ الله كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
“Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai (wali hakim) dari keluarga laki-laki, dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru
damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui, lagi Maha
teliti." [80]
QS.
an-Nisȃ’ Ayat 35 tersebut merupakan kelanjutan dari ayat 34 yang menerangkan
cara-cara suami memberi pelajaran kepada istri yang melalaikan kewajibannya.
Apabila cara dalam ayat 34 telah dilakukan, namun perselisihan terus memuncak,
maka suami hendaknya tidak tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan mengangkat
dua orang hakam yang bertindak sebagai juru pendamai.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa syiqaq terjadi apabila antara
suami isteri tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan lahir maupun kebutuhan batin,
sehingga dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi perselisihan yang tiada
akhir.
Menurut Imam Abu Hanifah, hakam dalah
wakil, yakni orang yang mewakili pihak yang berselisih, baik dari pihak suami
ataupun pihak istri. Hakam disini hanya bertugas mewakili pihak terkait
untuk menyampaikan keinginan-keinginannya jika suami berkeinginan bercerai, hakam
yang akan menyampaikannya. Demikian pula, jika hakam
dari pihak istri berkeinginan berdamai, keinginan damai akan disampaikan kepada
hakam pihak suami.
Secara
etimologis, al-hukmu berarti al-man’u (yang mencegah)
yakni yang mencegah dari kezaliman. [81]
Sedang Ibrahim Anis sebagaimana disebutkan oleh Ali Trigiyatno, menjelaskan
bahwa hakam sebagai orang yang dipilih untuk memutus perkara diantara
dua orang yang berperkara. [82]
Sedangkan at-tahkim berarti menjatuhkan hukum.
Ar-Raghib menerangkan hakam pada asalnya berarti mencegah dengan
sebenar-benarnya untuk memperbaiki.
Hakam bisa
disebut kuasa hukum atau pengacara atau advokat. Kuasa hukum adalah
orang yang menerima tugas dari pihak yang berperkara untuk melakukan berbagai
tindakan hukum, baik dengan cara kekeluargaan maupun melibatkan pihak
kepolisian dan pengadilan.
Mencermati pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat diperoleh gambaran
betapa banyak faktor penyebab terjadinya
perceraian, dan besarnya penderitaan
yang dialami seseorang atau kelompok orang yang menjadi korban sebagai dampak akibat terjadinya perceraian; terutama sekali yang
dirasakan oleh pihak perempuan
terutama isteri dari pihak pelaku, karena selain penderitaan fisik,
mereka juga mengalami penderitaan psikis yang amat berat.
4)
Tata cara Cerai Gugat
Sebagai gambaran sebab perceraian dan tata
cara untuk mengajukan perceraian dalam lingkup Pengadilan Agama
Kota/Kabupaten di Provinsi Lampung, dapat diasumsikan lewat bagan/ konstruksi hukum penyelesaian gugatan perceraian sebagai berikut:
[1] Pasal 1
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[2] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang,
Cet. I, 1993, h. 130
[3] QS.
Al-Ahzȃb (33) : 7; QS. An-Nisȃ’ (4):
21; QS. An-Nisȃ’ (4) : 154; Lihat, Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 2; dan Lihat
juga, Dedi Junaidi, Bimbingan Perkawinan Membina Keluarga Sakinah menurut al-Qur’an dan al-Sunnah, Cet.1,
Akademika Presindo, Jakarta, 2000, h. 14
[4]Taqiyyuddin Abi Bakr, Kifayatul Akhyar fie Hilli
Ghayah al-Ikhtishar, Dar al-Kutub
al-Islamy, tt, h. 48; Lihat, Khoiruddin nasution, Hukum Perkawinan 1, ACAdeMIA, & Tazzafa, Yogyakarta, 2005, h.
46-47.
[5] Jalaluddin
al-Mahalli, Al-Mahalli, juz III (Indonesia: Nur Asia, tt), h. 206.
[6] Ibid, h. 206
[7]Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga,.
[8]
Instruksi Presiden RI no. 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam, Dirjen
Binbaga Islam, Kemenag RI tahun 2001
[9]
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia, dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, ACAdeMIA, Tazzafa,
Yogyakarta, 2009, h. 223
[10] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an
kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Jakarta, PT. Tehazed, 2010, h. 572.
[11] Bab II
Pasal 3, Kompilasi Hukum Islam.
[12] Djamal
Latiief, H.M, Aneka Hukum Percerian di Indonesia, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1982, h. 12.
[13] Harian Lampung Post, Kamis , 5 januari 2012, h. 22
[14]
Harian Lampung Post, Kamis, 02
Mei 2013, h. 07.
[15] Khuluk;
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri, dengan
memberikan tebusan (Iwaḑ) kepada dan
atas persetujuan suami.
[16] Undang-undang No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 1 ayat (1)
[17]http://lampost.co/
berita/ angka-perceraian-di-lampung-barat-tinggi, Akses 07 Januari 2014
[18] http:// lampost.co/
berita/pns-di-metro-dan-lamtim-banyak-yang-bercerai, Akses 25
Oktober 2014
[19] ht://www. pa-tanggamus. go.id/
index.php/rekap-perkara-diterima, Akses
25 Oktober 2014
[20] Kata “Cerai Gugat” dengan mengutip istilah yang dikemukakan oleh
Bhader Johan dan Sri Warjiyati, dalam bukunya Hukum Perdata Islam,
Mandar Maju, Bandung, 1997, h. 33; Lihat Khoiruddin Nasution, dkk, dalam
bukunya Hukum Perkawinan & Warisan di Dunia Muslim Modern,
ACAdeMIA, Yogyakarta, 2012, h. 184; dan lihat: H.M.Damrah Khair dalam Laporan
Hasil Penelitian Individu dengan judul Cerai di Kota Bandar Lampung, Studi
Tentang Cerai Gugat di Pengadilan Agama Klas IA Tanjungkarang 2008-2012;
Lihat juga, F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1996, h. 114 Lebih lanjut, UU no 1/74 serta PP No.9/ 1975 tidak
menamakan hal ini “cerai gugat” tetapi mengatakan bahwa perceraian ini dengan
suatu gugatan. Kata “Gugatan Perceraian” sebagaimana termaktub dalam Pasal 40
UU No.I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Pasal 114 Inpres No. I Tahun 1991 tentang KHI, dimaksudkan adalah
berlaku unutk suami atau isteri, hal ini dipertegas dalam Pasal 20 (1) PP No 9
Tahun 1975 tentang Perkawinan, bahwa“ Gugatan perceraian diajukan oleh suami
atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman tergugat”. Pasal 114 KHI
menegaskan, bahwa “Putusnya perkawian yang disebabkan karena perceraian, dapat
terjadi karena ‘talak’ dan ‘gugatan perceraian’, namun di Peradilan, Gugatan
Perceraian yang diajukan oleh suami
dikenal dengan sebutan cerai talak, sementara Gugatan Perceraian yang diajukan oleh isteri lebih dikenal
dengan istilah “Cerai Gugat”. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan istilah “cerai gugat”.
[21] http:// www.pa- sungguminasa.go.id/
peraturan-dan-kebijakan/ 116-daftar-hasil-pene litian, Akses 28 Okt 2014
[22] Lina
Nurhayanti, Faktor yang Mempengaruhi Cerai Gugat di PA Yogyakarta,
Yogyakarta, 2010
[23]Daud
Bahransyaf, Cerai Gugat Mendominasi Perceraian di Indonesia, Media
Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, Volume 33 Nomor 1 Maret 2009, Balai
Besar Penelitian Dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS),
Yogyakarta; dan Lihat: http:// daud bahransyaf. blogspot.com/ 2009/08/
intisari-cerai-gugat-di-indonesia.html, Akses, 28 Okt 2014.
[24] Anik
Farida, Menimbang Dalil Poligami, antara teks, konteks, dan Praktek,
balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Kementerian Agama, jakarta, 2008,
h.111.
[25] Lihat,
Leli Nurrohmah, Poligami Saatnya Melihat Realitas, dalam Jurnal
Perempuan no.31, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
[26] Suyono,
Faktor-faktor Penyebab Cerai Gugat dan Akibat Hukumnya (Studi pada
Pengadilan Agama Metro Klas I B), Tesis, STAIN Metro, 2013, h. 186
[27] Ahmad Qorib, Ushul
Fikih 2, (Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997), Cet, II), h. 170.
[28] Dikutip oleh
Asafri Jaya dalam kitab lisan al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansur al-Afriqi,
(Bairut: Dar al-Sadr, t.th),VIII, h. 175
[29] Fazlur Rahman, Islam,
alih bahasa: Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 140.
[30]
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah. (Kairo: Musthafa
Muhammad, t,th), jilid 2, h. 374.
[31] Ibn Qayyim, I’lam
al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.t.), Jilid III h. 3;
lihat juga Izzuddin Ibn Abd al-Salam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
(Bairut: Dar al-Jail, t.t), jilid II, h. 72; Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid II, h. 1017.
[32] Al- Syatiby, al-Muafaqat
fi Ushul al- Syari’ah, Op Cit,
h. 150. lebih lanjut tentang tujuan hukum Islam dapat dilihat dalam Fathi
al-daraini, al-manahij al-Ushuliyyah fi Ijtihadi bi al-Ra’yi fi al-Tasyri’,
(Damsyik: Dar al-Kitab al-Hadist, 1975), h. 28; Muhammad Abu Zahrah, Ushul
al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), h. 366; Muhammad Khalid
Mas’ud, Islamic Legal Philosophiy, (Islamabad; Islamic Research
Institute, 1977), h. 223.
[33] Imam Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘ilm al-Ushul,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 20
[34] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
cet.2, Penamadani, Jakarta, 2005, h. 19
[35] M.
Fahim Khan, Shatibi’s Objectives of
Shari’ah and Some Implications
for Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (ed),
Reading in Islamics Economic Thought. h. 193.
[36] Al-Syatibi, al-Muafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Kairo:
Musthafa Muhammad), jilid 2, h. 8
[37] James H.Donelly, James
L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York:
Irwin McGraw-Hill, 1998), h.270-271.
[38] Abraham
Maslow. 2006. On Dominace, Self Esteen and Self Actualization. Ann
Kaplan: Maurice Basset. h. 168
[39] Abraham Maslow. (2006), On Dominace, Self Esteen and Self
Actualization. Ann Kaplan: Maurice Basset,
h. 153
[40] Asy
Syatibi, Al Muwafaqat fi Uşul Asy Syarȋ’ah, (Beirut: Dȃr Ibnu Affan, Cet
1, 1997 M/1417 H) Vol. 2. h. 22
[41]Muhammad Bin
Thohir Ibnu Asyur, Maqasid Asy Syariah Al Islamiyah, (Kairo: Darus
Salam, 2006 M/1427 H), h. 81
[42] Amir
syarifudin, Ushul Fikih, (Jakarta; Kencana Prenada Media Group, Cet 5,
2009 M) Vol. 2.. h. 350.
[43] Said
Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, cet.2,
Penamadani, Jakarta, 2005, h. 20
[44] Lihat Sayyid al-Khuri al-Syarnubi al-Banani, Aqrab
al-Mawarid, Juz 1, Beirut: al-Suyu'iyyah, t.t, h. 565
[45] Ali Yafie, Menggagas
Fiqh Sosial, dari Sosial Ungkungan Asuransi Sehingga Ukhuwah, Bandung:
Mizan, Juni 1994, h.
148.
[46]Muhammad Said Romdhon Al Buthi, Dhowabitul Maslahah
fis Syariah Al Islamiyah, (Muassasah Risalah), h. 23; Lihat juga, Ibnu
Mandzur, Lisanul Arab, (Kairo: Darul Ma’arif ), h. 2479-2480
[47]Lihat,
Yusuf Hamid Alim, Al Maqosid Al ‘Ammah Lissyariah Al Islamiyah, (Riyadh:
Ma’had Ali Al Fikri Al Islami, Cet-2, 1994 M/1415 H) , h. 133-134
[48]Muhammad
'Iz ad-Din Abdul Aziz bin Abd as-Salam, Qawa'id al-Ahkamfl Mashalih al-Anam,
Juz 1, t.t.p.,: al-lstiqomah, t.t., h. 12, didalam kitab ini dijelaskan
pembagian mashalah kepada hakiki dan majazi, hakiki bermakna
kelezatan/kenikmatan sementara majazi bermakna sebab-sebab adanya
kenikmatan/kelezatan tersebut. Lihat pula Abd. Rahman bin Ahmad al-lji, Syarah
al-'Adhl ala Mukhtashar al-Muntaha, Juz 2, ttp.,: al-Amiriyah, tt, h. 239
[49] Muhammad
Kamaluddin Imam, Ushulul Fiqh Al Islamy, (Iskandariyah: Darul Matnu’at
Al Jami’ah, h. 201-202
[50] Amir
Syarifuddin, Ushui Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana llmu, 2011, h.
325. Bandingkan M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar
llmu Fiqh, Jakarta: Buian Bintang, 1967, h. 186
[51] Moh. Mukri dalam
bukunya Benarkah Imam Syafi'l Menolak Maslahah? Memberikan bukti bahwa
meskipun kalangan ulama yang secara teoritis menolak konsep maslahah, ternyata
pemikiran fikihnya membuktikan hal yang sebaliknya, yaitu menggunakan
perttmbangan-pertimbangan maslahah dalam bidang ijtihad mereka. Ulama Syafi'iyah misalnya memandang
boleh
membedah perut seorang ibu yang sudah meninggal dengan tujuan mengeluarkan
janin yang ada di dalamnya, apabila diduga kuat bahwa janin itu akan keluar
dalam keadaan hidup, meskipun menurut syara' terdapat larangan mengganggu mayat. Bahkan ada ulama
Syafi'iyah, sebagaimana beliau mengutip pendapat Yusuf Qardawi, yang memandang
wajib melakukan pembedahan mayat dalam keadaan demikian karena hal itu
merupakan upaya menyelamatkan orang hidup dengan menghilangkan bagian dari
mayat seseorang. Li hat Moh. Mukri, Benarkah Imam Syafi'l Menolak Maslahah?,
Yogyakarta: Pesantren Nawaesea Press, 2010, h.
9-10
[53] Huzaemah Tahido Yanggo, Perkawinan
Yang Tidak Dicatat Pemerintah: Pandangan Hukum Islam, Jakarta GT2 dan GG
Pas, h. 22.
[54] Menurut
Syamsul Anwar, mengemukakan bahwa ada 4 (empat) syarat hukum dapat berubah: 1)
Bila ada tuntutan untuk berubah; 2) Tidak menyangkut ibadah mahḍah (ibadah
pokok); 3) Hukum itu tidak bersifat Qaț`i tapi bersifat ẓanni; 4) ada landasan
syar`inya.
[55] Jalaluddin
as-Suyuți, al-Asybah wa an-Naẓāir, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah,
tt), h. 176.
[56] Abdul Manan, Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, Jakarta, Prenada Media, 2005, h. 57.
[57] Fathurrahman Djamil, Perkawinan Bawah Tangan dan Konsekuennya
Terhadap Anak dan Harta, Jakarta, GT2 dan GG Pas, Mei 2007, h. 38.
[58] Jess; Gregory J. Feist (2010). Teori Kepribadian: Theories of
Personality. Salemba
Humanika.
h. 331.
[59] James H. Donnelly, James L. Gibson dan John M.
Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill,
1998). h. 274
[60] James H. Donnelly, James L. Gibson dan John M.
Ivancevich, Fundamentals of Management, (New York: Irwin McGraw-Hill,
1998). h. 268
[61]Barda
Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, bandung, 1998, h. 6
[62]Barda
Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, bandung, 1998, h. 6
[63] Pasal 39 UU No.I Tahun 1974 tentang Perkawinan,
dan Pasal 115 Inpres No. I Tahun 1991
tentang KHI,
[64] UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan,
Pasal 2 ayat (1) dan (2)
[65]
QS.At-Talaq (65): 1-7; QS. Al-Baqarah (2): 229; QS. An-Nisa’ (4): 21
[66] Said
Fuad, Perceraian Menurut Hukum Islam,
Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1994, h.2; Lihat Zurinal & Aminuddin, Ciputat,
Lembaga penelitian UIN, Jakarta, 2008
[67] Abu
Al-Farij Ibn al-Jauzi, al-‘Ilalu al-Mutanȃhiyah, al-Mausŭ’ah, Arabiah,
Juz 3, h.637; lihat; Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974, h.158
[68] Pasal
38 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[69] Lihat
Pasal 39 UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[70] Abdul
Rahman Ghozali.Fiqh Munakahat. (Jakarta:Prenada Media Grup. 2003) h. 220
[71] Lihat, Fiqhus
Sunnah (II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari
(IX/395), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297), Terj. Al-Wajiz
(hal. 637), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/422).
[72] Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 3, h. 340
[73] H.M.A.
Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Jakarta, Raja Grapindo, 2009, h. 195; lihat juga, Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih
Munakahat 2, Pustaka Setia, Bandung, h. 73
[74] Beni
Ahmad Saebani, Fikih Munakahat, ( Bandung: Pustaka Setia, 2001 ) h. 105
[75] Abd. Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, ( Bogor: Kencana,
2003 ) h. 142-143
[76] Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam dan
Kontemporer, (Kencana, Jakarta. 2004) h. 152
[77] Periksa
QS an-Nisa' (4) ayat 128.
[78] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 34.
[79] Lihat QS an-Nisa' (4) ayat 35.
[80] Dirjen
Bimas Islam, Direktorat Urais dan Pembinaan Syari’ah, Kemenag RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, PT.Tehazed, Jakarta, 2010, 109
[81] Ibnu Faris, Al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah,
Cet. I, (Bairut: Dar al-Fikr, 1415/ 1994),
h. 277
[82] Ibrahim Anis dkk., Al-Mu’jam al-Wasith,
Cet. II, (T.Tp.: T.Np, 1972), Juz I, hlm. 190; Lihat Ali Trigiyatno, Penyelesaian
problema Syiqaq Menurut Hukum Islam, http://ali3g. blogspot.
com/2010/10/ penyelesaian-problematika-syiqaq.html, Akses 19 Nop 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar